PROFIL GONTOR
LATAR BELAKANG SEJARAH
PONDOK TEGALSARI
Pada paruh pertama abad ke-18, hiduplah seorang Kyai
Ageng Hasan Bashari atau Besari di desa Tegalsari. Tegalsari adalah sebuah desa
terpencil kurang lebih 10 km ke arah selatan dari kota Ponorogo. Di tepi dua
buah sungai, Sungai Kenyang dan Sungai Malo, yang mengapit Desa Tegalsari
inilah Kyai Agung itu mendirikan sebuah pondok yang kemudian dikenal sebagai
Pondok Tegalsari.
Pada sejarahnya, pondok ini pernah mengalami zaman keemasan,
ribuan santri berduyun-duyun menuntut ilmu di pondok ini. Mereka berasal dari
hampir seluruh tanah Jawa. Karena besarnya jumlah seluruh santri, seluruh desa
menjadi pondok, bahkan pondok mereka juga didirikan di desa-desa sekitar.
Pondok Tegalsari telah menyumbangkan jasa yang sangat
besar terhadap pembangunan bangsa Indonesia melalui para alumninya. Diantara
mereka ada yang menjadi kyai, pegusaha, tokoh masyarakat, pejabat pemerintahan,
negarawan, ulama’ dan lain lain. Sekedar menyebut sebagai contoh adalah Paku
Buana II atau Sultan Kumbul, Penguasa Kerajaan Kartasura. Raden Ngabehi
Ronggowarsito (wafat1803), seorang pujangga Jawa yang masyhur dan tokoh
pergerakan nasional H.O.S. Cokroaminoto (wafat 1923).
Setelah Kyai Ageng Hasan Beshari wafat, beliau digantikan
oleh putra ke tujuh beliau bernama Kyai Hasan Yahya. Seterusnya Kyai Hasan
Yahya digantikan oleh Kyai Bagus Hasan yang kemudian digantikan oleh Kyai Hasan
Anom. Demikianlah pesantren Tegalsari hidup dan berkembang dari generasi ke
generasi, dari satu pengasuh ke pengasuh yang lain. Namun pada pertengahan abad
ke 19 atau pada generasi ke empat keluarga Kyai Beshari Pesantren Tegalsari
mulai surut.
Alkisah pada masa kepemimpinan Kyai Khalifah, terdapat
seorang santri yang sangat menonjol dalam segala bidang bernama Sulaiman Jamaluddin,
putra penghulu Jamaluddin dan cucu pangeran Hadiraja, Sultan Kasepuhan Cirebon.
Ia sangat dekat degan kyainya dan kyai pun sayang padanya. Maka setelah
memperoleh ilmu yang cukup santri Sulaiman Jamaluddin diambil menantu oleh
kyai, dan jadilah ia kyai muda yang sangat dipercaya menggantikan kyai memimpin
pesantren saat beliau berhalangan. Bahkan akhirnya sang kyai memberikan
kepercayaan kepada santri dan menantunya ini untuk mendirikan pesantren sendiri
di desa Gontor.
PONDOK GONTOR LAMA
Gontor adalah sebuah desa yang terletak kurang lebih sekitar 10 km sebelah
timur Tegalsari dan 12 km ke tenggara dari arah Ponorogo. Pada saat itu Gontor
masih berupa hutan belantara yang tidak banyak didatangi orang. Bahkan hutan
ini dikenal sebagai tempat persembunyian para perampok, penjahat, penyamun dan
pemabuk. Jelasnya tempat ini adalah tempat yang kotor dan sumber dari segala
kekotoran. Dalam bahasa jawa tempat yang kotor itu disebut nggon kotor,
yang kemudian disingkat dengan Gontor.
Di desa
inilah Kyai muda sulaiman Jamaluddin diberi amanat oleh mertuanya untuk
merintis pondok pesantren seperti Tegalsari dengan bekal 40 santri yang
dibekalkan oleh Kyai Khalifah kepadanya. Pondok Gontor inilah yang menjadi
cikal bakal dari Pondok Modern Gontor pada saat ini.
Pondok yang didirikan oleh Kyai Sulaiman Jamaluddin ini berkembang sangat
pesat, khususnya ketika dipimpin oleh putra beliau yag bernama Kyai Archam Anom
Beshari. Santri santrinya berdatang dari berbagai daerah di Jawa, konon banyak
juga santrinya yang datang dari daerah Pasundan Jawa Barat. Setelah Kyai Archam
wafat, kepemimpinan di pondok dilanjutkan oleh putranya yang bernama Kyai
Santoso Anom Beshari. Kyai Santoso adalah generasi ke tiga dari pendiri pondok
Gontor lama. Pada masa kepemimpinan generasi ketiga ini Gontor mulai surut,
kegiatan pengajaran dan pendidikan di pesantren mulai memudar. Di antara sebab
kemunduran ini adalah karena kurangnya perhatian terhadap kaderisasi.
PONDOK GONTOR BARU
Ketiga
putra Ibu Nyai Santoso itulah yang sering disebut sebagai “Trimurti” itulah
yang menghidupkan kembali Pondok Gontor. Pembukaan kembali Pondok Gontor itu
secara resmi dideklarasikan pada Senin Kliwon, 20 September 1926 bertepatan
dengan 12 Robiul Awal 1345.
a.
Pembukaan Tarbiyatul Athfal
Langkah
pertama untuk membuka kembali Pondok Gontor adalah dengan membuka Tarbiyatul
Athfal (TA), suatu program pendidikan tingkat dasar. Materi, sarana dan
prasarana pendidikan sangat sederhana. Tetapi berkat keuletan, ketekunan,
kesabaran dan keikhlasan pengasuh Gontor baru, usaha ini berhasil membangkitkan
kembali semangat belajar masyarakat Gontor. Program TA ini pun berikutnya tidak
hanya didikuti oleh anak anak, tetapi juga oleh orang dewasa. Peserta didiknya
juga tidak terbatas hanya pada masyarakat Desa Gontor tetapi juga masyarakat
desa sekitar.
Minat belajar masyarakat Desa
Gontor yang semakin meningkat ini diantisipasi dengan pendirian cabang cabang
TA di desa desa sekitar Gontor. Madrasah madrasah TA di daerah sekitar Gontor
itu ditangani oleh kader yang telah disiapkan secara khusus melalui proses pengkaderan.
b.
Pembukaan Sullamul Mutaallimin
Telah
enam tahun TA berdiri, ia disambut dengan kegairahan yang tinggi oleh pecinta
ilmu. Untuk itu mulailah dipikirkan upaya pembangunan TA dengan membuka program
lanjutan TA yang disebut “Sullamul Muta’allimin” (SM) th 1932. Pada tahapan in
santri diajari secara lebih dalam dan luas pelajaran Fiqih, Hadits, Tafsir,
Terjamah Al-Quran, cara berpidato, cara membahas suatu persoalan, juga diberi
sedikit bekal untuk menjadi guru yang berupa ilmu jiwa dan ilmu pendidikan. Di
samping itu mereka juga diajari ilmu kesenian, keterampilan, olahraga, gerakan
kepanduan dan lain-lain.
c.
Pembukaan Kulliyatul Mu’allimin Al-Islamiyah (KMI) 1936.
Kehadiran TA dan SM telah membawa angin segar yang menggugah minat belajar
masyarakat. Perkembangan tersebut cukup menggembirakan hati dan benar benar
disyukuri oleh pengasuh pondok pesantren yang baru dibuka kembali ini.
Kesyukuran tersebut ditandai dengan diadakannya “Kesyukuran 10 Tahun Pondok
Gontor”. Acara kesyukuran dan peringatan menjadi semakin sempurna dengan
diikrarkannya pembukaan program pendidikan baru tingkat menengah pertama dan
menengah keatas yang dinamakan “ Kulliyatul Mu’allimin Al-Islamiyah” (KMI) atau
Sekolah Guru Islam, yang menandai kebangkitan sistem pendidikan mo Mu’allimin Al-Islamiyah” (KMI) adalah
Sekolah Pendidikan Guru Islam hampir sama dengan Sekolah Normal Islam di Padang
Panjang. Model ini kemudian dipadukan ke dalam sistem pendidikan pondok
pesantren. Pelajaran agama seperti yang diajarkan di beberapa pesantren pada
umumnya diberikan di kelas-kelas. Tetapi pada saat yag sama para santri juga
tinggal di dalam asrama dengan tetap mempertahankan jiwa kehidupan pesantren.
Proses pendidikan berlangsung selama 24 jam, sehingga segala yang dilihat,
didengar dan diperhatikan santri di pondok ini adalah untuk pendidikan.
Pelajaran agama dan pelajaran umum diberikan secara imbang dalam jangka 6
tahun. Pendidikan ketrampilan, kesenian, olahraga, organisasi dan lain-lain
merupakan bagian dari kehidupan santri di pondok.
Setelah perjalanan tiga tahun, pelajaran
sudah harus ditingkatkan, maka dibukalah tingkatan yang lebih tinggi bernama
Bovenbow. Setelah berjalan lima tahun, pengembangan tingkatan pendidikan di KMI
menjadi sebagai berikut: bagian Onderbow, lama belajar 3 tahun dan bagian
Bovenbow, lama belajar 2 tahun.
Dalam peringatan 10 tahun ini pula tercetus nama baru untuk
Pondok Gontor yang baru dihidupkan kembali ini, yakni Pondok Modern Gontor.
Nama ini merupakan sebutan masyarakat yang kemudian melekat pada Pondok
Gontor yang nama aslinya adalah “Darussalam”,
artinya Kampung nan Damai.
VISI, MISI, DAN TUJUAN DIDIRIKANNYA GONTOR
Visi
Pondok Modern Darussalam Gontor
memiliki visi sebagai lembaga pencetak kader-kader pemimpin umat, menjadi
tempat ibadah dan thalab-al-ilmi,
serta menjadi sumber ilmu pengetahuan Islam, bahasa Al-Quran dan ilmu
pengetahuan umum dengan tetap berjiwa pesantren.
Misi
a) Membentuk
generasi yang unggul menuju terbentuknya khairul ummah.
b) Mendidik
dan mengembangkan generasi mukmin muslim yang berbudi tinggi, berbadan sehat,
berpengetahuan luas dan berpikiran
bebas, serta berkhidmat kepada masyarakat.
c) Mengajarkan
ilmu pengetahuan agama dan umum secara seimbang menuju terbentuknya ulama yang
intelek.
d) Mewujudkan
warga negara yang berkepribadian Indonesia yang beriman dan bertaqwa kepada
Allah SWT.
TUJUAN
Pondok Modern Darussalam Gontor
memiliki beberapa tujuan, yaitu:
1)
Terwujudnya generasi mukmin
muslim yang berbudi tinggi, berbadan sehat, berpengetahuan luas dan berpikiran bebas, serta berkhidmat kepada
masyarakat.
2)
Lahirnya ulama yang intelek yang
memiliki keseimbangan dzikir dan pikir.
3)
Terwujudnya warga negara
Indonesia yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT.[1]
GAGASAN DAN CITA-CITA
Apakah gagasan dan cita-cita para pendiri Pondok Modern
Gontor sehingga mempunyai tekad yang
begitu besar? Cita-cita terutama adalah rasa tanggung jawab memajukan umat
islam dan mencari ridho Allah.Tempat yang dipilih untuk mewujudkan cita-cita
mereka itu adalah Pondok Pesantren yaitu lembaga pendidikan Islam yang pernah
berjaya pada masa nenek moyang mereka dan saat itu telah mati.
Lembaga
Pendidikan Pondok Pesantren adalah model pendidikan Islam yang banyak dipakai
dan berlaku di beberapa negara Islam. Namun, di negara-negara itu pendidikan
Islam telah banyak mengalami kemajuan dan perkembangan pesat sebagaimana
lembaga-lembaga pendidikan di negara-negara Islam lainnya. Karena itu
pengembangan Pondok Pesantren di Indonesia perlu mengambil kaca perbandingan
dan lembaga-lembaga pendidikan Islam di luar negeri yang serupa dengan sistem
pendidikan pondok Pesantren, para pendiri Pondok Modern Gontor pada awal
pembangunan Pondok Gontor Baru telah mengkaji berbagai lembaga pendidikan
terkenal dan maju di luar negri, khususnya yang sesuai dengan sistem Pondok
Pesantren. Di Mesir terdapat Universitas Al-Azhar yang terkenal dengan
keabadiannya dan memiliki tanah wakaf yang mampu memberi beasiswa kepada
mahasiswa dari seluruh dunia, di dekat Libya terdapat pondok Syanggit yang harum
namanya berkat kedermawanan dan keikhlasan para pengasuhnya. Di India terdapat
Universitas Muslim Aligarth yang terkenal sebagai pelopor pendidikan modern dan
revival of Islam. Di India juga terdapat perguruan Shantiniketan didirikan oleh
Rabindranath Tagore, seorang filusuf Hindu, ditengah-tengah hutan belantara
yang terkenal dengan kedamaiannya.
Keempat lembaga pendidikan tersebut menjadi idaman para
pendiri Pondok Modern Gontor, lembaga pendidikan pesantren yang akan mereka
bangun adalah Pondok pesantren yang merupakan sintesa dari 4 lembaga pendidikan
di atas.
Selain itu, gagasan untuk membangun Gontor Baru dan
gambaran tentang bentuk pendidikan dan lulusannya diilhami oleh peristiwa dalam
Kongres Umat Islam Indonesia di Surabaya, pada pertengahan tahun 1926, yang
dihadiri oleh tokoh-tokoh umat Islam Indonesia, misalnya H.O.S Cokroaminoto,
Kyai Mas Mansur, H. Agus Salim, AM. Sangaji, Usman Amin, dll.
Dalam kongres tersebut diputuskan bahwa umat Islam
Indonesia harus mengutus wakilnya ke muktamar Islam se-Dunia yang akan
diselenggarakan di Mekkah. Tetapi timbul masalah tentang siapa yang akan
menjadi utusan. Padahal utusan yang akan dikirim ke Muktamar tersebut harus mahir sekurang-kurangnya dalam
bahasa Arab dan Inggris. Dari peserta kongres itu tak seorang pun yang
menguasai dengan baik kedua bahasa tersebut. Akhirnya dipilihlah dua orang
utusan yaitu HOS Cokroaminoto yang mahir berbahasa Inggris dan KH. Mas Mansur
yang menguasai Bahasa Arab. Peristiwa ini mengilhami Pak Sahal yang hadir sebagai
peserta dalam kongres itu akan perlunya mencetak tokoh-tokoh yang memiliki
kriteria tersebut di atas.
Kesan-kesan Kyai Ahmad Sahal dari Kongres itu menjadi
topik pembicaraaan bersama kedua adik kandungnya dan merupakan masukan
pemikiran yang sangat berharga bagi bentuk dan ciri lembaga pendidikan yang
akan dibina di kemudian hari. Selain itu situasi masyarakat dan lembaga
pendidikan di tanah air saat itu juga mengilhami timbulnya ide-ide mereka.
Banyak sekolah yang dibina oleh orang-orang Kristen yang
berasal dari Barat mengalami kemajuan yang pesat, guru-gurunya pandai dan cakap
dalam penguasaan materi dan metodologi pengajaran serta menguasai ilmu jiawa
dan kemasyarakatan.
Hubungan guru dan murid
dalam proses belajar-mengajar sangat edukatif, sehingga dapat menghasilkan
alumni yang menonjol di masyarakat. Sementara itu, lembaga Pendidikan Islam
belum mampu menyamai kemajuan mereka. Di antara sebab ketidakmampuan itu adalah
kurangnya pendidikan guru Islam yang dapat mencetak guru-guru Muslim yang cakap,
berilmu luas, dan ikhlas dalam bekerja serta memiliki tenggungjawab untuk
memajukan masyarakat.
Dari sisi lain, lembaga-lembaga pendidikan lain hanya
mengajarkan pelajaran agam dan mengesampingkan pelajaran umum. Padahal keduanya
adalah ilmu Islam dan sangat diperlukan oleh umat Islam. Maka Pondok Pesatren
yang akan dikembangkan itu harus memperhatikan hal ini.
Situasi sosial dan politik bangsa Indonesia berpengaruh
pula terhadap pendidikan, banyak lembaga pendidikan yang didirikan oleh
partai-partai dan golongan-golongan politik. Dalam lembaga pendidikan itu
ditanamkan pelajaran tentang partai dan golongan itu. Sehingga timbul fanatisme
golongan, sedangkan para pemimpinnya terpecah karena masuknya benih-benih
perpecahan yang disebarkan oleh penjajah. Maka lembaga pendidikan harus
dibebaskan dari kepentingan suatu golongan atau partai politik tertentu, dan
berdiri di atas semua golongan dan untuk semua golongan.
Situasi sosial bangsa Indonesia terus berkembang dan
semua itu menjadi perhatian, pengamatan, dan pemikiran para pendiri Pondok
Modern Darussalam Gontor. Secara bertahap sistem pendidikan di Pondok Modern
Gontor berjalan dengan berbagai percobaan pengembangan dari waktu ke waktu.
Ketiga pendiri yang memiliki latar belakang
pendidikan yang berbeda itu saling mengisi dan melengkapi sehingga Balai
Pendidikan Pondok Modern Darussalam Gontor menjadi seperti sekarang ini.
Namun, semua yang ada saat ini belum mencerminkan seluruh
gagasan dan cita-cita para pendiri Gontor. Karena itu adalah tugas generasi
penerus untuk memelihara, mengembangkan, dan memajukan lembaga pendidikan ini
demi tercapainya cita-cita para pendirinya.[2]
Selain itu, Pondok Modern Darussalam Gontor memiliki
Panca Jiwa dan Panca Jangka yang selalu digaungkan di dalam keseharian para santri
dan santriwatinya.
PANCA JIWA
Seluruh kehidupan di Pondok Modern Gontor
didasarkan pada nilai-nilai dan dijiwai oleh suasana-suasana yang dapat
disimpulkan dalam Panca Jiwa sebagai berikut:
1.
Jiwa Keikhlasan
Jiwa ini berarti sepi ing pamrih,
yakni berbuat sesuatu itu bukan karena didorong oleh keinginan memperoleh
keuntungan tertentu. Segala pekerjaan dilakukan dengan niat semata-mata ibadah,
lillah. Kyai ikhlas dalam mendidik, santri ikhlas dididik dan mendidik
diri sendiri, dan para pembantu kyai ikhlas dalam membantu menjalankan proses
pendidikan.
2.
Jiwa Kesederhanaan
Kehidupan
di dalam pondok diliputi oleh suasana kesederhanaan. Sederhana tidak berarti
pasif atau nrimo, tidak juga berarti miskin. Justru dalam kesederhanaan
itu terdapat nilai-nilai kekuatan, kesanggupan, ketabahan dan penguasaan diri
dalam menghadapi perjuangan hidup. Di balik kesederhanaan ini terpancar jiwa
besar, berani maju dan pantang mundur dalam segala keadaan. Bahkan di sinilah
hidup dan tumbuhnya mental dan karakter yang kuat, yang menjadi syarat
suksesnya perjuangan dalam segala segi kehidupan.
3.
Jiwa Berdikari
Berdikari
atau kesanggupan menolong diri sendiri merupakan senjata ampuh yang dibekalkan
pesantren kepada para santrinya. Berdikari tidak saja dalam arti bahwa santri
sanggup belajar dan berlatih mengurus segala kepentingannya sendiri, tetapi
pondok pesantren itu sendiri -sebagai lembaga pendidikan- juga harus sanggup
berdikari sehinga tidak pernah menyandarkan kehidupannya kepada bantuan atau
belas kasihan pihak lain.
4. Jiwa Ukhuwwah
Diniyyah
Kehidupan di pondok pesantren diliputi suasana
persaudaraan yang akrab, sehingga segala suka dan duka dirasakan bersama dalam
jalinan persaudaraan keagamaan. Tidak ada lagi dinding yang dapat memisahkan antara mereka, meskipun mereka
itu berasal dari berbagai latarbelakang yang berbeda. Ukhuwwah ini bukan
saja selama mereka di dalam pondok, tetapi juga mempengaruhi ke arah persatuan
umat dalam masyarakat sepulang santri itu dari pondok.
5.
Jiwa
Bebas
Bebas dalam berpikir dan
berbuat, bebas dalam menentukan masa depan, bebas dalam memilih jalan hidup dan
bahkan bebas dari berbagai pengaruh negatif dari luar masyarakat. Jiwa bebas
ini akan menjadikan santri berjiwa besar dan optimis dalam menghadapi segala
kesulitan sesuai dengan nilai-nilai yang telah diajarkan kepada mereka di
pondok.[3]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar