Rabu, 19 September 2012

PROFIL SINGKAT GONTOR




 PROFIL GONTOR
LATAR BELAKANG SEJARAH 


PONDOK TEGALSARI

Pada paruh pertama abad ke-18, hiduplah seorang Kyai Ageng Hasan Bashari atau Besari di desa Tegalsari. Tegalsari adalah sebuah desa terpencil kurang lebih 10 km ke arah selatan dari kota Ponorogo. Di tepi dua buah sungai, Sungai Kenyang dan Sungai Malo, yang mengapit Desa Tegalsari inilah Kyai Agung itu mendirikan sebuah pondok yang kemudian dikenal sebagai Pondok Tegalsari.
Pada sejarahnya, pondok ini pernah mengalami zaman keemasan, ribuan santri berduyun-duyun menuntut ilmu di pondok ini. Mereka berasal dari hampir seluruh tanah Jawa. Karena besarnya jumlah seluruh santri, seluruh desa menjadi pondok, bahkan pondok mereka juga didirikan di desa-desa sekitar.
Pondok Tegalsari telah menyumbangkan jasa yang sangat besar terhadap pembangunan bangsa Indonesia melalui para alumninya. Diantara mereka ada yang menjadi kyai, pegusaha, tokoh masyarakat, pejabat pemerintahan, negarawan, ulama’ dan lain lain. Sekedar menyebut sebagai contoh adalah Paku Buana II atau Sultan Kumbul, Penguasa Kerajaan Kartasura. Raden Ngabehi Ronggowarsito (wafat1803), seorang pujangga Jawa yang masyhur dan tokoh pergerakan nasional H.O.S. Cokroaminoto (wafat 1923).
Setelah Kyai Ageng Hasan Beshari wafat, beliau digantikan oleh putra ke tujuh beliau bernama Kyai Hasan Yahya. Seterusnya Kyai Hasan Yahya digantikan oleh Kyai Bagus Hasan yang kemudian digantikan oleh Kyai Hasan Anom. Demikianlah pesantren Tegalsari hidup dan berkembang dari generasi ke generasi, dari satu pengasuh ke pengasuh yang lain. Namun pada pertengahan abad ke 19 atau pada generasi ke empat keluarga Kyai Beshari Pesantren Tegalsari mulai surut.
Alkisah pada masa kepemimpinan Kyai Khalifah, terdapat seorang santri yang sangat menonjol dalam segala bidang bernama Sulaiman Jamaluddin, putra penghulu Jamaluddin dan cucu pangeran Hadiraja, Sultan Kasepuhan Cirebon. Ia sangat dekat degan kyainya dan kyai pun sayang padanya. Maka setelah memperoleh ilmu yang cukup santri Sulaiman Jamaluddin diambil menantu oleh kyai, dan jadilah ia kyai muda yang sangat dipercaya menggantikan kyai memimpin pesantren saat beliau berhalangan. Bahkan akhirnya sang kyai memberikan kepercayaan kepada santri dan menantunya ini untuk mendirikan pesantren sendiri di desa Gontor.

PONDOK GONTOR LAMA

Gontor adalah sebuah desa yang terletak kurang lebih sekitar 10 km sebelah timur Tegalsari dan 12 km ke tenggara dari arah Ponorogo. Pada saat itu Gontor masih berupa hutan belantara yang tidak banyak didatangi orang. Bahkan hutan ini dikenal sebagai tempat persembunyian para perampok, penjahat, penyamun dan pemabuk. Jelasnya tempat ini adalah tempat yang kotor dan sumber dari segala kekotoran. Dalam bahasa jawa tempat yang kotor itu disebut nggon kotor, yang kemudian disingkat dengan Gontor.
Di desa inilah Kyai muda sulaiman Jamaluddin diberi amanat oleh mertuanya untuk merintis pondok pesantren seperti Tegalsari dengan bekal 40 santri yang dibekalkan oleh Kyai Khalifah kepadanya. Pondok Gontor inilah yang menjadi cikal bakal dari Pondok Modern Gontor pada saat ini.
Pondok yang didirikan oleh Kyai Sulaiman Jamaluddin ini berkembang sangat pesat, khususnya ketika dipimpin oleh putra beliau yag bernama Kyai Archam Anom Beshari. Santri santrinya berdatang dari berbagai daerah di Jawa, konon banyak juga santrinya yang datang dari daerah Pasundan Jawa Barat. Setelah Kyai Archam wafat, kepemimpinan di pondok dilanjutkan oleh putranya yang bernama Kyai Santoso Anom Beshari. Kyai Santoso adalah generasi ke tiga dari pendiri pondok Gontor lama. Pada masa kepemimpinan generasi ketiga ini Gontor mulai surut, kegiatan pengajaran dan pendidikan di pesantren mulai memudar. Di antara sebab kemunduran ini adalah karena kurangnya perhatian terhadap kaderisasi.

