PENDAHULUAN
B
|
eberapa tahun terakhir
ini, korelasi antara Al-Quran dengan sains menjadi perbincangan hangat. Baik di
kalangan ilmuwan Timur, Barat, maupun kalangan ulama dari beberapa agama,
terutama Islam, Kristen dan Yahudi. Mengenai
adanya pengkajian Al-Quran dari kalangan non-muslim ini adalah point yang menarik di sini,
mereka mencoba mencari tahu tentang hakikat Al-Quran, sayangnya tidak jarang dari mereka yang memiliki
tujuan untuk mencari titik kelemahan yang dimiliki Al-Quran, walaupun kenyataannya
tak akan pernah ada sama sekali.
Sebaliknya, umat
Islam yang seharusnya memiliki kewajiban untuk menjaga Al-Quran baik dengan
cara membaca, menelaah ataupun menghafalnya terkesan semakin meninggalkan
Al-Quran, mereka terlanjur disibukkan oleh kesenangan dunia yang tidak ada
habisnya. Para pemudanya telah dibuat lalai, ini menjadi salah satu bukti
nyata bahwa zionisme benar-benar telah menerkam jantung Islam.
Lebih disayangkan
lagi adalah kaum cendekiawan atau ilmuwan muslim yang telah gelap mata, dikuasai
oleh jiwa materialisme sehingga rela mengorbankan keyakinan mereka, ditambah
lagi dengan adanya brain wash yang semakin gencar membuat mereka menghancurkan Islam
dari dalam dengan senang hati, seakan-akan mereka sedang membuat perubahan
dalam Islam, merekonstruksinya, berkolaborasi dengan kaum orientalis dalam penyerangan Islam dengan
menyamakan Al-Quran dengan Injil yang harus dipertanyakan kebenarannya, ini
menyebabkan orang awam semakin bingung untuk mencari pegangan kehidupan. Maka, serangan-serangan yang
ditujukan untuk umat Islam sekarang tidak hanya dari luar, namun juga dari
dalam, ilmuwan yang dijadikan panutan semakin menuntun ke jalan kesesatan.
Demikianlah awal
kekhawatiran penulis, maka didasari oleh kecintaannya pada Al-Quran, ia mencoba
untuk mengapresiasikan cintanya itu dengan menulis sebuah buku yang sekarang
ada di tangan anda. Penulis sengaja memberi judul: Menyingkap Rahasia
Al-Quran: Korelasinya dengan Sains. Karena
penulis benar-benar ingin mengungkapkan sejuta rahasia yang dikandung Al-Quran,
kitab suci yang menuntut mereka yang mengimaninya untuk berpikir secara
mendalam dalam upaya penyingkapan tabir ilmu yang dimilikinya. Al-Quran adalah pegangan, ia
adalah dasar dari undang-undang Islam, jika ada orang yang ingin berijtihad,
harus kembali pada Al-Quran.
Ilmu-ilmu
yang ada di dalam Al-Quran amatlah banyak dan yang diketahui oleh para ilmuwan
barulah sedikit. Masih dibutuhkan pengkajian yang lebih jeli lagi. Penulis
sengaja menghubungkan Al-Quran dengan
sains, karena manusia tidak akan pernah lepas dari sains didasari oleh sifat
aslinya yang selalu ingin tahu. Selain itu, sains juga sangat dibutuhkan untuk
kemajuan dan perkembangan manusia. Fakta sudah membuktikan, negara yang
memperhatikan kepentingan pendidikan dan sains lebih mapan dan maju dari pada
negara yang kurang memperhatikan keduanya.
Sedangkan
orientalis dan kaum cendekiawan muslim yang meragukan kebenaran Al-Quran juga
mulai menyerang Islam dengan mengatakan bahwa: di dalam Al-Quran tidak ada
sains, bahkan banyak sekali yang tidak logis dalam Al-Quran. Maka, keperluan
untuk mendalami Al-Quran oleh umat Islam menjadi semakin urgen untuk
dilakukan saat ini.
Penulis
mengawali tulisannya dengan menjelaskan sejarah turunnya Al-Quran secara
mendetail pada bab pertama, hal ini perlu untuk proses pengenalan terhadap
kitab suci Al-Quran. Selain itu juga menyangkut banyaknya sejarah Al-Quran yang sengaja
diputar-balikan oleh kaum orientalis, seakan-akan Al-Quran adalah hasil buatan
tangan manusia atau lahir dari lisan Nabi Muhammad SAW, untuk melengkapi
sejarahnya, dibahas pula mengenai bahasa Al-Quran, yaitu bahasa Arab.
Pada bab selanjutanya, penulis
mencoba mengungkapkan segi kemukjizatan
dalam Al-Quran, agar kita lebih mengetahui perbedaan Al-Quran dengan kitab suci
lainnya.
Inti
dari pada buku ini ada pada bab ke-tiga dan ke-empat, di sini mulai diadakan
pengkajian mengenai korelasi Al-Quran dengan sains, bagaimana para ilmuwan
membuktikan kebenaran ayat Al-Quran satu-persatu, bagaimana seorang ilmuan
non-muslim tunduk pada kekuasaan Allah SWT setelah menemukan kebenaran ilmiah
dalam Al-Quran, kemudian dilanjutkan dengan penyingkapan rahasia yang ada dalam Al-Quran.
Setelah mengetahui segala sesuatu tentang
Al-Quran, maka perlu diketahui pandangan
Barat terhadap Al-Quran, khususnya kaum orientalis dan missionaris. Mengingat
mereka adalah antek dari musuh-musuh Islam atau yang merasa menjadi musuh abadi
Islam sejak diturunkannya Al-Quran hingga kini, serta bagaimana mereka
menyerang Al-Quran. Agar
setiap muslim lebih mewaspadai gerak-gerik musuh yang samar dan hampir tidak
diketahui oleh sebagian kalangan muslim yang awam.
Pada bab terakhir
dijelaskan posisi Al-Quran sekarang di tengah-tengah umat Islam dengan
mengungkapkan kemunduran sains di dunia Islam, serta pernyataan bahwa Al-Quran
adalah salah satu faktor kemajuan peradaban agar umat Islam dapat bangkit dari
keterpurukan. Mengembalikan masa kegemilangan Islam di bawah naungan Al-Quran.
Gontor Putri, 30 April 2009
Penulis
BAB I
SEJARAH TURUNNYA
AL-QURAN
1.
PENGERTIAN
AL-QURAN
1.1. Pengertian Al-Quran
menurut etimologi
B
|
anyak perbedaan pendapat di kalangan para ulama dalam upaya
menjelaskan kata Al-Quran dari sisi derivasi, cara pelafalan, apakah ia
merupakan kata sifat atau kata jadian. Para
ulama yang mengatakan bahwa cara menggunakan hamzah pun telah terpecah menjadi dua pendapat:
a.
Sebagian
dari mereka, di antaranya Al-Lihyani, berkata bahwa kata Al-Quran merupakan
kata jadian dari kata dasar Qa-ra-a (membaca)
sebagaimana rujhan dan ghufran. Kata ini kemudian dijadikan
sebagai nama bagi firman Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi kita, Muhammad
SAW. Penamaan ini termasuk kategori “tasmiyah
al-maf’ul bi al-mashdar” Dalil yang menjadi rujukan kelompok ini adalah
firman Allah SWT yang artinya:
“Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di
dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai
membacakannya maka ikutilah bacaannya itu” [1]
b. Sebagian dari mereka dari
golongan lain, di antaranya Az-Zujaj, menjelaskan bahwasannya kata Al-Quran
merupakan kata sifat, diambil dari kata dasar al-qar-u yang artinya menghimpun. Kata ini kemudian dijadikan nama
bagi firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW yang menghimpun surat, ayat, kisah,
perintah dan larangan ataupun menghimpun intisari dari kitab-kitab suci
sebelumnya.
Para
ulama yang mengatakan bahwa cara pelafalan kata Al-Quran tidak menggunakan hamzah pun terpecah dalam dua kelompok:
a.
Sebagian dari mereka, di antaranya Al-Asy’ary,
mengatakan bahwa kata Al-Quran diambil dari kata kerja qarana (menyertakan) karena AL-Quran menyertakan surat, ayat, dan huruf-huruf.
b.
Al-Farra’ menjelaskan bahwa kata Al-Quran diambil dari kata dasar qarain (penguat) karena Al-Quran terdiri
atas ayat-ayat yang saling menguatkan dan terdapat kemiripan antara satu ayat
dengan ayat-ayat lainnya.[2]
Pendapat lainnya
adalah Al-Quran merupakan nama personal, bukan merupakan derivasi bagi kitab
yang telah diturunkan kepada Muhammad SAW.[3]
Para ulama menjelaskan bahwa penamaan itu
menunjukan bahwa Al-Quran telah menghimpun intisari-intisari kitab-kitab Allah
yang lain, bahkan seluruh ilmu yang ada.(Q.S.An-Nahl: 89 dan Al-An’am: 30)
1.2. Pengertian Al-Quran
menurut terminologi
a. Menurut Manna’ Al-Qaththan:[4]
“Kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan orang yang
membacanya akan memperoleh pahala.”
b.
Menurut Al-Jurjani:[5]
“Ia
adalah kitab yang diturunkan kepada Rasulullah SAW, ditulis dalam mushaf, dan
diriwayatkan secara mutawatir tanpa keraguan.”
c.
Menurut Abu Syahbah:[6]
“Kitab Allah SWT yang diturunkan-baik lafadz maupun maknanya- kepada Nabi terakhir Muhammad SAW,
diriwayatkan secara mutawattir, yakni
dengan penuh kepastian dan keyakinan (Kesesuaiannya dengan apa yang diturunkan
kepada Muhammad saw) serta ditulis pada mushaf,
mulai dari awal surat
Al-Fatihah (1) sampai akhir An-Nas (114).”
d. Menurut kalangan para pakar ushul fiqih, fiqh, dan bahasa Arab:
“Kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi-Nya, Muhammad SAW,
lafadz-lafadznya mengandung mukjizat, membacanya mempunyai nilai ibadah,
diturunkan secara mutawattir[7]
dan ditulis pada mushaf, mulai
dari awal surat
Al-Fatihah (1) sampai akhir An-Nas (114).”
1.3. Ayat Al-Quran
memiliki arti lahir dan batin
“Sembahlah Allah, dan
jangan menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun”.[8]
Arti lahir dari
ayat ini adalah pelarangan untuk menyembah berhala, namun setelah direnungkan
kembali, maka jelas bahwa alasan pelarangan menyembah berhala itu ialah karena
penyembahan berhala semacam itu merupakan bentuk kepatuhan pada segala sesuatu
selain Allah SWT. Hal ini tidak hanya berupa penyembahan kepada berhala saja,
tetapi juga menaati setan (Q.S 36 : 60)
Analisis lain
menunjukan bahwa tidak ada perbedaan antara ketaatan kepada diri dan ketaatan
kepada yang lain, karena mengikuti hawa nafsu merupakan penyembahan kepada selain
Allah SWT. (QS 45 : 23)
Dengan analisis
lebih cermat, tahulah kita tentang keharusan untuk tidak berpaling kepada Allah
SWT. Sekilas, ayat “Janganlah kamu
menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun” menunjukan bahwa berhala-berhala tidak
boleh disembah. Namun suatu pandangan lebih mendalam menunjukan larangan untuk
mengikuti hawa nafsu. Jika pandangan ini diperluas lagi, maka akan tampak larangan
melupakan Allah SWT dan berpaling kepada selain Allah SWT.
Setelah melalui
tahapan ini, pertama akan nampak makna awal dari surat, kemudian tampak makna yang lebih luas
dari sebelumnya dan seterusnya, hal ini berlaku pada semua ayat Al-Quran. Sebagaimana
hadits yang menyebutkan: “Sesungguhnya
Al-Quran mempunyai arti lahir dan batin. Dan batinnya terdiri atas satu sampai
tujuh batin.”[9]
Rahasia dari lahir
dan batin ini adalah dikarenakan manusia yang mana dalam kehidupannya yang
pertama dan sementara di dunia ini menyerupai sebuah gelembung di samudera
materi. Setiap kegiatannya dalam arus keberadaannya bergantung kepada samudera
yang luas itu, maka setiap saat ia harus berurusan dengan materi. Indera lahir
dan batinnya disibukkan oleh materi, sedangkan pikirannya mengikuti pengetahuan
inderawinya. Makan, minum, duduk, berdiri, berbicara, mendengarkan dan semua
pekerjaan lainnya yang dilakukan manusia berhubungan dengan materi.
Sedangkan aktifitas
spiritual manusia, seperti cinta, permusuhan, derajat, yang tinggi, cita-cita dan
lain-lain, sebagian besar digambarkan dengan bentuk materi, contohnya cita-cita
setinggi langit, tingginya derajat diperumpamakan seperti tingginya gunung dan
lainnya. Selain itu kemampuan manusia dalam memahami hal-hal spiritual memiliki
tingkatan yang berbeda-beda, semakin mampu seseorang dalam pemahaman dengan
masalah spiritual, maka semakin sedikit pula keterkaitannya dengan pesona
materi. Dengan kata lain, semakin sedikit keterkaitan dengan materi semakin
bertambah pula pengetahuan tentang hal-hal spiritual. Hal ini menunjukan bahwa
manusia, berdasarkan fitrahnya memiliki kemampuan untuk mengetahui segala
sesuatu berarti manusia dapat dikembangkan dan dapat dididik.
Maka, Al-Quran
selalu membedakan antara mereka yang berilmu dan mereka yang tidak berilmu dan
meninggikan mereka yang berilmu beberapa derajat di atas mereka yang tidak
berilmu.[10] Pemahaman
manusia tidak bisa di samaratakan, karena masing-masing memiliki tingkatan yang
berbeda-beda, maka cara memperlakukan antara orang-orang yang alim dan
orang-orang awam harus dibedakan. Maka, tidak ada salahnya jika dibandingkan
dengan kitab suci lain. Jika dalam kitab Weda direnungkan secara mendalam dan
ditelaah dengan lebih jeli, maka kita akan menemukan bahwa kitab itu menuju
pada tauhid. Sayangnya, tujuan itu diungkapkan secara langsung dan tidak
menurut tingkatan pemikiran orang-orang awam, sehingga orang Hindu yang masih
lemah akalnya berkecenderungan untuk menyembah banyak berhala, yang paling
besar adalah Brahma, Wisnu dan Siwa yang masing-masing memiliki tugas yang
berbeda. Tidak jauh beda dengan Kristen yang memiliki Trinitas[11]
Melihat kenyataan
yang demikian, maka rahasia metafisikal harus dikemukakan secara tertutup dan
terselubung kepada orang yang memiliki kecenderungan untuk bersikap
materialistik.
Kitab umat Islam,
Al-Quran memandang bahwa semua manusia bisa diajar, tidak ada orang yang
benar-benar bodoh walaupun tidak bisa dipungkiri bahwa kecerdasan manusia itu
bertingkat-tingkat. Maka dari itu, Al-Quran mengajarkan seluruh ajaran dengan khitob seluruh manusia, makhluk yang
diyakini bisa menuju kesempurnaan, ayat semacam ini diawali dengan kalimat: “Hai
manusia…”. Tapi, dibeberapa ayat memang dikhususkan untuk mereka yang sudah
beriman seperti perintah untuk berpuasa Ramadhan, ayat-ayat yang dikhususkan
untuk orang mukmin diawali dengan kalimat: “Hai orang-orang yang beriman…,” Hal
ini logis sekali, mengingat orang atheis atau non muslim lainnya jika mereka
dianjurkan untuk berpuasa, mereka akan menertawakan dan meremehkan anjuran itu,
bagaimana mungkin mereka sudi untuk berpuasa, jika percaya pada Allah SWT saja
tidak.
Jika kita
menghubungkan antara kemampuan manusia untuk mendapatkan pengetahuan spiritual
yang berbeda-beda dengan ayat-ayat al-Quran, kita dapat mengambil intisari
bahwa Al-Quran memang mengemukakan ajaran-ajarannya dengan dengan penyampaian
yang sederhana yang sesuai untuk kebanyakan orang, dan ia berbicara dengan
bahasa yang dapat dipahami oleh setiap tingkatan pemahaman manusia. Cara
seperti ini menyebabkan pengetahuan-pengetahuan tinggi yang merupakan maksud
sejati Al-Quran. [12]
2. KRONOLOGI TURUNNYA
AL-QURAN
2.1.Al-Quran diturunkan secara
berangsur-angsur
Al-Quran
diturunkan dalam waktu 22 tahun 2 bulan 22 hari yang dimulai dari malam 17
Ramadhan tahun 41 dari kelahiran Nabi Muhammad SAW sampai 9 Dzulhijjah Haji
Wada’ tahun 63 dari kelahiran beliau, tahun 10 H.[13]
Proses turunnya Al-Quran kepada Nab Muhammad SAW ini melalui tiga
tahapan, yaitu:[14]
1.
Al-Quran
turun secara sekaligus dari Allah ke Lauh
Al-Mahfudz[15],
yaitu suatu tempat yang merupakan catatan tentang segala ketentuan dan
kepastian Allah.[16]
2.
Al-Quran
diturunkan dari Lauh Al-Mahfudz ke Bait Al-Izzah (tempat yang
berada di langit dunia).[17]
3.
Al-Quran
diturunkan dari Bait Al-Izzah ke dalam hati Nabi melalui malaikat Jibril
dengan cara berangsur-angsur sesuai dengan kebutuhan. Adakalanya satu ayat, dua
ayat, bahkan kadang-kadang satu surat.[18]
Sering pula wahyu
diturunkan untuk menjawab pertanyaan para sahabat yang dilontarkan kepada Nabi
atau membenarkan tindakan Nabi SAW. Di samping itu, banyak pula ayat atau surat yang diturunkan
tanpa melalui latar belakang pertanyaan atau kejadian tertentu.
Diturunkannya
Al-Quran secara berangsur-angsur mengandung hikmah dan faedah yang besar.[19]
Antara lain:
a.
Memantapkan
hati Nabi SAW.
Ketika menyempaikan dakwah, Nabi SAW kerapkali berhadapan dengan
penentang. Karena itu, turunnya wahyu yang berangsur-angsur merupakan dorongan
dan motivasi tersendiri bagi Nabi SAW untuk terus menyempaikan dakwah meskipun
tantangan kaum kafir semakin menjadi-jadi.
b.
Menentang
dan melemahkan para penentang Al-Quran
Nabi SAW sering berhadapan dengan pertanyaan sulit yang dilontarkan
orang-orang musyrik dengan tujuan melemahkan Nabi. Oleh karena itu, turunnya
wahyu yang berangsur-angsur tidak sebatas karena pertanyaan-pertanyaan itu,
namun Al-Quran juga menantang mereka untuk membuat surat atau ayat yang serupa dengan Al-Quran.
Ketika mereka tidak mampu untuk memenuhi tanyangan itu, maka ini merupakan
salah satu mukjizat Al-Quran.
c.
Memudahkan
untuk dihafal dan dipahami
Al-Quran pertama kali turun di tengah-tengah masyarakat Arab yang
ummi, yakni yang tidak memiliki pengetahuan tentang bacaan dan tulisan. Maka,
turunnya wahyu secara berangsur-angsur memudahkan mereka untuk memahami dan
menghafalkannya.
d.
Mengikuti
setiap kejadian (yang menyebabkan turunnya ayat-ayat Al-Quran) dan melakukan
penahapan dalam penetapan syari’at.
e.
Membuktikan
dengan pasti bahwa Al-Quran turun dari Allah Yang Maha Bijaksana.[20]
Walaupun Al-Quran
turun secara berangsur-angsur, secara keseluruhan tetap ada keserasian antara
satu bagian yang satu dengan bagian yang lain. Hal ini hanya dapat dilakukan
oleh Allah SWT saja, jika manusia yang membuatnya, sudah dapat dipastikan
hasilnya tidak akan sempurna dan banyak kekurangan, ketimpang-tindihan di
sana-sini. Seperti yang terjadi pada kitab-kitab terdahulu sebelum Al-Quran,
seperti Injil, Taurat serta kitab-kitab yang lain dari agama non samawi,
seperti kitab Weda, Tripitaka.
Az-Zarqani
dan As-Suyuti mensinyalir adanya kalangan yang berpendapat bahwa mengetahui Asbab
An-Nuzul merupakan hal yang sia-sia dalam memahami Al-Quran. Mereka
beranggapan bahwa mencoba memahami Al-Quran dengan meletakkannya dalam konteks
histories itu sama saja denga membatasi pesan-pesannya pada ruang dan waktu
tertentu. Namun, keberatan ini tidaklah mendasar karena tidak mungkin
menguniversalkan pesan Al-Quran di luar masa dan tempat pewahyuan, kecuali melalui
pemahaman yang semestinya terhadap makna Al-Quran dalam konteks kesejarahannya.
Sementara
itu, matoritas ulama sepakat bahwa konteks kesejarahan yang terakumulasi dalam
riwayat-riwayat Asbab An-Nuzul merupakan satu hal yang signifikan untuk
memahami pesan-pesan Al-Quran. Ibn Taimiyah meng-ungkapkan dalam hal ini
bahwasannya Asbab An-Nuzul sangat menolong dalam menginterpretasikan
Al-Quran.[22]
Ibnu
Daqiq Al-‘Ied sependapat dengannya, ia menyatakan bahwa penjelasan terhadap Asbab
An-Nuzul merupakan metode yang kondusif untuk menginterpretasikan
makna-makna Al-Quran.
Al-Wahidi
menyatakan kemustahilan untuk menginterpretasikan Al-Quran tanpa
mempertimbangkan aspek kisah dan Asbab An-Nuzul.
Urgensi pengetahuan Asbab
An-Nuzul disetujuai oleh para ulama salaf maupun khalaf.
Al-Quran adalah puncak dari sebuah gunung es, sembilan per sepuluh dari
bagiannya terendam di bawah perairan sejarah, dan hanya sepersepuluhnya yang
dapat dilihat, demikian ungkapan Fazlur Rahman, ia melanjutkan bahwa sebagian
besar ayat Al-Quran sebenarnya mensyaratkan perlunya pemahaman terhadap
situasi-situai historis khusus, yang memperoleh solusi, komentar, dan dan
tanggapan dari Al-Quran.
Maka, Az-Zarqany
menguraikan tentang urgensi Asbab An-Nuzul dalam memahami Al-Quran.
Menurutnya, Asbab An-Nuzul dapat membantu dalam memahami sekaligus
mengatasi ketidak pastian dalam menangkap pesan ayat-ayat Al-Quran, contohnya
yang terjadi di surat Al-Baqarah ayat 115 yang menyatakan bahwa timur dan barat adalah kepunyaan Allah, tanpa
Asbab An-Nuzul orang bisa salah mengartikan ayat ini, bisa saja sebagian
dari kalangan muslim berselisih pendapat, tanpa Asbab An-Nuzul ada yang
mengartikan berarti shalat tidak harus menghadap ke kiblat lantaran semua arah
adalah milik-Nya, padahal ayat ini menjelaskan tentang orang yang sedang dalam
perjalanan dan berjihad untuk menentukan arah kiblat.
Urgensi
selanjutnya adalah untuk mengatasi keraguan yang diduga mengandung pengertian
umum. Misalnya ada di surat
Al-An’am ayat 145 :
“Katakanlah,
Tidak kudapati di dalam apa yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan
bagi orang yang ingin memakainya, kecuali kalau makanan itu berupa bangkai,
darah yang mengalir, daging babi, karena semua itu kotor, atau binatang yang
disembelih bukan atas nama Allah.”
Ayat ini tidak bersifat umum,
menurut As-Syafi’i, Asbab An-Nuzul dari ayat ini adalah dikarenakan
orang kafir yang suka menghalalkan apa yang diharamkan dan sebaliknya,
mengharamkan apa yang dihalalkan.
Urgensi
lainnya adalah untuk mengkhususkan hukum yang terkandung dalam Al-Quran bagi
ulama yang berpendapat bahwa yang menjadi pegangan adalah sebab yang bersifat
khusus, selain itu agar kita mengetahui identifikasi pelaku yang menyebabkan
turunnya ayat Al-Quran, dan untuk memudahkan dalam upaya penghafalan dan
pemahaman ayat, serta memantapkan wahyu ke dalam hati siapa yang mendengarnya.[23]
3. PENGUMPULAN AL-QURAN
Para ulama memiliki
dua konotasi memaknai pengumpulan Al-Quran secara terminologi, yaitu konotasi
penghafalan Al-Quran dan konotasi penulisannya secara keseluruhan.
3.1. Proses penghafalan Al-Quran
Kedatangan wahyu
merupakan sesuatu yang dirindukan Nabi SAW. Oleh karena itu, ketika datang
wahyu, Nabi langsung menghafal dan memahaminya. Maka, Nabi adalah orang pertama
yang menghafal ayat-ayat Al-Quran. Tindakan Nabi adalah suri tauladan bagi para
sahabatnya. Imam Al-Bukhari mencatat sekitar tujuh orang sahabat Nabi yang
terkenal dengan hafalan Al-Qurannya, mereka adalah ‘Abdullah bin Mas’ud, Salim
bin Mi’qal, Mu’adz bin Jabal, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Zais bin
As-Sakan, dan Abu Darda.[24]
Namun penyebutan
ketujuh sahabat ini jika dikaitkan dengan penghafalan Al-Quran terkesan tidak
rasional dan tidak realistis. Mengingat selain ketujuh sabahat itu, tercatat
pula sahabat-sahabat lain yang juga ikut menghafalkan Al-Quran pada zaman Nabi
SAW. Bahkan, beberapa di antara mereka ada dari kalangan wanita yang juga
tercatat sebagai penghafal AL-Quran, seperti Aisyah, Hafsah, Ummu Shalah, dan
Ummu Waraqah.[25]
Untuk menjawab persoalan in, Syahbah menjelaskan bahwa pembatasan ketujuh
sahabat ini tidak secara otomatis menunjukan bahwa tidak ada sahabat lain yang
tercatat sebagai penghafal Al-Quran. Khusus mengenai riwayat Anas, Syahbah
menegaskan bahwa pembatasan itu tidak bersifat mutlak, kecuali bila Anas telah
menjumpai setiap sahabat dan menanyakan perihal penghafalan Al-Qurannya, dan
ini merupakan sesuatu yang tidak mungkin dilakukannya.[26]
3.2. Proses Penulisan
AL-Quran
Proses penulisan Al-Quran mengalami 2 tahapn, pertama, pada zaman
Nabi Muhammad SAW. Kedua, pada masa Khulafa Ar-Rasyidin.
a. Pada Zaman Nabi SAW.
Kerinduan Nabi SAW
pada wahyu tidak hanya diekspresikan dalam bentuk hafalan, tetapi juga dalam
bentuk tulisan. Nabi memiliki sekretaris pribadi yang memiliki tugas khusus
mencatat wahyu, yaitu: Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali atau yang setelah kematian
Nabi menjadi Khalifah sehingga
mendapat sebutan Khulafa Ar-Rasyidin,
selain mereka juga ada Abban bin Said, Khalid bin Al-Walid dan Mu’awiyah bin
Abi Sufyan. Proses penulisan pada zaman nabi tidak semodern zaman sekarang,
belum ada pena, pensil, buku tulis, apalagi percetakan. Tetapi mereka
menggunakan alat yang sangat sederhana dan berupa lontaran kayu, pelepah kurma,
tulang-belulang dan batu.[27]
Selain sekretaris
Nabi, masih ada beberapa sahabat lain yang turut serta dalam kegiatan-tulis
menulis Al-Quran. Ada
beberapa faktor yang memotivasi penulisan Al-Qran pada masa Nabi SAW, antara
lain sebagai berikut:[28]
1)
Membukukan
hafalan yang telah dilakukan Nabi dan para sahabatnya.
2)
Mempresentasikan
wahyu dengan cara yang paling sempurna. Hal ini karena hafalan para sahabat
saja tidak cukup, terkadang mereka lupa atau sebagian dari mereka ada yang
sudah wafat. Adapun tulisan akan tetap terpelihara, walaupun pada masa Nabi,
penulisan Al-Quran tidaklah pada satu tempat.
Uraian di atas
menunjukan bahwa pada masa Nabi SAW, Al-Quran tidak ditulis pada satu tempat,
melainkan pada tempat yang terpisah-pisah. Hal ini berdasarkan dua alasan
berikut ini:[29]
1. Proses penurunan Al-Quran masih berlanjut
sehingga ada kemungkinan ayat yang turun diakhir untuk “menghapus” redaksi dan
ketentuan hukum ayat yang sudah turun terdahulu. Penghapusan ini biasa disebut
dengan Nash dan Mansuh.[30]
2. Penyusunan ayat dan surat
Al-Quran tidak bertolak dari kronologi turunnya, tetapi bertolak dari
keserasian antara satu ayat dengan ayat lainnya atau satu surat
dengan surat
yang lain. Terkadang ayat atau surat
yang turun terlebih dahulu.
b. Pada masa Khulafa’
Ar-Rasyidin
1)
Pada masa
Abu Bakar Ash-Shiddiq
Pada dasarnya,
seluruh ayat Al-Quran sudah ditulis pada masa Nabi SAW, hanya saja, surat dan
ayatnya masih terpencar-pencar dan orang yang pertama kali menyusunnya dalam satu
mushaf adalah Abu Bakar As-Sidiq. Abu ‘Abdillah Al-Muhasibi[31]
berkata di dalam kitabnya ‘Fahm As-Sunan’, penulisan Al-Quran bukanlah
sesuatu yang baru sebab Rasulullah SAW sendiri pernah memerintahkannya.
Abu Bakarlah yang
mempunyai inisiatif untuk menghimpun Al-Quran yang tadinya masih terpencar di
pelepah kurma, batu halus, kulit, tulang unta, dan bantalan dari kayu. Usaha
pengumpulan ini dilakukan Abu Bakar setelah terjadi perang Yamamah pada tahun
12 H, perang yang bertujuan untuk menumpas para murtadin pengikut
Musailamah Al-Kadzab, orang yang mengaku sebagai rasul setelah Nabi Muhammad
SAW. Perang ini telah meminta korban 70 syahid yang menghafal Al-Quran. Maka,
sebab utama dari penghimpunan Al-Quran adalah karena kekhawatiran akan
hilangnya para penghafal Al-Quran yang mengancam kelestarian Al-Quran.
Abu Bakar
mengomandokan perintah penghimpunan Al-Quran pada Zaid bin Tsabit, tadinya ia
menolak untuk menulisnya, menurutnya memindahkan gunung lebih mudah dari pada
menghimpun Al-Quran. Hal ini sangat masuk akal karena Zaid sendiri merasa bahwa
penghimpunan Al-Quran adalah sesuatu yang belum pernah terjadi pada zaman
Rasulullah SAW, namun Abu Bakar telah berhasih meyakinkannya dengan
mengungkapkan bahwa ini adalah sesuatu yang baik. Zaid bin Tsabit sangat
hati-hati dalam masalah pengumpulan Al-Quran bahkan Abu Bakar menekankan agar
setiap orang yang datang pada para penghimpun Quran harus menyertakan dua orang
saksi.
2)
Pada masa
Utsman bin Affan
Utsman bin Affan
melihat perlunya penetapan bentuk Al-Quran karena terjadi perbadaan serius di
berbagai wilayah dalam masalah cara pembacaan Al-Quran yang terdapat dalam
salinan Utsman bin Affan. Bahkan perbedaan cara membaca Al-Quran pada saat itu
sudah berada di titik yang menyebabkan umat Islam saling menyalahkan, bahkan
puncaknya adalah pengkafiran satu golongan pada golongan yang lain, jika
masalah ini tidak segera diselesaikan maka tidak akan diketahui mana yang
seharusnya diikuti dan ini akan berdampak buruk bagi perkembangan Al-Quran.
Menurut penulis sendiri seandainya Utsman bin Affan tidak menyelesaikan
persoalan yang sudah akut ini, dapat dipastikan umat yang datang setelahnya
tidak akan percaya lagi pada keotentikan Al-Quran, bisa jadi nasib Al-Quran tidak
akan jauh beda dengan Kitab-Kitab sebelumnya, naudzubillah min dzalik.
Utsman bin Affan
memutuskan agar Mushaf yang beredar harus memenuhi beberapa persyaratan, yaitu:
(1) Terbukti mutawattir. (2) Mengabaikan ayat yang bacaannya dinash dan ayat
tersebut tidak dibaca kembali di hadapan Nabi SAW pada saat-saat terakhir. (3) Kronologi
surat dan
ayatnya seperti yang telah ditetapkan. (4) Sistem penulisan yang digunakan
mampu mencakup cara baca yang berbeda sesuai dengan lafadz Al-Quran ketika
diturunkan. (5) Semua yang bukan termasuk Al-Quran dihilangkan.[32]
Maka dapat kita
ambil kesimpulan mengenai perbandingan motivasi Abu Bakar dan Utsman dalam masalah
penulisan Al-Quran.
Pada masa Abu
Bakar, motivasi penulisannya karena adanya kekhawatiran sirnanya Al-Quran
dengan syahidnya beberapa penghafal Al-Quran pada perang Yamamah, Abu Bakar
melakukannya dengan mengumpulkan Al-Quran yang terpencar-pencar.
Sedangkan Utsman
bin Affan lebih karena terjadinya banyak perselisihan di dalam cara membaca
Al-Quran, Utsman melakukannya dengan cara yang berbeda dari Abu Bakar, yaitu
dengan menyederhanakan tulisan Mushaf pada huruf dari tujuh huruf yang
dengannya Al-Quran turun.
3)
Penyempurnaan
Al-Quran setelah masa Khadijah
Mushaf yang
ditulis atas perintah Utsman bin Affan tidak memiliki harakat dan tanda titik
sehingga dapat dibaca dengan salah satu dari qiraat yang tujuh. Masalah
mulai timbul ketika banyak non-Arab yang mulai memeluk Islam, mereka merasa
kesulitan untuk membaca mushaf itu. Oleh karena itu, dimulailah
penyempurnaan Al-Quran pada masa Khalifah ‘Abd Al-Malik (685-705). Ada dua tokoh dalam hal
ini, yaitu Ubaidillah bin Ziyad dan Hajaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi. Ibn Ziyad
diberitakan memerintahkan seorang Persia untuk meletakkan alif
sebagai pengganti huruf yang dibuang, misalnya qalat tanpa alif menjadi
dengan alif. Upaa penyempurnaan tidak berlangsung sekaligus, tetapi bertahap.
Ada tiga nama yang disebut sebagai peletak tanda titik dalam Al-Quran,
pertama adalah Abu Al-Aswad Ad-Du’ali, Yahya bin Ya’mar dan Nasr bin Ashim,
sedangkan yang meletakkan hamzah, tasydid adalah Al-Khalil bin Ahmad
Al-Farahidi Al-Azdi.[33]
Untuk penulisan
Al-Quran, dipilihlah Khalid bin Abi Al-Hayyaj yang terkenal memiliki tulisan
yang indah. Sedangkan percetakan Al-Quran dilakukan pertama kali di Bunduqiyyah
pada tahun 1530 M, tetapi ketika dikeluarkan, pemerintah gereja memerintahkan
untuk pemusnahan kitab suci agama Islam ini. Cetakan selanjutnya dilakukan oleh
orang Jerman yang bernama Hinkelman pada tahun 1694 M di Hamburgh, ketiga oleh
Maracci pada tahun 1698 M di Padoue. Sayangnya, tak satu pun dari ketiganya
yang sampai pada umat Islam, selain itu perintis penerbitannya bukan dari
kalangan muslim.
Penerbitan Al-Quran
dengan label Islam baru dimulai pada tahun 1787 M, yang menerbitkan adalah
Maulaya Utsman Mushaf, cetakan ini lahir di Sain-Petersbourg, Rusia. Kemudian
terbit cetakan di Kazan, lalu di Iran
pada tahun 1248 H/1828 M di kota
Teheran. Lima tahun kemudian yaitu tahun 1833,
terbit lagi cetakan di Tabriz, setahun kemudian
terbit kembali di Leipzig,
Jerman.
Raja Fu’ad dari
Mesir telah membentuk panitia khusus untuk penerbitan Al-Quran di perempatan
pertama abad XX. Panitia ini dimotori oleh Syekh Al-Azhar pada tahun pada tahun
1342 H/ 1923 M dan berhasil menerbitkan Mushaf Al-Quran dalam cetakan
yang bagus, mushaf yang pertama terbit di negara Arab ini sesuai dengan
riwayat Hafsh dan qiraat ‘Asim. Sejak itu, berjuta-juta Mushaf
dicetak di Mesir dan di berbagai negara lainnya.[34]
Berbicara mengenai
masalah cetak-mencetak Al-Quran, ada satu kisah menarik tentang seorang pria
yang bernama Nurhasan Akbar[35],
yang telah lama berkecimpung di dunia percetakan Al-Quran. Ia memulai
percetakan Al-Quran dari nol, ia memiliki bendera sendiri, yaitu: PT Qomari
Prima Publiser. Ia memilih penerbitan Al-Quran karena ingin mewujudkan
keinginan bunda dan kakeknya yang memiliki cita-cita untuk menerbitkan kitab
suci Al-Quran. Kini, atas izin Allah ia mampu mencetak 30 juz dengan terjemah
dua bahasa sekaligus, Indonesia
dan Inggris. Ia mulai proses sejak 2003, awalnya ia mencetak Al-Quran dengan
kertas yang paling murah, yaitu koran, kemudian seiring waktu berjalan ia mulai
membuat variasi yang berbeda. Mengingat Al-Quran adalah kitab yang paling
banyak dibaca dan paling banyak dibeli, tentu saja ia mendapatkan untung yang
cukup besar.[36]
4. NAMA-NAMA SURAT DALAM AL-QURAN
Surat berarti kumpulan
dari beberapa ayat Al-Quran. Susunan ayat-ayat Al-Quran, batas-batas,
nama-namanya ditetapkan menurut ketentuan yang diperintahkan langsung oleh
Rasulullah SAW. Al-Quran yang terbagi menjadi beberapa surat bukanlah hasil karya manusia, tetapi
ini murni dari Allah SWT, Sang Empunya. Dia menegaskan dalah firman-Nya:
“Sebuah surat
yang telah Kami turunkan.”[37]
Pemberian nama surat
ini sesuai dengan tema yang dibicarakan di dalamnya, beberapa contohnya adalah:
al-Baqarah yang di dalamnya menceritakan kisah tentang Bani Israil yang
diperintahkan untuk menyembelih sapi betina, tetapi mereka berusaha membangkang
dengan banyak bertanya sehingga menyulitkan diri mereka sendiri, hampir saja
mereka tidak melaksanakan perintah tersebut, Ali Imran yang menceritakan
tentang keadaan keluarga Imran, an-Nahl yang menceritakan tentang
manfaat lebah bagi manusia, juga surat an-Naml yang mengisahkan tentang
semut yang mengajak rekannya untuk bersembunyi agar tidak diinjak oleh Sulaiman
AS beserta pasukannya, sehingga membuat Nabi Sulaiman AS sendiri tersenyun
karena Allah SWT menganugerahinya dapat memahami bahasa hewan, selain contoh
yang telah disebutkan di atas, masih ada contoh-contoh lain yang tidak mungkin
disebutkan disini karena jumlahnya sangat banyak dan setiap nama surat
menunjukan isi dari surat itu sendiri.
Selain itu ada
beberapa surat
yang menggunakan salah satu kata dari satu suratnya sendiri. Seperti surat Alam Nasyrah, Lam
Yakun, Inna Anzalnahu dan lainnya. Sedangkan al-Fatihah memiliki
lebih dari satu nama, yaitu: Fatihah al- Kitab, Ummul Kitab, as-Sab’ul
Matsani. Al-Ikhlas memiliki nama lain Qul Huwallah, Nisabatur-Rabbi.[38]
Nama-nama ini telah
ada pada masa awal Islam berdasarkan kesaksian atsar dan sejarah. Bahkan
nama-nama sebagian surat Al-Quran dalambeberapa
hadist Nabi, seperti surat al-Baqarah,
al-Waqi’ah, dan surat
Hud. Maka nama-nama ini telah ada sejak turunnya, bukan ditulis oleh para
sahabat ataupun tabi’ tabiin.
Para sahabat membagi surat dalam Al-Quran
menjadi empat bagian dengan nama dan istilahnya sendiri-sendiri, yaitu:
a.
Jumlah
suratnya yang panjang-panjang, jumlah ayatnya lebih banyak dibandingkan dengan
jumlah ayat pada surat-surat yang lainnya. Seperti surat
al-Baqarah (2): 286 ayat, surat al-‘Araf
(7): 206 ayat, surat Ali Imran (3):
200 ayat, surat an-Nisa’ (4): 176 ayat, al-An’am(6):
165, al-Maidah (5): 120 dan surat
Yunus (10): 109 ayat.[39]
b.
Surat-surat
yang berisi sekitar 100 ayat, seperti surat Hud
(11): 123, Yusuf(12): 111, dan surat
al-Mu’min (40): 85 ayat.[40]
c.
Surat-surat
yang kurang dari seratus ayat, seperti surat Al-Anfal
98): 75 ayat, ar-Rum (12): 111 dan surat
lainnya.[41]
d.
Surat-surat yang pendek atau yang ayatnya
sedikit, seperti ad-Duha(93): 11 ayat, al-Ikhlas (112): 4 ayat,
dan surat an-Nasr
(110): 3 ayat.[42]
Di dalam Al-Quran
terdapat 29 surat
yang dimulai dengan huruf hijaiyah. Misalnya Nun dan Qaf dan lain
sebagainya. Huruf-huruf hijaiyah yang terdapat pada awal surat
dalam Al-Qur’an adalah jaminan keutuhan
Al-Qur’an . Tidak berlebih atau berkurang satu huruf pun dari kata-kata yang digunakan dalam Al-Quran. Hal itu
sesusai dengan hukum tentang
matematika tentang kelipatan, yakni
kesemuanya habis dibagi 19.
5. AYAT-AYAT AL-QURAN
Jumlah ayat
Al-Quran keseluruhan telah ada sejak zaman Nabi Muhammad SAW, jadi setelah
turun ayat terakhir yang telah menyatakan tentang kesempurnaan Islam, maka
telah lengkaplah jumlah ayat yang ada.
Para
ulama berbeda pendapat tentang jumlah keseluruhan ayat Al-Quran. Ada enam pendapat yang
dikemukakan oleh ad-Dani: ada yang mengatakan jumlah ayat Al-Quran ada 6000,
6204, 6214, 6219, 6225, dan ada yang mengatakan jumlahnya ada 6236 ayat.[43]
Dua dari enam pendapat ini
dikemukakan oleh ulama Madinah dan empat yang lainnya oleh ulama-ulama dari
kota-kota yang dikirimi mushaf Utsman, yakni Makkah, Kufah, Basrah dan Suriah.
Setiap orang yang menyandarkan pendapatnya kepada sebagian dari enam pendapat
di atas menyandarkan pendapatnya kepada sebagian sahabat.
Kemudian para ulama
menganggap pendapat-pendapat itu sebagai riwayat-riwayat yang sanadnya berhenti
kepada para sahabat (mauquf), lalu
dinisbatkan kepada Nabi Muhammad SAW. Oleh karena itu, mayoritas ulama
menganggap jumlah dan pemisahan ayat-ayat itu sebagai tauqifi (ditentukan oleh Nabi sendiri).
Ulama-ulama
Madinah, seperti telah dikatakan tadi, mengemukakan dua pendapat. Pertama
dikemukakan oleh Abu Ja’far Yazid bin al-Qa’qa dan Syaibah bin Nashah dan yang
kedua oleh Ismail bin Ja’far bin Abi Katsir al-Anshari.
Sedangkan jumlah
yang dikemukakan oleh ulama Makkah adalah jumlah yang dikemukakan oleh Kisa’i,
Hamzah dan Khalaf. Hamzah meriwayatkan jumlah itu dari Ibnu Abi Laila dari Abu
Abdurrahman as-Sulami dari Abi Thalib. Jumlah yang dikemukakan oleh ulama
Basrah adalah yang dikemukakan oleh ‘Ashim bin Al-‘Ajaj al-Jahdari. Sedangkan
jumlah yang dikemukakan oleh Suriah adalah jumlah yang disebutkan oleh Ibnu
Zakwan dan Hisyam bin Ammar. Jumlah itu dinisbatkan kepada Abu Darda.
Perbedaan dari
jumlah ayat ini bukanlah disebabkan oleh ketidak-sempurnaan Al-Quran, melainkan
dikarenakan perbedaan pendapat tentang jumlah ayat dari tiap-tiap surat, huruf dan kata
Al-Quran.
Ayat-ayat Al-Quran
dibagi menjadi dua, yaitu Makkiyah dan Madaniyah. Ada beberapa
ciri khusus untuk membandingkan antara keduanya, yang pertama adalah Makkiyah, ciri khas yang pasti darinya
adalah (1) Terdapat padanya ayat sajdah, jumlah ayat sajdah ada
16 (2) Tiap-tiap surat di dalamnya terdapat lafadz”Kalla” (3) Diawali
dengan khitab (seruan) yang ditujukan
kepada segenap umat manusia, yaitu menggunakan perkataan “Ya Bani Adam...” (4) Setiap surat yang berisi kisah-kisah para nabi
dan umat-umat terdahulu kecuali surat al-Baqarah (5) Tiap-tiap surat
dimuali dengan huruf hijaiyah, seperti pada surat al-Baqarah,
Ali-Imran dan lainnya. Selain itu ada pula ciri lain yang bersifat umum
dari Makkiyah, yaitu ayat dan surat-suratnya pendek, nada ucapannya
keras dan agak bersajak, ayat-ayatnya juga mengandung seruan untuk beriman
kepada Allah SWT, hari kiamat, mencela syirik, menggambarkan tentang syurga dan
neraka, selain itu ayat Makkiyah juga mengajak manusia untuk berakhlak
mulia dengan menggembirakan orang-orang yang berbuat kebajikan dan memberi
peringatan kepada orang-orang yang melakukan kejahatan, ayat-ayatnya banyak
terdapat lafadz sumpah.
Sedangkan
ayat-ayat Madaniyah, memiliki ciri khas yang pasti, yaitu: (1) Khitab (seruan) ditujukan hanya kepada
orang-orang mukmin saja, tidak untuk seluruh manusia (2) Setiap surat
mengandung perintah untuk berijtihad (perang) dan menjelaskan hukum-hukumnya
(3) Setiap surat memuat penjelaskan secara terperinci tentang hukum-hukum
pidana, faraid atau pembagian warisan, hukum perdata, kemasyarakatan dan kenegaraan.
(4) Tiap-tiap surat yang menceritakan orang-orang munafik kecuali surat al-Ankabut
(5)Setiap surat yang membantah kepercayaan, pendirian dan tata cara keagamaan
ahlul kitab (Yahudi dan Nasrani) yang dipandang menyimpang dan mengajak mereka
agar tidak berlebih-lebihan di dalam menjalankan agamanya. Misalnya surat al-Baqarah,
Ali Imran, an-Nisa’, al-Maidah dan at-Taubah. Selain itu juga memiliki ciri
umum, yaitu sebagian surat dan ayatnya panjang-panjang dan gaya bahasanya cukup
jelas di dalam menerangkan hukum-hukum Allah, ayat Madaniyah juga
menerangkan secara terperinci bukti-bukti dan dalil-dalil yang menunjukan
hakikat kebenaran.
6. BAHASA ARAB, BAHASA
AL-QURAN
Jika membaca judul di atas, bisa jadi muncul
sebuah pertanyaan: Mengapa Al-Quran harus berbahasa Arab, bukan bahasa Inggris,
bahasa Indonesia atau bahasa Jepang? Padahal bahasa Arab sendiri notabenenya
adalah bahasa yang menurut sebagian orang bahasa yang rumit.
Utsman
bin Jinni (932-1002 M) seorang pakar bahasa Arab, mengemukakan bahwa Allah SWT
memilih bahasa Arab sebagai bahasa Al-Quran bukan sekedar asal pilih. Utsman
menyebutkan beberapa falsafah mengagumkan dibalik bahasa Arab ini. Pertama,
bahasa Arab adalah satu-satunya bahasa yang memiliki keunikan tersendiri, ini
bisa dilihat dari asal kata bahasa Arab yang umumnya asal kata dalam bahasa ini
terdiri dari 3 huruf yang mana jika ini berubah, akan berubah pula maknanya. Kedua,
bahasa Arab memiliki tata bahasa yang sangat rasional dan seksama, bunyi untuk
subyek dan obyek dibedakan, agar tidak terjadi kerancuan saat memahami suatu
kalimat. Ketiga, bahasa Arab memiliki kekayaan yang bukan saja
terlihat pada jenis kelamin kata atau pada bilangannya yaitu tunggal, dual dan
jamak atau plural, tetapi juga pada kekayaan kosa-kata dan sinonimnya. Keempat,
bahasa Arab memiliki i’rab[44] yang menjadi ciri
khasnya. Kelima, bahasanini memiliki keunikan, satu kata bisa
memiliki labih dari satu makna. Menurut ahli bahasa Arab, sejak dulu sampai
sekarang, Al-Quran telah banyak memakai syair dan prosa serta mengambil
perumpamaan-perumpamaan yang luar biasa. Al-Quran menyampaikan ayat-ayatnya
dengan sangat menarik.[45]
Maka,
tidak ada gunanya jika menggali rahasia-rahasia di dalam Al-Quran tanpa tunduk
dan yakin akan kebenaran ayatnya sendiri, karena ia diciptakan oleh Yang Maha
Mencipta. Telah berkurun waktu lamanya, para ahli bahasa menyelidiki dan
menggali Al-Quran dari sudut bahasa. Tetapi semakin lama mereka menelaah
Al-Quran semakin sadar pula mereka akan kekurangan yang mereka miliki, kurangnya
ilmu mereka dan pengakuan bahwa mereka masih butuh untuk belajar lebih banyak
lagi. Dengan majunya peradaban dan semakin maju dan tingginya ilmu bahasa,
manusia semakin takjub pula manusia akan bahasa yang digunakan Al-Quran.
Padahal
ketika ia diturunkan, bahasa Arab sudah sampai pada tingkat yang memadai,
unsur-unsur yang dimilikinya pun juga cukup sempurna. Hal ini bisa dibuktikan
dengan adanya tempat-tempat perkumpulan, seperti pasar-pasar, yang terbesar
adalah ‘Ukadz, di sana mereka menjual-belikan syair-syair, karena mereka
menghargai keindahan bahasa, mereka juga mengadakan perlombaan-perlombaan yang berhubungan dengan bahasa.
Bahasa
Al-Quran adalah bahasa yang digunakan oleh orang Arab secara kesehariaannya,
namun bukan berarti tidak ada bahasa selain Arab di dalamnya, karena Arab
sendiri telah berhubungan dengan Persia atau bangsa lainnya pada saat itu,
sehingga bahasa yang digunakan ada yang dari luar Arab, hal ini biasa disebut
dengan ta’rib, tetapi bahasa itu sudah masuk dalam bahasa Arab, sehingga
banyak yang menyangka bahwa bahasa itu adalah bahasa Arab.
Abad
demi abad, banyak ahli bahasa yang berusaha untuk membuat tandingan Al-Quran,
namun sampai kini pun semuanya menyerah dan angkat tangan karena bahasa
Al-Quran yang terlalu indah. Hal ini sudah dapat dipastikan terjadi sampai hari
kiamat nanti.[46]
Al-Quran
memiliki lafadz, huruf, metode, dan susunan yang tidak biasa, melebihi yang
lainnya. Sehingga ketika Nabi Muhammad SAW membacakan Al-Quran kepada
Al-Mughirah, seakan-akan ia terlena mendengarkannya, padahal Al-Mughirah
sendiri telah mengakui bahwa dirinya adalah orang yang pandai bersyair,
kemampuannya melebihi orang-orang pada zamannya, tetapi ia menekankan bahwa apa
yang diucapkan olah Muhammad SAW sangat bagus, merdu, enak didengar dan memesonakan
siapa pun yang mendengarnya. Sayangnya ia menuduh ayat Al-Quran yang dibacakan
Rasulullah SAW dengan sebutan sihir yang berpengaruh, pengaruhnya lain dari
yang lain. Sehingga ia tidak masuk Islam. Padahal Al-Quran adalah kitab suci
yang merupakan mukjizat yang memang di luar kemampuan manusia. Buka sihir
sepert yang dituduhkan al-Mughirah.
6. ILMU Al-QURAN
Ada beberapa ilmu yang mempelajari
tentang Al-Quran sendiri, jadi Al-Quran dijadikan sebagai objeknya. Sejarah
dari ilmu ini telah dimulai sejak Al-Quran diturunkan. Ilmu ini secara umum
terbagi menjadi dua kelompok: (1) Ilmu yang membicarakan masalah pelafalan (2)
Ilmu yang membeicarakan tentang makna-makna yang terkandung dalam Al-Quran.
Yang pertama adalah ilmu tajwid dan
qira-ah, yaitu:
- Ilmu tentang cara melfalkan huruf-huruf dan ketentuan khusus yang harus diberlakukan terhadap huruf-huruf itu ketika sendirian atau tersusun, seperti mendengung (idgham), mengganti (ibdal), hukum-hukum berhenti (waqf), panjang-pendeknya (mad) dan lain sebagainya.
- Ilmu tentang pemeliharaan dan pengarahan terhadap qira-ah tujuh dan tiga qira-ah lainnya serta qira-ah-qira-ah para sahabat, qira-ah yang tidak biasa (syadz)
- Ilmu tentang jumlah surat, ayat, kata dan huruf Al-Quran, dan ilmu tentang pembatasan jumlah semua surat, ayat, kata dan huruf Al-Quran.
- Ilmu tentang kekhususan aturan penulisan Al-Quran dan perbedaannya dengan bentuk tulisan yang Arab yang dikenal dan digunakan.
Sedangkan yang kedua
adalah ilmu-ilmu yang mempelajari makna-maknanya, meliputi:
a. Ilmu-ilmu
yang membahas tentang makna-makna yang umum, seperti tanzil, takwil, makna
lahir dan batin, muhkan dan mutasyabih,
nash dan mansukh.
b. Ilmu yang
membahas tentang ayat-ayat hukum. Ilmu ini pada hakikatnya merupakan cabang
dari pada ilmu fikih.
c. Ilmu yang
membahas tentang makna-makna Al-Quran atau biasa disebut dengan sebutan tafsir
Al-Quran.[47]
Pembahasan awal mengenai tajwid dan qira-at, mempelajari kedua ilmu ini
hukumnya fardhu kifayah, namun menggunakannya wajib hukumnya. Ilmu tajwid
sangat diperlukan, tujuannya adalah agar umat Islam dapat membaca Al-Quran
dengan baik dan benar. Karena orang yang salah dalam membaca AL-Quran bisa
berakibat fatal, bisa jadi maknanya bisa berubah. Maka, hukumnya dosa apabila
merubah makna dari AL-Quran, namun bagi mereka yang masih dangkal ilmu
pengetahuan tentang tajwid dan qira-at mendapatkan rukhsah (kemudahan) lantaran ketidak
tahuannya, tapi bukan berarti harus tinggal diam karena tidak tahu, yang
seharusnya dilakukan adalah belajar dengan sungguh-sungguh, mendalami ilmu
Al-Quran, kemudian mempraktekkan apa yang telah dipelajarinya dalam bacaannya
sehari-hari. Keuntungan dari mempelajari tajwid dan qira-at tidak
hanya pada kemampuan membaca AL-Quran dengan baik dan benar saja, namun kita
juga menjadi lebih tahu tentang surat
dan ayat dalam Al-Quran, selain itu juga tahu bagaimana cara penulisan ayat
Al-Quran dengan benar.
Tekad dan keinginan
manusia untuk memahami Al-Quran beserta
kandungannya telah mengantarkan manusia untuk mempelajari Kitab Suci umat
Muhammad SAW ini, terlebih lagi semakin gencar seorang muslim memahami
Al-Quran, semakin dekat pula hubungannya secara vertikal dengan Allah Sang
Pencipta, seolah muslim itu sendiri sedang membaca firman Allah SWT, sedang
mendengarkan pesan, peringatan dan kabar langsung dari Allah SWT. Maka,
tidaklah mengherankan jika akhirnya dimulailah babak pentafsiran Al-Quran guna
menambah pemahaman terhadap isi Al-Quran. Maka, banyak sekali ulama-ulama yang
telah memulai dalam upaya mempelajari tentang makna Al-Quran, baik dari segi tanzil,
takwil, makna Al-Quran secara lahiriah dan batiniah, muhkan dan mutasyabih,
serta nash dan mansuh.
Tidak berhenti
sampai di situ, dengan menggali makna Al-Quran, setiap orang jadi lebih tahu
tentang hukum-hukum suatu ayat, kapan sesuatu menjadi haram, menjadi halal,
mubah, makruh dan seterusnya. Semuanya telah ditulis dalam ayat-ayat Al-Quran
dengan lengkap dan jelas. Bahkan jika pun ada suatu kejadian yang belum ada
hukumnya, ulama yang sudah matang ilmu pengetahuannya tentang agama dapat
melakukan ijtihad untuk mengambil suatu hukum, syaratnya tidaklah mudah, salah
satunya harus paham dan mengerti kandungan dari isi Al-Quran itu sendiri. Maka,
mengambil hukum harus berdasarkan Al-Quran.
Salah satu ilmu
Al-Quran adalah tafsir. Jika timbul satu pertanyaan, siapakah orang pertama
yang menafsirkan Al-Quran, maka
jawabannya tidak lain adalah Rasulullah SAW sendiri, beliaulah yang pertama
kali menerangkan, mengajarkan sekaligus menafsirkan Al-Quran, bahkan banyak
sekali riwayat yang menyatakan bahwa akhlak Rasulullah SAW adalah Al-Quran.
Beliau adalah rujukan tafsir dan tempat bertanya para sahabat ketika itu.
Para sahabat sangat
dekat dengan Rasulullah SAW, terutama Khulafa’ Ar-Rasyidin, Abdullah bin
Mas’ud, Ibnu Abbas, Ubay bin Ka’ab, Zaid bi Tsabit, Abu Musa Al-Asy’ari, dan
Abdullah bin Az-Zubair. Karena
kedekatannya itu, maka mereka pun mengetahui makna, maksud dan rahasia-rahasia
yang terkandung dalam Al-Quran dari Rasulullah SAW. [48]
Dari nama-nama yang
tersebut inilah, kegiatan mulai berkembang, karena sepeninggal Rasulullah
mereka menjadi guru para tabi’in, Sejumlah ahli tafsir pun bermunculan
di sejumlah pusat-pusat pendidikan Islam, misalnya di Irak, Makkah dan Madinah.
Di antara para ahli
tafsir terkemuka, tersebutlah empat nama yang paling utama dan memiliki
pengaruh yang cukup besar dalam kaitannya dengan ilmu tafsir yang mana karya
kitabnya telah menjadi rujukan hingga saat ini. Mereka adalah: Muhammad bin
Jarir Ath-Thabari (224-310), Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad Al-Qurtuby (wafat
671 H) Imanuddin Abul Fida’ Ismail bin Amr bin Katsir (wafat 774 H) dan Jalal
Ad-Din Al-Mahali.[49]
Tafsir At-Thabari
Tafsir ini berjumlah 12 jilid dan disebut-sebut sebagai tafsir
tertua. Tafsir ini telah menjadi referensi utama bagi para mufassirin terutama
penafsiran binnaqlli/birriwayah. Penjelasan Rasulullah, pendapat
sahabat, dan tabi’in menjadi dasar utama penjabaran, kemudian At-Tabari
mengupasnya secara detail disertai analisa yang tajam.
Apabila dalam satu
ayat, muncul dua pendapat atau lebih, maka akan disebutkan satu-persatu lengkap
dengan dalil dan riwayat para sahabat dan tabiin yang mendukung
masing-masing pendapat, untuk selanjutnya memilih mana yang lebih kuat dari
sisi dalilnya. Di samping itu, juga dijabarkan harakat akhir mengambil hukum
jika ayat-ayatnya berhubungan dengan hukum.
Tafsif Ibnu katsir
Imam Asy-Syaukari
ra, mengatakan bahwa tafsir Ibnu Katsir merupakan salah satu kitab tafsir
terbaik, jika tidak bisa dikatakan sebagai yang terbaik. Sementara Imam
As-Suyuthi ra menilai tafsirnya menakjubkan dan belum ada ulama yang
menandinginya.
Imanuddin Ismail
bin Umar bin Katsir adalah alumnus akhir madrasah tafsir dengan atsar.
Ulama ini juga tercatat sebagai salah satu murid Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
ra (wafat tahun 774 H)
Tafsir Al-Quran
Ibnu Katsir terdiri dari 10 jilid. Penafsiran ayat-ayat Al-Quran dilakukan
dengan sangat teliti yang menukil perkataan para Salaf As-Saleh. Ia
menafsirkan ayat dengan ibarat jelas dan mudah dipahami, menerangkan ayat
dengan ayat yang lainnya dan membandingkannya agar lebih jelas maknanya.
Selain itu,
disebutkan pula hadist-hadist yang berhubungan dengan sebuah ayat, serta
penafsiran para sahabat dan tabi’in. Beliau juga sering memilih mana
yang lebih kuat jika ada beberapa perbedaan pendapat juga mengomentari riwayat
yang kuat dan yang lemah.
Tafsir Al-Qurtuby
Tafsir ini terdiri dari 11 jilid lengkap dengan daftar isinya.
Menurut beberapa ulama, keistimewaan dari kitab ini adalah membuang kisah dan
sejarah, kemudian diganti dengan hukum serta pengambilan inti dari sebuah
dalil, ayat yang dihapus dan penggantinya.
Gaya penulisannya khas ulama fikih. Beliau
banyak menukil tafsir dan hukum dari para ulama salaf dengan menyebutkan
pendapatnya masing-masing. Pembahasan suatu permasalahan fikih pun dilakukan
dengan sangat detail. Tak hanya itu Al-Qurtuby juga tidak segan untuk
mengadakan riset mendalam untuk memperjelas kata-kata yang dianggap sulit.
Tafsir Al-Jalalain
Merupakan kitab
tafsir klasik dari ulama Sunni terkenal. Pertama kali disusun oleh Imam Jala
ad-Din al-Mahali (tahun 1459), kemudian disempurnakan oleh muridnya, Jalal
ad-Din As-Suyuti (Tahun 1505)
Tarsir ini memiliki
metode penjelasan yang singkat, merujuk kepada pendapat paling kuat, pemaparan i’rab
yang dipandang perlu, dan penjelasan singkat terhadap segi qiraat
yang diperselisihkan.
Sulaeman bin Umar
al-Al-Ajiliy al-Syafi’I yang lebih popular dengan sebutan al-Jamal (wafat tahun
1204 H) pernah memberi komentar terhadap tafsir Al-Jalalain. Dalam
Mukaddimahnay, al-Jamal menyebutkan bahwa yang ia lakukan terhadap al-Jalalain
adalah memperjelas pelik-pelik penafsiran yang masih samarak dengan merujuk
beragam kitab tafsir dan pemikiran rasional.[50]
Demikianlah adanya
Al-Quran, ia memaksa siapapun yang mengimaninya untuk selalu menelaah isinya,
ulama-ulama yang disebutkan namanya di atas menulis kitab-kitab tafsir, murni
untuk memperjelas isi Al-Quran, mereka tidak hendak meraup keuntungan dari
hasil penulisannya dalam bentuk materi. Karena, bagi para ulama yang tinggi
ilmunya, kemudian tidak menyombongkan ilmu yang dimilikinya dan semakin
mendekatkan diri kepada Allah SWT, maka kehidupannya akan tertuju untuk tujuan
yang lebih abadi, yaitu alam akhirat. Sehingga kehidupan dunia menjadi tidak
penting lagi.
7. ILMU-ILMU YANG DILAHIRKAN AL-QURAN
Ada beberapa ilmu
yang benar-benar baru dilahirkan oleh Al-Quran, maksud dari dilahirkan di
sini adalah ilmu-ilmu ini belum pernah
ada sebelumnya, belum pernah ada sebelum Al-Quran diturunkan, kelahirannya juga
lebih dikarenakan keinginan manusia untuk memahami Al-Quran secara mendalam.
Beberapa ilmu itu adalah: Ilmu-ilmu kesusastraan, meliputi Sharf, Nahwu,
Ma’ani, Badi’, Bayan, Fiqhu
al-Lughah, dan lain sebagainya.
Ilmu-ilmu yang
dilahirkan Al-Quran ini memang banyak yang belum familiar di kalangan umat
Islam sendiri, terutama bagi mereka yang bersekolah di sekolah umum, yang
bercampur antar umat bergama dan kurang menekankan pentingnya pendidikan agama.
Berbeda dengan pesantren atau sekolah-sekolah Islam baik yang negeri maupun
swasta. Porsi pelajaran-pelajaran ini cukup banyak, sehingga para peserta
didiknya lebih mengenal tentang ilmu-ilmu yang telah disebutkan di atas.
Namun tidak menutup
kemungkinan jika yang bersekolah di sekolah umum juga dapat menguasai ilmu ini,
karena ilmu ini juga bisa didapatkan dengan cara otodidak, berguru pada buku
misalnya.
Ada nilai plus bagi umat Islam yang
paham ilmu-ilmu yang dilahirkan Al-Quran, mereka cenderung lebih bisa
menyingkap rahasia Al-Quran pada tiap-tiap hurufnya dikarenakan kedalaman
ilmunya. Karena ilmu-ilmu ini adalah inti dari keindahan Al-Quran yang ditulis
oleh orang-orang yang mencintai Al-Quran dengan segenap jiwa dan raganya dan
mendalami Al-Quran sampai seluk- beluknya.
Muslim yang paham
ilmu Al-Quran juga lebih bisa menghayati setiap huruf Al-Quran karena ia juga
mampu untuk menerjemahkannya, sehingga lebih mudah untuk mengamalkan
perintah-perintahnya.
8. KESIMPULAN
Al-Quran memang memiliki sejarah panjang, karena
Al-Quran diturunkan ke bumi tidak dalam bentuk kitab suci, tetapi ia melalui
proses yang panjang, secara berangsur-angsur. Telah diketahui bersama betapa
telitinya para sahabat zaman dahulu, sehingga tidak ditemukan kesalahan secuil
pun. Kitab suci ini tidak akan selamat dari kesalahan jika saja Allah SWT tidak
menjaganya.
Mengenai
asal kata Al-Quran yang diperselisihkan itu pun sebenarnya bukan suatu masalah
yang besar. Setiap ulama yang mengeluarkan pendapatnya tidak asal berpendapat,
tetapi mereka juga memakai dasar bukti yang dapat
dipertanggungjawabkan. Walaupun ada sebagian ulama yang mengatakan asal katanya Qa-ra-a (membaca)
ada pula yang mengatakan al-qar-u (menghimpun),
itu bukanlah satu masalah yang perlu diperdebatkan panjang lebar, karena
menurut penulis sendiri keduanya dapat disatukan menjadi satu bacaan yang
terhimpun. Jika ditinjau kembali dari sejarahnya, Al-Quran memang untuk dibaca,
selain itu Al-Quran juga himpunan dari beberapa surat yang kemudian dapat dipecahkan lagi
menjadi ayat-ayat.
Nampaknya, bagi
mereka yang masih meragukan keaslian Al-Quran harus malu, terlebih lagi setelah
diungkapkan tentang kejelian, ketelitian dan ketakutan para sahabat untuk
merubah suatu sunnah, bahkan mereka pun tadinya sangat takut untuk membukukan
Al-Quran. Tapi karena keyakinan yang diberikan Allah SWT serta peninjauan dari
segi positif dan negatifnya, ternyata segi positif dari dibukukannya Al-Quran
lebih banyak. Jadi dimulailah penulisan Al-Quran ini dalam bentuk buku agar
memudahkan manusia yang datang sesudah mereka dalam mempelajarinya.
Al-Quran memang
mukjizat yang luar biasa yang diturunkan pada Nabi Muhammad SAW, penutup para
nabi. Pada bab selanjutnya nanti akan disingkapkan rahasia tentang kemukjizatan
Al-Quran yang membuatnya berbeda dari kitab-kitab yang lainnya, baik itu kitab samawi[51]sebelum
Al-Quran maupun kitab wadi’i.[52]
BAB II
MUKJIZAT
AL-QURAN
1. PENGERTIAN MUKJIZAT
S
|
ecara etimologis, kata mukjizat adalah bentuk muannats dari kata mu’jiz.
Ia berasal dari kata yang berarti tidak mampu, tidak dapat, tidak kuasa,
melemahkan, mengalahkan lawan atau musuh. Kata ini juga merupakan lawan dari
kata al-qudrah yang berarti sanggup, mampu atau kuasa. Jadi al-‘ajzu berarti tidak kuasa.
Istilah mu’jiz atau mukjizat bisa diartikan dengan al-a’jib,
maksudnya sesuatu yang ajaib atau menakjubkan karena orang lain atau pihak yang
lain tidak ada yang sanggup menandinginya atau menyamai sesuatu itu. Hal
semacam ini dalam bahasa Arab sering juga disebut dengan amr khoriq lil’adah, yaitu sesutau yang menyalahi tradisi atau
sesuatu yang lain dari biasanya. Dengan semikian, secara kebahasaan mukjizat
bisa diartikan sesuatu yang luar biasa yang terdapat pada seseorang yang tidak
mampu dibuat atau dilakukanoleh orang selain dia.
Jadi, mukjizat
adalah segala hal yang luar biasa yang dikaruniakan Allah SWT kepada rasul-rasul,
sebagai pertolongan Allah SWT kepada mereka untuk membuktikan kebenaran
pengakuan mereka sebagai utusan Allah, di mana orang lain tidak mampu
melakukannya atau menandinginya. Atas dasar ini, maka mukjizat Al-Quran bisa
diartikan sebagai sesuatu yang luar biasa yang dikandung AL-Quran sebagai bukti
akan kerasulan Muhammad SAW yang tidak mungkin mampu dibuat oleh selain Allah
SWT.[53]
Ada beberapa unsur yang terdapat dalam
mukjizat, Quraish Shihab menjabarkannya dengan penjabaran sebagai berikut:[54]
a)
Hal-hal
yang luar biasa, peristiwa alam yang terlihat sehari-hari, semenakjubkan apa
pun tidak bisa disebut sebagai mukjizat, karena hal itu tidak termasuk luar
biasa. Namun luar biasa di sini adalah yang berada di luar jangkauan sebab dan
akibat.
b)
Terjadi
oleh seseorang yang mengaku nabi, beberapa orang memang mendapatkan kelebihan
yang mungkin tidak dimiliki manusia lain, kelebihan ini biasanya diberikan oleh
Allah SWT pada manusia-manusia yang dicintai-Nya dan senantiasa mendekatkan
diri kepada Allah, tetapi mereka bukanlah orang-orang yang mengaku sebagai
nabi. Hal ini disebut sebagi karamah,
tetapi keluarbiasaan ini juga bisa terjadi pada mereka yang durhaka kepada Allah SWT, dinamakan
dengan ihanah atau penghinaan agar ia lebih terangsang untuk lebih durhaka
lagi, bisa jadi ini pula yang menyebabkan orang-orang musyrik mampu mengadakan
suatu sihir, padahal mereka telah menyekutukan Allah dengan membuat tandinga,
meminta pertolongan pada setan.
c)
Mengandung
tentangan terhadap yang meragukan kenabian, hal ini dikarenakan orang yang
mempunyai mukjizat itu untuk pertolongannya sebagai nabi untuk menghadapi para
pembangkang, bukan sebelum ia menjadi nabi atau pun sesudahnya, selain itu
tantangan tersebut harus sejalan dengan ucapan yang diungkapkan oleh nabi itu
sendiri.
d)
Tantangan
tersebut tidak mampu ditandingi, maka mukjizat itu sesuai dengan kemampuan
umatnya, sebagaimana Al-Quran yang turun pada umat yang telah mengenal baca
tulis dan mengagungkan kepawaian dalam sastra dan kebanggaan dalam kepandaiaan akal.
Al-Quran sebagai
mukjizat nabi Muhammad SAWuntuk membuktikan bahwasannya di adalah nabi dan
rasul Allah dan Al-Quran adalah firman Allah SWT bukan ucapan atau ciptaan nabi
Muhammad sendiri. Setiap Rasul diberi mukjizat oleh Allah sebagai senjata untuk
menunjang suksesnya misi yang dibawanya. Al-Quran merupakan mukjizat yang
terbesar yang pernah diberikan oleh Allah kepada seluruh nabi. Sebab mukjizat
Al-Quran berlaku sepanjang masa dan untuk seluruh umat manusia. Sedangkan untuk
nabi dan rasul sebelum Muhammad SAW hanya berlaku pada masa tertentu dan tidak
dipakai sepanjang masa.
Untuk meyakinkan
manusia, para nabi dan rasul diberi bukti-bukti yang pasti dan terjangkau.
Bukti-bukti tersebut merupakan hal-hal tertentu yang tidak mungkin dapat
dilakukan oleh manusia biasa (bukan pilihan Allah SWT). Bukti-bukti tersebut
dalam bahasa agama disebut sebagai mukjizat.
Para
nabi dan rasul yang terdahulu memiliki mukjizat-mukjizat yang bersifat
temporal, lokal, dan material. Hal ini disebabkan oleh misi mereka yang
terbatas pada daerah tertentu dan waktu tertentu pula. Ini jelas berbeda dengan
misi Muhammad SAW. Beliau diutus untuk seluruh manusia, di mana pun dan kapan
pun hingga datangnya hari yang telah ditentukan datangnya. Bukti yang ada di
dalam Al-Quran bersifat universal, kekal dan dapat dipikirkan serta dibuktikan
kebenarannya oleh akal manusia. Dan di sinilah terletak fungsi Al-Quran sebagai
mukjizat.
Ada pula yang
menyebut Al-Quran sebagai kesimpulan padat yang merupakan rumus-rumus, baik
rumus yang dapat dipahami maupun yang tidak dapat dipahami, karena hanya mereka
yang mau berpikir yang dapat memahaminya, sedangkan mereka yang enggan
memikirkan tentang ayat-ayat Al-Quran akan sangat sukar untuk memahami isi
kandungan di dalamnya.
Kandungan Al-Quran
memuat hukum, fakta dan prinsip terutama permasalahan yang dihadapi oleh umat
manusia di dunia ini. Al-Quran merefleksikan kenyataan serta ilmu pengetahuan
yang absolut. Ia juga memuat ajaran-ajaran dan pedoman serta bimbingan untuk
manusia, baik kehidupan dunia maupun akhirat dalam rangka mencapai
kesejahteraannya di kedua tempat ini.
Fakta dan kejadian di alam ini juga termuat di dalamnya.[55]
Kemukjizatan
Al-Quran dapat dilihat dari berbagai segi, bagaimana bisa sebuah kitab
menceritakan tentang masa depan yang benar-benar terjadi, ini tidak mungkin
terjadi kecuali jika Al-Quran itu dari Allah Yang Maha Mengetahui segala
sesuatu.
Tiada bacaan yang
diperlakukan layaknya manusia memperlakukan Al-Quran, ia dipelajari bukan hanya
dari susunan redaksinya, namun juga pemilihan kosa katanya, kandungannya yang
tersurat dan tersirat bahkan sampai kesan yang ditimbulkannya. Al-Quran
layaknya sebuah permata yang memancarkan cahaya yang berbeda-beda, tergantung
bagaimana orang yang melihatnya.
Jumlah kosa kata
dalam Al-Quran sebanyak 77. 439, sedangkan hurufnya 3.323.015 huruf yang
seimbang dengan jumlah katanya, baik antara kata satu dengan persamaannya,
maupun lawan katanya serta dampaknya.
Sebagai contoh kata
hayat jumlahnya sama dengan kata maut, yakni 145 kali. Kata akhirat
jumlahnya sama dengan kata dunia, yakni 115 kali. Malaikat dan setan sebanyak
88 kali. Tumakninah dan kecemasan berjumlah 13. Panas dan dingin sebanyak 4 kali. Kata
infak terulang sebanyak kata yang menunjuk dampaknya yaitu masing-masing 73 kali,
kikir dampaknya penyesalan, masing-masing sebanyak 12 kali, zakat sebanyak 73
kali, kata yaum terulang 365 kali,
sedangkan kata sahr sebanyak 12 kali.
Subhanallah, hal
ini benar-benar menakjubkan, terlebih lagi jika mengamati dua kata terakhir. Kata yaum yang berarti hari menunjuk pada
365, ini sangat sesuai dengan sains yang menyatakan bahwa satu tahun berjumlah
365 hari. Demikian halnya dengan kata sahr
yang berarti bulan. Setiap orang yang tinggal di planet bumi ini sudah-sama
tahu bahwa satu tahun benar-benar dua belas bulan.
Ada seorang orientalis yang bernama HAR. Gibb
pernah menulis bahwa tidak ada seorang pun yang demikian mampu dan berani,
melebihi Muhammad yang bacaannya mampu menggetarkan jiwa manusia. Demikianlah
keindahan bahasa Al-Quran, ketelitian
dan keseimbangannya, dengan kedalaman makna, kekayaan dan kebenarannya, serta
kemudahan pemahaman dan kehebatan yang ditimbulkannya.[56]
2. MACAM-MACAM MUKJIZAT
Mukjizat dibagi menjadi dua macam, yaitu: (1) Mukjizat yang bersifat
material indrawi yang tidak kekal. (2) Mukjizat imaterial, logis, dan dapat
dibuktikan sepanjang masa.[57] Mukjizat nabi-nabi
terdahulu merupakan jenis pertama, misalnya tongkat Nabi Musa AS yang bisa
berubah menjadi ular dan mampu memakan ular-ular kecil milik tukang sihir
Fir’aun, Nabi Isa AS yang mampu berbicara saat bayi, mampu menyembuhkan orang
sakit, perahu Nabi Nuh AS yang mampu menahan ombak dan gelombang yang kuat,
tidak terbakarnya Nabi Ibrahim AS dalam kobaran api yang sangat besar dan
mukjizat-mukjizat lainnya yang kesemuanya bersifat luar biasa dan dapat
disaksikan oleh alat indra tempat mereka menyampaikan risalahnya.
Mukjizat-mukjizat
yang telah disebutkan di atas tidak akan terjadi bila Allah SWT tidak
mengizinkannya. Perlu dijelaskan di sini bahwa mukjizat tidak sama dengan
sihir, walaupun keduanya tampak hebat dan luar biasa di depan mata manusia.
Namun ada perbedaan di sini, sihir itu dibantu oleh setan, tapi jika Allah
tidak menghendaki ahli sihir itu untuk berhasil, maka tidak akan berhasil.
Segala sesuatu hanya akan terjadi dengan izin Allah SWT.
Selain
mukjizat para nabi terdahulu yang sudah tidak dapat dilihat oleh orang-orang
masa kini dan tidak mungkin diketahui orang jika tidak diceritakan di dalam Al-Quran, harus dijelaskan pula
mukjizat yang kedua, mukjizat imaterial yang sifatnya sedikit berbeda dengan
mukjizat material. Mukjizat ini dapat diterima oleh akal, ia tidak dibatasi
oleh suatu tempat dan masa tertentu. Mukjizat itu adalah Al-Quran yang dapat
dijangkau manusia di mana pun dan kapan pun, syaratnya mereka harus menggunakan
akal yang telah dianugerahkan oleh Allah SWT.
Perbedaan
ini berdasarkan dua hal, yaitu: a) Para nabi
terdahulu ditugaskan untuk masyarakat pada masa dan tempat tertentu. Karena
itu, mukjizat mereka hanya berlaku untuk masyarakat tertentu saja, tidak untuk
masyarakat sesudah mereka. Sedangkan Nabi Muhammad SAW sudah diketahui bahwa
beliau diutus untuk seluruh umat di jagat raya ini sebagaimana banyaknya ayat
Al-Quran yang menggunakan lafadz, “Hai manusia…”. b) Manusia mengalami
perkembangan dalam pemikirannya. Umat Nabi Muhammad SAW membuktikan suatu bukti
yang sesuai dengan tingkat pemikiran mereka yang semakin maju. Bukti tersebut
harus sangat jelas dan langsung terjangkau oleh akal manusia.[58] Jika saja manusia zaman modern
ini, yang selalu mendewakan akalnya, segala sesuatu dituntut untuk rasional dan
dapat dibuktikan dengan analisa-analisa yang mendukungnya, kemudian didatangkan
pada mereka mukjizat yang sifatnya luar biasa dan terkadang tidak masuk akal,
manusia bisa terbang misalnya. Niscaya manusia-manusia masa kini akan
menertawakan dan menyangka itu hanyalah sebuah tipuan belaka. Hal ini tentu
saja berbeda dengan umat Nabi Musa AS, di mana keadaan umat saat itu
dikelilingi sihir dan kehidupan mistik di bawah naungan Fir’aunisme. Bahkan
Fir’aun sendiri mengambil puluhan ahli sihir untuk tangan kanannya yang mungkin
saat ini derajatnya sama seperti para menteri. Maka, masuk akal saja jika Allah
SWT mengutus Nabi Musa AS dengan mukjizat sebuah tongkat untuk mengalahkan
sihir antek-antek Fir’aun.
3. SEGI-SEGI
KEMUKJIZATAN AL-QURAN
Bagi umat Islam, Al-Quran merupakan
mukjizat terbesar yang diberikan Allah kepada Nabi Muhammad SAW, sang penyampai
risalah Islam kepada manusia. Sebagai sebuah mukjizat, Al-Quran di antaranya
berisi tentang berbagai hal yang terkait dengan tanda keilmuan (scientific
sign) yang kadang dinilai telah ‘mendahului’ teori keilmuan yang muncul
kemudian. Hal itu dinilai umat Islam sebagai salah satu aspek dari kemukjizatan
Al-Quran, di samping aspek lain seperti bahasa yang digunakan dan petunjuk yang
dimuatnya.
Bukti kebenaran tersebut
dikemukakan dalam bentuk tantangan yang sifatnya bertahap. Pertama,
menantang siapa pun yang meragukannya untuk menyusun semacam Al-Quran secara
keseluruhan.
“Maka, cobalah mereka
membuat yang semisal dengannya (Al-Quran) jika mereka orang-orang yang benar.”
Kedua, menantang mereka untuk menyusun
sepuluh surah semacam Al-Quran. Sedangkan seluruh Al-Quran berisi 114 surat.
“Bahkan mereka
mengatakan,”Dia (Muhammad) telah membuat-buat Al-Quran itu.” Katakanlah, (kalau
demikian), datangkanlah sepuluh surat semisal dengannya (Al-Quran) yang
dibuat-buat, dan ajaklah siapa saja di antara kamu yang sanggup selain Allah,
jika kamu orang-orang yang benar.”
Ketiga, menantang mereka untuk satu surat
saja semisal Al-Quran.
“Apakah pantas mereka
mengatakan dia (Muhammad) yang telah membuat-buatnya? Katakanlah,”Buatlah
sebuah surat yang semisal dengan surat (Al-Quran) dan ajaklah siapa saja di
antara kamu yang mampu (membuatnya) selain Allah, jika kamu benar-benar orang
yang benar.
Keempat, menantang mereka untuk menyusun
sesuatu seperti atau lebih kurang dari surat Al-Quran.
“Dan jika kamu meragukan
(Al-Quran) yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad), maka buatlah satu
surat semisal dengannya dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu
orang-orang yang benar.”
Katakanlah, “Sesungguhnya
jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa (dengan) Al-Quran ini,
mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengannya, sekalipun mereka saling
membantu satu sama lain.”
Ayat-ayat yang telah
disebutkan di atas merupakan tantangan Allah yang termaktub dalam Al-Quran yang
ditujukan pada mereka yang masih meragukan kebenaran Al-Quran dan kebenaran
rasul-Nya Muhammad SAW. Mereka dipersilahkan untuk membuat sebuah surat yang
bisa menandingi kehebatan dan kemukjizatan Al-Quran tentang keindahan bahasanya
serta kepadatan isinya. Serta ketinggian ilmu yang terdapat di dalamnya.
Ayat-ayat di dalamnya sangat sesuai dengan fakta dan sejarah, misalnya kisah
tentang fir’aun yang ada di surat Yunus, sampai sekarang dapat dibuktikan
kebenaran kisah tenggelamnya Fir’aun itu dengan tubuhnya yang masih dapat
dilihat sampai saat ini. Padahal kejadiaanya pada tahun 1200 SM, tidak seorang
pun yang melihatnya pada zaman nabi Muhammad SAW. Namun pada tahun 1896 M,
seorang ahli purbakala yang bernama Loret telah menemukan satu mumi raja
Fir’aun yang bernama Manifath yang hidup pada zaman nabi Musa AS.
Maka, melihat uraian di
atas paling tidak dapat diambil 3 aspek dalam Al-Quran yang dapat menjadi bukti
kebenaran nabi Muhammad SAW. Sekaligus menjadi bukti bahwa seluruh informasi
atau petunjuk yang disampaikannya adalah benar bersumber dari Allah SWT. Ketiga
aspek itu adalah: (1) Aspek keindahan dan ketelitian redaksinya. ini terbukti
pada saat para nabi palsu mencoba untuk membuat padanan ayat Al-Quran, maka
terlihat sekali bahwa apa yang ditulis tersebut merupakan ayat palsu. (2) Aspek
pemberitaan-pemberitaan ghaibnya, serta tentang kisah-kisah terdahulu,
contohnya adalah kisah Fir’aun seperti yang telah disebutkan di atas. (3) Aspek
isyarat-isyarat ilmiahnya. Banyak sekali isyarat ilmiah yang ditemukan di dalam
Al-Quran. Hal ini akan dijelaskan secara mendetail pada bab berikutnya.
Kesemua aspek ini tidak
dimaksudkan kecuali menjadi bukti bahwa petunjuk-petunjuk yang disampaikan
Al-Quran adalah benar. Sehingga manusia menjadi yakin serta tulus dalam
mengamalkan petunjuk-petunjuk-Nya. Perbandingan Al-Quran dengan kitab suci umat
agama lain adalah: (a) Al-Quran tidak melupakan apa yang telah terjadi pada
zaman dahulu[59](b) Isi
Al-Quran tidak ada yang bertentangan karena berasal dari Allah.[60]
(c) Penjelasan dan perumpamaan seumpama Al-Quran diturunkan pada sebuah gunung,
niscaya gunung tunduk terbelah lantaran takut.[61]
(d) Al-Quran kitab yang mengguncangkan dunia.[62]
Nabi Muhammad dianugerahi
Allah SWT dengan beberapa mukjizat, yaitu: dapat membelah bulan, awan yang
menaunginya, dan yang lainnya. Namun,
mukjizat terbesar yang dianugerahkan Allah padanya adalah Al-Quran, Al-Quran
adalah sumber intelektualitas dan spiritualitas dalam Islam. Ia merupakan
pijakan bukan hanya bagi agama dan pengetahuan spiritual, melainkan juga bagi
semua jenis pengetahuan. Manusia mempunyai fakultas pendengaran, pengelihatan, dan
hati sebagai alat untuk memperoleh ilmu pengetahuan.
“Dan
Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu
pun, dan Dia memberi kamu pendengaran, pengelihatan, dan hati agar kamu
bersyukur.”[63]
Melalui ketiga fakultas ini, manusia
memperoleh pengetahuan dari berbagai sumber, meskipun demikian, sumber dari
segala sumber pengetahuan hanyalah Allah SWT Yang Maha Mengetahui dan Pemberi pengetahuan
bagi hamba-Nya. Ilmu pengetahuan yang sering kita sebut dengan sains,
seharusnya bertujuan untuk jalan kebaikan dan kebahagiaan, tapi tidak jarang
yang memanfaatkannya untuk jalan kejahatan. perampok, pembunuh, pengebom,
koruptor, dan berbagai profesi jahat serta penyebab kerusakan lainnya. Mereka
bukanlah orang-orang yang bodoh, mereka memiliki ilmu pengetahuan, mereka juga tidak mungkin dapat melakukan kejahatan itu jika
mereka termasuk orang idiot atau ber-IQ rendah. Selain itu, tanpa izin-Nya
mereka juga tidak mukgkin berhasil dalam upaya kejahatan mereka itu.
Oleh karena sains bisa diarahkan ke arah kejahatan atau
pun ke arah kebaikan sesuai dengan penggunanya, maka manusia membutuhkan
petunjuk, pedoman yang bisa mengarahkan manusia ke jalan kebaikan dan
kebahagiaan.
Allah SWT telah memberikan sumber pengetahuan sesuai
dengan kebutuhan hamba-Nya dan sesuai dengan zamannya. Dia mengirimkan
petunjuk-Nya melalui kitab suci yang diturunkannya melalui rasul-Nya.
Kitab-kitab suci itu adalah: Zabur yang diturunkan pada Nabi Daud AS, kemudian
Taurat yang diturunkan pada Nabi Musa AS, lalu Injil yang diturunkan kepada
Nabi Isa AS, ketiga kitab suci ini sesuai dengan zamannya dan umat yang ada
pada zaman itu. Sedangkan kitab suci yang terakhir adalah kitab suci yang
diturunkan kepada penutup para Nabi, ia adalah Muhammad SAW.
Maka dari itu, salah satu sumber ilmu pengetahuan adalah
Al-Quran. Meskipun Al-Quran bukanlah kitab sains, Al-Quran berfungsi sebagai
petunjuk kepada umat manusia secara keseluruhan.[64]
Fungsi ilmu penetahuan ini juga berlaku bagi konstruksi
ilmu pengetahuan dengan memberi petunjuk tentang prinsip-prinsip sains yang
selalu dikaitkan dengan pengetahuan metafisik dan spiritual. Ini berarti dalam
epistemologi Islam, wahyu dan sunnah dapat dijadikan sebagai sumber inspirasi
bagi bangunan sains. Jelas hal ini bertentangan dengan sains modern yang pada
awal kelahirannya dengan terang-terangan memproklamasikan perlawanan terhadap
doktrin religius gereja, dan wahyu tidak mendapat tempat dalam bangunan sains.[65]
Logika bukanlah ciri khas sains modern. Jauh sebelumnya,
para ilmuwan dan filsuf muslim senantiasa menggunakan logika dan memandangnya
sebagai suatu bentuk hikmah, bentuk pengetahuan yang sangat diagungkan
Al-Quran. Di dalam penggunaan logika di kalangan sarjana muslim, terdapat burhan, istilah yang menunjukan metode
ilmiah demonstrasi atau bukti demostratif. Al-Ghazali menyatakan bahwa istilah mizan yang biasa diterjemahkan sebagai
timbangan, merujuk pada beberapa hal, salah satunya adalah logika. Artinya logika
adalah timbangan yang dengannya manusia menimbang ide-ide dan pendapat-pendapat
untuk sampai pada penilaian yang benar.
4.
KESIMPULAN
Al-Quran merupakan mukjizat
terbesar sepanjang zaman, tidak ada peselisihan antara Al-Quran dengan sains
modern. Al-Quran akan selalu up date sepanjang zaman hingga datangnya
hari yang telah ditentukan. Ia akan selalu menaungi pembacanya. Menjadi payung
di padang
makhsyar bagi umat Islam yang meyakini kebenaran ayatnya tanpa keraguan sedikit
pun.
Segi dan macam Al-Quran telah
dibahas sebelumnya, sehingga tidak perlu diragukan lagi tentang kemukjizatannya.
Allah SWT telah memberi petunjuk bagi seluruh manusia di alam ini tanpa
terkecuali. Sayangnya, banyak dari manusia sendiri yang terlalu sombong untuk
mengakui kehebatan Allah SWT dan kebenaran kitab suci-Nya Al-Quran. Padahal, segala
sesuatu yang berhubungan dengan lahir dan batin, dunia dan akhirat, hidup dan
mati, perintah dan larangan dan segala hal lainnya yang melingkupi kehidupan
manusia telah dijelaskan secara lengkap dan jelas. Begitu pula dengan sains dan
teknologi, keduanya memiliki hubungan yang erat dengan ayat-ayat Allah SWT.
BAB III
KORELASI AL-QURAN
DAN SAINS
1.
SAINS DAN MANUSIA
S
|
ains (Ilmu Pengertahuan Alam) dalam bahasa Inggris disebut dengan Science, di dalam Ilmu Pengetahuan
sering dilakukan pengkajian tentang gejala-gejala dalam alam semesta, termasuk
di muka bumi ini, sehingga terbentuk konsep dan prinsip, Ilmu Pengetahuan Alam
juga sering dibut dengan Ilmu Alamiah.[66]
Pada dasarnya manusia dan hewan tak jauh berbeda, bahkan
dari segi fisik, manusia lebih lemah dari pada hewan. Tetapi rohani manusia,
akal budi dan kemauannya sangat kuat, sehingga dengan keduanya manusia dapat
mengembangkan sains dan teknologi. Manusia memiliki rasa ingin tahu yang
berkembang, rasa ingin tahu manusia tidak akan pernah terpuaskan, jika manusia
sudah kehilangan rasa ingin tahu, maka ia akan bersifat statis atau tidak
inovatif.
Manusia juga
dapat menggunakan pengetahuan lama yang telah diperoleh, kemudian
mengkombinasikan dengan pengetahuan baru. Hal ini berlangsung selama
berabad-abad, sehingga terjadi akumulasi pengetahuan. Salah satunya yang paling
nampak adalah dalam bidang arsitektur yang menunjukan peradaban dan budaya dari
masing-masing bangsa. Arsitektur manusia pada zaman dahulu belum semegah
sekarang, namun dengan berjalannya waktu, maka arsitektur manusia semakin
tinggi kualitasnya. Hal ini membuktikan manusia selalu berkembang, selalu ada
hal-hal baru dari abad ke abad, begitu juga dalam hal teknologi, betapa manusia
sudah sangat modern sehingga robot sudah bisa menggantikan posisi manusia,
bahkan rekreasi di antariksa bukanlah suatu hal yang mustahil lagi untuk saat
ini.
Manusia memuaskan rasa ingin tahunya dengan melakukan
berbagai macam penelitian, pengamatan dan pengalaman, tetapi sayangnya terkadang
manusia belum mampu memuaskan rasa ingin tahunya. Pengalaman merupakan salah
satu bagian dari terbentuknya ilmu pengetahuan, yaitu kumpulan fakta-fakta yang
benar-benar terjadi. Pengalaman akan bertambah terus selama manusia masih ada
di muka bumi ini, kemudian mewariskan pengetahuan mereka pada generasi
berikutnya. Perkembangan pengetahuan didorong oleh: (1) dorongan untuk
memuaskan diri untuk memenuhi kuriositas dan memahami tentang hakikat alam
semesta dan isinya, (2) dorongan praktis yang memanfaatkan pengetahuan itu
untuk meningkatkan taraf hidup yang lebih tinggi. Kedua dorongan itu
menumbuhkan kemajuan Ilmu Pengetahuan. Dorongan pertama menuju ke Ilmu
Pengetahuan Murni (Pure Science).
Sedangkan dorongan kedua lebih pada Ilmu Pengetahuan Terapan (Applied Science).[67]
Sains memang sangat besar dampaknya bagi perkembangan
manusia, salah satu sebab kemajuan
manusia adalah sains, ini adalah pendapat yang tidak terbantahkan. Apalagi jika
dilihat dari fakta yang terjadi pada zaman sekarang, zaman modern. Negara-negara
yang mengembangkan sains dan teknologi seperti Amerika Serikat, Jepang, Jerman,
dan masih banyak lagi terbukti memiliki taraf hidup yang lebih baik dari
negara-negara yang kurang mengembangkan sains dan teknologi. Maka,
negara-negara yang sudah maju terlebih dahulu itu menyebut negara mereka dengan
negara modern. Modernisme adalah babak baru peradaban Barat, penulis sengaja
menyebut Barat di sini karena memang perkembangan Sains ini didominasi oleh
negara-negara yang mayoritas terletak di wilayah Amerika dan Eropa dan kita
sudah terbiasa menyebut mereka dengan sebutan Barat, tapi hal ini tidak lantas
berarti bahwa orang-orang yang tinggal di wilayah Timur tidak mengembangkan
sains sama sekali, negara-negara Timur juga mengembangkan sains, tetapi tidak
semeriah di Barat.
Sayangnya, paham-paham sekularisme benar-benar tertanam
kuat di tengah-tengan Eropa, sehingga sains pun harus mengalami sekularisme,
menurut mereka tak ada titik temu antara agama dan sains. Sains berkembang
dengan sangat cepat bersamaan dengan berawalnya modernisme. Para
tokoh ilmuan besar pada zaman modern ini adalah Gionardo Bruno, Copernicus,
Galileo dan Issac Newton. Sayangnya, konsekuensi perkembangan sains pada zaman
ini adalah klaim kematian suatu disiplin filsafat yang paling rumit, yaitu
metafisika[68].
Metafisika dipercaya oleh para ilmuan ini sebagai
sesuatu yang berupaya menentukan hal-hal yang esensial dengan menanggalkan
hal-hal yang nonesensial. Metafisika sempat berjaya selama ribuan tahun.
Setelah berjaya, metafisika mendapatkan tantangan keras dari para
filosof modern dari Barat dan sebagian besar dari mereka dibesarkan dalam
atmosfer Ilmu Alam, seperti David Hume, Francis Bacon, Rene Descrates dan
Immanuel Kant. Rata-rata dari para ilmuan ini berpikiran bahwa orang-orang yang
hanya disibukkan dengan urusan metafisika tidak memberi kontribusi apa pun bagi
kemaslahatan umat manusia karena hanya berfikir tentang akhirat saja tanpa
memperhatikan kemaslahatan manusia, hal ini –metafisika- sungguh sia-sia
menurut pandangan mereka. Demikian
halnya dengan Auguste Comte yang hanya mempercayai fakta positif dan digali
dengan metodologi ilmiah, lalu dilanjutkan oleh para filosof Lingkaran Wina
yang mengajukan prinsip verifikasi untuk membedakan bahasa yang meaningfull dan meaningless, juga Karl Popper yang menawarkan falsifikasi (error elimination) sebagai standar
llmiah. Beberapa prinsip ini memiliki andil yang cukup besar bagi
tereliminasinya sistem pengetahuan lain dan sistem kebenaran lain yang berada
di luar jangkauan norma-norma ilmiah itu, seperti metafisika, seni, tradisi,
terlebih lagi agama.
Konsekuaensinya, jika ingin disebut ilmiah, maka
metafisika, seni, tradisi dan termasuk di dalamnya agama harus mengikuti
patok-patok ilmiah secara rigrid sebagaimana sains. Maka, derajat sains
menjadi lebih tinggi dari yang lainnya dan jika hal ini terus berlangsung, tidak diragukan lagi lambat laun makna
metafisika, seni, tradisi dan agama menjadi tereduksi, hilang dan akhirnya
mati.[69]
Menurut
Muhammad Muslih[70],
sains umumnya berangkat dari asumsi bahwa alam dan segala hal yang berhubungan
dengannya berjalan secara sistematis yang bersifat apriori yang sudah clear
and distict. Karenanya, alam ini tidak lebih dari semacam mesin raksasa
yang berjalan tanpa campur tangan Tuhan. Jika tampak terjadi perubahan, itu
hanya karena “seleksi alam”, sebagaimana teori Evolusi Darwin. Kutub sains dan
agama kemudian dikontraskan secara hitam-putih. Mereka yang mendukung kubu
sains disebut sebagai hitam, sedangkan yang percaya pada Tuhan disebut sebagai
kubu putih.
Pertarungan
antara sains dan agama ini secara dramatis dapat disaksikan pada peristiwa
inkuisisi atas Nicolas Copernicus. Akan tetapi, ketika keduanya didialogkan
secara terus-menerus, lalu muncul wilayah abu-abu, tidak hitam, tidak juga putih.
Maka, munculah relevansi antara sains dan agama, sains pun akhirnya dapat
berfungsi sebagai salah satu sarana untuk mengenal Tuhan, Allah SWT.
2. AL-QURAN SEBAGAI SUMBER SAINS
Perbincangan tentang Al-Quran selalu menarik dan menggugah
semangat keilmuan. Kitab suci umat Islam itu tiada habis-habisnya dikaji dan ditelaah
berbagai kalangan, baik muslim maupun non-muslim dari berbagai aspeknya. Hal itu
tidak lepas dari keberadaan Al-Quran sebagai ‘kitab teragung’ umat Islam yang dijadikan
sandaran bagi kehidupan mereka. Al-Quran dalam beberapa hal, ternyata sejalan
dengan berbagai teori keilmuan modern yang dikemukakan ilmuwan. Di satu sisi,
hal seperti itu meneguhkan aspek kemukjizatan Kitab Suci tersebut. Di sisi lain
menunjukkan, antara Al-Quran dan pengetahuan modern tidak perlu didikotomikan.
Sebaliknya, keduanya perlu disinergikan untuk tujuan membangun kehidupan umat
Islam yang lebih baik.
Zakir Abdul Karim Naik[71]
adalah salah satu dari orang yang mengkaji Al-Quran dan sains, ia ‘mengorbankan’ praktik kedokterannya hanya
untuk pengkajiannya itu. Sebelumnya, Maurice Bucaille menulis buku tentang
kajian asal-usul manusia dalam Al-Quran. Belum lama ini, Naik menerbitkan
bukunya tentang wacana dalam berjudul Qur’an and Modern Science: Compatible
or Incompatible?. Dalam buku itu Naik menegaskan, bukan buku . Namun, dia menyebutnya Book
of Signs (Buku tentang Tanda). Tanda itu mengajak manusia untuk
menyadari tujuan hidup di Bumi, dan hidup secara harmonis bersama alam.
Hal ini tentu sangat sesuai dengan keadaan bumi kita yang
semakin hari semakin miris keadaannya, kerusakan-kerusakan yang disebabkan oleh
tangan-tanagn manusia semakin terlihat. Hutan terus digunduli, sungai-sungai
tak luput dicemari. Dampaknya pun dapat dirasakan hingga kini, ketika bencana
terjadi di seantero dunia. Terkadang, manusia memang tidak sadar bahwa mereka
sedang membuat kerusakan, mereka mengatas namakan pembangunan. Jika hal ini
tidak segera disadari dan diselesaikan, tidaklah menutup kemungkinan, jika
suatu saat akan ada bencana yang lebih besar lagi.
Peringatan akan bahaya tersebut
sudah tertera di dalam Al-Quran. Banyak ayat mengingatkan akibat dari tindakan
semena-mena terhadap lingkungan, akibat yang harus ditanggung oleh manusia
sendiri. Firman Allah SWT di surat
Ar-Ruum (30) ayat 41 di antaranya:
“Telah tampak kerusakan di darat
dan di laut karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada
manusia sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan
yang benar).”
Untuk itu, Al-Quran menekankan agar
umat menjaga kelestarian alam. Menurut
Dr. Mukhlis M Hanafi MA[72],
prinsip pokok dalam masalah lingkungan hidup adalah bagaimana keanekaragaman
hayati bisa dipelihara dengan baik.
Ada keseimbangan di alam raya, jika kita menyimak surat Ar-Rahman (55) ayat
7-9, Allah ST menegaskan pentingnya menjaga keseimbangan.
“Dan Allah telah meninggikan
langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan). Supaya kamu jangan melampaui batas
tentang neraca itu. Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah
kamu mengurangi neraca itu”
3. PERANAN SAINS
DALAM MENGENAL TUHAN
Ayat Al-Quran yang
menunjukan pada fenomena alam terdapat lebih dari 750 ayat dan manusia diminta
untuk memikirkannya agar dapat mengenal Tuhan lewat tanda-tanda-Nya. Ayat-ayat
tersebut dapat dibagi ke dalam kategori-kategori berikut ini:
- Ayat Al-Quran yang menggambarkan elemen-elemen pokok objek atau menyuruh manusia untuk menyingkapkan.
Misalnya di dalam Al-Quran:
“Maka hendaklah manusia
memperhatikan, dari apa ia diciptakan?”[73]
“Dan Allah telah
menciptakan segala makhluk hidup dari air”[74]
“Sesungguhnya Kami telah
menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur, yang hendak Kami uji
(dengan perintah dan larangan) dan kami jadikan ia mendengar dan melihat”[75]
“Katakanlah:
Bejalanlah di bumi, lalu perhatikanlah bagaimana Allah memulai penciptaan…”[76]
“Dan apakah mereka
tidak memperhatikan bagaimana Allah memulai penciptaan, kemudian mengulanginya
(kembali)”[77]
"Dia menciptakan langit dan
bumi dengan (tujuan) yang benar; Dia menutupkan malam atas siang dan menutupkan
siang atas malam..." (QS: 39:5)
Dalam Al-Quran, kata-kata yang digunakan untuk menjelaskan
tentang alam semesta sungguh sangat penting. Kata Arab yang diterjemahkan
sebagai "menutupkan" dalam ayat di atas adalah "takwir".
Dalam kamus bahasa Arab, misalnya, kata ini digunakan untuk menggambarkan
pekerjaan membungkus atau menutup sesuatu di atas yang lain secara melingkar,
sebagaimana surban dipakaikan pada kepala.
Keterangan yang disebut dalam ayat tersebut tentang siang
dan malam yang saling menutup satu sama lain berisi keterangan yang tepat
mengenai bentuk bumi. Pernyataan ini hanya benar jika bumi berbentuk bulat. Ini
berarti bahwa dalam Al-Quran, telah diisyaratkan tentang bentuk planet bumi
yang bulat.
Namun perlu diingat bahwa ilmu
astronomi kala itu memahami bumi secara berbeda. Di masa itu, bumi diyakini
berbentuk bidang datar, dan semua perhitungan serta penjelasan ilmiah
didasarkan pada keyakinan ini. Sebaliknya, ayat-ayat Al-Quran berisi informasi
yang hanya mampu kita pahami dalam satu abad terakhir. Oleh karena Al-Quran
adalah firman Allah, maka tidak mengherankan jika kata-kata yang tepat
digunakan dalam ayat-ayat-Nya ketika menjelaskan jagat raya
- Ayat-ayat yang mencakup masalah cara penciptaan objek-objek materil maupun yang menyuruh manusia untuk menyingkap asal usulnya.
Di bawah ini ada contoh kategori tersebut:
“Dan Dialah yang
menciptakan langit dan bumi dalam enam periode, dan adalah singgasana-Nya di
atas air…”[78]
“Dan sesungguhnya
Kami telah menciptakan manusia dari sesuatu saripati tanah. Kemudian Kami
menjadikannya nuftah (bakal makhluk hidup) yang disimpan dalam tempat yang
kukuh (rahim). Kemudian Kami jadikan suatu jaringan, kemudianKami menjadikannya
tulang-belulang, lalu tulang-belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian
Kami menjadikannya ciptaan yang lain. Maka Mahasucilah Allah, Pencipta Yang
paling baik”[79]
“Dia menciptakan langit tanpa tiang yang dapat
kamu lihat, dan Dia meletakkan gunung-gunung (di permukaan bumi) supaya bumi
itu tidak menggoyahkan kamu…”[80]
“Kemudian Dia
menuju kepada penciptaan langit ketika langit itu masih merupakan asap…”[81]
“Maka apakah
mereka tidak memperhatikan bagaimana unta diciptakan. Dan langit, bagaimana ia
ditinggikan. Dan gunung-gunung, bagaimana ia ditegakkan. Dan bumi, bagaimana ia
dihamparkan…” [82]
Allah SWT telah mengulang-ulang ayat tentang langit di
dalam Al-Quran, hal ini menunjukan keistimewaannya. Asal mula alam semesta
digambarkan dalam Al-Quran pada ayat berikut:
"Dialah
pencipta langit dan bumi." [83]
Keterangan yang diberikan
Al-Quran ini bersesuaian penuh dengan penemuan ilmu pengetahuan masa kini.
Kesimpulan yang didapat astrofisika saat ini adalah bahwa keseluruhan alam
semesta, beserta dimensi materi dan waktu, muncul menjadi ada sebagai hasil
dari suatu ledakan raksasa yang tejadi dalam sekejap. Peristiwa ini, yang
dikenal dengan "Big Bang", membentuk keseluruhan alam semesta sekitar
15 milyar tahun lalu. Jagat raya tercipta dari suatu ketiadaan sebagai hasil
dari ledakan satu titik tunggal. Kalangan ilmuwan modern menyetujui bahwa Big
Bang merupakan satu-satunya penjelasan masuk akal dan yang dapat dibuktikan
mengenai asal mula alam semesta dan bagaimana alam semesta muncul menjadi ada.
Sebelum
Big Bang, tak ada yang disebut sebagai materi. Dari kondisi ketiadaan, di mana
materi, energi, bahkan waktu belumlah ada, dan yang hanya mampu diartikan
secara metafisik, terciptalah materi, energi, dan waktu. Fakta ini, yang baru
saja ditemukan ahli fisika modern, diberitakan kepada kita dalam Al Quran 1.400
tahun lalu. Sensor sangat peka pada satelit ruang angkasa COBE yang diluncurkan
NASA pada tahun 1992 berhasil menangkap sisa-sisa radiasi ledakan Big Bang.[84]
Penemuan ini merupakan bukti terjadinya peristiwa Big Bang, yang merupakan
penjelasan ilmiah bagi fakta bahwa alam semesta diciptakan dari ketiadaan. Dalam QS Al-Anbiya ayat 30 dinyatakan:
“Dan apakah orang-orang yang kafir tidak
mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang
padu. Kemudian kami pisahkan antara keduanya, dan dari air kami jadikan segala
sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?”
Kata "ratq" yang di sini diterjemahkan
sebagai "suatu yang padu" digunakan untuk merujuk pada dua zat
berbeda yang membentuk suatu kesatuan. Ungkapan "Kami pisahkan antara
keduanya" adalah terjemahan kata Arab "fataqa", dan bermakna
bahwa sesuatu muncul menjadi ada melalui peristiwa pemisahan atau pemecahan
struktur dari "ratq". Perkecambahan biji dan munculnya tunas
dari dalam tanah adalah salah satu peristiwa yang diungkapkan dengan
menggunakan kata ini.
Marilah kita kaji ayat ini kembali berdasarkan pengetahuan
ini. Dalam ayat tersebut, langit dan bumi adalah subyek dari kata sifat "fatq".
Keduanya lalu terpisah ("fataqa") satu sama lain. Menariknya,
ketika mengingat kembali tahap-tahap awal peristiwa Big Bang, kita pahami bahwa
satu titik tunggal berisi seluruh materi di alam semesta. Dengan kata lain,
segala sesuatu, termasuk "langit dan bumi" yang saat itu belumlah
diciptakan, juga terkandung dalam titik tunggal yang masih berada pada keadaan "ratq"
ini. Titik tunggal ini meledak sangat dahsyat, sehingga menyebabkan
materi-materi yang dikandungnya untuk "fataqa" (terpisah), dan
dalam rangkaian peristiwa tersebut, bangunan dan tatanan keseluruhan alam
semesta terbentuk.
Ketika kita bandingkan penjelasan ayat tersebut dengan
berbagai penemuan ilmiah, akan kita pahami bahwa keduanya benar-benar
bersesuaian satu sama lain. Yang sungguh menarik lagi, penemuan-penemuan ini
belumlah terjadi sebelum abad ke-20.
Ilmuwan lain yang bernama Naik melihat Teori Big Bang (Ledakan
Besar) mengenai asal-usul alam ini. Menurut teori itu, terjadinya alam
sebagaimana diungkap astronom dan astrofisik berawal dari satu massa besar (one big mass) yang dikenal dengan Primary
Nebula. Kemudian terjadi ledakan besar yang menyebabkan terbentuknya galaksi,
selanjutnya terbagi-bagi menjadi bintang, planet, matahari, bulan dansebagainya.
Naik menjelaskan, Firman Allah yang menyatakan langit dan bumi itu keduanya
dahulu adalah suatu yang padu, kemudian dipisahkan antara keduanya sangat
sejalan dengan Teori Big Bang mengenai asal-usul alam tersebut.[85]
Dalam Al Qur'an, Allah mengarahkan perhatian
kita kepada sifat yang sangat menarik tentang langit:
"Dan Kami menjadikan langit itu sebagai atap yang terpelihara,
sedang mereka berpaling dari segala tanda-tanda (kekuasaan Allah) yang ada
padanya."[86]
Sifat langit ini telah dibuktikan oleh penelitian ilmiah
abad ke-20. Atmosfir yang melingkupi bumi berperan sangat penting bagi
berlangsungnya kehidupan. Dengan menghancurkan sejumlah meteor, besar ataupun
kecil ketika mereka mendekati bumi, atmosfir mencegah mereka jatuh ke bumi dan
membahayakan makhluk hidup.
Atmosfir juga menyaring sinar-sinar dari ruang angkasa yang
membahayakan kehidupan. Menariknya, atmosfir hanya membiarkan agar ditembus
oleh sinar-sinar tak berbahaya dan berguna, seperti cahaya tampak, sinar
ultraviolet tepi, dan gelombang radio. Semua radiasi ini sangat diperlukan bagi
kehidupan. Sinar ultraviolet tepi, yang hanya sebagiannya menembus atmosfir,
sangat penting bagi fotosintesis tanaman dan bagi kelangsungan seluruh makhluk
hidup. Sebagian besar sinar ultraviolet kuat yang dipancarkan matahari ditahan
oleh lapisan ozon atmosfir dan hanya sebagian kecil dan penting saja dari
spektrum ultraviolet yang mencapai bumi.
Fungsi pelindung dari atmosfir tidak berhenti sampai di
sini. Atmosfir juga melindungi bumi dari suhu dingin membeku ruang angkasa,
yang mencapai sekitar 270 derajat celcius di bawah nol.
Tidak hanya atmosfir yang melindungi bumi dari pengaruh
berbahaya. Selain atmosfir, Sabuk Van Allen, suatu lapisan yang tercipta akibat
keberadaan medan
magnet bumi, juga berperan sebagai perisai melawan radiasi berbahaya yang
mengancam planet kita. Radiasi ini, yang terus- menerus dipancarkan oleh
matahari dan bintang-bintang lainnya, sangat mematikan bagi makhuk hidup. Jika
saja sabuk Van Allen tidak ada, semburan energi raksasa yang disebut jilatan
api matahari yang terjadi berkali-berkali pada matahari akan menghancurkan
seluruh kehidupan di muka bumi. Dr. Hugh Ross berkata tentang perang penting
Sabuk Van Allen bagi kehidupan kita:
“Bumi ternyata memiliki kerapatan terbesar di antara
planet-planet lain di tata surya kita. Inti bumi yang terdiri atas unsur nikel
dan besi inilah yang menyebabkan keberadaan medan magnetnya yang besar. Medan magnet ini membentuk lapisan pelindung
berupa radiasi Van-Allen, yang melindungi Bumi dari pancaran radiasi dari luar
angkasa. Jika lapisan pelindung ini tidak ada, maka kehidupan takkan mungkin
dapat berlangsung di Bumi. Satu-satunya planet berbatu lain yang berkemungkinan
memiliki medan magnet adalah Merkurius, tapi
kekuatan medan
magnet planet ini 100 kali lebih kecil dari Bumi. Bahkan Venus, planet kembar
kita, tidak memiliki medan
magnet. Lapisan pelindung Van-Allen ini merupakan sebuah rancangan istimewa
yang hanya ada pada Bumi.”[87]
Energi yang dipancarkan dalam satu jilatan api saja,
sebagaimana tercatat baru-baru ini, terhitung setara dengan 100 milyar bom atom
yang serupa dengan yang dijatuhkan di Hiroshima.
Lima puluh
delapan jam setelah kilatan tersebut, teramati bahwa jarum magnetik kompas
bergerak tidak seperti biasanya, dan 250 kilometer di atas atmosfir bumi
terjadi peningkatan suhu tiba-tiba hingga mencapai 2.500 derajat celcius.
Singkatnya,
sebuah sistem sempurna sedang bekerja jauh tinggi di atas bumi. Ia melingkupi
bumi kita dan melindunginya dari berbagai ancaman dari luar angkasa. Para ilmuwan baru mengetahuinya sekarang, sementara
berabad-abad lampau, kita telah diberitahu dalam Al Qur'an tentang atmosfir
bumi yang berfungsi sebagai lapisan pelindung.
- Ayat-ayat yang menyuruh manusia untuk menyingkap bagian mana alam fisis ini berwujud.
Contoh dari ayat tersebut adalah:
Katakanlah:
“Berjalanlah di bumi, lalu perhatikanlah bagaimana Allah memulai penciptaan….”[88]
“Dan apakah mereka
tidak memperhatikan bagaimana Allah memulai penciptaan, kemudian mengulanginya
(kembali)”[89]
Perhatikanlah tantangan-tantangan Allah SWt ini, kedua ayat
ini mengandung kata tanya yang bermakna sungguh mendalam. Sekilas ayat ini
tampak singkat, padat dan jelas. Tapi sebenarnya ayat ini menyimpan perintah
yang cukup menantang rasa ingin tahu manusia. Mungkin bagi umat Islam zaman
dahulu, di awal-awal turunnya Al-Quran belum terlalu paham maksud Allah SWT
dalam mencantumkan kata tanya di tengah-tengah ayat ini, mereka juga belum
menganggap penting untuk tahu tentang awal penciptaan.
Namun, dengan adanya kemajuan zaman dan rasa ingin tahu
manusia yang terus berkembang sesuai dengan kemajuan zaman, hal ini membuat
manusia ingin mengetahui seluk beluk atau asal-mula segala sesuatu. Sehingga
banyaklah bermunculan teori-teori penciptaan. Akhirnya semuanya bermuara pada
Satu Pencipta yaitu Allah SWT. Maka
sering terjadi ilmuwan non-muslim yang meyakini kebenaran Islam setelah berkutat
dengan sains dengan segala misterinya. Setelah menemukan jawabannya, kemudian
menemukan kesesuaiannya dengan Al-Quran.
- Ayat-ayat yang menyuruh manusia untuk mempelejari fenomena alam.
“Apakah kamu tidak
memperhatikan bahwa sesungguhnya Allah menurunkan air dari langit, maka
diatur-Nya menjadi sumber-sumber di bumi, kemudian ditumbuhkan-Nya dengan air
itu tanaman-tanaman yang bermacam-macam warnanya, lalu ia menjadi kering, lalu
Kami melihatnya kekuning-kuningan, kemudian dijadikan-Nya hancur berderai-derai.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat pelajaran bagi
orang-orang yang berakal”[90]
“Allah, Dialah
yang mengirim angin, lalu angin itu menggerakkan awan, dan Allah
membentangkannya di langit menurut yang dikehendaki-Nya, dan dia menjadikannya
bergumpal-gumpal, lalu kamu lihat hujan keluar dari celah-celahnya…”[91]
“Sesungguhnya
dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera
yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah
turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah
mati (kering), dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran
angin dan awan yang bisa dilendalikan di antara langit dan bumi, sungguh
(terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan”[92]
Dalam sebuah ayat, kita diberitahu bahwa gunung-gunung
tidaklah diam sebagaimana yang tampak, akan tetapi mereka terus-menerus
bergerak. Ini juga termasuk fenomena alam yang perlu kita perhatikan dengan seksama.
"Dan kamu lihat gunung-gunung itu, kamu sangka dia
tetap di tempatnya, padahal dia berjalan sebagai jalannya awan. (Begitulah)
perbuatan Allah yang membuat dengan kokoh tiap-tiap sesuatu. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan."[93]
Gerakan gunung-gunung ini disebabkan oleh gerakan kerak
bumi tempat mereka berada. Kerak bumi ini seperti mengapung di atas lapisan
magma yang lebih rapat. Pada awal abad ke-20, untuk pertama kalinya dalam
sejarah, seorang ilmuwan Jerman bernama Alfred Wegener mengemukakan bahwa
benua-benua pada permukaan bumi menyatu pada masa-masa awal bumi, namun
kemudian bergeser ke arah yang berbeda-beda sehingga terpisah ketika mereka
bergerak saling menjauhi.
Para ahli geologi memahami kebenaran pernyataan Wegener baru
pada tahun 1980, yakni 50 tahun setelah kematiannya. Sebagaimana pernah
dikemukakan oleh Wegener dalam sebuah tulisan yang terbit tahun 1915, sekitar
500 juta tahun lalu seluruh tanah daratan yang ada di permukaan bumi awalnya
adalah satu kesatuan yang dinamakan Pangaea. Daratan ini terletak di
kutub selatan.
Sekitar 180 juta tahun lalu, Pangaea terbelah
menjadi dua bagian yang masing-masingnya bergerak ke arah yang berbeda. Salah
satu daratan atau benua raksasa ini adalah Gondwana, yang meliputi Afrika, Australia,
Antartika dan India.
Benua raksasa kedua adalah Laurasia, yang terdiri dari Eropa, Amerika
Utara dan Asia, kecuali India.
Selama 150 tahun setelah pemisahan ini, Gondwana dan Laurasia
terbagi menjadi daratan-daratan yang lebih kecil.
Benua-benua yang terbentuk menyusul terbelahnya Pangaea
telah bergerak pada permukaan Bumi secara terus-menerus sejauh beberapa
sentimeter per tahun. Peristiwa ini juga menyebabkan perubahan perbandingan
luas antara wilayah daratan dan lautan di Bumi.
Pergerakan kerak Bumi ini diketemukan setelah penelitian
geologi yang dilakukan di awal abad ke-20. Para
ilmuwan menjelaskan peristiwa ini sebagaimana berikut:
Kerak dan bagian terluar dari magma, dengan ketebalan
sekitar 100 km, terbagi atas lapisan-lapisan yang disebut lempengan. Terdapat
enam lempengan utama, dan beberapa lempengan kecil. Menurut teori yang disebut
lempeng tektonik, lempengan-lempengan ini bergerak pada permukaan bumi, membawa
benua dan dasar lautan bersamanya. Pergerakan benua telah diukur dan berkecepatan
1 hingga 5 cm per tahun. Lempengan-lempengan tersebut terus-menerus bergerak,
dan menghasilkan perubahan pada geografi bumi secara perlahan. Setiap tahun,
misalnya, Samudera Atlantic menjadi sedikit lebih lebar[94].
Ada hal sangat penting yang perlu dikemukakan di
sini: Dalam ayat tersebut Allah telah menyebut tentang gerakan gunung
sebagaimana mengapungnya perjalanan awan. Kini, Ilmuwan modern juga menggunakan
istilah "continental drift" atau "gerakan mengapung dari
benua" untuk gerakan ini.[95]
Tidak dipertanyakan lagi, adalah salah satu kejaiban Al-Quran
bahwa fakta ilmiah ini, yang baru-baru saja ditemukan oleh para ilmuwan, telah
dinyatakan dalam Al-Quran.
- Ayat-ayat yang menunjukan bahwa Allah SWT bersumpah atas berbagai macam objek alam.
“Demi matahari dan cahayanya di pagi hari. Dan bulan
apabila mengiringinya, dan siang menampakkannya, dan malam apabila menutupinya,
dan langit serta pembinaannya, dan bumi serta penghamparannya”[96]
Ketika merujuk kepada matahari dan bulan di dalam Al-Quran,
ditegaskan bahwa masing-masing bergerak dalam orbit atau garis edar tertentu.
"Dan Dialah yang telah menciptakan malam dan siang,
matahari dan bulan. Masing-masing dari keduanya itu beredar di dalam garis
edarnya."[97]
Disebutkan pula dalam ayat yang lain bahwa matahari
tidaklah diam, tetapi bergerak dalam garis edar tertentu:
"Dan matahari berjalan di tempat peredarannya.
Demikianlah ketetapan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui." [98]
Fakta-fakta yang disampaikan dalam Al-Quran ini telah
ditemukan melalui pengamatan astronomis di zaman kita. Menurut perhitungan para
ahli astronomi, matahari bergerak dengan kecepatan luar biasa yang mencapai 720
ribu km per jam ke arah bintang Vega dalam sebuah garis edar yang disebut Solar
Apex. Ini berarti matahari bergerak sejauh kurang lebih 17.280.000
kilometer dalam sehari. Bersama matahari, semua planet dan satelit dalam sistem
gravitasi matahari juga berjalan menempuh jarak ini. Selanjutnya, semua bintang
di alam semesta berada dalam suatu gerakan serupa yang terencana.
Keseluruhan alam semesta yang dipenuhi oleh lintasan dan
garis edar seperti ini, dinyatakan dalam Al-Quran sebagai berikut:
"Demi
langit yang mempunyai jalan-jalan." [99]
Terdapat sekitar 200 milyar galaksi di alam semesta yang
masing-masing terdiri dari hampir 200 bintang. Sebagian besar bintang-bintang
ini mempunyai planet, dan sebagian besar planet-planet ini mempunyai bulan.
Semua benda langit tersebut bergerak dalam garis peredaran yang diperhitungkan
dengan sangat teliti. Selama jutaan tahun, masing-masing seolah
"berenang" sepanjang garis edarnya dalam keserasian dan keteraturan
yang sempurna bersama dengan yang lain. Selain itu, sejumlah komet juga
bergerak bersama sepanjang garis edar yang ditetapkan baginya.
Garis edar di alam semesta tidak hanya dimiliki oleh
benda-benda angkasa. Galaksi-galaksi pun berjalan pada kecepatan luar biasa
dalam suatu garis peredaran yang terhitung dan terencana. Selama pergerakan
ini, tak satupun dari benda-benda angkasa ini memotong lintasan yang lain, atau
bertabrakan dengan lainnya. Bahkan, telah teramati bahwa sejumlah galaksi
berpapasan satu sama lain tanpa satu pun dari bagian-bagiannya saling
bersentuhan.
Dapat dipastikan bahwa pada saat Al-Quran diturunkan,
manusia tidak memiliki teleskop masa kini ataupun teknologi canggih untuk
mengamati ruang angkasa berjarak jutaan kilometer, tidak pula pengetahuan
fisika ataupun astronomi modern. Karenanya, saat itu tidaklah mungkin untuk
mengatakan secara ilmiah bahwa ruang angkasa "dipenuhi lintasan dan garis
edar" sebagaimana dinyatakan dalam ayat tersebut. Akan tetapi, hal ini
dinyatakan secara terbuka kepada kita dalam Al-Quran. Selain ayat di atas, ada
ayat lain yang menyatakan Allah bersumpah dengan nama objek alam.
“Maka Aku bersumpah demi jatuhnya bintang-bintang.
Sesungguhnya sumpah itu adalah sumpah yang dasyat kalau kamu mengetahui”
“Demi langit dan bintang malam hari. Tahukah kamu
apakah bintang malam hari itu? (yaitu) bintang yang cahayanya terang menembus”[100]
- Ayat-ayat yang merujuk pada fenomena alam, kemungkinan terjadinya hari kebangkitan dijelaskan.
Saat dikatakan dalam Al Qur'an bahwa adalah
mudah bagi Allah untuk menghidupkan manusia setelah kematiannya, pernyataan
tentang sidik jari manusia secara khusus ditekankan:
"Apakah manusia mengira bahwa Kami tidak akan mengumpulkan
(kembali) tulang-belulangnya? Ya, bahkan Kami mampu menyusun (kembali) ujung
jari-jarinya dengan sempurna."[101]
Penekanan pada sidik jari memiliki makna sangat
khusus. Ini dikarenakan sidik jari setiap orang adalah khas bagi dirinya
sendiri. Setiap orang yang hidup atau pernah hidup di dunia ini memiliki
serangkaian sidik jari yang unik dan berbeda dari orang lain.
Itulah mengapa sidik jari dipakai sebagai kartu
identitas yang sangat penting bagi pemiliknya dan digunakan untuk tujuan ini di
seluruh penjuru dunia. Akan tetapi, yang penting adalah
bahwa keunikan sidik jari ini baru ditemukan di akhir abad ke-19. Sebelumnya,
orang menghargai sidik jari sebagai lengkungan-lengkungan biasa tanpa makna
khusus. Namun dalam Al Qur'an, Allah merujuk kepada sidik jari, yang sedikitpun
tak menarik perhatian orang waktu itu, dan mengarahkan perhatian kita pada arti
penting sidik jari, yang baru mampu dipahami
- Ayat-ayat yang dengan merujuk kepada beberapa fenomena alam, misalnya relativitas waktu.
Kini, relativitas waktu adalah fakta yang terbukti secara
ilmiah. Hal ini telah diungkapkan melalui teori relativitas waktu Einstein di
tahun-tahun awal abad ke-20. Sebelumnya, manusia belumlah mengetahui bahwa
waktu adalah sebuah konsep yang relatif, dan waktu dapat berubah tergantung
keadaannya. Ilmuwan besar, Albert Einstein, secara terbuka membuktikan fakta
ini dengan teori relativitas. Ia menjelaskan bahwa waktu ditentukan oleh massa dan kecepatan. Dalam
sejarah manusia, tak seorang pun mampu mengungkapkan fakta ini dengan jelas
sebelumnya.
Tapi ada perkecualian, Al-Quran telah berisi informasi tentang
waktu yang bersifat relatif. Sejumlah ayat yang mengulas hal ini berbunyi:
"Dan mereka meminta kepadamu agar azab itu
disegerakan, padahal Allah sekali-kali tidak akan menyalahi janji-Nya. Sesungguhnya
sehari di sisi Tuhanmu adalah seperti seribu menurut perhitunganmu." [102]
"Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian
(urusan) itu naik kepada-Nya dalam satu hari yang kadarnya adalah seribu tahun
menurut perhitunganmu."[103]
"Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada
Tuhan dalam sehari yang kadarnya limapuluh ribu tahun." [104]
Dalam sejumlah ayat disebutkan bahwa manusia merasakan
waktu secara berbeda, dan bahwa terkadang manusia dapat merasakan waktu sangat
singkat sebagai sesuatu yang lama:
"Allah bertanya: 'Berapa tahunkah lamanya kamu tinggal
di bumi?' Mereka menjawab: 'Kami tinggal (di bumi) sehari atau setengah hari,
maka tanyakanlah kepada orang-orang yang menghitung.' Allah berfirman: 'Kamu
tidak tinggal (di bumi) melainkan sebentar saja, kalau kamu sesungguhnya
mengetahui'."[105]
Fakta bahwa relativitas waktu disebutkan dengan sangat
jelas dalam Al Qur'an, yang mulai diturunkan pada tahun 610 M, adalah bukti
lain bahwa Al Qur'an adalah Kitab Suci.
- Ayat-ayat yang menekankan kelangsungan dan keteraturan penciptaan Allah SWT.
Salah satu contoh yang menunjukan betapa teraturnya
penciptaan Allah SWT, kita dapat melihat bahwa segala sesuatu di bumi ini
berpasang-pasangan.
"Maha Suci Tuhan yang telah menciptakan
pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari
diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui." [106]
Meskipun gagasan tentang
"pasangan" umumnya bermakna laki-laki dan perempuan, atau jantan dan
betina, atau tertuju pada keadaan-keadaan terang-gelap, pahit-manis,
panjang-pendek, kuat-lemah, utara-selatan, timur-barat, atas-bawah, kiri-kanan
yang semua orang ketahui, sedangkan ungkapan
"maupun dari apa yang tidak mereka ketahui" dalam ayat di atas
memiliki cakupan yang lebih luas. Kini, cakupan makna lain dari ayat tersebut
telah terungkap.
Ilmuwan Inggris, Paul Dirac, yang
menyatakan bahwa materi diciptakan secara berpasangan, dianugerahi Hadiah Nobel
di bidang fisika pada tahun 1933. Penemuan ini, yang disebut "parité",
menyatakan bahwa materi berpasangan dengan lawan jenisnya: anti-materi.
Anti-materi memiliki sifat-sifat yang berlawanan dengan materi. Misalnya,
berbeda dengan materi, elektron anti-materi bermuatan positif, dan protonnya
bermuatan negatif. Fakta ini dinyatakan dalam sebuah sumber ilmiah sebagaimana
berikut:
“Setiap partikel memiliki
anti-partikel dengan muatan yang berlawanan dan hubungan ketidakpastian
mengatakan kepada kita bahwa penciptaan berpasangan dan pemusnahan berpasangan
terjadi di dalam vakum di setiap saat, di setiap tempat."
Semua ini menunjukkan bahwa unsur
besi tidak terbentuk di Bumi, melainkan dibawa oleh meteor-meteor melalui
ledakan bintang-bintang di luar angkasa, dan kemudian "dikirim ke
bumi", persis sebagaimana dinyatakan dalam ayat tersebut. [107]
- Ayat-ayat yang menjelaskan keharmonisan keberadaan manusia dengan alam fisis dan ketundukan apa yang ada di langit dan di bumi kepada manusia.
Sebut saja salah satu contohnya adalah besi, besi adalah salah satu unsur yang dinyatakan secara jelas
dalam Al Qur'an. Dalam Surat Al Hadiid, yang berarti "besi",
kita diberitahu sebagai berikut:
"…Dan Kami turunkan besi yang padanya terdapat
kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia ...." [108]
Kata "anzalnaa" yang berarti "kami turunkan"
khusus digunakan untuk besi dalam ayat ini, dapat diartikan secara kiasan untuk
menjelaskan bahwa besi diciptakan untuk memberi manfaat bagi manusia. Tapi
ketika kita mempertimbangkan makna harfiah kata ini, yakni "secara bendawi
diturunkan dari langit", kita akan menyadari bahwa ayat ini memiliki
keajaiban ilmiah yang sangat penting. Ini dikarenakan penemuan astronomi modern
telah mengungkap bahwa logam besi yang ditemukan di bumi kita berasal dari
bintang-bintang raksasa di angkasa luar. Logam berat di alam semesta dibuat dan
dihasilkan dalam inti bintang-bintang raksasa.
Akan tetapi sistem tata surya kita tidak memiliki struktur
yang cocok untuk menghasilkan besi secara mandiri. Besi hanya dapat dibuat dan
dihasilkan dalam bintang-bintang yang jauh lebih besar dari matahari, yang
suhunya mencapai beberapa ratus juta derajat. Ketika jumlah besi telah
melampaui batas tertentu dalam sebuah bintang, bintang tersebut tidak mampu
lagi menanggungnya, dan akhirnya meledak melalui peristiwa yang disebut "nova"
atau "supernova". Akibat dari ledakan ini, meteor-meteor yang
mengandung besi bertaburan di seluruh penjuru alam semesta dan mereka bergerak
melalui ruang hampa hingga mengalami tarikan oleh gaya gravitasi benda angkasa. Semua ini
menunjukkan bahwa logam besi tidak terbentuk di bumi melainkan kiriman dari
bintang-bintang yang meledak di ruang angkasa melalui meteor-meteor dan
"diturunkan ke bumi", persis seperti dinyatakan dalam ayat tersebut.
Sedangkan ayat ke-11 dari Surat Ath-Thaariq dalam Al Quran,
mengacu pada fungsi "mengembalikan" yang dimiliki langit.
"Demi langit yang mengandung hujan."[109]
(Al Qur'an,)
Kata yang ditafsirkan sebagai "mengandung
hujan" dalam terjemahan Al- Quran ini juga bermakna "mengirim
kembali" atau "mengembalikan".
Sebagaimana diketahui, atmosfir yang melingkupi
bumi terdiri dari sejumlah lapisan. Setiap lapisan memiliki peran penting bagi
kehidupan. Penelitian mengungkapkan bahwa lapisan-lapisan ini memiliki fungsi
mengembalikan benda-benda atau sinar yang mereka terima ke ruang angkasa atau
ke arah bawah, yakni ke bumi. Sekarang, marilah kita cermati sejumlah contoh
fungsi "pengembalian" dari lapisan-lapisan yang mengelilingi bumi
tersebut.
Lapisan Troposfir, 13 hingga 15 km di atas permukaan bumi, memungkinkan
uap air yang naik dari permukaan bumi menjadi terkumpul hingga jenuh dan turun
kembali ke bumi sebagai hujan. Lapisan
ozon, pada ketinggian 25 km, memantulkan radiasi berbahaya dan sinar
ultraviolet yang datang dari ruang angkasa dan mengembalikan keduanya ke ruang
angkasa. Lapisan Ionosfir, memantulkan kembali pancaran gelombang
radio dari bumi ke berbagai belahan bumi lainnya, persis seperti satelit
komunikasi pasif, sehingga memungkinkan komunikasi tanpa kabel, pemancaran
siaran radio dan televisi pada jarak yang cukup jauh. Lapisan magnet
memantulkan kembali partikel-partikel radioaktif berbahaya yang dipancarkan
Matahari dan bintang-bintang lainnya ke ruang angkasa sebelum sampai ke Bumi.
Sifat lapisan-lapisan langit yang hanya dapat ditemukan secara
ilmiah di masa kini tersebut, telah dinyatakan berabad-abad lalu dalam Al Quran.
Ini sekali lagi membuktikan bahwa Al Quran adalah firman Allah. Dalam Al Quran,
yang diturunkan 14 abad silam di saat ilmu astronomi masih terbelakang,
mengembangnya alam semesta digambarkan sebagaimana berikut ini:
"Dan langit itu Kami bangun dengan kekuasaan (Kami)
dan sesungguhnya Kami benar-benar meluaskannya." [110]
Kata "langit", sebagaimana dinyatakan dalam ayat
ini, digunakan di banyak tempat dalam Al Qur'an dengan makna luar angkasa dan
alam semesta. Di sini sekali lagi, kata tersebut digunakan dengan arti ini.
Dengan kata lain, dalam Al-Qur'an dikatakan bahwa alam semesta "mengalami
perluasan atau mengembang". Dan inilah yang kesimpulan yang dicapai ilmu
pengetahuan masa kini.
Hingga awal abad ke-20, satu-satunya pandangan yang umumnya
diyakini di dunia ilmu pengetahuan adalah bahwa alam semesta bersifat tetap dan
telah ada sejak dahulu kala tanpa permulaan. Namun, penelitian, pengamatan, dan
perhitungan yang dilakukan dengan teknologi modern, mengungkapkan bahwa alam
semesta sesungguhnya memiliki permulaan, dan ia terus-menerus
"mengembang". Pada awal abad ke-20 Alexander Friedmann[111]
dan George Lemaitre[112],
secara teoritis menghitung dan menemukan bahwa alam semesta senantiasa bergerak
dan mengembang.
Fakta ini dibuktikan juga dengan menggunakan data
pengamatan pada tahun 1929. Ketika mengamati langit dengan teleskop, Edwin
Hubble[113]
menemukan bahwa bintang-bintang dan galaksi terus bergerak saling menjauhi.
Sebuah alam semesta, di mana segala sesuatunya terus bergerak menjauhi satu
sama lain, berarti bahwa alam semesta tersebut terus-menerus
"mengembang". Pengamatan yang dilakukan di tahun-tahun berikutnya
memperkokoh fakta bahwa alam semesta terus mengembang. Kenyataan ini
diterangkan dalam Al-Quran pada saat tak seorang pun mengetahuinya.
4. PERANAN SAINS
DALAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT
Tujuan adanya Islam cukup banyak, diantaranya adalah untuk
membangun masyarakat yang berkeyakinan tauhid, di mana firman Allah SWT adalah yang
tertinggi dan di atas segalanya (QS 9: 40). Maka dari
itu, untuk menjamin superioritas kebijaksanaan atas yang lainnya, umat Islam
harus mencoba untuk membuat diri mereka mampu berswasembada dan mandiri. Karena
alasan inilah para ahli hukum Islam telah member fatwa bahwa suatu tindakan
yang mengarah pada supremasi orang-orang kafir terhadap kaum muslim adalah
haram. Lebih dari itu, mereka telah memutuskan bahwa memberikan apa pun yang
dibutuhkan untuk mempertahankan masyarakat Islam merupakan kewajiban bagi masyarakat
tersebut. Di dalam Al-Quran sendiri, kaum muslim diperintahkan mempersiapkan
dan memperalati diri mereka sendiri dalam setiap aspek untuk menghadapi
tantangan dari orang-orang kafir.
“Dan bersiaplah untuk menghadapi mereka
dengan kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat
untuk berperang, (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan
musuhmu.” (QS 8: 60)
Namun, saat ini
keadaan sudah berubah, segala hal telah berporos pada sains dan teknologi. Ayat
di atas memang mengisyaratkan umat Islam masa lampau dengan menggunakan
kuda-kuda, tapi dengan kemajuan zaman, umat Islam harus mulai memperalati diri
dengan segala kemampuan, keilmuan, dan teknologi yang dimiliki, hal ini penting
bagi kemenangan muslim itu sendiri. Dengan kata lain, harus ada
pelatihan-pelatihan oleh para ahli yang memiliki kemampuan di bidang sains dan
teknologi, lalu member fasilitas terbaik untuk mereka.[114]
Namun yang patut
disayangkan adalah umat Islam sendiri kurang sadar akan pentingnya sains dan
teknologi itu sendiri, sehingga cenderung mengekor pada non-muslim yang
memiliki sains dan teknologi lebih baik dari muslim. Padahal sejak jauh hari
Ibnu Ikhwah telah berpesan pada kita, umat Islam:
“Mempelajari ilmu
kedokteran adalah kewajiban masyarakat sebagai sebuah
keseluruhan, tetapi pada zaman kita, kaum muslim tidak memperhatikannya, dan kita memiliki banyak kota yang hanya memiliki dokter Kristen dan Yahudi, yang
pernyataannya tidak bisa diterima ketika masalahnya berhubungan dengan agama. Pada zaman kita,
saya tidak banyak melihat orang
mempelajari kedokteran, tetapi saya melihat mereka belajar secara mendalam kepada fiqh dan etika serta
masalah-masalah yang mengundang
polemik, sementara kota-kota kita penuh oleh ahli fiqih yang sibuk memberikan pendapatnya mengenai berbagai peristiwa.
Berbicara dalam lingkup Islam,
saya tak tahu bagaimana hal itu bisa diizinkan,
pada suatu saat ketika tugas-tugas wajib suatu masyarakat diabaikan, seseorang malah malah terlibat
secara mendalam dalam bidang yang
telah dipelajari orang lain,”
Pada zaman Ibnu
Ikhwah saja ia sudah mengeluh dengan banyaknya dokter dari non muslim,
sepertinya jika ia hidup pada zaman sekarang ini, ia bisa mengelus dada, karena
Yahudi dan Nasrani tidak hanya menguasai muslim dalam bidang kedokteran saja,
namun hampir di segala bidang. Mereka menguasai perindustrian, astronomi,
termasuk menguasai sumber daya alam yang ada di negara-negara muslim. Parahnya
lagi, umat Islamlah yang sering dijadikan babu di tanah air sendiri, karena
teknologi yang ada adalah milik non-muslim, sedangkan muslimnya menjadi
pekerja, sehingga keuntungan terbesar jatuh di tangan mereka. Maka, tidak heran
jika taraf hidup sebagian umat Islam cenderung lebih rendah dari umat lainnya.
Selain itu, negara-negara Islam, walaupun memiliki sumber daya alam yang banyak,
tetapi mendominasi negara ketiga, Negara yang masih berkembang dan serba
kekurangan.
Di sini mungkin ada
yang bertanya : “Al-Quran mengatakan bahwa orang kafir tak akan dapat menguasai
orang-orang yang beriman, mengapa sekarang mereka dikuasai orang-orang kafir?
“Jawabnya bisa ditemukan dalam kenyataan bahwa kaum muslimin sekarang tidak
benar-benar beriman, mereka tidak melihat kewajiban-kewajiban mereka. Mereka
juga tidak memiliki kesatuan dan tidak mencari ilmu untuk mempersiapkan
perlengkapan-perlengkapan yang dianjurkan oleh Al-Quran pada QS 8 : 60 seperti
yang dikutip di atas. [115]
Ada dua masalah yang perlu dibahas di sini, pertama,
Islam memiliki perspektif bahwasanya imanlah yang menjamin penggunaan ilmu
secara tepat. Di dalam Al-Quran sendiri, ilmu dan iman berdiri berdampingan,
berjalan beriringan. Dengan kata lain iman tidak lebih tinggi dari pada ilmu,
ilmu juga tidak lebih tinggi dari pada iman. Maka tidak dapat dibenar jika ada orang
Islam hanya mementingkan salah satu dan menyepelekan yang lainnya.
Hal ini sesuai dengan ayat pertama pada Rasulallah SAW
yang menganjurkan untuk membaca, tetapi perintah membaca ini disebut setelah
nama Sang pencipta, ini menunjukkan bahwa menuntut ilmu atas nama Allah, untuk
kebaikan dan tidak mengikuti jalan setan. Ilmu bersama dengan iman membawa
kepada jalan kebenaran, sedangkan ilmu yang berada ditangan orang kafir
merupakan alat perusak. Banyak penemuan ilmu yang telah disalah gunakan oleh
para ilmuan non-muslim. Sebuah hadist yang diriwatkan oleh Zayn Al-Din
Al-’Amili, Rasulullah SAW berkata :
“Pastilah, sejahat-jahat kejahatan adalah ilmuwan
atau ulama yang jahat, dan sebaik-baik kebaikan adalah ilmuwan atau ulama yang
baik.”
Perlu dicatat, walaupun
mempelajari sains dan teknologi dianggap amat penting, tetapi sains saja belum
dianggap cukup, kaum muslim yang sudah memiliki kemampuan dibidang sains harus
memiliki ilmu dibidang agama juga. Hal ini sangat penting, karena ilmu agama
akan menuntun kejalan kebenaran. Sayyid Qutud menjabarkan masalah ini dengan
uraian sebagai berikut :
“Tuhan
telah membuat janji yang jelas dan telah memberikan perintah dimana jika iman
yang sesungguhnya merasuk kedalam orang-orang yang beriman dan dijalankan
didalam kehidupan dan sistem pemerintahan mereka, serta mencakup seluruh ucapan
dan perbuatan kaum muslim dan memberikan perhatian hanya untuk Allah, maka
Allah tidak akan memberikan orang-orang yang tidak beriman suatu kelebihan atas
orang-orang yang beriman. Untuk menjamin kemenangan di setiap tempat dan waktu,
maka kita selamanya harus memberikan prioritas di atas iman kita dan
persyaratan-persyaratannya. Dan adalah iman itu sendiri yang menghendaki
kekuatan dan kemandirian diri kita. Iman ini menghalangi kita dari usaha-usaha
musuh kita dan tidak mencari pertolongan kepada selain Allah SWT.”
Kedua,
Islam mendorong kaum muslim untuk melengkapi diri mereka dengan sains dan
tekologi, untuk menjamin kemerdekaan dan perkembangan masyarakat Islam, demi
menjaga aspek-aspek spiritual. Allah SWT telah menyeru kaum muslim untuk
memperkuat pertahanan mareka, sekaligus ditambahkan tujuannya, yaitu untuk
memperlemah musuh Allah yang mana mareka juga musuh umat Islam sendiri.[116]
5. PERBEDAAN PENDAPAT DI
KALANGAN ULAMA
Akhir-akhir ini banyak sekali dari ilmuwan yang
mengemukakan sebuah penemuan dengan dalil Al-Quran, seolah sebagai pembenaran
dari Al-Quran itu sendiri. Di antara mereka adalah Harun Yahya, M.Rehilli, Dr.
Mehdi Golshani dan ilmuwan-ilmuwan lain yang tidak mungkin disebutkan
satu-persatu di sini. Sejak dahulu para ulama sudah banyak yang berselisih
pendapat mengenai tafsir ilmiah Al-Quran sesuai dengan ilmu-ilmu kontemporer
yang kita temui sekarang ini.
Adapun pengertiannya adalah penafsiran-penafsiran yang menggunakan
perangkat ilmu-ilmu kontemporer, yaitu penemuan-penemuan dan teori-teorinya
untuk menjelaskan makna serta pengertian suatu ayat Al-Quran. Perselisihan yang
terjadi antara ulama satu dengan yang lainnya tidak berhenti sampai di sini,
banyak ulama-ulama yang memperbolehkan ilmuwan untuk menafsirkan ayat dengan
cara tersebut, namun tak sedikit yang melarangnya.
Di antara ulama yang sangat keras pelarangannya dalam
masalah penafsiran Al-Quran dengan dalil-dalil seolah sebagai pembenaran dari
Al-Quran itu adalah Syaikh Syaltut[117]Beliau
melarang mereka –para cendekiawan- yang menganalisis Al-Quran, menelitinya dan
menafsirkannya berdasarkan teori-teori ilmiah kontemporer, lalu menyelaraskan
dengan kaidah-kaidah ilmu alam. Mereka merasa telah berkhidmad kepada Al-Quran
dan mengangkat nama Islam.
Menurut Syaikh Syaltut, hal ini adalah kesalahan karena
dangan hal itu bisa membatasi Al-Quran, wahyu yang otentik sepanjang masa
dengan sebuah ilmu kontemporer yang bersifat temporal atau sementara. Hal itu
tidak boleh terjadi, menafsirkan sesuatu
yang mutlak kebenarannya dengan sesuatu yang masih bersifat sementara
atau relatif, contoh nyatanya adalah
yang terjadi pada paham Geosentris[118]
yang mana diyakini kebenarannya pada satu masa, kemudian tergantikan oleh paham
Heliosentris[119]
yang masih kita percaya kebenarannya sampai sekarang. Hal ini menunjukan bahwa
Ilmu pengetahuan itu bersifat relatif, maka ia bisa berubah jika suatu saat, di
masa yang datang setelahnya ditemukan teori baru yang lebih tepat dan akurat sehingga
memaksa teori sebelumnya untuk dihapus dari daftar ilmu pengetahuan karena
posisinya sudah tergantikan.
Maka, Syaikh
Syaltut berpesan agar kita membiarkan Al-Quran dengan keagungan dan
kemuliaannya yang tetap menjaga kesucian dan kesakralannya. Harus kita ketahui
bahwa sesuatu yang terkandung di dalamnya berupa isyarat berbagai rahasia
makhluk dan berbagai mozaik alam yang dimaksudkan untuk merangsang aktifitas
kajian dan analisis, agar manusia semakin bertambah keimanannya pada kebesaran
Allah SWT Sang Maha Pencipta.
Al-Quran diturunkan bukan untuk menerangkan tentang alam
semesta saja, tapi ia juga sebagai pegangan dan pedoman manusia untuk menjalani
kehidupan ini dengan jalan yang lurus, bukan di jalan yang menyalahi aturan
Allah SWT. Ayat-ayat Al-Quran tidak hanya menerangkan tentang alam saja,
melainkan tentang hukum-hukum segala sesuatu, karena Al-Quran mencakup
segalanya.
Namun, pendapat
Syaikh Syaltut ini sangat bertentangan dengan pendapat Imam Ghazali, dalam kitab
Ihya’ Ulumuddin, beliau mengutip pendapat-pendapat Ibnu Mas’ud yang
mengatakan bahwa siapa yang menginginkan ilmu-ilmu orang-orang terdahulu dan
kemudian, hendaknya ia mendalami Al-Quran, menurut beliau, tidak ada seorang
pun yang mampu mengetahui kesempurnaan makna firman Allah SWT, misalnya dalam
surat Al-Infithar: 6-8,[120]
orang tidak akan mampu memahami makna ayat ini, kecuali dia orang yang
mengetahui anatomi dan fisiologi tentang anggota tubuh manusia, baik lahir
maupun batin, termasuk jumlahnya, macam, fungsi dan perannya. Imam Ghazali
lebih cenderung untuk mendukung para cendekiawan yang dikecam oleh Syaikh
Syaltut, menurut beliau ilmu pengetahuan yang dipelajari oleh manusia dari
generasi lama dan generasi baru tidak akan pernah keluar dari ayat Al-Quran.
Sedangkan pendapat Syaikh Yusuf Qardhawi, beliau
mengambil sikap sebagaimana peninjauan terhadap suatu permasalahan dan
pemikiran yang berbeda selalu didapati dua kecenderungan yang sama ekstrim,
pada satu sisi kita menolak kecenderungan mentah-mentah untuk memasukkan ilmu pengetahuan
alam dalam bidang tafsir, dengan maksud ingin menjauhkan Al-Quran dari praktik trial and error sesuai dengan sifat ilmu
pengetahuan yang kesimpulannya selalu berubah-ubah dan kecenderungan lain yang
juga terlalu ekstrem dan berlebihan dalam menggunakan ilmu pengetahuan umum
dalam penafsiran Al-Quran yang terlalu memaksakan diri dalam
menginterpretasikan Al-Quran sehingga seolah memaksa Al-Quran mencakup ilmu
pengetahuan tersebut.
Dan adapula yang bersikap di tengah-tengah mereka -tidak
terlalu menerima dan tidak terlalu menolak-. Untuk kelompok terakhir ini harus
menggunakan beberapa prinsip, yaitu:[121]
a.
Harus
mengetahui prinsip-prinsip dasar ilmu tersebut. Prinsip ini sangat penting bagi
mereka yang hendak menafsirkan Al-Quran sebagaiman fatwa tentang masalah fiqih
yang selalu berkembang, fatwa dan hukum hendaknya disesuaikan dengan tempat dan
waktu, maka penafsiran AL-Quran, penjelasan Hadist dan metode dakwah harus pula
disesuaikan dan sejalan dengan masanya serta orang-orang yang hidup di zaman itu.
b.
Perhatian
seorang spesialis ilmu pengetahuan pada apa saja yang tidak menjadi perhatian
orang lain. Hal yang lazim diketahui bahwa setiap penafsiran Al-Quran
dipengaruhi oleh keilmuannya yang spesifik, penafsiran Al-Quran oleh seorang
ahli fiqih pada salah satu ayat Al-Quran akan berbeda dengan penafsiran ilmu
kalam, juga belum tentu sama dengan ahli bahasa. Bahkan setiap pembaca Al-Quran
akan memahaminya dan mengambil kesimpulan darinya sesuai dengan pengetahuan
yang ia miliki dan orientasi masing-masing yang berbeda.
c.
Syarat
penggunaan perangkat ilmu pengetahuan dan tafsir:
·
Berpegang
pada fakta ilmiah bukan sekedar hipotesis
·
Menjauhi
pemaksaan diri dalam memahami nash
·
Menghindari
untuk menuduh umat yang lain dan yang tidak sependapat adalah bodoh
Sayangnya, ada
beberapa pihak yang tidak mengindahkan ketiga syarat ini sehingga mereka
memaksakan pemahaman mereka dalam penafsiran ilmiah Al-Quran, sehingga
menghasilkan kesimpulan yang ditolak oleh kelompok kalangan lain.
Telah disebutkan sebelumnya bahwasannya menghubungkan
antara Tafsir Al-Quran dengan Sains masih menjadi perdebatan panjang di antara
ulama, namun Dr. Mehdi Golshani[122]
lebih condong kepada pembenaran untuk mempelajari ilmu alam dari kacamata
Islam, dia telah mencoba melihat sejauh mana konsepsi Islam mengenai ilmu dapat
sesuai dengan ilmu-ilmu kealaman. Studi Al-Quran dan Sunnah menunjukan bahwa
karena dua alasan fundamental, Islam mengakui signifikansi sains: Alasan yang
pertama adalah dengan melihat peranan sains dalam mengenal Tuhan sendiri dan
yang terakhir peranannya dalam stabilitas dan pengembangan masyarakat Islam.
8. KESIMPULAN
Sains selalu berkembang sejalan dengan perkembangan peradaban
manusia. Oleh karena itu, semakin maju peradaban manusia, semakin maju juga
sains dan teknologinya. Teknologi memiliki peran yang sangat penting dalam
kehidupan masyarakat, memberi kemudahan dalam kehidupan manusia. Teknologi
tidak akan terwujud tanpa adanya sains, karena sains sendiri adalah cikal-bakal
dari adanya teknologi itu sendiri. Sedangkan sains juga tidak akan pernah ada
jika saja Allah SWT tidak berbaik hati untuk menciptakan rasa ingin tahu dalam
diri manusia.
Dalam ilmu
psikologi pernah diutarakan bahwa anak usia balita yang memiliki rasa ingin
tahu yang tinggi cenderung tumbuh lebih cerdas dari sebayanya yang rasa ingin
tahunya rendah. Hal ini terbukti adanya, karena anak yang ingin tahu selalu
saja bertanya untuk menemukan jawaban yang bisa memuaskan rasa ingin
tahunya. Jawaban-jawaban yang ditemukan
itulah yang yang menghasilkan sains.
Manusia yang
senantiasa berpikir tentang alam dan penciptaannya dapat menemukan jalan untuk
menemukan Tuhannya, Sang Pencipta alam itu sendiri. Hal ini juga terjadi dalam
kisah Nabi Ibrahim AS yang sudah sering diceritakan, tentang pertanyaannya akan
siapa Tuhannya. Begitu pula Ibnu Tufail, dia yang hidup di hutan juga dapat
menemukan Tuhannya karena senantiasa menggunakan akalnya untuk berpikir tentang
pencitaan.
Selain dengan
akalnya sendiri, Allah SWT juga telah menuntun manusia melalui kitab suci
Al-Quran. Di dalamnya termaktub tentang sains dan menuntut manusia untuk
memikirkan tafsiran maknanya. Sedangkan untuk menafsirkannya sendiri tidaklah
mudah, memerlukan beberapa ilmu yang harus dikuasainya. Ilmu-ilmu itu adalah
intisari dari pada Al-Quran. Jadi setiap muslim dituntut untuk menguasa
ilmu-ilmu itu agar lebih dekat dengan Al-Quran.
Berbicara mengenai
sains yang ada di dalam Al-Quran bukan berarti mengklaim Al-Quran sebagai kitab
saintik, karena Al-Quran tidak hanya mencakup tentang itu, Al-Quran mencakup
segala hal yang berkenaan dengan kehidupan manusia. Maka, banyak sekali
perdebatan ulama dalam hal membolehkan pemakaian ayat Al-Quran untuk pembenaran
sebuah ilmu pengetahuan. Ini dikarenakan sifat sains sendiri yang selalu
berubah dan selalu berkembang, ditakutkan jika ayat pembenarannya sudah
dicantumkan ternyata ada perkembangan sains, ayat Al-Quran itu yang disalahkan.
Maka, yang dibutuhkan Islam sekarang adalah persatuan antara ulama dan
ilmuwannya, agar pemakaian tafsir Al-Quran tidak digunakan dengan sembarangan,
karena kesalahan tafsir dapat berakibat fatal. Wallahu A’lam bi as-Showab.
BAB IV
MENYINGKAP RAHASIA
AL-QURAN
1. KEABADIAN
AL-QURAN
P
|
embahasan yang lalu menegaskan
bahwa Al-Quran adalah sebuah kitab ng abadi di sepanjang zaman. Karena bila
perkataan sepenuhnya benar dan sempurna, maka tidak mungkin ia terbatas oleh
zaman, Al-Quran menegaskan kesempurnaanya pada perkataanya :
“Sesungguhnya
Al-Qur’an itu benar-benar perkataan yang pasti, dan bukan merupakan permainan,”[123]
Pengetahuan yang benar itu merupakan hakikat
kebenaran, dasar-dasar akhlaq dan hukum-hukum perbuatan yang dijelaskan Al-Quran
merupakan hasil dari kebenaran-kebenaran yang telah mapan, tidak terjamah
kebatilan, serta tak akan musnah sepanjang zaman.[124]
“Dan Kami turunkan (Al-Quran)itu dengan
sebenarnya dan (A-Quran) itu turun dengan (membawa) kebenaran. Dan Kami mengutus engkau (Muhammad), hanya sebagai pembawa berita gembira dan
pemberi peringatan.”[125]
Al-Quran
disusun tanpa penambahan, pengurangan maupun perubahan sedikit pun. Keadaannya
selalu terjaga sepanjang zaman.[126] Ketika Umar bin Khattab
menjabat sebagai khalifah dan menghilangkan huruf wawu dalam QS 9: 100,
ia diprotes oleh para sahabat tanpa memandang jabatannya ketika itu, jadi siapa
pun yang merubah isi Al-Quran, baik disengaja ataupun tidak, ia akan
mendapatkan protes keras dari para sahabat, bahkan Ubay bin Ka’ab berani
mengancam dan menghunuskan pedang pada siapa saja yang berusaha menghilangkan
salah satu huruf dalam Al-Quran. Mengetahui tentang cerita ini, kita dapat
membayangkan betapa Al-Quran sangat terjaga keasliannya.[127]
Meskipun
imam Ali merupakan orang yang pertama kali menghimpun Al-Quran menurut urutan
turunnya, kemudian ia tidak disertakan dalam penghimpunan pertama dan kedua, ia
tidak lantas menentang. Bahkan ia menerima mushaf itu dengan lapang dada
dan tidak menyatakan masalah apa pun sampai ia menjabat sebagai khalifah.
Demikian halnya dengan Imam Ahlul Bait, keturunan Ali dan
penerus-penerus keturunannya, tak ada seorang pun yang terlihat menentang mushaf
yang ada, mereka tidak mengatakan apa pun, meskipun pada sahabat terdekat
mereka. Bahkan mereka selalu menggunakan mushaf itu sebagai pegangan dan
menyuruh kaum Syi’ah untuk membaca Al-Quran sebagai halnya kebanyakan kaum
muslimin membacanya, namun jika sekarang ada yang sebagian orang Syi’ah yang
menyatakan bahwa Al-Quran yang sekarang sudah tidak asli lantaran terlalu
fanatik pada Ali dan sangat membenci mushaf Utsmani, maka itu adalah
pandangan yang tidak memiliki dasar yang kuat.
Diamnya
Imam Ali yang mushaf himpunannya memiliki perbedaan dalam hal urutan surat dan ayat dengan mushaf
lazimnya dikarenakan urutan Al-Quran tidak begitu penting dalam upaya
penafsiran Al-Quran dengan Al-Quran, padahal hal itu sangat diperhatikan oleh Ahlul
Bait. Tetapi sesuatu yang sangat penting itu sebenarnya adalah
memperhatikan keseluruhan ayat Al-Quran dan membandingkan ayat satu dengan ayat
yang lain, karena Al-Quran adalah sebuah kitab suci yang abadi untuk semua
zaman dan bangsa, dengan kata lain Al-Quran tidak dibatasi ruang dan waktu,
baik itu ada peristiwa yang melatar belakanginya ataupun tidak ada peristiwa
yang melatar belakanginya.
Walaupun
demikian halnya, tetapi tidak ada salahnya untuk mengetahui dimensi-dimensi
ini, jika seseorang mengetahui lahirnya sebuah ilmu pengetahuan, hukum, kisah
yang bersamaan dengan turunnya ayat-ayat Al-Quran, maka itu lebih baik baginya.
2. UNIVERSALITAS AL-QURAN
Al-Quran tidak dikhususkan untuk
bangsa tertentu, entah itu bangsa Arab maupun non Arab, begitu juga kaum
tertentu, Al-Quran tidak hanya untuk kaum muslim, tetapi ia juga untuk mereka
yang bukan muslim, termasuk di sini orang-orang kafir, musyrik, Ahlul Kitab,
Yahudi, Bani Israel dan Nasrani. Al-Quran menghujjah semua kalangan dan mengajak
mereka semua untuk mengikuti ajarannya. Al-Quran tidak pernah mengkhususkan
satu ayat pun untuk Arab saja. Salah satu contohnya adalah ayat berikut ini:
“Katakanlah: ‘Wahai Ahlul Kitab, marilah menuju kepada keputusan yang
sama antara kami dan kamu. Hendaklah kita tidak menyembah kecuali Allah SWT,
tidak menyekutukan-Nya, dan sebagian kita tidak menjadikan sebagian yang lain
sebagai Tuhan selain Allah,’[128]
Setelah menelaah ayat
di atas, kita dapat menemukan satu bukti bahwa Al-Quran tidak berbicara dengan
kata-kata “Wahai Ahlul Kitab Arab….” Memang , dalam permulaan Islam, ketika dakwah Islam
belum tersebar dan keluar dari wilayah Arab, pembicaraan Al-Quran banyak
ditujukan kepada bangsa Arab. Namun, sejak tahun keenam Hijrah, setelah dakwah
Islam tersebar sampai di luar Jazirah Arab, tidak ada lagi alasan untuk
pengkhususan. Selain ayat yang disebutkan di atas, masih banyak ayat-ayat lain
yang menunjukan universalitas dakwah Islam.[129]
Membicarakan tentang
bahasa Arab dan hubungannya dengan Al-Quran, kita akan menemukan keajaiban dan
keistimewaan di dalamnya. Al-Quran menggunakan bahasa Arab asli dalam masa
keemasannya, ketika bangsa Arab membanggakan kefasihan dan keindahan bahasa
mereka. Pada waktu itu gaya
bahasa Al-Quran merupakan cahaya yang berkilauan. Sayangnya, pada abad pertama
Hijrah, bahasa Arab kehilangan kefasihan dan keindahan akibat penaklukan-penaklukan
yang dilakukan oleh umat Islam. Mereka mulai bercampur dengan bangsa-bangsa
non-Arab dan orang-orang yang kurang memahami bahasa Arab sendiri. Sehingga
lama-kelamaan kebanggaan mereka mulai berkurang dikarenakan kefasihan mereka
yang berkurang pula.
Walaupun bahasa Arab
mulai kehilangan kefasihannya, tidak demikian halnya dengan Al-Quran, ia
bukanlah buatan manusia, ia tetap bertahan dengan keindahannya, kemilaunya dan
kefasihannya. Tak ada yang meragukan keindahan bahasa Al-Quran, meskipun ia
seorang pujangga dan penyair kelas atas sekali pun. Semuanya mengakui bahwa tak ada yang mampu menandingi
kesempurnaan Al-Quran. Bahkan, ketakjuban para penyair itu tak dapat dilukiskan
dengan kata-kata.
Al-Quran diturunkan
selama dua puluh tiga tahun secara berangsur-angsur, ia diturunkan tidak dalam
satu keadaan, ia diturunkan ketika Nabi Muhammad SAW dalam keadaan senang,
sedih, kacau, aman, perang damai dan keadaan yang lainnya, tetapi walaupun
keadaannya sedemikian rupa, ini tak mampu membuat Al-Quran berselisih antara
satu ayatnya dengan ayatnya yang lain.
Hal ini menandakan keuniversalannya, karena ia
tidak hanya untuk umat Nabi Muhammad yang sezaman dengannya saja, melainkan
umatnya yang lain yang datang setelahnya, maha benar Allah SWT yang memberi
kita petunjuk melalui kitab suci-Nya yang sempurna.
3. KESEMPURNAAN AL-QURAN
Al-Quran
memuat dan menerangkan tujuan puncak umat manusia dengan bukti-bukti kuat dan
sempurna, dan tujuan itu akan dicapai dengan pandangan realistik terhadap alam,
dam dengan melaksanakan pokok-pokok akhlaq dan hukum-hukum perbuatan penggambaran
betapa sempurnanya Al-Quran dapat kita lihat di dalam firman Allah SWT:
“Menunjukan kepada kebenaran dan jalan yang
lurus,”[130]
Selain
itu Al-Quran ada untuk mengoreksi kitab-kitab yang datang sebelumnya,
dikarenakan pada kitab-kitab itu telah terjadi perubahan-perubahan yang telah
dilakukan oleh tangan-tangan manusia, kitab yang asli disembunyikan kemudian
diganti dengan kitab lainnya yang sesuai dengan jalan pikiran mereka yang telah
disesatkan oleh setan yang terkutuk.
“Kami turunkan Al-Quran kepadamu dengan
membawa kebenaran untuk membenarkan dan mengoreksi kitab yang sebelumnya.”[131]
Ayat
ini turun setelah ayat yang membicarakan tentang Taurat dan Injil. Al-Quran
mengandung pokok-pokok syariat yang sesuai dengan Nabi-Nabi sebelum Muhammad
SAW. Ini menunjukan bahwa Al-Quran merupakan kumpulan dari ajaran-ajaran yang
terdahulu, ia ada untuk melengkapi yang terdahulu. Tidak ada pertentangan
antara ayat Zabur, Taurat, Injil yang asli dengan Al-Quran, hal ini dikarenakan
semuanya memiliki tujuan yang sama, berporos pada ajaran tauhid (meng-Esakan
Allah SWT).
Untuk
menguatkan tentang hal ini, ayat berikut ini dapat membuktikannya:
“Dia mensyariatkan kepadamu agama yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh, dan yang Kami wahyukan kepadamu, dan agama yang telah diwasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa,”[132]
“Dia mensyariatkan kepadamu agama yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh, dan yang Kami wahyukan kepadamu, dan agama yang telah diwasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa,”[132]
Al-Quran
adalah kitab suci yang meliputi segala sesuatu, termasuk bidang sains dan masa
depan, jadi tidak masuk akal jika ada dikotomi antara kehidupan modern dengan
Al-Quran. Selain itu, Al-Quran juga sangat sesuai untuk kehidupan berpolitik.
Negara yang dibangun berdasarkan Al-Quran akan menjadi negara yang kuat,
sedangkan negara yang menganut paham sekularisme dan meninggalkan ajaran
Al-Quran hanya akan menemukan kebahagiaan duniawi yang semu dan jauh dari
kebahagiaan yang hakiki, yaitu kehidupan akhirat. Beruntunglah bagi mereka yang
senantiasa hidup dalam naungan Al-Quran.
“Kami menurunkan Al-Quran kepadamu untuk
menjelaskan segala sesuatu.”[133]
Sejarah
Al-Quran yang cukup panjang telah diuraikan pada bab pertama dengan jelas dan
gamblang tanpa menyisakan kesimpang-siuran, jelas sekali tertera di sana, sejak masa turunnya
hingga sekarang di zaman yang serba modern ini.
Ayat-ayat
dan surat-suratnya tak putus-putusnya dibaca, ditelaah dan diperbincangkan oleh
kaum muslimin. Mereka semua sudah tahu dan sangat sadar bahwa Al-Quran yang ada
pada zaman sekarang sama dengan Al-Quran yang diturunkan secara
berangsur-angsur kepada Nabi Muhammad SAW empat belas abad yang lalu. Maka dari
itu, Al-Quran tidak membutuhkan bukti sejarah untuk membuktikan keotentikannya.
Al-Quran
menyebutkan sifat-sifat yang ada padanya, jika kita meyesuaikan sifat-sifat
Al-Quran dengan yang ada sekarang, kita tidak akan menemukan perbedaan antara
masa lalu dengan masa sekarang, Al-Quran dari dulu hingga kini belum ada yang
dapat menandingi kehebatan suratnya, Allah telah menantang hamba-Nya yang masih
meragukan wahyu Allah ini, maka Dia mempersilahkan untuk membuat yang semisal
dengannya, namun sejak zaman Rasulullah SAW hingga kini pun tak ada seorang pun
yang mampu membuat tandingannya, meskipun dengan bantuan jin dan lainnya.
Sebut
saja sifat-sifat Al-Quran yang luar biasa yang tidak dimiliki kitab suci
sebelumnya: Al-Quran adalah cahaya, petunjuk, menuntun manusia kepada Yang Haq (Allah)
dan kebenaran, menjelaskan apa saja yang dibutuhkan manusia dan sesuai dengan
fitrahnya yang suci, ia adalah firman Allah SWT. Jika masih ada yang tidak
percaya, hendaklah manusia dan jin bekerja sama untuk mendatangkan apa yang
seperti Al-Quran, atau hendaklah mereka mendatangkan seseorang semisal Nabi
Muhammad SAW yang buta huruf dan tidak pernah belajar selama hidupnya. Apa yang
dikatakannya belum pernah ada yang mengatakannya sebelumnya, tidak ada
pertentangan di dalamnya, jika ada ayatnya yang dihapus, maka penggantinya
tidak mungkin lebih buruk dari ayat sebelumnya, tetapi sudah dapat dipastikan
penggantinya lebih baik atau setidak-tidaknya memiliki kebaikan yang sama
dengan sebelumnya, gaya bahasa Al-Quran sangat indah, maka tidak heran jika di
awal turunnya banyak yang menyangka bahwa ia adalah karya sastra yang sangat
hebat, hukum-hukum di dalamnya tidak bertentangan satu sama lain, Allah SWT
hanya mengganti suatu hukum jika di dalamnya ada kendala atau halangan yang
menyebabkan suatu hukum dalam Al-Quran berubah, misalnya: hukum
diperbolehkannya membatalkan puasa Ramadhan bagi yang sakit, tua dan kendala
lainnya, diperbolehkannya makan bangkai yang haram jika tidak ditemukan yang
lainnya, maka ini bukanlah tanda bahwa hukum-hukum di dalam Al-Quran terdapat
keruwetan, lebih dari itu, Al-Quran telah memuat segala hal
selengkap-lengkapnya, bahkan meliputi kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi
dalam kehidupan manusia, Al-Quran memang sangat sempurna dan lengkap, hal ini
tidak mungkin terwujud jika saja tidak datang dari Yang Maha Sempurna.
Al-Quran
menuntut manusia ke jalan Yang Haq dan kebenaran dengan cara yang luar biasa,
karena di dalamnya terdapat penjelasan yang lengkap tentang rahasia-rahasia
alam dengan bukti yang rasional dan terperinci, walaupun masih ada beberapa
ayat yang masih bermakna umum, bukan berarti Al-Quran tidak lengkap, tetapi
Al-Quran memaksa manusia yang sudah dikaruniai akal untuk berpikir lebih jauh
lagi tentang rahasia yang tersembunyi dari ayat-ayat yang bersifat umum tadi.
Al-Quran tidak menyebutkan rumus-rumus matematika, fisika, kimia dan lain
sebagainya, tetapi Al-Quran menyiapkan kuncinya, hanya saja ia menunggu siapa
yang akan mengambil kunci itu, kemudian membuka tabir di balik rahasia yang
ada.
Seharusnya
ini menjadi PR yang besar bagi ilmuwan muslim, sayangnya ilmuwan muslim banyak
yang kurang peka terhadap ayat-ayat Al-Quran, sehingga sering terjadi kunci itu
terambil oleh ilmuwan non-muslim dikarenakan kepekaan mereka dalam membaca ayat
kauniyah dan segala fenomena yang ada di alam ini. Sebenarnya ilmuwan muslim di
masa lampau sudah berusaha keras untuk menemukan rahasia alam, bahkan beberapa
dari mereka sudah menelurkan karya yang luar biasa, sayangnya ada beberapa
faktor yang menyebabkan kemunduran sains di kalangan umat Islam saat ini,
mengenai masalah ini selengkapnya akan dibahas pada bab ke-enam.
Manusia
memiliki banyak kebutuhan dalam hidupnya, tetapi yang paling dibutuhkannya
adalah iman, jika pun ada yang mengaku dapat hidup tanpa iman, ia sedang
berbohong dan ini hanya omong kosong belaka, karena di dalam hatinya ia membutuhkan
pegangan, manusia adalah makhluk religius yang harus memiliki sesuatu untuk
diyakini dan dijadikan pedoman, maka Allah SWT telah menyiapakan Al-Quran
sebagai dasar manusia, khususnya umat Muhammad SAW untuk menjalankan
kehidupannya di muka bumi ini.
Al-Quran
menjadikan tauhid sebagai dasarnya, kemudian dari tauhid inilah adanya akhlak
yang mulia, maka di dalamnya terdapat amalan-amalan yang mampu mengantarkan
manusia menuju ke surga beserta kabar tentang kenikmatan tingga di sana, hal
ini penting sekali bagi manusia untuk memicu manusia agar selalu berbuat
kebaikan untuk kehidupannya di akhirat kelak.
Sebaliknya,
Al-Quran juga mengabarkan keburukan-keburukan yang bisa mengantarkan manusia ke
jalan sesat dan kepedihan, yang mengantarkan manusia menuju neraka yang apinya
menyala-nyala.
Jika
manusia ingin mendapatkan contoh konkret dari akhlak manusia yang sempurna,
Allah SWT telah mengutus Nabi-Nya untuk menjadi teladan bagi manusia itu
sendiri. Maka di sinilah wahyu itu sangat dibutuhkan, terkadang manusia memang
sudah pandai dan merasa membutuhkan ibadah untuk menyembah kekuatan di atas
kekuatan mereka, sayangnya manusia juga rentan untuk disesatkan oleh
setan-setan yang memang senantiasa mengganggu dan membisiki manusia untuk
selalu mengikuti jalan kesesatan, jadi tidak perlu heran jika ada yang
mengikuti paganisme, menyembah patung-patung yang tidak mampu berbicara, tak
bisa mendengar, apa lagi mengabulkan permintaan penyembahnya, ada juga yang
menyembah sapi sehingga mengharamkan diri sendiri untuk memakannya, juga pohon,
matahari dan lain sebagainya yang dianggap memiliki kekuatan yang besar.
Maka
wahyu yang diturunkan pada para Nabi itulah yang mengemban tugas untuk
mengembalikan manusia ke jalan yang lurus agar manusia dapat hidup sesuai dengan
fitrah kemanusiaannya, sesuai dengan tujuan penciptaannya, untuk beribadah
hanya kepada Allah SWT, bukan menyembah tandingan-tandingan-Nya.
Menyadari
akan pentingnya Al-Quran dan Sunah ini, maka setiap umat Islam harus mengikuti
keduanya, jika ada umat Islam yang mengikuti perkataan kaum orientalis yang
mengatakan bahwa umat Islam hanya membutuhkan Al-Quran saja, tidak membutuhkan
Hadist, itu adalah sebuah kebohongan besar. Karena jika umat Islam mengikuti
keduanya secara menyeluruh, maka akan terciptalah kehidupan beragama yang
sempurna, kaffah.
Jika
ada muslim yang mengikuti salah satu ajaran dan meninggalkan ajaran yang lain,
ia belum bisa dikatakan sebagai muslim yang kaffah,
ia masih setengah-setengah dalam menjalankan agamanya, jika itu terus berlanjut
maka keimanannya pada Allah SWT juga perlu diragukan dan perlu dikoreksi lagi.
4. KESIMPULAN
Setelah pembahasan tentang
Al-Quran yang universal, sempurna dan abadi, maka harus ditanamkan keyakinan
bahwa Al-Quran adalah kitab suci yang benar-benar asli dan tidak perlu
diragukan lagi keotentikannya. Setiap muslim harus menyadarinya agar ia selalu
berusaha untuk mencintai Al-Quran, mencoba untuk menelaah kandungan dan makna
yang ada di dalamnya.
Umat
Islam tidak lantas berhenti pada tahap pembelajaran dan penelaahan isi Al-Quran
saja, atau hanya berbangga dengan kitab sucinya. Karena hal yang terpenting
untuk dilakukan adalah mengamalkan apa yang telah dipelajari, paham saja tidak
cukup, tetapi pemahaman yang diiringi dengan amalan-amalan yang sesuai dengan
petunjuk Allah yang sudah termaktub di dalam ayat-ayat-Nya.
Memang
sudah menjadi tugas manusia untuk beribadah kepada Allah SWT, karena tujuan
diciptakannya memang untuk demikian dan membaca Al-Quran adalah salah satu
bentuk ibadah yang sangat dianjurkan.
Sungguh
sesuatu yang mengherankan, jika ada umat Islam yang meninggakan petunjuk yang
telah diberikan. Ibaratnya seperti orang yang sedang menempuh perjalanan,
lantas membuang peta yang ada di tangan. Di sini penulis tidak sedang
menyamakan peta dengan Al-Quran, karena petunjuk Al-Quran lebih lengkap dari
pada hanya sekedar peta. Jika peta hanya menunjukan rute perjalanan yang perlu
di tempuh manusia dalam perjalanan menuju ke tempat tujuannya. Al-Quran
tidaklah demikian, dengan bahasanya yang mudah untuk dipelajari, Al-Quran
menjelaskan keadaan manusia sebelum memulai perjalanan, sekaligus keadaan
setelahnya, apa yang akan di dapatkan manusia setelah menempuh perjalanan
panjangnya itu.
Sekarang,
pilihannya ada di tangan manusia, barang siapa yang senantiasa mengikuti
petunjuk, ia akan sampai di tempat tujuannya (alam akhirat) dengan selamat. Namun
jika ia tidak menghiraukan petunjuk yang ada, mempersilahkan orang lain untuk
merusak petunjuknya (orientalis dan non-muslim lain yang hendak merusak
Al-Quran), maka hanya tinggal menunggu saja, kecelakaan, kesesatan dan siksa
yang pedih telah menunggu di masa depannya.
Maka,
beruntunglah bagi mereka yang mengikuti Al-Quran, kitab suci yang selalu dijaga
oleh Pemiliknya, kitab suci yang akan memayungi pencintanya di padang mahsyar, kitab suci yang tidak akan
didatangan kebatilan padanya baik dari depan, belakang, atau dari arah manapun.
“Sesungguhnya orang-orang yang mengingkari
Al-Quran ketika itu disampaikan kepada mereka (mereka pasti akan celaka), dan
sesungguhnya (Al-Quran) itu adalah kitab yang mulia. (yang) tidak akan
didatangi oleh kebatilan baik dari depan maupun dari belakang (pada masa lalu
dan yang akan datang, yang diturunkan dari Tuhan Yang Maha Bijaksana, Maha
Terpuji.” [134]
BAB V
AL-QURAN DIHUJAT
1.
SERANGAN BARAT TERHADAP Al-QURAN
S
|
ebelum
membicarakan tentang masalah ini, perlu diketahui makna dari Barat terlebih
dahulu, Barat yang dimaksud penulis di sini bukanlah setiap negara yang berada
di Barat, karena banyak kaum muslim yang tinggal di kawasan Barat, Barat yang
perlu kita bahas di sini adalah mereka yang memiliki dendam kesumat pada Islam
sejak dulu, mereka adalah orang-orang yang telah gagal dalam upaya untuk
memerangi Islam melalui perang salib. Terlebih lagi sekarang mereka dibantu
oleh antek-antek Zionisme Yahudi yang sangat antipati terhadap Islam. Baik
Yahudi maupun Nasrani keduanya sama-sama takut akan kegemilangan Islam, mereka
yakin bahwa musuh terbesar mereka untuk menguasai dunia tidak lain adalah umat
Islam, yang mereka takutkan bukanlah umat Islam yang kurang memperhatikan
agamanya, bukan pula yang tidak bisa
diandalkan dan enggan untuk berpikir tentang kemajuan Islam. Namun, yang mereka
khawatirkan adalah umat Islam yang selalu aktif, inovatif dan selalu berupaya
untuk bangkit dari keterpurukan dan selalu yakin akan kembalinya kejayaan
Islam.
Maka, Yahudi-Nasrani mulai diidentikan dengan sebutan
Barat, sedangkan umat Islam sendiri lebih identik dengan sebutan Timur, jadi
tidak salah jika ada seorang muslim yang berperilaku ala Barat terkadang
mendapatkan komentar, “Dia itu sudah terkontaminasi dengan budaya Barat dan
mulai meninggalkan budaya Timurnya,”
Segala daya upaya telah diusahakan oleh Barat untuk
membalas dendam atas kekalahan perang salib, namun kegagalan demi kegagalan
harus mereka terima karena persatuan Islam, tekad berjihad serta semangat untuk
terus membela Islam sudah terpatri kuat di dalam hati setiap muslim sehingga
mereka tidak tergoyahkan, akhirnya mulai
menyadari bahwa Islam tidak akan mungkin mampu untuk dikalahkan dengan kekuatan
pedang. Islam hanya bisa dikalahkan dengan kelicikan dan kekuatan akal, maka
mulailah mereka menyerang dari segi kekuatan intelegensi, terutama untuk kaum
cendekiawan dan ilmuwannya. Mereka mulai dengan usaha brain wash, menggencarkan
gerakan Orientalis, kemudian menggabungkan kekuatan Zionisme Yahudi dan
Missionaris Nasrani yang sama-sama besar dan berpengaruh.[135]
Missionaris adalah salah satu agen Barat yang sangat gencar
dalam menyerang Islam, mereka mengimbangi gerakan para da’i-da’i muslim
dengan berbagai cara, mereka mendatangi pemukiman-pemukiman muslim yang masih
terbelakang, menjanjikan pendidikan dan kehidupan yang layak bagi mereka yang
masih hidup di bawah garis kemiskinan. Mereka berbuat seolah-olah sebagai dewa
penolong yang menebar kebaikan di muka bumi. Padahal, tujuan mereka tidak lain
adalah untuk merusak aqidah dan akhlak umat Islam agar memudahkan bagi mereka
untuk melemahkan umat Islam yang mereka yakini memiliki kekuatan yang sangat
besar. Mereka berusaha meninabobokan umat Islam, karena jika umat Islam sudah
bangkit dan bersatu, dapat dipastikan akan menjadi kakuatan yang maha dasyat
atas seizin Allah SWT.
Sejarah dari pada Missionaris sendiri sudah sejak abad
ke-10 H, tadinya gerakan ini hanyalah gerakan yang kecil-kecil, namun karena
organisasinya yang rapi dan teratur disertai dengan perkumpulan-perkumpulan
yang berkesinambungan, maka menjelmalah gerakan kecil ini menjadi kekuatan yang
besar.[136]
Mereka mulai mengembangkan sayap dengan cara menyerang Al-Quran dan Al-Hadist.
Membuat tiruan-tiruan kaligrafi ayat-ayat Al-Quran dengan ayat-ayat Injil, atau
merekam ayat-ayat injil dengan nada yang menyerupai tartil Al-Quran, sehingga
didapati pemandangan yang menggelikan di desa-desa terpencil yang mana kegiatan
keagamaannya cukup bagus, tetapi tidak diikuti dengan keilmuan yang mumpuni,
sehingga kaligrafi yang nyeleneh itu sukses menghiasi rumah-rumah mereka
dan lantunan ayat injil yang menyerupai Al-Quran mereka perdengarkan.
Sedangkan Orientalis juga memiliki peran yang sangat besar
dalam upaya penyerangan Islam, bahkan serangan mereka lebih mengena dari pada
Missionaris, karena mau tidak mau harus diakui keberadaannya memiliki pengaruh
yang teramat besar bagi perkembangan Islam di zaman sekarang. Tujuan mereka
tidak lain adalah untuk menyerang Islam, agar umat Islam mengagung-agungkan
pemikiran Barat yang tidak berasaskan Al-Quran maupun Al-Hadist. Selain itu
mereka ingin agar umat Islam dengan senang hati mengabdi pada Barat, mengikuti
kemauan Barat dan berbuat sesuai dengan tujuan Westernisasi.
Sekilas, tujuan Missionaris memang memiliki banyak
persamaan dengan Orientalis, tapi perbedaan mereka adalah dari metode yang
mereka gunakan. Jika Missionaris menyerang melalui sekolah-sekolah, rumah sakit
dan lembaga kemanusiaan, tidak demikian halnya dengan Orientalis, gerakan
mereka lebih terselubung dan hampir tidak terasa, kecuali bagi mereka yang
berpandangan kritis dalam menghadapi suatu masalah. Metode yang dipakai oleh
Orientalis terbilang cukup cerdas, bahkan menurut penulis sendiri yang
membedakan antara Missionaris dan Orientalis adalah jika yang menjadi target
sasaran Missionaris adalah mereka yang terbelakang dan kurang mendalami ilmu
agama, maka yang menjadi target Orientalis adalah cendekiawan muslim yang
tingkat keilmuannya sudah tidak diragukan lagi.
Maka, penulis berpendapat bahwa kekuatan Missionaris dan
Orientalis memang sama-sama tangguh, namun yang lebih berbahaya adalah
Orientalis, karena cendekiawan muslim yang menjadi target mereka, seharusnya mereka
yang menjadi pelopor dalam kebangkitan Islam, jika mereka yang seharusnya bisa
diandalkan untuk memajukan Islam malah menggerogoti Islam dari dalam, siapa
lagi yang akan mengupayakan kebangkitan Islam?
Karena itu, perlu disimak di sini beberapa pandangan Muhyi
Ad-Din Hasan Al-Qhodmany di dalam bukunya “Qhodoya Hammad fi Hadhiri
Al-A’lam Al-Islamiyah”, ia mengungkapkan berapa metode yang digunakan oleh
Missionaris dan Orientalis dalam menyerang Islam, antara lain sebagai berikut:
- Mereka meyakinkan pada umat Islam bahwa keterbelakangan umat Islam dikarenakan mereka mengikuti ajaran atau syariat Islam yang terlalu mengekang, tidak membebaskan umatnya untuk berkehendak sesuai keinginan. Maka tidak heran jika mereka selalu mendengungkan isu HAM yang sebenarnya dilanggar oleh mereka sendiri. Mereka juga menyebarkan isu bahwa kemajuan Barat lebih dikarenakan paham-paham mereka yang mereka anggap maju dan sangat sesuai dengan zaman. Seperti: Materialisme, Sekularisme, Feminisme, Liberalisme dan isme-isme lainnya yang kebanyakan mengacu pada Atheisme.
- Selain itu mereka juga menyerang dari kitab suci umat Islam yang tidak lain adalah Al-Quran, mereka menggencarkan serangan pada umat Islam bahwasannya Al-Quran bukanlah wahyu yang bica dipercaya, sesungguhnya Muhammad SAW telah mengambil ayat-ayatnya dari kabar yang ia dapatkan dari kaum pendahulunya, yaitu Yahudi dan Nasrani, dua agama yang keberadaannya mendahului Islam. Melihat kenyataan ini, penulis sengaja menuliskan sejarah turunnya Al-Quran dengan sangat mendetail (lihat pada bab I).
- Hadist-hadis Nabi Muhammad SAW, menurut mereka tidak diperlukan lagi, umat Islam hanya membutuhkan Al-Quran saja. Mereka mengungkapkan hal yang demikian dengan dalih bahwasannya Hadis itu adalah hasil rekayasa umat Islam yang baru lahir jauh setelah wafatnya Sang Nabi, dengan kata lain mereka mengungkapkan bahwa hadist-hadist yang ada di tengah-tengah umat Islam sekarang adalah Hadist palsu yang tidak bisa dipercaya keasliannya. Bagi umat Islam yang belum pernah belajar tentang Ulum al-Hadist dan Mustalah al-Hadist serta tidak pernah mendengar tentang matan, rawi, sanad dan istilah lainnya yang berhubungan dengan hadist, bisa saja terpengaruh dengan isu yang mereka sebarkan, dampaknya bisa luar biasa, umat Islam bisa saja meninggalkan sunnah Rasul atau amalan-amalan yang telah diajarkan Rasulullah SAW.
- Mereka berupaya untuk meyakinkan umat Islam bahwa sesungguhnya akhlak itu tidaklah tetap, akhlak selalu berkembang mengikuti perkembangan zaman dan harus sesuai dengan modernisasi, maka akhlak tidak harus mengikuti satu aturan saja. Jika point yang ke-4 ini dianalisa kembali, kemudian disesuaikan dengan fakta mengenai akhlak umat Islam masa kini, khususnya pemuda-pemudinya, setiap orang tua muslim yang memiliki anak yang menginjak usia remaja pantas mengelus dada. Karena metode yang mereka gunakan dalam upaya mencuci otak dan merubah akhlak umat Islam terbilang berhasil. Banyak contoh yang dapat diambil, beberapa diantaranya adalah banyaknya pemuda-pemudi Islam yang sudah menyepelekan adab bergaul, mereka sudah beranggapan bahwa bergaul secara Islami adalah kuno, orang yang belum memiliki pasangan (padahal belum menikah) dianggap ketinggalan zaman, sedangkan mereka yang mau mengikuti gaya hidup ala Barat, berpakaian layaknya artis Barat, dan mendewakan peragaulan bebas adalah manusia-manusia modern.
- Menurut mereka (baca:Barat), jika umat Islam ingin maju dan memiliki peradaban yang tinggi seperti Barat, mereka harus mengikuti cara yang telah dipakai oleh Barat, misalnya Sekularisasi, jadi umat Islam (jika ingin maju) harus meninggalkan segala aturan yang telah ditetapkan oleh agamanya, meninggalkan Al-Quran dan As-Sunnah, meninggalkan hukum-hukum Islam, memisahkan antara agama dan negara.
- Mereka menganggap ada 3 hal yang paling berbahaya dari Islam, yaitu: (1) Saat umat Islam menghilangkan demokrasi dari negaranya dan mengubah cara bernegaranya menjadi khilafah[137], jika itu benar-benar terjadi, maka kekuatan Islam akan menyatu di bawah pimpinan satu khalifah, maka akan sulit sekali untuk memecah-belah, mengadu domba umat Islam. (2) Saat umat Islam mengagung-angungkan kata Jihad melawan kebatilan, orang-orang Barat sangat takut dengan kata-kata jihad. Tidak mustahil jika pikiran mereka langsung tertuju pada aksi bom bunuh diri, penganiayaan, pembunuhan dan perusakan lainnya saat mereka mendengar kata jihad. Intinya, orang-orang yang gemar berjihad adalah para teroris yang harus segera dibasmi eksistensinya. Jangan dibiarkan hidup orang-orang yang berjihad itu, jihad sama halnya dengan teroris, maka jihad adalah kejahatan. Begitulah cara mereka berpikir, mereka mendoktrin bahwa jihad adalah teroris, mereka mengutip ayat-ayat Al-Quran yang memerintahkan umat Islam untuk berjihad, mereka sengaja mengubah tafsirnya menjadi salah kaprah sehingga seakan-akan Al-Quran menganjurkan umat Islam untuk menjadi teroris. Padahal jika ditinjau kembali teroris itu adalah mereka sendiri, bukti nyata yang masih ada sampai sekarang adalah penyerangan Palestina secara tidak manusiawi dan adanya penjara Guantanamo yang banyak menangkap orang-orang yang tidak bersalah dengan tuduhan yang dibuat-buat, selain itu perbuatan Geert Wilders yang mengutip ayat sepotong-sepotong juga sesuatu yang tidak bisa dimaafkan dan menyalahi etika.[138] Tidak berhenti sampai di sini mereka juga mengatakan bahwa agama Islam menyebar dengan jalan perang, dengan pedang yang ditebaskan, seolah-olah Islam buklanlah agama yang cinta akan kedamaian.(3) Saat datangnya bulan Dzul hijjah, bulan dimana orang-orang muslim di seluruh penjuru dunia, baik yang berkulit hitam, putih, merah, kuning, maupun coklat berkumpul di satu tempat yang bernama Makkah, melakukan ibadah haji, ibadah yang sanggup menyatukan hati umat Islam, menghilangkan jarak antara orang-orang Islam yang kaya dan yang miskin.
- Mereka melancarkan serangan bahwa Pluralisme adalah suatu keharusan, ‘kita harus menyatukan agama-agama’ maksudnya di sini, jangan sampai salah satu pemeluk agama merasa bahwa agama mereka yang paling benar, karena semua agama berorentasi pada kebaikan, tidak ada agama yang menganjurkan pada kejahatan. Maka, semuanya orang baik, baik ia Muslim, Kristen, Yahudi, Budha, Konghuchu, Hindu dan semua agama lainnya bisa masuk surga. Maka, tidak ada larangan untuk mereka yang hendak pindah ke agama lain, karena memang semua agama sama saja. Jadi, tidak diperkenankan adanya orang-orang yang melarang saudaranya untuk memilih agama sesuai dengan kemauannya.
Setelah memahami ketujuh pendapat yang dikemukakan oleh Muhyi
Ad-Din Hasan Al-Qhodmany, perlu diketahui juga tentang beberapa nama yang
memiliki andil dalam upaya penyerangan Al-Quran. Orientalis pertama yang perlu
kita bahas disini adalahyang Arthur Jeffery, ia adalah salah satu dari orang
Barat yang berpendapat bahwasanya sejarah Al-Quran sama dengan sejarah
kitab-kitab suci yang lain. Tidak ada yang istimewa mengenainya. Menurutnya,
Al-Quran menjadi teks standar yang selanjutnya dianggap suci setelah melalui
beberapa tahapan.[139]
Selain itu ia juga mengungkapkan pandangannya bahwa setiap kitab suci dari
sebuah agama akan memiliki masalah dalam sejarahnya. Ini disebabkan oleh
perubahan dalam sejarah teks asli kitab suci tersebut. Kesucian sebuah kitab
suci disebabkan oleh sikap dan tindakan masyarakat sendiri, misalnya saja di
kalangan Kristen yang telah memiliki empat dari sekian banyak gospel,
mengumpulkan sebuah korpurs yang terdiri dari 21 Surat dan menggabungkan dengan pembuatan dan Apokalips
yang kesemua itu membentuk Perjanjian Baru.
Jeffery menekankan bahwasannya komunitaslah yang menentukan
masalah ini suci dan tidak. Komunitaslah yang memilih dan mengumpulkan bersama
tulisan-tulisan tersebut untuk kegunaannya sendiri, yang mana komunitas merasa
bahwa ia mendengar suara otoritas keagamaannya sendiri, komunitas yang merasa
bahwa ia mendengar suara otoritas keagamaan yang otentik dan sah untuk
pengalaman keagamaan yang khusus. Maka, menurutnya Al-Quran harus disikapi
secara kritis, karena sejarah semua kitab suci adalah sama, selain itu tafsir
kritis bisa mengikuti pendekatan modern sebagaimana yang telah diaplikasikan
oleh para orientalis modern ketika mengkaji Al-Quran. Pendekatan modern di sini
tidak lain adalah metode kritis-historis. Metode tersebut memang sangat mapan
dalam studi Bibel, kemudian metode ini juga diformulasikan oleh para sarjana
Bibel karena persoalan teks Bibel yang penuh dengan kesimpang-siuran.
Orientalis kedua adalah Paul Casanova, ia adalah penulis
buku “Muhammad dan Kesudahan Dunia”, buku ini ditulisnya tatkala ia
sedang menjadi guru besar bahasa dan kesusasteraan Arab di College de France,
selain itu ia juga mengajar di Universitas Mesir. Jika diamati buku yang
dikarangnya itu, akan ditemukan fakta bahwa Cassanova sangat berambisi untuk
membuktikan bahwa Al-Quran telah mengalami penambahan-penambahan yang
disesuaikan dengan keadaan pada zaman Abu Bakar dan Umar, hal ini terjadi
setelah wafatnya Muhammad SAW.[140]
Pernyataan-pernyataan Cassanova yang ditulisnya di bukunya
itu telah menarik banyak kaum cendekiawan muslim untuk mengikuti jejaknya,
sebagian membenarkan ucapannya, sebagian lain mulai meragukan kebenaran
Al-Quran, terlebih lagi Cassanova banyak memakai dalil logikanya saja, sehingga
menurut beberapa orang yang mengagungkan akalnya pendapat Cassanova ini menjadi
rasional dan mereka pun mulai sibuk menjari-cari kesalahan yang mungkin ada
(menurut mereka) dalam Al-Quran. Tetapi banyak pula cendekiawan muslim yang
mengecamnya.
2.
HUJATAN-HUJATAN YANG DITUJUKAN PADA AL-QURAN
Sebelumnya telah dijelaskan mengenai Arthur Jeffery dan
Cassanova. Di sini perlu ditekankan mengenai pendapat Cassanova yang
diungkapkan di dalam bukunya. Casanova menulis dalam bukunya dengan pernyataan
sebagai berikut:
“Sebelum masuk kepada inti masalah, maka saya ingin
menyatakan bahwa saya sejak pertama kali akan berusaha melemparkan jauh-jauh
semua pendapat yang meragukan keikhlasan Muhammad, karena sejarah kehidupan nabi
ini menyatakan bahwa budi pekertinya riil, terpuji yang sesuai dengan keadaan
nabi yang memiliki kecerdasan yang tinggi sekali, maka cara yang demikian
itulah yang dipergunakan untuk memperoleh kekayaan dan martabat, sesudah
dahulunya berada di dalam kemiskinan dan keadaan yatim piatu. Lalu Tuhan pun
mentakdirkan kepadanya sejak kecil berada dalam buaian kemelaratan dan
kesengsaraan. Selain itu diiringi pula dengan kematangan akal pikiran serta
kebijaksanaan semenjak turunnya wahyu yang pertama kali kepadanya. Demikian
juga dengan tehnik yang dipergunakannya untuk menghimpun kabilah-kabilah Arab
demikian jitunya, meskipun dulunya pernah terjadi perpecahan di antara mereka
selama berabad-abad. Demikian pula dia mempunyai cara yang unggul untuk
mengatur apa-apa yang seharusnya dibiarkan kekal dan apa yang mestinya
dibatalkan dari aturan-aturan dasar hidup mereka. Begitu pula dia telah
memiliki kemahiran untuk menciptakan gaya
dan susunan bahasa yang tiada sanggup seseorang Arab yang lain untuk
menandinginya, apa lagi untuk menandingi keagungan buah pikiran yang terkandung
di dalamnya. Semua yang saya kemukakan ini menjadi bukti bahwa dia mempunyai
pemikiran yang gilang-gemilang tentang kebenaran. Dan bukanlah mimpi atau
khayalan yang menjadi keistimewaan kegeniusannya. Akan tetapi yang menjadi
keistimewaan manusia jenius ini adalah cita-rasa serta bakat tujuan baiknya di
dalam pikiran, paham dan perbuatan.
Demikianlah sanjungan yang diberikan Cassanova yang penuh
dengan pujian. Tetapi jika diteliti kembali, banyak ditemukan kejanggalan dari
caranya memuji nabi besar Muhammad SWT, jika dirasakan kata-katanya, maka akan
disadari bahwa sebenarnya ia ingin menyampaikan bahwa Muhammad adalah orang
yang sangat jenius dan pandai, ini memungkinkannya untuk membuat syair indah,
yang dapat mengalahkan syair-syair sastrawan Arab yang telah dikenal dengan
karyanya yang hebat. Bukankah secara tidak langsung Cassanova telah menuduh
Muhammad SAW mampu membuat ayat Quran?, ini hanyalah analisis dari penulis,
tetapi siapa pun yang membaca pernyataan Cassanova di atas, pasti akan setuju.
Selain itu ia juga banyak mengungkapkan tentang kebangsawanan nabi Muhammad SAW
yang menurut mereka tidak benar, padahal itu hanya dugaannya saja, kekeliruan
ini telah diikuti banyak orientalis, di antaranya adalah Catini yang berasal
dari Italia dalam bukunya “Sejarah Islam”, buku ini cukup spektakuler
karena terdiri dari 9 jilid. Ini membuktikan betapa gigihnya kaum Orientalis
ini menghujat Al-Quran dengan cara terselubung. Selain Catini, ada lagi yang
mengikutui jejak Cassanova, yaitu Girage dan Voltaire. Mereka berusaha keras
untuk membuktikan pendapat mereka dengan dalil-dalilyang penuh dengan
dugaan-dugaan dan perkiraan semata.[141]
Pendapat yang paling fantastis adalah yang diungkapkan oleh
Fater Lements, ia menyatakan bahwa Muhammad adalah seorang anak fakir yang
tidak diketahui siapa bapak dan ibunya. Kemudian dipungut dan diangkat menjadi
anak angkat oleh keluarga Abdul Munthalib, apakah di tidak pernah mendengar ada
pria Arab yang bernama Abdullah dan wanita yang bernama Siti Aminah? Yang mana
pernikahan keduanya melahirkan seorang anak yang diberi nama Muhammad? Lelucon
ini diungkapkan olehnya dengan dalil yang dinukilnya dari Al-Quran sebagi berikut:
“Apakah Tuhan tidak menemukan engkau dalam keadaan yatim,
lalu diberinya engkau tempat berlindung. Dan ditemukannya engkau dahulu sesat,
kemudian diberinya engkau petunjuk. Dan dahulunya engkau berada dalam keadaan
miskin, lalu dijadikannya engkau orang yang kaya.” (QS Ad-Dhuha: 6-8)
Setelah mengklaim bahwa Al-Quran memiliki sejarah yang
tidak valid seperti halnya dengan kitab suci lainnya, para musuh Islam (baik
musuh yang nyata maupun musuh terselubung) juga tidak segan untuk menuduh bahwa
Al-Quran memiliki kekurangan dan keruwetan. Lalu menganggap bahwa di dalamnya
terdapat banyak kesimpang-siuran antara satu ayat dengan ayat lainnya. Memang,
bagi orang-orang yang belum belajar tentang Nash dan Mansuh tentu
banyak yang belum memahami makna dari Al-Quran. Maka, di sini penulis sengaja
menguraikan beberapa hujatan yang ditujukan pada Al-Quran khususnya dalam
bidang sains. Mengingat judul besar dalam buku ini adalah korelasi antara sains
dengan Al-Quran.
3.
KERAGUAN SYI’AH AKAN MUKJIZAT SAINTIFIK AL-QURAN
Dewasa ini, memang banyak dari kalangan umat Islam yang
mempelopori teori mereka bahwa dalam Al-Quran ada banyak fakta-fakta dan
mujizat saintifik. Banyak halaman-halaman web, buku-buku serta video yang telah
dibuat oleh orang-orang Islam yang mencoba menonjolkan Islam dari segi sains,
selain itu mereka menambahkan dengan bukti-bukti yang 'tepat secara saintifik'
dalam Al-Quran. Kebanyakan tulisan mereka diawali dengan pendahuluan dengan
pernyataan seperti berikut :"Suatu hal yang mengagumkan ialah bagaimana Al-Quran
'menangani' ilmu sains. Al-Quran yang diwahyukan dalam abad ketujuh kepada
Muhammad SAW mengandungi fakta-fakta saintifik 'yang baru kini ditemui pada
abad ini'.” Ahli-ahli sains banyak yang takjub dan kagum lantaran banyaknya
ketepatan dan kecocokan ayat-ayat Al-Quran dengan penemuan sains modern.
Ungkapan di atas sering dilontarkan oleh orang-orang
Syi’ah, seperti yang diketahui, sembilan puluh persen dari seluruh penduduk
dunia saat ini didominasi oleh golongan dari kelompok Sunni, sedangkan sepuluh
persennya adalah kelompok Syiah dan kelompok kecil lainnya. Sudah menjadi
rahasia umum bahwa orang-orang Sunni dan Syiah memiliki perbedaan pendapat
dalam beberapa hal yang berhubungan dengan masalah kepercayaan. Demikian halnya
dengan masalah sains dalam Al-Quran, kebanyakan pendukung kesaintifikan
AL-Quran adalah orang-orang sunni, sedangkan orang-orang dari kelompok Syi’ah
senantiasa menolak mentah-mentah pandangan mereka ini. Hal ini tersirat dengan
jelas dari perbedaan paham mereka.
Berikut ini adalah beberapa fakta yang ditulis oleh Denis
Giron[142],
di sini dia lebih banyak berbicara tentang Sunni. Menurutnya, jika Al-Quran
dihubungkan dengan Sains, maka akan ditemukan beberapa kejanggalan yang tidak
masuk akal, beberapa point penting yang perlu diketahui di sini adalah sebagai
berikut:
Teori Penciptaan Bumi dalam Al-Quran
Al-Quran menyebutkan dalam Surat 50 ayat 38 bahwa:
"Sesungguhnya
telah Kami jadikan beberapa langit dan Bumi dan apa-apa yang diantara keduanya
dalam enam hari dan Kami tiada merasa payah ..."
Telah disebutkan dalam sejarah bahwa nabi Muhammad SAW
telah dengan hidup berdampingan dengan umat Yahudi dan Nasrani. Menurut orang
Syi’ah, banyak ayat Al-Quran yang mengambil isi kandungan dari induknya yang
tidak lain adalah Perjanjian lama (Kitab suci Yahudi) dan Perjanjian Baru
(Kitab Suci Nasrani) yang menyebutkan hal serupa bahwa bumi telah diciptakan
dalam enam hari. Banyak dari umat Islam yang mencoba untuk menghubung-hubungkan
antara ajaran Al-Quran dengan sains modern dengan mentafsirkan bahwa 'Satu
hari bagi Allah dan malaikatNya adalah
bersamaan dengan 50.000 tahun'. Ini diambil dari surah 70 ayat 4. Jadi,
mengikuti hitungan matematika, banyak dari kaum muslim yang mengatakan bahwa bumi
telah diciptakan dalam 300.000 tahun (6 hari x 50.000 tahun). Teori ini memang
tidak logis, tetapi menarik. Ia menarik karena perhitungan ini tidak didukung
oleh kajian sains moden, karena menurut sains modern sendiri penciptaannya
telah memakan masa selama beberapa billion tahun untuk mencapai keadaan pada
hari ini.
Selain itu, jika melihat
dari Al-Quran surat
70 ayat 4 :
"Malaikat-malaikat dan roh naik kepadaNya dalam sehari yang lamanya lima puluh ribu tahun."
Ayat ini membawa lebih banyak masalah lagi bagi Al-Quran,
karena ayat ini bertentangan secara langsung dengan ayat-ayat Al-Quran yang lain.
Misalnya Surat 32: 5 dan surat
22: 47 kedua ayat tersebut menyebutkan bahwa:
"Sesungguhnya
sehari disisi Tuhan-Mu seperti seribuTahun dari apa yang kamu hitung."
Sedangkan
mengambil masa 300.000 tahun untuk menciptakan bumi tidak sesuai dengan ayat
penciptaan.
"Dia
yang menciptakan langit dan bumi, apabila Dia menghendaki mengadakan sesuatu Dia
berkata: Jadilah engkau. Lalu jadilah ia."(2: 117)
Menurut Denis Giron sendiri, Al-Quran tidak hanya bertentangan
dengan sains, namun bertentangan dengan nas-nas Qurannya sendiri.[143]
Hal ini tidak jauh beda dengan pandangan para orientalis yang selalu
menggunakan ayat nash dan mansuh untuk menyerang Al-Quran, untuk
menggoyahkan iman umat Islam agar meragukan ayat-ayat Al-Quran.
Sains Embiriologi
Pada tahun 1982, Keith Moore[144]
mengungkapkan keheranannya di dalam buku yang ditulisnya mengenai fakta
pertumbuhan embrio yang tertera jelas di dalam Al-Quran. Sedangkan di buku
keduanya dia telah menulis tentang penciptaan manusia yang merujuk pada ayat
yang selalu dipakai oleh orang-orang Sunni.
"Kemudian Kami jadikan dia air mani (yang disimpan) di
dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian mani itu kami jadikan segumpal darah,
lalu segumpal darah itu Kami jadikan sepotong daging, lalu sepotong daging itu
Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging, kemudian dia
Kami ciptakan makhluk yang lain. Maka Maha Suci Allah, Pencipta yangPaling Baik."(23:13-14)
Nampaknya, ayat ini kelihatan 'ajaib dan menakjubkan' untuk
dibuat oleh seorang "Arab dari abad ketujuh". Tetapi, apabila ayatnya
dianalisa lebih lanjut dan lebih teliti, maka akan terdapat penjelasan dan
keruwetan yang kentara yang timbul dari ayat tersebut. Pertama,
Denis Giron mengajak kita untuk mempertanyakan keaslian ayat, selajutnya
tentang kebenaran dan ketepatan ayat. Banyak orang kagum dengan tersebutnya
'air mani' dalam ayat di atas. Tetapi ini bukanlah sesuatu yang istimewa. Jauh
lebih lama sebelum turunnya Al-Quran, manusia sudah pun sadar akan wujudnya
"benih" yang keluar dari buah zakar lelaki, yang pada masa sekarang
kita sebut dengan sperma. Al-Kitab (Bible), satu Teks yang jauh lebih tua dari
Al-Quran, lebih awal lagi dari Quran telah menyebut tentang seorang lelaki yang
dihukumi oleh Tuhan oleh sebab dia "membiarkan air maninya jatuh ke atas
bumi"(Kejadian 38 : 9-10).
Seluruh cerita
tentang pertumbuhan kehidupan manusia dalam Al-Quran bukanlah cerita yang asli.
Banyak dari ahli Sunni yang mencoba untuk mempelopori teori mereka bahwa
Muhammad SAW telah mengajarinya sebelum ditemui ahli-ahli sains. Tetapi,
menurut Denis Giron sendiri, ahli-ahli Sunni telah tertipu oleh Al-Quran,
karena Aristoteles yang hidup jauh hari sebelum turunnya Al-Quran sudah
mengajari tentang hal ini. Sebenarnya, Aristoteles telah menceritakan dengan
tepatnya mengenai tali pusat (umbilical cord) serta fungsinya -sesuatu
yang tidak disebut dalam Quran. Ini menunjukkan hakikat bahwa tokoh-tokoh
dan ahli-ahli falsafah yang non-muslim sudah lebih dulu mengenal dan
menganalisa hal-hal saintifik jauh lebih awal daripada Muhammad SAW. Al-Quran
menyebut tentang air mani :
"Ia dijadikan dari air yang terpancar, yang keluar
dari antara tulang punggung lelaki dan tulang dada..."(86:6-7)
Menurut Giron, ayat ini jelas-jelas meniru dan menjiplak
teori yang telah ada sebelumnya. Beberapa dari kaum muslim mengatakan bahwa
Nabi Muhammad SAW tidak pernah mengenal orang-orang Rum atau Yunani. Tetapi,
penduduk-penduduk tanah Arab sebelum kedatangan Islam, sudah bergaul dan
berhubungan dengan Bizantium, Syam, Mesir, Parsi dan Babylon. Selain itu, banyak pula umat Yahudi
dan Nasrani yang tinggal di sekitar nabi Muhammad SAW yang sudah berhubungan
dengan mereka sejak lama, bisa jadi nabi Muhammad mendengar tentang air mani
atau embrio ini dengan perantara orang Yahudi dan Nasrani yang pasti lebih
mengenal Rum dan Yunani dari pada Nabi
Muhammad SAW sendiri.
Syi’ah sangat kontra dengan Muttafaqun A’laihi (Sahih
Bukhari dan Muslim) Syi’ah memilik hadist sendiri yang tidak dipakai atau
dianggap lemah oleh orang-orang Sunni. Menyadari akan fakta yang demikian,
tidaklah aneh jika banyak orang Syiah yang begitu gencar ingin menyerang Sunni
dan melemahkan iman mereka, bahkan banyak dari kalangan muslim sendiri yang mengakui
bahwa cara Syiah bergaul dengan masyarakat sekitar dalam kehidupan sosialnya
tidak jauh beda dengan cara Yahudi bergaul, mereka masuk di tengah-tengah
muslim Sunni sebagaimana Yahudi yang masuk di tengah-tengah Nasrani. Maka,
tidak heran jika sekarang banyak dari umat Islam sendiri yang merasa kesulitan
untuk membedakan antara mana yang kawan dan mana yang lawan.
Selain itu, kemunculan para cendekiawan muslim yang juga
senang mengotak-atik ayat-ayat Al-Quran juga sangat mendukung proyek Barat ini.
Sehingga ditemukan ilmuwan muslim yang murtad, kemungkinan besar dari alasan
kemurtadan mereka adalah karena gencaran brain wash yang dilancarkan
Barat dengan iming-iming sesuatu yang bersifat kebendaan (materialistis),
kemudian kesesatan akal mereka yang disebabkan oleh kesalahan niat ketika
belajar. Terlebih lagi jika orang itu ternyata kurang mendekatkan diri kepada
Allah, maka tidak salah jika ada pendapat yang mengatakan bahwa semakin pandai
dan bertambah ilmu seseorang tetapi tidak diikuti dengan penambahan ketakwaan
kepada Allah Yang Maha Tinggi Ilmunya, maka tak akan menambah apapun dari orang itu kecuali ia semakin jauh dari-Nya.
Penulis membuat permisalan yang cukup menarik untuk
membandingkan antara musuh Islam dari luar dan musuh Islam dari dalam, musuh
Islam dari luar sama halnya dengan luka goresan di luar tubuh yang masih
memungkinkan untuk disembuhkan, sedangkan musuh Islam dari dalam layaknya
penyakit kronis yang menyerang tubuh manusia semisal penyakit ginjal, jantung
dan penyakit dalam yang lainnya. Hal ini sesuai dengan permisalan antara muslim
satu dengan yang lainnya seperti satu tubuh, jika ada penyakit yang menyerang
tentu saja tubuhnya akan jatuh sakit kemudian rubuh. Lalu, saat penyakit ini
benar-benar kronis, maka kita tinggal menunggu hari kematiannya. Na’udzubillah
Min Dzalik.
4. SEBAB-SEBAB KERAGUAN MANUSIA
Al-Quran adalah
kitab yang diturunkan oleh Allah Yang Maha Perkasa untuk meluruskan jalan
manusia yang mulai melenceng dan menjauhkan mereka dari kesesatan yang telah
dijanjikan iblis pada keturunan Adam AS, terlebih lagi Allah SWT menguji
hamba-Nya yang berwujud manusia dengan hawa nafsu yang senantiasa mengukung
manusia siang dan malam, jika nafsu itu lantas dituruti tanpa adalanya wahyu
atau pun petunjuk, niscaya seluruh manusia di muka bumi ini akan terjerembab ke
neraka yang panasnya berlipat-lipat dari panasnya api di bumi.
Al-Quran juga
membimbing dan mendidik manusia dari keadaan biadab menjadi lebih beradab
dengan akhlak yang sempurna yang telah dicontohkan oleh rasul-Nya. Al-Quran
telah memberikan kita tanda-tanda mengenai Tuhan yang hakiki, ia juga
menetapkan minimal tiga cara untuk mencapai makrifat-Nya, yaitu: a)
Menempuh jalan spiritual. b) Menempuh jalan akal. c) Menempuh pengalaman yang
dialami. Ketiga cara ini merupakan satu kesatuan yang padu.[145]
Saat Al-Quran
dipelajari dengan niat baik, maka ia akan mengajak pembacanya agar membuka mata
hati dan untuk mengaktualkan potensi akalnya secara maksimal, bahkan bagi
mereka yang punya niat buruk pun, misalnya untuk merubah isi Al-Quran,
seringkali berpindah keyakinan menjadi beriman kepada Allah karena ketakjubannya
pada Al-Quran, sungguh beruntunglah orang-orang yang mendapat hidayah dari
Allah SWT, karena hidayah itu amatlah mahal, maka sungguh merugilah bagi mereka yang dengan rela menjual
keyakinannya hanya untuk kesenangan dunia yang hanya bersifat sementara.
Argumentasi yang
jelas disertai dengan keterangan-keterangan mengenai adanya Tuhan Yang
Menciptakan tertulis di setiap ayat-ayat-Nya. Segala wujud ciptaan-Nya, baik
yang telah diketahui manusia seperti: batu, gunung, binatang, matahari, planet,
tanah, udara, dan lain sebagainya. Maupun yang belum diketahui manusia, seperti
rahasia-rahasia alam yang masih membutuhkan ilmuan-ilmuan muslim untuk
memecahkan rahasia alam itu dengan petunjuk ayat-ayat Al-Quran. Semua wujud
yang ada ini membuktikan adanya Pencipta, maka teori-yeori yang mengungkapkan
bahwa penciptaan itu tidak ada yang ada hanyalah perubahan-perubahan dari satu
bentuk ke bentuk lain hanyalah khayalan ilmuwan yang masih perlu belajar,
seperti Darwin.
Selain adanya
Al-Quran ini, Allah SWt juga masih berbaik hati dengan mengutus para nabi dan
rasul untuk menjelaskan hal-hal yang masih membingungkan manusia dan membuat
mereka ragu akan kebenaran Al-Quran.[146]
Telah dijelaskan di
paragraf sebelumnya bahwa Al-Quran adalah kitab petunjuk, sayangnya sebagian
manusia enggan melihat petunjuk itu dikarenakan keraguan mereka pada petunjuk
itu sendiri. Beberapa sebab yang membuat mereka ragu adalah dikarenakan beberapa
belenggu yang membelenggu dirinya. Arifin Ilham telah meneliti tentang hal ini
dan mengungkapkan beberapa belenggu itu di bukunya Hakikat Zikir, antara
lain adalah: (a) Tabir materialisme, hedonisme, hasrat-hasrat duniawi, nafsu
rendah, dan sekularisme. (b) Tabir kepicikan akalnya sendiri. Hal ini dilakukan
oleh orang-orang yang menjunjung tinggi akal manusia, menuhankan akal mereka.
Bagi mereka, tidak ada lagi ukuran mutlak bagi manusia, kecuali menurut akalnya
sendiri. Benar bahwa manusia seperti itu telah menjelma mejadi tuhan, bukan
tuhan umat manusia, melainkan tuhan untuk dirinya sendiri. (c) Tabir sejarah
yang menyeleweng atau sengaja diselewengkan. Sebagaimana yang telah teradi pada
agama Kristen sebelum adanya zaman renaisans. Masa di mana para ilmuwan dan
agamawan benar-benar berseteru, kamun gerejani selalu menolak mentah-mentah
inovasi ilmiah yang dihasilkan oleh ilmuawan. Sungguh bertolak belakang dengan
Islam yang membuka pintu lebar-lebar untuk para ilmuwan dalam upaya mereka untuk
membangun peradaban, mau tidak mau memang harus diakui bahwa teknologi adalah
salah satu dari banyaknya faktor yang mempengaruhi kemajuan peradaban manusia.
Maka, tidak benar jika ada yang mengatakan bahwa Islam menghambat kemajuan.
Padahal ayat-ayat-Nya telah dilengkapi dengan banyaknya tanda-tanda penciptaan
yang mengarah pada sains karena menyuruh manusia untuk berpikir, meneliti,
membaca dan Allah meninggikan derajat muslim yang berilmu dari pada muslim yang
kurang ilmunya.[147]
Maka, jelas sekali
penyebab tertutupnya mata, telinga, dan hati mereka adalah ketiga tabir yang
telah disebutkan di atas sehingga mereka disesatkan oleh kegengsian mereka
sendiri untuk mengakui kebenaran.
“Semakin maju sebuah peradaban, maka semakin tinggi pula
tingkat peradaban dan kebudayaan manusia. Pada saat yang sama, lambat laun tapi
pasti, manusia akan berlomba-lomba untuk meninggalkan agamanya masing-masing.”
Sebagai manusia, anda diperkenankan untuk memilih antara
percaya atau untuk tidak percaya dengan ungkapan di atas. Ungkapan ini keluar
dari Profesor Benard. Fenomena yang agresif dan masif ini didasari oleh adanya
dua faktor, yaitu: 1) Mereka menganggap bahwa agama sudah tidak sanggup
menjawab kebutuhan umat manusia dan tidak lagi sesuai dengan zaman. 2) Mereka
menganggap: “My brain is my God.” Mereka membuktikan dengan kemampuan
otak mereka, mereka mampu menciptakan sains, kemudian sains menciptakan
teknologi, teknologi dapat memudahkan hidup manusia untuk mengatur dunia sesuai
kehendak dan kemampuan manusia, mereka menganggap otak yang cerdas dan mampu
mencipta itu layaknya kekuatan Tuhan Yang Maha Menciptakan.
Sedangkan menurut Iqbal, belenggu materialisme yang
menjadi penyebab keraguan mereka adalah dikarenakan mereka mendesakralisasi
realitas, memandang alam sebagai alam profan yang dikendalikan bukan oleh kuasa
gaib melainkan hukum-hukum alam atau biasa disebut dengan naturalisme, kemudian
mereka memandang manusia sebagai subjek yang meneliti alam, lalu mereka memandang
Tuhan sekadar pencipta alam beserta hukum-hukumnya, lalu cuci tangan (Deisme).
Pandangan materialisme yang sedemikian rupa memang membawa pengaruh yang cukup
besar dalam kemajuan sains dan teknologi yang bermanfaat bagi kehidupan manusia
secara keseluruhan.[148]
Sayangnya, materialisme juga memiliki kecatatan yang serius
karena manusia hanya dianggap sebagai benda belaka. Berger juga menambahkan
tentang dilema yang dialami materialisme, antara lain: abstraksi[149],
futurisasi[150],
individuasi[151],
deliberasi[152],
sekularisasi[153].
Kesemuanya ini merupakan masalah yang serius bagi manusia sebagai khalifah di
muka bumi. Maurice Bucaille mengungkapkan sebagai berikut:
“The majority of today’s scientists, with a small
number of exceptions of course, are indeed bound up in materialist theories.”
5. KESIMPULAN
Allah SWT memberi hidayah pada siapa pun yang Dia kehendaki dan
sebaliknya. Al-Quran diturunkan ke bumi untuk tujuan itu, sayangnya tidak semua
hamba-Nya yang bersedia untuk menerima petujuk itu. Hal ini tidak lain adalah
karena kesombongan mereka sendiri, mereka merasa sombong karena telah mampu
menguasai dunia tanpa mengenal agama sekali pun. Mereka juga beranggapan bahwa
mereka dapat melakukan segalanya dengan mudah hanya dengan bantuan teknologi, bukan karena doa
seperti yang dipanjatkan oleh orang-orang yang beragama. Telah dijelaskan di
atas sebab-sebab dari keraguan mereka, namun perlu ditekankan di sini bahwa
orang-orang yang meragukan Al-Quran bukan hanya orang-orang Atheis dan Theis
yang non-muslim saja, melainkan orang-orang Islam, khususnya cendekiawannya
juga banyak yang mulai ikut-ikutan mengkritisi kitab suci mereka sendiri dan
tentu saja hal ini mendapat dukungan penuh dari berbagai pihak (yang kontra
dengan Islam) baik dukungan secara moril maupun secara materil. Beruntunglah
bagi mereka yang pada akhirnya menyadari kesalahan mereka dalam upaya perusakan
Al-Quran, sebaliknya celakalah bagi mereka yang terus terperosok ke dalam
jurang kegelapan dan kesesatan hingga puncaknya mereka bisa saja benar-benar
meragukan keotentikan Al-Quran berikut mukjizatnya kemudian meninggalkan
agamanya. Agama yang bisa jadi sudah dianutnya semenjak ia keluar dari rahim
ibunya.
BAB VI
POSISI
AL-QURAN
1. Al-QURAN
DALAM KEHIDUPAN MANUSIA
A
|
l-Quran memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan manusia,
terutama bagi kalangan muslim, kita sudah sering mendengar bahwa akhlak
Rasulullah SAW adalah Al-Quran dan beliau adalah teladan terbaik sepanjang
masa, maka sudah menjadi keharusan bagi setiap muslim untuk berakhlak dengan
akhlak yang sejalan dengan perintah Allah SWT yang terdapat di dalam Al-Quran
dan menjauhi larangan-Nya.
Al-Quran diawali
dengan perintah untuk membaca (QS 96:1), sedangkan makna membaca di sini
bukanlah sekedar membaca saja, namun juga mengamati, menelaah dan menghayati,
lebih baik lagi jika ada kemauan dan tekad untuk menghafalnya, karena siapapun
yang menghafal Al-Quran, ia dapat mengingat ayat-ayat Allah dengan mudah kapan pun
ia mau, selain itu hafalan Al-Quran terbukti dapat mencerdaskan otak dan
menjernihkan hati.
Berbicara mengenai
Al-Quran yang dapat mencerdaskan otak, dapat dibuktikan dengan pengalaman
seorang Nurun Nayiroh[154],
ia menegaskan bahwa hafalan
Al-Qurannya dapat mempermudah dalam penghafalan rumus-rumus fisika, ia
mengatakan:
“Alhamdulillah,
selama saya menghafal Al-Quran, ini tidak menjadi hambatan dalam menuntut ilmu
terutama dalam bidang fisika. Justru menambah kekuatan memori otak saya
sehingga semakin aktif apalagi dalam menganalisis rumus-rumus fisika,” Demikian
ungkapannya pada Republika, Rabu (5/11). Nurun mempunyai cita-cita untuk
menjadi ilmuwan yang hafal Al-Quran.
Sedangkan bukti
bahwa hafalan Al-Quran dapat menjernihkan hati dan menenangkan jiwa
penghafalnya juga ada, seperti yang dirasakan oleh Ishmatuddiniyyah[155].
Menurutnya, banyak kenikmatan yang dirasakan setelah mampu menghafal 30 juz
Al-Quran. Segala urusan dimudahkan oleh Allah SWT, karena itulah ia selalu
berusaha untuk tidak pernah lepas dari Al-Quran dalam setiap denyut
kehidupannya. Sehingga tidaklah mengerankan jika selama ia hamil, ia selalu
membaca 9 ayat Al-Quran, setiap harinya.
M. Taqiyul Islam
Qori mengungkapkan bahwa menghafal Al-Quran memiliki keistimewaan, yaitu: Allah
memberi kedudukan yang tinggi dan penghormatan di antara manusia, dapat membuat
orang berbicara fasih dan benar, menguatkan daya nalar dan ingatan, menjadi
lebih unggul dari yang lain, atas seizin Allah SWT, bertambah imannya ketika
membacanya, termasuk sebaik-baik manusia, yang paling berhak memimpin,
tergolong yang paling tinggi derajatnya di surga, Al-Quran dapat memberi syafa’at
kepada pemiliknya, termasuk yang paling banyak mendapat pahala, Allah
mengabulkan permintaan orang yang menghafal Al-Quran.[156]
Al-Quran mudah
untuk dipelajari, untuk mengajarkan Al-Quran kepada anak tidak perlu menunggu
usia sekolah. Orang tua bisa mengajarkan Al-Quran kepada anak mereka semenjak
anak masih di dalam kandungan.
Aktifitas membaca
Al-Quran memang memiliki arti tersendiri bagi umat Islam, tidak sama dengan
umat agama lain yang sering kebingungan setelah membaca kitab suci agamanya, mungkin
ini yang menyebabkan pihak gereja Katolik yang tidak membebaskan umatnya untuk
mempelajari injil sendiri tanpa bantuan pemuka agamanya, karena seiring mereka
mendalami kitab suci mereka, semakin bertambah pula keraguan mereka akan
keotentikannya, mereka semakin tidak mengerti akan isinya, bahkan Ahmad Deedat
yang pernah menulis sebuah buku yang fenomenal yaitu The Choice,
mengungkapkan bahwa Injil adalah Kitab Porno, maka harus dijauhkan dari
anak-anak.
Sedangkan Al-Quran,
semakin dibaca semakin bertambah pula keyakinannya, bahkan dalam ayatnya
sendiri menyebutkan:
“Sesungguhnya, orang-orang yang mukmin itu apabila
disebutkan pada mereka lafadz Allah,
maka bergetarlah hatinya dan jika dibacakan ayat-Nya (Al-Quran) maka
bertambahlah iman mereka dan hanya kepada Allah (Tuhan mereka, mereka
bertawakkal).”[157]
Memang, hal ini tidak mungkin bisa dipungkiri, bahkan
Marwah Daud Ibrahim[158]
sendiri juga mengakuinya. Sebagai salah satu ilmuwan, ia menyadari pentingnya
Al-Quran bagi kehidupan manusia, maka ia selalu berusaha untuk membacanya
secara intens, tidak sekedar membaca ia juga selalu berusaha untuk memahami
isi, menghayati makna yang dikandung di dalamnya. Cara yang digunakan Marwah
Daud adalah dengan membaca terjemahannya. Ia membuat catatan yang begitu rapi
atas makna yang dikandung Al-Quran ia jadi lebih banyak mengetahui kisah-kisah
yang terkandung di dalamnya, misalnya kisah-kisah nabi. Dengan ini ia merasa
telah menemukan cara pandang baru dalam menyelesaikan suatu masalah. Marwah
selalu menyempatkan diri untuk membaca Al-Quran meskipun sedang dalam suatu
perjalanan. Ketenangan batinnya setelah membaca Al-Quran bisa kita simak dari
ungkapannya:
“Saya merasakan sesuatu yang luar biasa. Saya banyak
menarik pelajaran melalui aktifitas membaca Al-Quran secara intens ini.
Pengetahuan saya bertambah dan saya mempunyai cara pandang baru,” Ungkapnya
ketika diwawancarai Republika.
2.
SAINS DI
DUNIA ISLAM
Banyak
dari ayat Al-Quran yang merujuk pada sains (‘ilm).[159]
Perintah untuk belajar amatlah banyak, tetapi perlu dipilah-pilah antara
sains yang bermanfaat dan yang tidak bermanfaat. Bermanfaat di sini maksudnya
harus sesuai dengan tujuan penciptaan manusia, yaitu untuk menyembah pada Sang
Pencipta. Jika ini sudah menyatu dalam jiwa para ilmuwan, maka akan bermunculan
agamawan yang juga saintis. Sedangkan hal seperti ini jarang ditemukan di Barat
pasca Renaisans. Islam memiliki Al-Quran yang banyak membicarakan tentang ilmu
pengetahuan, ini tidak terjadi dengan kitab suci lain karena tidak
bersinggungan dengan sains.[160]
Sains
dan Al-Quran adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan, hal ini diungkapkan
oleh Profesor Shroeder.[161]
Al-Quran merupakan sumber utama dari berkembangnya sains di dunia modern.
Banyak sekali penemuan penting di era ini merujuk pada ayat-ayat Al-Quran yang
diturunkan 1400-an tahun yang lalu, sebagian besar mengenai hal ini telah
dijelaskan pada bab ke-3. Setiap ahli sains di dunia harus mengetahui fakta
bahwa hubungan antara sains dan agama sangatlah nyata, karena ilmu yang benar
pasti sesuai dengan agama yang benar, sebagaimana agama Islam.
Islam
adalah agama yang komperhensif. Ia tidak hanya mengajarkan kebahagiaan rohani,
melainkan juga kebahagiaan di dunia, maka Islam sering mengajarkan agar umatnya
senantiasa berusaha meraih kebahagiaan akhirat, beribadah untuk meraih surga
tanpa meninggalkan perannya di dunia. Maka tidak dapat dibenarkan bila ada
seorang ayah yang hanya berkutat dengan ibadah saja dan lupa menafkahi
keluarganya. Maka selalu dianjurkan pada umat Islam untuk menuntut ilmu setinggi-tingginya
karena orang beribadah yang berilmu akan mendapat derajat yang lebih tinggi
dari pada ahli ibadah yang kurang ilmunya.
Sebelum
membicarakan masalah sains di dunia Islam, perlu diketahui terlebih dahulu
bahwa sains di dunia Islam mengalami sejarah beberapa fase, dalam beberapa
dekade, Islam mampu memajukan teknologi dan melebih umat lain pada masa
kejayaannya, sehingga semuanya menghargai muslim dan menjadikan dunia Islam
sebagai pusat segala bidang, baik itu bidang pendidikan, budaya, ekonomi serta
teknologi. Bahkan, banyak dari bangsa Eropa yang datang ke Baghdad
untuk menuntut ilmu, karena di Baghdad
pada saat itu sangat maju dalam beberapa bidang, khususnya pendidikan.
Kemajuan
Islam telah membuat iri bangsa lain, banyak yang menghargai kemajuan umat
Islam, tetapi tidak sedikit pula yang membencinya. Selain itu banyak juga
faktor-faktor yang menyebabkan kemunduran sains di dunia Islam. Maka, setelah
ini akan dijelaskan penjabaran mengenai kamajuan dan kemunduran sains dalam
Islam dan hubungannya dengan Al-Quran.
2.1 KEMAJUAN SAINS DI
KALANGAN UMAT ISLAM
Islam patut berbangga atas masa lampaunya, karena Islam
pernah mengalami masa kejayaan sains dan teknologi pada abad VIII sampai abad
XIII. Setelah abad tersebut sains di kalangan muslim melaju dengan pesatnya,
penemuan-penemuan spektakuler terjadi secara beruntun. Pada masa kejayaan Islam
ini, umat Islam disegani oleh kawan maupun lawan. Tradisi keilmuan Islam ini
dipelopori oleh Al-Kindi, ia bukan hanya seorang ilmuwan, namun ia juga seorang
filosof terkemuka di zamannya, ia berpendapat bahwa umat Islam dapat memperoleh
sains dari manapun sumbernya, asalkan tidak bertentangan dengan akidah
dan syariat harus dipegang oleh muslim itu sendiri. Al-Kindi mengatakan:
“Maka bagi kita tidaklah pada tempatnya untuk malu
mengakui kebenaran dan mencernanya, dari sumber mana pun ia datang kepada kita.
Bagi mereka yang menghargai kebenaran, tak ada sesuatu yang lebih tinggi nilainya
selain kebenaran itu sendiri dan ia tak akan pernah meremehkan ataupun merendahkan
martabat mereka yang mencarinya.”
Hal ini sesuai dengan hadist Nabi SAW yang menyuruh
umatnya untuk berlayar sampai ke negeri China
untuk menuntut ilmu, kita semua tahu bahwa China adalah Negara non-muslim.
Salah satu teknologi yang berkembang di China
saat itu adalah teknologi petasan. Sebenarnya teknologi petasan di China
yang nantinya menjadi berkembang menjadi peluru, bahkan berkembang menjadi bom
atom, diilhami oleh kepercayaan agama mereka. Di dalam kepercayaan agamanya,
apabila seseorang itu mati, maka akan didatangi oleh roh jahat. Roh jahat ini
akan pergi bila terjadi suara rebut-ribut. Nah, dari sinilah tercipta teknologi
petasan untuk membuat keributan, sehingga roh jahat itu, tidak akan datang.
Nabi Muhammad SAW menyuruh umat Islam ke China untuk merebut teknologinya,
bukan jiwa (maksud jiwa di sini adalah sebab dari pembuatannya) dari teknologi
tersebut. Jadi tidak ada masalah jika kita belajar sains di negeri non-muslim.
Bahkan, Nabi SAW menyuruhnya.[162]
Dengan prinsip tersebut, kaum muslim berlomba-lomba
untuk mencari ilmu ke berbagai penjuru dunia. Sains yang berasal dari Yunani,
Persia, India, dan China dikembangkan oleh Islam menjadi sains yang Islami
sehingga membawa kejayaan peradaban Islam kurun pertama sebelum kejatuhan
Baghdad.
Beberapa nama ilmuan muslim seperti yang ditulis oleh M.
Natsir Arsyad dalam bukunya “Ilmuwan
Muslim Sepanjang Sejarah” adalah sebagai berikut:
Sekitar abad VIII dan IX muncul ilmuwan muslim sebagai
berikut: Jabir bin Hayyan (Bapak Ilmu Kimia, Pendiri laboratorium pertama),
Al-Khawarizmi ( Matematikawan ulung pertama), Al-Kindi (Filosof, penggerak dan
pengembang ilmu pengetahuan), Abu Syuja’ ( Ahli Al-Jabar tertua), Ibu Miskawaih
(Dokter spesialis diet), Al-Farghani (Astronom yang karyanya banyak
diterjemahkan), Sabit bin Qurran (Ahli Geometri terbesar yang membahas waktu
matahari), Al-Battani (Astronom yang melakukan observasi secara gemilang),
Habasyi Al-Marwazi (Astronom sejak remaja), Zakaria Ar-Razi (Dokter penemu
penyakit cacar dan darah tinggi).
Sekitar abad X, muncul ilmuwan muslim, seperti: Abu
Qasim Az-Zahrawi (Ahli bedah Muslim yang reputasinya melebihi Galen dan
Socrates), Al-Farabi (Komentator Aristoteles sejak kecil), Al-Mas’udi (Sejarawan
pengembara), Ibnu Aamajur (Astronom pencatat perjalanan bulan), Ibnu Rusta (Astronom
yang teorinya berlandaskan Al-Quran), Abu Dulaf (Sang penyair yang ahli logam),
Ibnu Jujul (Penulis biografi dan ahli kedokteran), Al-khazin (Ahli matematika yang
memecahkan soal Archimedes), Abu Wafa (Astronom dan matematikawan yang
mengembangkan trigonometri), Al-Khawarazmi (Penulis ensiklopedi berbagai
disiplin ilmu).
Sekitar abad ke sebelas bermunculan ilmuan muslim
sebagai berikut: Ibnu Al-Haytsam (Ahli fisika yang disegani Bacon, Da Vinci,
dan Keppler), Ibnu Hindu (Sang Penyair yang juga dokter), Al-Karkhi (Penulis
paling orisinil di bidang aritmatika), Ibnu Irak (Guru Al-Biruni yang ahli
astronomi dan matrematika), Al-Biruni ( Eksperimentalis berpengetahuan lengkap,
jujur dan obyektif), Ibnu Sina (Ilmuwan yang namanya tersohor sebagai dokter,
ia menemukan bermacam-macam ilmu), Ibnu Yunus (Penemu pendulum sebelum
Galileo), Ibnu Jazzar (Dokter yang mengarang buku obat-obatan untuk kaum
fakir), Ibnu Wafid (Ahli Farmakologi yang menyelidiki obat bius), Ibnu Zuhr
(Keluarga sarjana yang amat berprestasi), Ibnu Saffar (Penulis sejumlah tabel
Astronomis), Abu Ubayd Al-Bakri (Ahli Ilmu Bumi terbesar abad XI).
Sekitar abad XII muncul ilmuan muslim, seperti: Umar
Khayyam (Pencipta Rubaiyyat yang ahli Al-Jabar), Ibnu Bajjah (Ahli filsafat sekaligus
ahli musik), Al-Kharaki (Astronom, Ahli matematika dan Geografi yang idenya
dikutip oleh Roger Bacon), Ibnu Jazla (Dokter dan Sekretaris Imam Hanafi yang semula
Kristen), Ibnu Al-Kasysyab (Ilmuwan yang haus ilmu), Al-Idrisi (Ahli Geografi
yang masyhur), Al-Khazini (Ahli Meteorologi dan Dokter ternama yang memaparkan
teori grafitasi), Jabir bin Aflah (Astronom Pembangunan Observatium Pertama),
Ibnu Ghalib (Ahli Geografi dan Sejarah yang menulis Sejarah Spanyol), Abu Khayr
(Ilmuan ahli tumbuh-tumbuhan), Ibnu Rusyd (Perintis Ilmu Kedokteran Umum), Ibnu
Thufayl (Pengarang Hayy ibn Yaqzan, sahabat Ibn Rusyd).
Sekitar abad XIII ilmuan muslim yang lahir adalah:
Al-Bitruji (Astronom yang mengenalkan teori gerak spiral), Ibnu Hubal (Dokter
cemerlang yang penyair), Ibnu Sa’ati (Dokter yang juga ahli membuat kunci),
Abdul Lathif (Ahli anatomi yang mengembangkan studi pertulangan), Ibnu Al-Baythar
(Dokter Hewan, Farmalog dan penemu 300 macam obat), Ibnu Abi Ushaybi’ah (Ahli
sejarah kedokteran), Al-Kwazimi (Ahli ilmu Falak dan geografi Kelas Satu), Said
Al-Maghribi (Sang penyair yang ahli sejarah), Abi Mahasin (Dokter spesialis
mata ternama), Ibnu al-Banna (Sarjana serba bisa), Ibnu Nafis (Ibnu Sina
kedua).
Melihat nama-nama yang disebutkan di atas, kita dapat membayangkan
betapa maju dan beragamnya sains yang dikembangkan oleh kaum muslim di zaman
keemasannya.
Setelah ilmuwan-ilmuwan ini, ilmuan muslim sekaliber
dunia semakin langka. Pada abad XIV hanya tercatat empat orang, pada abd XV
hanya tiga orang, abad XIV hanya empat orang, abad XX tercatat Prof. Dr.
Abdus-Salam (Ahli Fisika pemenang nobel 1979) dan yang terakhir dari Indonesia
muncul pula ilmuwan kaliber dunia di bidang kedirgantaraan, yaitu Prof. Dr. BJ.
Habibie.
Mengamati data-data di atas tadi, membuktikan bahwa
tidak ada dikotomi antara ayat-ayat kauniyah dan ayat-ayat kitabiyah. Keduanya
bersumber dari Allah SWT, tidak ada yang bisa membedakan di antara keduanya,
keduanya dihargai dalam Islam.
2.2 KEMUNDURAN SAINS DI KALANGAN UMAT ISLAM
Prof. Dr. Abdus Salam dalam bukunya “Sains dan Dunia
Islam” mengungkapkan bahwa matinya kegiatan sains di kalangan muslim lebih
banyak disebabkan oleh faktor internal, walaupun juga terpengaruh oleh faktor
eksternal, seperti kehancuran yang disebabkan oleh Mongol.
Salah satu dari faktor internal itu adalah munculnya
dikotomi antara mempelajari ayat-ayat kitabiyah dan ayat-ayat kauniyah di
kalangan muslim, mengenai hal ini kita dapat menyimak perkatan Ibnu Khaldun:[163]
“Kita mendengar, baru-baru ini bahwa di
tanah bangsa Fraka dan di pesisir
utara Laut Tengah sedang tumbuh ilmu-ilmu filsafat dengan giat. Kata orang, mereka dipelajari lagi di sana dan diajarkan dalam kelompok-kelompok yang banyak
jumlahnya. Penyajian sistematis yang dilakukan
di sana dikatakan komperhensif dan banyak orang yang mengetahui ilmu-ilmu itu, sedangkan jumlah pelajarnya
banyak sekali….Allah SWT lebih
mengetahui apa yang ada di sana, tetapi jelas bahwa
masalah-masalah Fisika itu tak ada gunanya bagi kita dalam perkara keagamaan. Oleh karena itu, kita
harus membiarkan mereka,”
Jika disadari bagaimana komentar Ibnu
Khaldun ini, dapat merasakan bahwa ia tidak memperlihatkan rasa ingin tahunya
atau sikap menyesal, tetapi justru bersikap acuh dan hampir mendekati
permusuhan. Sedangkan sikap acuh terhadap bagian dunia lain yang mempelajari
ayat-ayat kauniyah yang semula telah dikembangkan oleh dunia Islam, merupakan
salah satu faktor kemunduran sains di dunia Islam.
Ungkapan-ungkapan bahwa
penemuan-penemuan paling mutakhir kini sudah tersirat di dalam Al-Quran secara
simbolik atau dengan bahasa isyarat ilmiah, misalnya teori Big Bang, Atom,
Kosmologi dan masih banyak lagi. Tetapi sayangnya, fakta telah mengungkapkan
bahwa yang menemukannya bukanlah orang Islam, melainkan orang non-muslim.
Kenyataan ini menunjukan bahwa muslim sudah tertinggal dalam bidang sains dan
teknologi, selain itu umat Islam datang terlambat dalam upaya menafsirkan ayat
Al-Quran. Di dalam Al-Quran terdapat 750 ayat kauniyah. Tetapi yang sudah ditafsirkan
oleh ilmuan muslim baru sedikit sekali, hal ini menunjukan bahwa umat Islam
terkadang masih belum mampu mengungkap rahasia yang terkandung di dalam
Al-Quran, Islam sedang menanti ilmuan muslim yang bisa diandalkan untuk
mengungkap kebenaran yang ada di dalam Al-Quran, khususnya yang berhubungan
dengan ayat-ayat kauniyah yang penuh dengan isyarat ilmiah tadi. Dengan mengikuti paparan di atas,
terungkaplah bahwa terjadi semacam keputusan pewarisan nilai-nilai ilmiah dari
generasi abad XIII ke generasi abad berikutnmya. Mengapa ini bisa terjadi?
Beberapa kemungkinan yang dapat diungkapkan adalah: (1) Generasi ilmuwan
terdahulu kurang mempersiapkan generasi berikutnya untuk mengkondisikan suasana
ilmiah bagi kehidupan ilmiah sebagai bagian dari kehidupan umat. (2) Generasi
berikutnya cepat puas terhadap hasil dari ilmuan-ilmuan sebelumnya, tanpa
berusaha untuk menciptakan inovasi yang baru. (3) Para
penguasa di negara-negara Islam kurang mendukung perkembangan sains dan teknologi,
sehingga suasana perkembangannya di kalangan muslim menjadi kering.
Sekarang ini perkembangan sains dan
teknologi di dunia Islam sangat memprihatinkan, Prof. Dr. John Ario Katili[164]
mengungkapkan bahwa suramnya kondisi keilmuan muslim secara singkat dikarenakan
rendahnya melek huruf di dunia Islam, rendahnya prosentase umat yang sedang
menuntut ilmu dari SD hingga Perguruan Tinggi, ketidakseimbangan total ilmuwan
muslim dengan besarnya jumlah penduduk di negara-negara muslim.
Terlebih lagi 94% dari ilmuwan yang
terlibat dalam penelitian dan pengembangan keilmuan bekerja di negara-negara
maju. Di negara-negara maju tersebut terdapat 2600 ilmuwan dan insinyur per
satu juta penduduk yang berkecimpung dalam penelitian dan pengembangan.
Sementara jika dibandingkan dengan dunia Islam, kita hanya bisa menutup muka karena
malu, angkanya kurang dari 100 orang per satu juta penduduk yang bekecimpung di
dunia penelitian dan pengembangan sains.
3. NASEHAT AL-QURAN PADA
ILMUWAN MUSLIM
Ayat AL-Quran yang membahas
tentang fenomena alam lebih dari 750 ayat Al-Quran. Ayat-ayat tersebut
menyiratkan pesan yang penting pagi ilmuwan muslim. Pesan-pesan tersebut antara
lain sebagai berikut:
a)
Beberapa
ayat di dalam Al-Quran menganjurkan untuk mengkaji seluruh aspek alam dan
menemukan misteri penciptaan. Misalnya:
Katakanlah: “Lihatlah
apa yang di langit dan apa yang di bumi,”[165]
Menurut Al-Quran, kita harus memakai indera dan
intelektualitas kita untuk memahami alam, dan ini akan mengantarkan kita kepada
apresiasi keagungan dan kekuasaan Allah SWT. Thabatabha’i mengungkapkan:
“Al-Quran menyuruh kita untuk memikirkan tanda-tanda
langit, bintang-bintang yang gemerlapan dan perbedaan-perbedaan di dalam
kondisi, serta aturan sistematik yang mengandungnya. Ia menganjurkan kita untuk
merenungkan penciptaan bumi, laut dan gunung, tumbuh-tumbuhan dan binatang,
manusia dan alam batinnya. Dengan demikian, Al-Quran menyuruh kita untuk
mempelajari ilmu-ilmu kealaman, matematika, dan seluruh bidang-bidang lain yang
penting bagi kemanusiaan, dan membawa kebahagiaan bagi masyarakat. Al-Quran
menyuruh kita mempelajari cabang-cabang ilmu ini dengan syarat ilmu ini dapat
membimbing manusia menuju kebenaran. Jika tidak, ilmu yang bertindak hanya
sebagai sebuah kesenangan dan menghalangi seseorang dari pengetahuan tentang
Tuhan, maka kebenaran itu sama dengan kebodohan dalam kamus Al-Quran.”
b)
Ayat-ayat
yang menunjukan bahwa segala sesuatu beraturan dan bertujuan. Allah SWT tak
akan pernah menciptakan sesuatu yang sia-sia. Allah SWT mustahil membuat
kesalahan.
c)
Al-Quran
juga menyuruh untuk mengenali hukum-hukum alam, yaitu pola-pola Allah SWt di
alam semesta dan mengeksploitasi alam bagi kepentingan dan kesejahteraan manusia
tanpa melampaui batas syariah dan tidak tamak.
d)
Dalam
pandangan Al-Quran, seluruh sains adalah perwujudan berbeda dari satu dunia
yang diciptakan dan yang dikelola oleh satu Tuhan.
e)
Yang
terpenting untuk dipelajari adalah Al-Quran dalam hubungannya dengan sains
adalah keunikan pandangan dunia dan epistemologinya. Kebanyakan kesalahan yang
terjadi pada perkembangan sains memiliki akarnya pada pandangan materialistik
yang menyertai sains modern. Al-Quran memperingatkan kita pada perangkap ini.[166]
Intinya di sini adalah pesan Al-Quran adalah: (1) Priorotas
harus diberikan pada penemuan alam dengan menggunakan indra dan akal manusia.
Jadi, pengeksploitasian yang dilakukan sesuai dengan batas-batas yang telah
ditentukan, karena apabila melampaui batas, keseimbangan alam akan terganggu
dan akibatnya tidak hanya ditanggung oleh manusia sendiri, melainkan ditanggung
makhluk hidup lainnya, seperti hewan dan tumbuhan. Maka, kerusakan di muka bumi
ini sering karena ulah tangan manusia sendiri. (2) Al-Quran menuntun kita pada worldview
yang benar dan lurus, jadi kita harus mengikuti tuntunan Al-Quran, karena
dengan mengikuti apa-apa yang telah tersebut di sana, ini menunjukan ketakwaan kita pada Yang
Maha Maha Besar. Dengan menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi segala
larangan-Nya yang kesemuanya itu telah tersurat dan tersirat dalam kitab suci
umat Islam ini.
4. AL-QURAN SALAH SATU
FAKTOR KEMAJUAN PERADABAN
Setiap muslim yang mengikuti petunjuk dalam Al-Quran akan menemukan
pencerahan, pada bab ke-tiga tadi sudah disebutkan bahwasannya Al-Quran telah
mengungkap segala sesuatu tentang alam dalam ayat-ayatnya, Al-Quran sama sekali
tidak bertentangan dengan sains bahkan membuktikan kebenaran sains itu sendiri.
Ini membuktikan bahwa Al-Quran adalah salah satu faktor kemajuan peradaban,
memang faktor untuk memajukan peradaban sangat banyak dan Al-Quran adalah salah
satunya.
Maka,
bagi siapa pun, khususnya umat Islam yang ingin mempelajari ayat-ayat kauniyah,
sains dan teknologi hendaknya disertai dengan ayat-ayat kitabiyah,
karena keduanya berkesinambungan, saling menjelaskan satu sama lain.
Sains
dan teknologi memiliki banyak manfaat bagi kehidupan manusia, bahkan teknologi
dapat mengungkapkan kebenaran yang ada di dalam Kitab Suci Al-Quran. Sebut saja
salah satu contohnya komputer, Rasyad Khalifa[167]
telah menemukan bahwa Al-Quran disusun oleh Allah SWT dengan menggunakan modul
angka 19. Huruf-huruf hijaiyah yang terdapat dalam Al-Quran semuanya habis
dibagi 19.
Sains sangat
berpotensi dan berperan penting dalam pembangunan sebuah peradaban. Ilmu
arkeologi mendapati bahwa jejak peninggalan yang khas dapat menunjukan bahwa
manusia purba pun juga menggunakan teknologi untuk memenuhi keperluan hidupnya.
Semua ini dapat dilihat dari struktur bangunan yang didirikan, semuanya
tergantung pada teknologi yang telah dikuasai, jika zaman dahulu kala, masa
ketika peradaban manusia belum terlalu maju, maka bangunan yang didirikan pun
masih standar rendah, tetapi saat teknologi semakin maju, maka bangunan yang
didirikan menjadi semakin megah dengan teknologi tinggi.
Sedangkan peran
agama dalam hubungannya dengan sains adalah agama sendiri adalah katalisator
peradaban, agama menjadi dasar eksistensi masyarakat dalam menentukan peradaban
manusia. beberapa contohnya adalah: 1) Ka’bah pada masa pra-Islam merupakan
tanda bahwa pemikiran agama pada masa lampau (beberapa tahun setelah Ibrahim
dan Ismail wafat) menciptakan sebuah miliu atau peradaban bagi masyarakat yang
hidup di sekitar Ka’bah. 2) sejarah telah menceritakan bahwa masa bangsa Arab
sebelum datangnya Al-Quran, merupakan bangsa Badui yang hidup secara liar di
padang pasir, namun setelah turunnya Al-Qurn lahirlah peradaban yang mulia.
Masyarakat Arab pun berevolusi dari peradaban yang menyukai peperangan antar
suku menjadi peradaban yang elit dan lebih bersahaja.[168]
5. KESIMPULAN
Maka, tugas seorang muslim masa kini adalah melakukan
pemikiran kembali seluruh sistem Islam tanpa melepaskan diri dari akar
tradisinya. Satu-satunya jalan terbuka untuk itu adalah mendekati sains modern
dengan sikap yang penuh hormat, seraya menilai ajaran-ajaran Islam dari cahaya
sains tersebut. Contoh konkretnya, seorang muslim tidak lagi sekedar menjadi
justifikator atau tukang stempel bagi penemuan-penemuan sains Barat dengan
berkilah, “penemuan tersebut sudah disebutkan dalam Al-Quran.” Melainkan, ia
memberi ruang bagi penelitian-penelitian sains itu sendiri sebagai apresiasi
terhadap kreatifitas manusia.[169]
Dikotomi Islam-Barat hanya akan menciptakan mentalitas
budak yang hanya karena cemburu pada Barat lalu serta-merta menuduhnya sekuler,
kafir, agen setan, dan lain sebagainya. Islam seharusnya bersikap terbuka dengan
aktif mempelajari pemikiran-pemikiran Barat secara kritis dan mengadopsi
apa-apa yang bermanfaat bagi perkembangan kepentingan Islam sendiri.
Sebagaimana yang diungkapkan Iqbal bahwa lahirnya Islam adalah lahirnya akal
induktif yaitu untuk mencapai kesadaran diri yang penuh, manusia pada akhirnya
haruslah kembali pada kekuatan-kekuatannya sendiri.
Jika kita mengingat nama-nama ilmuan besar semacam Albert Einstein,
Galileo Galilei, Thomas Alva Edison atau dari kalangan muslim seperti
Al-Baitar, Ibnu Sina, Ibnu Khaldun, Al-Khawarizmi, dan deretan nama-nama lain
yang tidak mungkin kita sebutkan satu-persatu di sini, kita akan menemukan
bahwa sebagian besar dari mereka harus melakukan percobaan berkali-kali, berani
gagal, tanpa mengenal kata putus asa, bayangkan jika mereka putus asa! Sudah
dapat dipastikan, tak akan pernah ditemukan temuan-temuan mereka yang
spektakuler.
Ilmu merupakan
jalan terjal dan sunyi, disebut terjal lantaran banyaknya tahap demi tahap yang
harus dirunut dengan kesabaran dan ketekunan, sunyi karena mencarinya harus
jauh dari keramaian yang sangat berpotensi untuk memecah konsentrasi. Subtansi
jalan ini juga berlaku bagi kaum eksperimentalis. Selain harus banyak membaca
literatur, setiap ilmuwan harus bereksperimen di dalam laboratorium, membuat
inovasi dan kreasi. Hal ini sangat sesuai dengan pemikiran Agus Purwanto[170].
Beliau menyarankan kepada para pencari kebenaran pemula, sebaiknya mempunyai
pembimbing yang akan mengarahkan langkah-langkah yang sesuai agar terhindar
dari penyimpangan yang tidak perlu sehingga bermuara pada pemborosan waktu,
tenaga dan biaya.
Imam Al-Ghazali
telah menasehati kita dengan ungkapannya, “Langkah mula terbaik bagi pencari
kebenaran adalah meniru orang-orang terbaik, terpandai, serta terdalam
pengetahuannya.”
Sedangkan Pak Natsir
dalam bukunya ‘Kebudayaan Islam dalam Perspektif Sejarah’ mengungkapkan
yang berkenaan dengan peradaban dalam Islam, yaitu penghormatan Islam terhadap
akal, kewajiban setiap muslim dan muslimah dalam menuntut ilmu, larangan untuk
mengikuti sesuatu yang tidak dipahaminya, istilah lainnya bertaklid buta.
Islam juga menganjurkan pada umatnya untuk sering
berinisiatif, tidak menunggu durian jatuh, tetapi senantiasa menjemput bola,
selain itu juga memperhatikan hak-hak keduniaan yang artinya tidak hanya mementingkan
akhirat karena antara dunia dan akhirat memilki porsi masing-masing, harus
seimbang antara satu dengan yang lainnya, kemudian Islam juga mendorong umatnya
untuk berakulturisasi, Islam lebih menyukai umatnya yang meninggalkan kampung
halamannya untuk menuntut ilmu dari pada yang berdiam diri tanpa melakukan apa
pun.
PENUTUP
A
|
l-Quran, dengan sejuta rahasianya telah memesona manusia secara
keseluruhan, baik bagi siapa yang mengimaninya maupun mereka yang masih enggan
mengakui kebenarannya. Dalam sejarah Al-Quran telah dijelaskan, begitu gigihnya
orang-orang yang mengaku-ngaku sebagai nabi semacam Musailamah al-Kadzab dalam
pembuatan ayat semisal Al-Quran. Namun tentu saja ia tidak akan pernah berhasil
membuat yang semisal dengannya. Al-Quran adalah mukjizat terbesar yang
diturunkan pada nabi Muhammad SAW, ia penyempurna kitab suci sebelumnya yang
telah diselewengkan oleh anak Adam yang telah tersesat pikirannya lantaran
banyaknya tabir dan belenggu dalam kehidupan manusia yang senantiasa mengelilinginya.
Korelasi antara Al-Quran dengan sains adalah satu dari
banyaknya rahasia Al-Quran yang paling banyak diperbincangkan oleh beberapa
kalangan, baik itu dari kalangan ilmuwan, maupun agamawan. Tetapi sesungguhnya
rahasia Al-Quran masih sangat banyak dan masih membutuhkan tenaga dan pikiran
umat Islam untuk menyingkapkannya.
Jika di dunia Islam
masih terdapat pandangan dikotomik layaknya di Barat yang memisahkan antara
agama dan sains, maka intergrasi ilmu pengetahuan adalah keharusan, termasuk
harus berani membongkar paradigma dikotomik ilmu-ilmu yang ada. Integrasi dalam
Islam harus dimaknai dengan pengembangan ilmu yang lebih luas, karena faktanya
masyarakat saat ini (khususnya muslim) lebih banyak sebagai penikmat sains dari
pada penyumbang. Memang, saat ini telah banyak ilmuwan-ilmuwan, tetapi yang
disebut dengan ilmuwan oleh masyarakat hanyalah seorang teknisi.[171]
Sementara ilmuwan
adalah seseorang yang mencari tahu dan pengetahuan sifat alamiah dan realitas
fisik. Ia mengahadapi sesuatu yang tidak diketahuinya, sedangkan teknisi
menghadapi sesuatu yang sudah diketahuinya. Ilmuwan hakiki adalah
ilmuwan yang menghasilkan sesuatu yang orisinal, jika berupa ide, bisa diukur
melalui publikasinya di jurnal internasional, jika berupa produk bisa di ukur
dari paten.[172]
Kondisi ilmuwan di
dunia ketiga, termasuk di dalamnya Dunia Islam, telah diteliti oleh Ismail Raji
al-Faruqi, ia memberi contoh seorang dosen universitas negara berkembang yang
bergelar professor dan telah meraih gelar doktor di negara Barat dengan nilai
pas-pasan, kemudian kembali ke negara asalnya dan di negaranya ia mendapat
posisi penting lagi menguntungkan. Ia tidak belajar lagi, menurutnya hanya
cukup dengan diktat-diktat yang dipelajarinya semasa kuliah, padahal seharusnya
ia terus belajar dan belajar, karena
belajar tidak mengenal usia. Nabi Muhammad SAW sendiri telah mengajarkan pada
umatnya untuk terus belajar dari buaian hingga ke liang lahat. Allah SWT juga
menegaskan dalam ayat-Nya:
Hai orang-orang
yang beriman apabila dikatakan kepadamu,Berlapang-lapanglah dalam majlis,” maka
lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila
dikatakan, “Berdirilah kamu,” maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan beberapa
derajat orang-orang beriman di antaramu dan orang-orang yang berilmu
pengetahuan. Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.[173]
Demikianlah Allah
SWT mengajarkan pada umat Islam, lihatlah kata orang-orang yang berilmu
pengetahuan, bukankah itu bermakna ilmuwan, ilmuwan yang sesungguhnya, yang belajar
untuk mencari keridhaan Allah SWt, bukan untuk materi semata.
BIBILIOGRAFI
Golshani,
Mehdi, Filsafat–Sains Menurut Al-Quran, (Bandung:
Mizan, 1988)
Thabathaba’i,
Muhammad Husain, Mengungkap Rahasia
Al-Quran , Cet: VI (Bandung:
Mizan, 1994)
Purwanto,
Agus, D.Sc, Ayat-Ayat Semesta: Sisi Al-Quran yang Terlupakan, (Bandung: PT. Mizan
Pustaka, 2008)
Al-Qodmany , Muhyiddin Hasan, “Qodhoya
Hammah fi Khadhiri Al-A’lam Al-Islamiyah” (Beirut: Al-Maktab Al-Islamy,
1986)
As-Suyuti, Jalaluddin, Al-Itqan fi
‘Ulum Al-Quran, (Dar Al-Fikr, Beirut)
Ulfah Hayati Muzayanah, Dra Lilis Fauziyah, Dra, Al-Quran Hadist, (MDC Jatim, 2005)
Sidik, Muhammad Ansoruddin, “Pengembangan Wawasan Iptek Pondok Pesantren,”
(Jakarta: PT Bumi Aksara, 1994)
Al-Hasany,
Al-Quran Puncak Sastra, Azzah Zain, (Surakarta: Ziyad, 2007)
Adian,
Donny Gahral, Muhammad Iqbal: Seri Tokoh
Filsafat (Bandung:
Teraju, Kelompok Mizan, 2003)
Ibrahim,
Marwah Daud, Agama, Teknologi dan
Masa Depan (Jakarta:
MHMMD, 2004)
Jeffery,
Arthur “The Qur’an as Scripture” The Muslim World 40(1950) No.1
Quthan, Mana’ul, “Pembahasan Ulumul Quran” Terj. Halimuddin (Jakarta: PT. Rineka
Cipta, 1994)
Ilham,
Muhammad Arifin, “Hakikat Dzikir: Jalan Taat Menuju Allah”, (Depok:
Intuisi Press, 2003)
M. Quraish Shihab, “Mukjizat
Al-Quran,” (Bandung: Mizan, 1997)
Ghallab,
Muhammad, “Inilah Hakikat Islam”
Terj.Hamdani Ali, (Jakarta: Bulan-Bintang, 1966)
M.
Taqiyul Islam Qori, Cara Mudah Menghafal Al-Quran, (Jakarta: Gema Insani
Press, 1998)
Maurice
Bucaille, The Bible, The Qur’an and Science, Translated from the French
by ALASTAIR D. PANNELL and THE AUTHOR
Jurnal dan Majalah
Jurnal.
Tsaqafah, volume 4, nomor 1,
Dzulqa’dah 1428
Jurnal.
Kalimah, “Membangun Pengetahuan
Teistik: Mencari Model Dialog Sains dan Agama” volume 5 , nomor 1, Maret
2007
Jurnal.
Himmah, “Agama dan Sains:
Membentuk Sebuah Peradaban” volume 7, nomor 3, Dzulhijjah 1429
Tabloid.
Republika, Dialog Jum’at, “Hafalan
Al-Quran Permudah Rumus Fisika,” 7 November 2008
Tabloid.
Republika, Dialog Jum’at, “Intens
Membaca Al-Quran,” 26 November 2008
Tabloid.
Republika, Dialog Jum’at, “Magnet
Pecetakan Al-Quran”19 Desember 2008
Jurnal.
Himmah, volume 8, nomor 1, Januari
2009
Tabloid.
Republika, Dialog Jum’at,“Tiada
Tara Nikmat Hafal Al-Quran” 23 Januari
2009
Tabloid.
Republika, Dialog Jum’at, “Empat
Kitab Tafsir Terkemuka” 30 Januari 2009
Tabloid.
Republika, Dialog Jum’at, 13
Februari 2009
Website
http://www.abu
nasr. Multiply.com/journal/item
http://www.2think.org/nothingness.html,
Henning Genz– Nothingness: The Science of Empty Space, s. 205
Carolyn Sheets, Robert
Gardner, Samuel F. Howe; General Science, Allyn and Bacon Inc. Newton, Massachusetts,
1985, s. 30
National Geographic
Society, Powers of Nature, Washington
D.C., 1978, s.12-13
http://www.jps.net/bygrace/index.
html Taken from Big Bang Refined by Fire by Dr. Hugh Ross, 1998. Reasons To
Believe, Pasadena, CA
[1] Q.S. Al-Qiyamah: 17-18
[2] Muhammad bin Muhammad abu Syahbah, Al-Mudakhal li Dirasat Al-Quran Al-Karim, Maktabah As-Sunnah,
KAiro, 1992, hlm. 19-20
[3] Ibid, hlm. 20
[4] Manna’ Al-Qaththan, Mabhits
fi ‘Ulum Al-Quran, Mansyurat Al-‘Ashr
Al-Hadis, 1973, hlm. 21
[5] Al-Jurjani, At-Ta’rifat,
hlm. 174
[6] Ibid
[7] Disampaikan oleh sejumlah periwayat yang menurut adat kebiasaan
mustahil berkumpul dan bersepakat untuk berdusta.
[8] Q.S.4:36
[9] Pendahuluan kedelapan kitab Ash-Syafi
dan Safinatul Bihar yang berjudul “Bathana”.
[10] Lihat Q.S: Al-Mujadilaht:
11
[11] Mempercayai tiga Tuhan, yaitu Tuhan Bapak, Tuhan Anak dan Roh
Kudus. Namun yang terakhir masih dalam perbedaan pendapat, karena sebagian yang
lain tidak meyakini Roh Kudus, tapi lebih cenderung pada Maria, Ibu dari Tuhan
Anak.
[12] Muhammad Husain Thabathaba’I, Mengungkap
Rahasia Al-Quran, terj.A. Malik Madany dan hamim Ilyas, Mizan, 1994 lihat
hal: 37
[13] Hudhari Bik, Tarikh
At-Tasyri’ Al-Islami, terj. Mohammas Zuhri, Rajamurah AlQonaah, 1980,
hlm.5-6.
[14] Ibid, hlm. 45, Subhi
As-Shalih, Mbahits fi ‘Ulum Al-Quran, Dar Al-Qalam li Al-Malayyin, Beirut, 1988, hlm. 51
[15] Lauh Mahfudz, sebuah
catatan yang di dalamnya terdapat catatan mengenai sagala sesuatu yang eksis
dan yang ditulis sejak zaman azali.
[16] Lihat Q.S. Al-Buruj (85):
21-22 dan Q.S. Al-Waqi’ah (56)| 77-80
[17] Lihat Q.S. Al-Qadar (97):
1 dan Ad-Dukhan (44): 3
[18] Lihat Q.S. Asy-Syu’ara’
(26): 193-195
[19] Lihat Q.S. Al-Furqan
(25): 32
[20] Drs. Rosihan Anwar, M.Ag, Ulumul-Quran
untuk IAIN, STAIN, PTAIS, Pustaka Setia, Bsndung, 2000, hlm. 36
[21]Menurut Az-Zarqany, arti Asbab
An-Nuzul secara teminologi
adalah hal khusus atau sesuatu yang terjadi serta hubungan dengan turunnya ayat
Al-Quran yang berfungsi sebagai penjelas hukum pada saat peristiwa itu terjadi.
[22] Jalaluddin As-Suyuti, Al-Itqan fi ‘Ulum Al-Quran, Dar Al-Fikr, Beirut, Jilid I, hlm. 29
[23] Rosihan Anwar, Ulum
Al-Quran, Pustaka setia, Bandung,
2000 hlm: 62
[24] Kepiawain ketujuh sahabat ini di dalam menghafalkan Al-Quran
dijelaskan oleh riwayat-riwayat Al-Bukhari yang artinya sebagai berikut:
Diriwayatkan dari Abdullah bin Amir Al-Ash bahwa Rasulullah SAW pernah
bersabda, “Ambilah Al-Quran dari empat
orang, yaitu Abdullah bin Mas’ud, Salim, Mu’adz bin Jabal dan Ubay bin Ka’ab.”
[25] Diriwayatkan melalui jalan yang dapat dipercaya dari Anas ia
menceritakan bahwa ketika Rasulullah SAW wafat, ada empat penghafal Al-Quran,
yaitu Abu Ad-Darda, Mu’adz bin JAbal, Zaid bin Tsabit, dan Abu Daud.
[26] Ibid, hlm. 238-239
[27] Syahbah, op. cit, hlm.
241
[28] Ibid, hlm. 242
[29] Syahbah, op. cit, hlm.
242
[30] Perlu diketahui bahwa di dalam penghapusan ini dapat dipastikan ada
hikmah di dalamnya dan ayat yang menghapus tidak akan pernah labih buruk dari
ayat sebelumnya, selalu lebih baik atau menimal sama (sederajat) dengan ayat
sebelumnya.
[31] Ia adalah ulama sufi besar yang alim dalam bidang ushul dan muamalat,
serta menjadi guru bagi kebanyakan muridnya di Baghdad, wafat pada tahun 243 H.
[32] Ibid, hlm : 48
[34] Ibid, 48-50
[36] Tabloid Republika, Jum’at 19 Desember 2008, hlm: 16
[44] Membahas akhirdari suatu akar dalam suatu kalimat yang disebabkan
oleh factor yang berbeda, sedangkan dari perbedaan itu akan mempengaruhi
maknanya.
[45] Azzah Zain al-Hasany, ‘Al-Quan Puncak Selera Sastra’, Ziyad
Visi Media, Surakarta,
2007. hal: 91
[46] Mana’ul Quthan, “Pembahasan Ilmu Al-Quran, Rineka Cipta, Jakarta, 1994. hal: 78
[48] Tabloid Republika, Jum’at 30 Januari 2009, hlm: 14
[49] Ibid
[50] Kitab-kitab ini ditulis di kolom tafsir dengan judul: Empat Kitab
Tafsir Terkemuka, Dialog Jumat (30 Januari 2009)
[51] Kitab suci yang diturunkan Allah SWT tetapi ayat-ayatnya sudah
diselewengkan oleh sebagian manusia, kecuali Al-Quran yang selalu dijaga oleh
Allah SWt dari penyelewengan.
[52] Ayat-ayatnya dibuat oleh tangan-tangan manusia dengan mengatas
namakan bahwa itu dari Allah.
[54] M. Quraish Shihab, Mukjizat Al-Quran, Mizan, Bandung, 1997, hal: 23
[57] Shihab, Op. Cit. hal: 35
[58] Ibid, hal: 36-37
[66] Drs. Maskoeri Jasin, Ilmu
Alamiah Dasar, PT. Raja Grafindo, Persada, Jakarta, 1997 hlm. 1
[67] Ibid, hlm. 9
[68] Istilah Metafisika berasal dari bahasa Yunani ta meta ta physica yang berarti mengikuti fisika. Nama ini muncul
dari pembagian karya Aristoteles oleh Andronikos dari Rodi yang memilah
karya-karya Aristoteles yang membicarakan hal-hal yang bersifat fisik dengan
karya-karya yang membicarakan hal-hal yang di luar fisik. Andronikos menemukan
bahwa sesudah karya-karya mengenai fisika terdapat empat belas buku yang
ditemukan di dalamnya pembahasan mengenai realitas, kualitas, kesempurnaan yang ada, yang mengatasi dunia
fisik. Oleh Andronikos keempat belas buku tersebut dinamai ta meta ta
physica yang artinya buku-buku yang dating sesudah fisika.
[69] Jurnal Tsaqafah Volume 4,
nomor. 1 Zulqa’dah 1428 H, dalam artikelnya yang berjudul ‘Wacana Hubungan Sains dan Agama,’
[70] Salah satu staff pengajar dan dosen di Pondok Modern Darussalam
Gontor, beliau telah menulis tentang hubungan antara Al-Quran dan Sains di
Jurnal Tsaqafah.
[71] Seorang doktor kesehatan asal India yang juga pendiri presiden Islamic
Research Foundation India
[72] Dewan Pakar Pusat Studi Al-Quran (PSQ)
[73] QS 86: 5
[74] QS 24: 45
[75] QS 76: 2
[76] QS 29: 20
[77] QS 29: 19
[78] QS 11: 7
[79] QS 23: 12-14
[80] QS 31: 10
[81] QS 41: 11
[82] QS 88: 17-20
[83] QS 6: 101
[84] http://www.jps.net/bygrace/index. html
Taken from Big Bang Refined by Fire by Dr. Hugh Ross, 1998. Reasons To Believe,
Pasadena, CA
[85] http://www.jps.net/bygrace/index. html
Taken from Big Bang Refined by Fire by Dr. Hugh Ross, 1998. Reasons To Believe,
Pasadena, CA
[86] QS 21:32
[87] Ibid
[88] QS 29: 20
[89] QS 29: 19
[90] QS 39: 21
[93] QS: 27:88
[94] Carolyn Sheets, Robert Gardner, Samuel F.
Howe; General Science, Allyn and Bacon Inc. Newton, Massachusetts,
1985, s. 30
[95] National Geographic Society, Powers of
Nature, Washington D.C., 1978, s.12-13
[97] QS 21:33
[98] QS 36:38
[99] QS 51:7
[102] QS: 22:47
[103] QS: 32:5
[104] QS: 70:4
[105] QS: 23:122-114
[106] QS: 36:36
[107] http://www.2think.org/nothingness.html,
Henning Genz – Nothingness: The Science of Empty Space, s. 205
[108] QS: 57:25
[110] QS 51:47
[111] Fisikawan Rusia,
[112] Ahli kosmologi Belgia
[113] Seorang astronom Amerika
[114] Mehdi Ghoshlani, Filsafat
Sains Menurut Al-Quran, Mizan, Bandung
2003, hlm: 43
[115] Ibid, hal: 44
[116] Ibid, hlm: 45
[117] Nama lengkapnya adalah Al-Imam Al-Akbar Mahmud Syaitut. Dalam
pendahuluan tafsirnya beliau mengecam sekelompok cendekiawan yang menguasai
ilmu pengetahuan kontemporer atau mengadopsi teori-teori ilmiah, filsafat dan
sebagainya, kemudian dengan bekal itu mereka menafsirkan ayat-ayat Al-Quran
dengan kerangka ilmu pengetahuan yang mereka kuasai tersebut.
[118] Matahari beredar mengelilingi bumi atau bumi pusat segalanya.
[119] Bumi berputar mengelilingi matahari atau mahtahari pusat tata
surya.
[120] Ayat ini menunjukan tentang anatomi tubuh manusia secara detail,
arti dari ayatnya berbunyi “Hai manusia,
apakah yang telah memperdayakan kamu (berbuat durhaka) kepada Tuhanmu yang Maha
Pemurah, Yang telah menciptakan kamu lalu menyempurnakan kejadianmu dan
menjadikan (susunan tubuh)mu seimbang. Dalam bentuk apa saja yang ia kehendaki,
ia menyusun tubuhmu.”
[121] Jurnal Majalah Himmah Vol
7 No. 3 Edisi Desember 2008/ Dzulhijjah 1429 Hlm. 22
[122] Guru Besar Fisika Universitas Teknologi Syarif, Iran, beliau adalah penulis buku Filsafat-Sains menurut Al-Quran, Mizan, Bandung, 1997
[129]Salah satu ayat yang lain adalah: “Al-Quran itu tiada lain hanyalah peringatan bagi seluruh alam (bangsa).”
(Lihat QS. 68:52 dan QS. 38:87, kedua surat
ini menyatakan hal uyang sama untuk pengulangan dan penekanan)
[130] QS 46: 30
[135] Muhyiddin Hasan Al-Qodmany, “Qodhoya Hammah fi Khadhiri Al-A’lam
Al-Islamiyah” Al-Maktab Al-Islamy, Beirut,
1986 hlm:43
[136] Ibid, Hlm: 44
[137]Bentuk pemerintahan sebagaimana yang telah diajarkan Nabi Muhammad
SAW dan para sahabat (Khulafa ar-Rasyidin), bentuk pemerintahan ini
berbeda dengan demokrasi yang membutuhkan banyak partai. Hal ini pulalah yang
sering digembar-gemborkan oleh Hizbu at-Tahrir bahwa Islam akan bangkit dan
bersatu jika mau meninggalkan demokrasi dan kembali pada system khilafah.
[138] Perlu dijelaskan di sini mengenai Geert Wilders yang menyebarkan
Ayat-Ayat Fitna, beberapa ayat yang gencar didengungkan di filmnya adalah QS.
Muhammad: 4 yang menceritakan tentang pemancungan batang leher kepala atas
orang-orang kafir, ia tidak menyertakan ayat sebelumnya yang mengisahkan
tentang orang-orang musyrik Makkah yang menghalangi orang lain untuk menganut
agama yang dipilihnya, selain itu ia juga menyertakan QS: an-Nisa: 89 yang
menyatakan bahwa Al-Quran mengajarkan untuk membunuh semua non-muslim di
manapun dan kapan pun, padahal ayat sebelumnya (yang tidak ia sertakan)
menjelaskan tentang sifat orang munafik, sebagai penjelasan bahwa pembunuhan
yang diperintahkan ditujukan untuk orang-orang munafik yang telah kembali pada
kekafiran. Bukan untuk non-muslim secara keseluruhan. Beginilah cara mereka
mengutip ayat, hanya sepenggal-sepenggal dan tidak menyertakan penggalan yang
lain.
[139] Arthur Jeffery. “The Qur’an as Scripture” The Muslim World
40 (1950) No. 1, hlm: 41
[140] Ibid
[141] Prof. Dr. Muhammad Ghallab, “Inilah Hakikat Islam”, Terj. B. Hamdany Ali, Bulan Bintang, Jakarta, 1966 hal:258
[142] Sebelum membaca beberapa ungkapannya, perlu diketahui bahwa Denis
Giron sendiri lebih memihak pada Syiah, sayangnya di kini telah murtad (keluar dari Islam)
[143] http://www.2think.org/nothingness.html, Henning
Genz– Nothingness: The Science of Empty Space, s. 205
[144] seorang profesor di Universiti Toronto, telah menulis
sebuah buku berjudul : "The Developing Human 3rd Edition"
dan "Human Development as described in the Quran and Sunnah"
[145] Muhammad Arifin Ilham, Hakikat Zikir: Jalan menuju Allah,
INTUISI Press, Depok, 2003, hal: 73
[146]Lihat QS 14: 10, di dalam ayat ini mengungkapkan bahwa para nabi dan
rasul senantiasa bertanya pada umat mereka: “Apakah ada keragu-raguan
terhadap Allah, Pencipta langit dan bumi?”
[147] QS 58: 11
[148] Donny Gahral, Op. Cit., hal: 16
[149] hidup manusia hanya ditujukan untuk melayani teknologi
[151] memisahkan individu dari kepekaan
[152] kehidupan didominasi oleh pilihan bukannya takdir
[154] Ia adalah mahasiswi UIN Malang yang pernah memimpin sidang Munas
IHAMAFI (Ikatan Himpunan Mahasiswa Fisika Indonesia)
pada TMFI di UIN Malang.
[155] Salah satu pembimbing hafalan Al-Quran di UIN Malang
[156] M. Taqiyul Islam Qori, Cara Mudah Menghafal Al-Quran,
(Jakarta: Gema Insani Press, 1998) hal:39
[157] QS 8:2
[158] Ketua Presidium Majelis Pengurus Pusat Ikatan Cendekiawan Muslin
se-Indonesia (ICMI) periode 2005-2010
[159] QS 21:80, QS 18:65 dan QS 2:102
[160]
Happy Susanto, ‘Membangun Pengetahuan Teistik: Mencari Model Dialog Sains
dan Agama’, Jurnal. Tsaqafah,
volume 4, nomor 1, Dzulqa’dah 1428
[161] Seorang ahli sains bidang kelautan berkebangsaan Jerman, perkataan
ini diungkapkannya dalam sebuah seminar sains kajian laut yang diadakan di
Universitas Raja Abdul ‘Aziz di Jeddah.
[168]
Jurnal. Himmah, “Agama dan Sains:
Membentuk Sebuah Peradaban”oleh: Imanuddin Abil Fida, volume 7, nomor 3, Dzulhijjah 1429Hal: 2
[169] Donny Gahral Adian, Seri tokoh filsafat: Muhammad Iqbal,
Teraju, Jakarta
selatan, 2003 hal: 92
[170] Ahli fisika teoritis, lulusan Universitas Hiroshima, Jepang, Dosen
Fisika ITS, penulis buku Ayat-Ayat Semesta
[171] Teknisi adalah seseorang yang dilatih dan mempunyai tugas atau
pekerjaan untuk menerapkan tehnik-tehnik atau prinsip-prinsip yang telah
diketahui dalam artian ilmuan yang tidak terlalu ahli.
[172] Agus Purwanto, Op.Cit, hal: 208
[173] QS 58:11
4 komentar:
makasih atas postingannya. alhamdulillah membantu sekali ^_^
nice post
http://rahasiailmuqurani.blogspot.com/
nice post
http://rahasiailmuqurani.blogspot.com/
Mungkin perlu dijelaskan dari mana asal isi Al-Quran yang diperintahkan oleh Muhammad bin Abdullah kepada sekretaris pribadi-nya yang ditugaskan khusus mencatat, yaitu : Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, dijelaskan terkait hasil terjemahan peninggalan "Waraqah" sepupu Khadijah, yang adalah ahli tafsir injil palsu dan kitab-kitab Ibrani, karena banyak diantaranya terkait terjemahan dan tafsiran keliru Waraqah yang saat itu menganut ajaran bidat Nashrani. Dan juga berbagai kajian dan tulisan para ahli-ahli Mesir, Yunani dan Romawi ditahun lahirnya Islam dan sebelumnya, terkait konsep-konsep ilmu pengetahuan yang disadur dan dimasukan oleh para penulis untuk melengkapi Al-Quran, sehingga seolah-olah murni diberikan kepada Muhammad bin Abdullah sebagai Ilham. atau pernahkah dikaji bahwa semua tafsiran Waraqah disimpan oleh Khadijah dan Muhammad kemudian dirumuskan sebagai "Wahyu", pernahkah ini dianalisis?
Mengapa demikian?, karena banyak isinya berupa saduran yang ditambah dan dikurangi dengan tafsiran-tafsiran kisah Ibrani yang dibuat oleh para ahli dibawah tahun 600 Masehi. Seolah-olah Al-Quran berisi sesuatu yang sangat lengkap, namun mungkin berupa saduran dari kumpulan artikel-artikel para ahli yang digunakan untuk melengkapi Al-Quran. Silahkan dilengkapi supaya penjelasan anda lebih valid. Ataukah belum terpikirkan oleh para ahli Muslim? dengan praduga dan hipotesis "terjemahan Waraqah, setelah ia meninggal raib kemana?" mungkin ada benang merah yang perlu dikaji.
Posting Komentar