Setelah Kyai Santoso wafat, Pondok Modern Gontor benar-benar mati. Saudara saudara Kyai Santoso tak ada lagi yang sanggup menggantikannya untuk mempertahankan keadaan pondok. Yang tinggal hanyalah Ibu Nyai Santoso yang tinggal bersama ketujuh putra dan putrinya dengan peninggalan sebuah rumah sederhana dan masjid tua warisan nenek moyangnya. Tapi rupanya sang ibu tidak hendak melihat Pondok Gontor hanyut dan lenyap ditelan sejarah. Karena itu beliau mengirimkan tiga orang di antara putra putrinya ke beberapa pesantren dan lembaga pendidikan lain untuk memperdalam ilmu agama. Ketiga putra itu adalah Ahmad Sahal (putra kelima), Zainudin Fanani (anak keenam) dan Imam Zarkasyi (putra ketujuh)


PONDOK GONTOR BARU

Ketiga putra Ibu Nyai Santoso itulah yang sering disebut sebagai “Trimurti” itulah yang menghidupkan kembali Pondok Gontor. Pembukaan kembali Pondok Gontor itu secara resmi dideklarasikan pada Senin Kliwon, 20 September 1926 bertepatan dengan 12 Robiul Awal 1345.
a.       Pembukaan Tarbiyatul Athfal
Langkah pertama untuk membuka kembali Pondok Gontor adalah dengan membuka Tarbiyatul Athfal (TA), suatu program pendidikan tingkat dasar. Materi, sarana dan prasarana pendidikan sangat sederhana. Tetapi berkat keuletan, ketekunan, kesabaran dan keikhlasan pengasuh Gontor baru, usaha ini berhasil membangkitkan kembali semangat belajar masyarakat Gontor. Program TA ini pun berikutnya tidak hanya didikuti oleh anak anak, tetapi juga oleh orang dewasa. Peserta didiknya juga tidak terbatas hanya pada masyarakat Desa Gontor tetapi juga masyarakat desa sekitar.
Minat belajar masyarakat Desa Gontor yang semakin meningkat ini diantisipasi dengan pendirian cabang cabang TA di desa desa sekitar Gontor. Madrasah madrasah TA di daerah sekitar Gontor itu ditangani oleh kader yang telah disiapkan secara khusus melalui proses pengkaderan.

b.      Pembukaan Sullamul Mutaallimin
Telah enam tahun TA berdiri, ia disambut dengan kegairahan yang tinggi oleh pecinta ilmu. Untuk itu mulailah dipikirkan upaya pembangunan TA dengan membuka program lanjutan TA yang disebut “Sullamul Muta’allimin” (SM) th 1932. Pada tahapan in santri diajari secara lebih dalam dan luas pelajaran Fiqih, Hadits, Tafsir, Terjamah Al-Quran, cara berpidato, cara membahas suatu persoalan, juga diberi sedikit bekal untuk menjadi guru yang berupa ilmu jiwa dan ilmu pendidikan. Di samping itu mereka juga diajari ilmu kesenian, keterampilan, olahraga, gerakan kepanduan dan lain-lain.

c.       Pembukaan Kulliyatul Mu’allimin Al-Islamiyah (KMI) 1936.
Kehadiran TA dan SM telah membawa angin segar yang menggugah minat belajar masyarakat. Perkembangan tersebut cukup menggembirakan hati dan benar benar disyukuri oleh pengasuh pondok pesantren yang baru dibuka kembali ini. Kesyukuran tersebut ditandai dengan diadakannya “Kesyukuran 10 Tahun Pondok Gontor”. Acara kesyukuran dan peringatan menjadi semakin sempurna dengan diikrarkannya pembukaan program pendidikan baru tingkat menengah pertama dan menengah keatas yang dinamakan “ Kulliyatul Mu’allimin Al-Islamiyah” (KMI) atau Sekolah Guru Islam, yang menandai kebangkitan sistem pendidikan mo      Mu’allimin Al-Islamiyah” (KMI) adalah Sekolah Pendidikan Guru Islam hampir sama dengan Sekolah Normal Islam di Padang Panjang. Model ini kemudian dipadukan ke dalam sistem pendidikan pondok pesantren. Pelajaran agama seperti yang diajarkan di beberapa pesantren pada umumnya diberikan di kelas-kelas. Tetapi pada saat yag sama para santri juga tinggal di dalam asrama dengan tetap mempertahankan jiwa kehidupan pesantren. Proses pendidikan berlangsung selama 24 jam, sehingga segala yang dilihat, didengar dan diperhatikan santri di pondok ini adalah untuk pendidikan. Pelajaran agama dan pelajaran umum diberikan secara imbang dalam jangka 6 tahun. Pendidikan ketrampilan, kesenian, olahraga, organisasi dan lain-lain merupakan bagian dari kehidupan santri di pondok.
      Setelah perjalanan tiga tahun, pelajaran sudah harus ditingkatkan, maka dibukalah tingkatan yang lebih tinggi bernama Bovenbow. Setelah berjalan lima tahun, pengembangan tingkatan pendidikan di KMI menjadi sebagai berikut: bagian Onderbow, lama belajar 3 tahun dan bagian Bovenbow, lama belajar 2 tahun.
      Dalam peringatan 10 tahun ini pula tercetus nama baru untuk Pondok Gontor yang baru dihidupkan kembali ini, yakni Pondok Modern Gontor. Nama ini merupakan sebutan masyarakat yang kemudian melekat pada Pondok Gontor  yang nama aslinya adalah “Darussalam”, artinya Kampung nan Damai.


VISI, MISI, DAN TUJUAN  DIDIRIKANNYA GONTOR


Visi     

Pondok Modern Darussalam Gontor memiliki visi sebagai lembaga pencetak kader-kader pemimpin umat, menjadi tempat ibadah dan thalab-al-ilmi,  serta menjadi sumber ilmu pengetahuan Islam, bahasa Al-Quran dan ilmu pengetahuan umum dengan tetap berjiwa pesantren. 

Misi    

a)      Membentuk generasi yang unggul menuju terbentuknya khairul ummah.
b)      Mendidik dan mengembangkan generasi mukmin muslim yang berbudi tinggi, berbadan sehat, berpengetahuan luas dan  berpikiran bebas, serta berkhidmat kepada masyarakat.
c)      Mengajarkan ilmu pengetahuan agama dan umum secara seimbang menuju terbentuknya ulama yang intelek.
d)      Mewujudkan warga negara yang berkepribadian Indonesia yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT.

TUJUAN

Pondok Modern Darussalam Gontor memiliki beberapa tujuan, yaitu:
1)      Terwujudnya generasi mukmin muslim yang berbudi tinggi, berbadan sehat, berpengetahuan luas dan  berpikiran bebas, serta berkhidmat kepada masyarakat.
2)      Lahirnya ulama yang intelek yang memiliki keseimbangan dzikir dan pikir.
3)      Terwujudnya warga negara Indonesia yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT.[1]

GAGASAN DAN CITA-CITA

                Apakah gagasan dan cita-cita para pendiri Pondok Modern Gontor sehingga mempunyai tekad yang begitu besar? Cita-cita terutama adalah rasa tanggung jawab memajukan umat islam dan mencari ridho Allah.Tempat yang dipilih untuk mewujudkan cita-cita mereka itu adalah Pondok Pesantren yaitu lembaga pendidikan Islam yang pernah berjaya pada masa nenek moyang mereka dan saat itu telah mati.
            Lembaga Pendidikan Pondok Pesantren adalah model pendidikan Islam yang banyak dipakai dan berlaku di beberapa negara Islam. Namun, di negara-negara itu pendidikan Islam telah banyak mengalami kemajuan dan perkembangan pesat sebagaimana lembaga-lembaga pendidikan di negara-negara Islam lainnya. Karena itu pengembangan Pondok Pesantren di Indonesia perlu mengambil kaca perbandingan dan lembaga-lembaga pendidikan Islam di luar negeri yang serupa dengan sistem pendidikan pondok Pesantren, para pendiri Pondok Modern Gontor pada awal pembangunan Pondok Gontor Baru telah mengkaji berbagai lembaga pendidikan terkenal dan maju di luar negri, khususnya yang sesuai dengan sistem Pondok Pesantren. Di Mesir terdapat Universitas Al-Azhar yang terkenal dengan keabadiannya dan memiliki tanah wakaf yang mampu memberi beasiswa kepada mahasiswa dari seluruh dunia, di dekat Libya terdapat pondok Syanggit yang harum namanya berkat kedermawanan dan keikhlasan para pengasuhnya. Di India terdapat Universitas Muslim Aligarth yang terkenal sebagai pelopor pendidikan modern dan revival of Islam. Di India juga terdapat perguruan Shantiniketan didirikan oleh Rabindranath Tagore, seorang filusuf Hindu, ditengah-tengah hutan belantara yang terkenal dengan kedamaiannya.
            Keempat lembaga pendidikan tersebut menjadi idaman para pendiri Pondok Modern Gontor, lembaga pendidikan pesantren yang akan mereka bangun adalah Pondok pesantren yang merupakan sintesa dari 4 lembaga pendidikan di atas.
            Selain itu, gagasan untuk membangun Gontor Baru dan gambaran tentang bentuk pendidikan dan lulusannya diilhami oleh peristiwa dalam Kongres Umat Islam Indonesia di Surabaya, pada pertengahan tahun 1926, yang dihadiri oleh tokoh-tokoh umat Islam Indonesia, misalnya H.O.S Cokroaminoto, Kyai Mas Mansur, H. Agus Salim, AM. Sangaji, Usman Amin, dll.
            Dalam kongres tersebut diputuskan bahwa umat Islam Indonesia harus mengutus wakilnya ke muktamar Islam se-Dunia yang akan diselenggarakan di Mekkah. Tetapi timbul masalah tentang siapa yang akan menjadi utusan. Padahal utusan yang akan dikirim ke Muktamar  tersebut harus mahir sekurang-kurangnya dalam bahasa Arab dan Inggris. Dari peserta kongres itu tak seorang pun yang menguasai dengan baik kedua bahasa tersebut. Akhirnya dipilihlah dua orang utusan yaitu HOS Cokroaminoto yang mahir berbahasa Inggris dan KH. Mas Mansur yang menguasai Bahasa Arab. Peristiwa ini mengilhami Pak Sahal yang hadir sebagai peserta dalam kongres itu akan perlunya mencetak tokoh-tokoh yang memiliki kriteria tersebut di atas.
            Kesan-kesan Kyai Ahmad Sahal dari Kongres itu menjadi topik pembicaraaan bersama kedua adik kandungnya dan merupakan masukan pemikiran yang sangat berharga bagi bentuk dan ciri lembaga pendidikan yang akan dibina di kemudian hari. Selain itu situasi masyarakat dan lembaga pendidikan di tanah air saat itu juga mengilhami timbulnya ide-ide mereka.
            Banyak sekolah yang dibina oleh orang-orang Kristen yang berasal dari Barat mengalami kemajuan yang pesat, guru-gurunya pandai dan cakap dalam penguasaan materi dan metodologi pengajaran serta menguasai ilmu jiawa dan kemasyarakatan.

Hubungan guru dan murid dalam proses belajar-mengajar sangat edukatif, sehingga dapat menghasilkan alumni yang menonjol di masyarakat. Sementara itu, lembaga Pendidikan Islam belum mampu menyamai kemajuan mereka. Di antara sebab ketidakmampuan itu adalah kurangnya pendidikan guru Islam yang dapat mencetak guru-guru Muslim yang cakap, berilmu luas, dan ikhlas dalam bekerja serta memiliki tenggungjawab untuk memajukan masyarakat.
            Dari sisi lain, lembaga-lembaga pendidikan lain hanya mengajarkan pelajaran agam dan mengesampingkan pelajaran umum. Padahal keduanya adalah ilmu Islam dan sangat diperlukan oleh umat Islam. Maka Pondok Pesatren yang akan dikembangkan itu harus memperhatikan hal ini.
            Situasi sosial dan politik bangsa Indonesia berpengaruh pula terhadap pendidikan, banyak lembaga pendidikan yang didirikan oleh partai-partai dan golongan-golongan politik. Dalam lembaga pendidikan itu ditanamkan pelajaran tentang partai dan golongan itu. Sehingga timbul fanatisme golongan, sedangkan para pemimpinnya terpecah karena masuknya benih-benih perpecahan yang disebarkan oleh penjajah. Maka lembaga pendidikan harus dibebaskan dari kepentingan suatu golongan atau partai politik tertentu, dan berdiri di atas semua golongan dan untuk semua golongan.
            Situasi sosial bangsa Indonesia terus berkembang dan semua itu menjadi perhatian, pengamatan, dan pemikiran para pendiri Pondok Modern Darussalam Gontor. Secara bertahap sistem pendidikan di Pondok Modern Gontor berjalan dengan berbagai percobaan pengembangan dari waktu ke waktu. Ketiga pendiri yang memiliki latar belakang  pendidikan yang berbeda itu saling mengisi dan melengkapi sehingga Balai Pendidikan Pondok Modern Darussalam Gontor menjadi seperti sekarang ini.
            Namun, semua yang ada saat ini belum mencerminkan seluruh gagasan dan cita-cita para pendiri Gontor. Karena itu adalah tugas generasi penerus untuk memelihara, mengembangkan, dan memajukan lembaga pendidikan ini demi tercapainya cita-cita para pendirinya.[2]
            Selain itu, Pondok Modern Darussalam Gontor memiliki Panca Jiwa dan Panca Jangka yang selalu digaungkan di dalam keseharian para santri dan santriwatinya.



PANCA JIWA

Seluruh kehidupan di Pondok Modern Gontor didasarkan pada nilai-nilai dan dijiwai oleh suasana-suasana yang dapat disimpulkan dalam Panca Jiwa sebagai berikut:

1.      Jiwa Keikhlasan
            Jiwa ini berarti sepi ing pamrih, yakni berbuat sesuatu itu bukan karena didorong oleh keinginan memperoleh keuntungan tertentu. Segala pekerjaan dilakukan dengan niat semata-mata ibadah, lillah. Kyai ikhlas dalam mendidik, santri ikhlas dididik dan mendidik diri sendiri, dan para pembantu kyai ikhlas dalam membantu menjalankan proses pendidikan.

2.      Jiwa Kesederhanaan
Kehidupan di dalam pondok diliputi oleh suasana kesederhanaan. Sederhana tidak berarti pasif atau nrimo, tidak juga berarti miskin. Justru dalam kesederhanaan itu terdapat nilai-nilai kekuatan, kesanggupan, ketabahan dan penguasaan diri dalam menghadapi perjuangan hidup. Di balik kesederhanaan ini terpancar jiwa besar, berani maju dan pantang mundur dalam segala keadaan. Bahkan di sinilah hidup dan tumbuhnya mental dan karakter yang kuat, yang menjadi syarat suksesnya perjuangan dalam segala segi kehidupan.

3.      Jiwa Berdikari
Berdikari atau kesanggupan menolong diri sendiri merupakan senjata ampuh yang dibekalkan pesantren kepada para santrinya. Berdikari tidak saja dalam arti bahwa santri sanggup belajar dan berlatih mengurus segala kepentingannya sendiri, tetapi pondok pesantren itu sendiri -sebagai lembaga pendidikan- juga harus sanggup berdikari sehinga tidak pernah menyandarkan kehidupannya kepada bantuan atau belas kasihan pihak lain.

4. Jiwa Ukhuwwah Diniyyah
Kehidupan di pondok pesantren diliputi suasana persaudaraan yang akrab, sehingga segala suka dan duka dirasakan bersama dalam jalinan persaudaraan keagamaan. Tidak ada lagi dinding yang dapat memisahkan antara mereka, meskipun mereka itu berasal dari berbagai latarbelakang yang berbeda. Ukhuwwah ini bukan saja selama mereka di dalam pondok, tetapi juga mempengaruhi ke arah persatuan umat dalam masyarakat sepulang santri itu dari pondok.

5.      Jiwa Bebas
Bebas dalam berpikir dan berbuat, bebas dalam menentukan masa depan, bebas dalam memilih jalan hidup dan bahkan bebas dari berbagai pengaruh negatif dari luar masyarakat. Jiwa bebas ini akan menjadikan santri berjiwa besar dan optimis dalam menghadapi segala kesulitan sesuai dengan nilai-nilai yang telah diajarkan kepada mereka di pondok.[3]


Tidak ada komentar: