(Tugas kuliah MSI, semoga ana bisa mengikuti beliau, cara nulis beliau menurutku cukup keren)
Metodologi Studi Islam
Menurut Hamid Fahmy Zarkasyi
A. Pendahuluan
Hamid
Fahmy Zarkasyi adalah salah satu pemikir Islam yang patut diperhitungkan. Hal
ini juga diakui oleh Adian Husaini, beliau berujar, “Saat mengisi acara
workshop di Pondok Pesantren Gontor, 19-20 Agustus 2006 lalu, saya mendapatkan
hadiah sebuah Jurnal yang sangat bagus, bernama TSAQAFAH. Jurnal ini
diterbitkan oleh Institut Studi Islam Darussalam (ISID) Pondok Modern
Darussalam Gontor Indonesia. Pada edisi Vol.2, Nomor 2, 2006/1427, diangkat
berbagai artikel menarik tentang keislaman. Salah satu yang perlu kita jadikan
catatan adalah sebuah artikel berjudul “Framework Kajian Filsafat Islam”
tulisan Hamid Fahmy Zarkasyi, Pembantu Rektor III ISID. [1]
Melalui riset yang cukup mendalam
terhadap sejumlah kurikulum kajian filsafat Islam di Perguruan Tinggi Islam di
Indonesia –baik yang negeri maupun swasta– Hamid Fahmy membuktikan bahwa kajian
filsafat Islam di Indonesia tampak jelas terpengaruh oleh kajian para
orientalis. Pengaruh itu tidak hanya pada cara atau metodologi pengkajian, tetapi
lebih mendasar lagi, sampai sampai pada cara pandangnya terhadap filsafat
Islam.
Cara pandang ini tentu bukan tanpa
maksud. Secara sistematis, mereka akan menunjukkan bahwa filsafatIslam hanyalah
kertas copi dari Yunani; tanpa Yunani, Islam tidak memiliki pemikiran rasional.
Padahal, sekalipun konsepsi falsafah juga dikenal dalam pemikiran Islam, namun
tetap disertai kritik dan seleksi yang ketat. Itulah yang dilakukan oleh
Al-Ghazali dan Ibn Taymiyah.
Menurut Hamid Fahmy, berbeda dengan
tradisi filsafat Yunani yang berdasarkan akal, tradisi filsafat Islam
bersumberkan pada wahyu. Dengan demikian, filsafat Islam adalah filsafat yang
lahir dari pemahaman, penjelasan, dan pengembangan konsep-konsep penting dalam al-Quran
dan Sunnah.
Dalam sejarahnya, para ulama dan
cendekiawam Muslim telah melakukan proses seleksi dan adapsi yang ketat
terhadap pemikiran yang datang dari luar Islam. Sejumlah ilmuwan seperti Ibn
Sina, al-Kindi, dan al-Farabi, menerima filsafat Yunani dan berusaha
memodifikasikannya agar sesuai dengan prinsip-prinsip penting dalam ajaran
Islam. Al-Ghazali dan Fakhruddin al-Razi menerimanya sejauh masih sejalan
dengan ajaran Islam dan menolak konsep-konsep yang bertentangan dengan Islam.
Ibn Taymiyah termasuk diantara penolak
keras “filsafat”, tetapi ternyata juga menerima jenis filsafat tertentu, yang
disebutnya al-falsafah al-shahihah (filsafat yang benar) dan al-falsafah
al-haqiqiyah (filsafat yang sebenarnya).[2]
Menghubungkan antara sosok Hamid
Fahmy Zarkasyi dengan Metodologi Studi Islam adalah sebuah keniscayaan, karena
Hamid Fahmi sendiri adalah orang yang sudi menyibukan dirinya dengan hal-hal
yang berhubungan dengan studi Islam. Selain karena ia sendiri merupakan penulis
yang aktif menulis di berbagai Jurnal, bahkan sampai menjadi pemimpinnya. Sebut
saja beberapa di antara Koran dan majalah yang sudah memuat tulisannya:
ISLAMIA, Tsaqafah, Republika, dan tulisan lain yang tersebar di internet, semuanya tidak lepas
dari pembahasan mengenai perkembangan agama Islam.
B.
Pembahasan
1. Metodologi Studi Islam
Dari segi tingkatan kebudayaan,
agama merupakan universal cultural. Salah satu prinsip teori fungsional
menyatakan bahwa segala sesuatu yang tidak berfungsi akan lenyap dengan
sendirinya. Karena sejak dulu hingga sekarang agam dengan tangguh menyatakan
eksistensinya, berarti ia mempunyai dan memerankan sejumlah peran, secara umum,
studi Islam menjadi penting karena agama, termasuk Islam, memerankan sejumlah
peran dan fungsi di masyarakat.[3]
Harus Nasution mengatakan bahwa
persoalan yang menyangkut usaha perbaikan pemahaman dan penghayatan agama
terutama dari sisi etika dan moralitasnya, kurang mendapat tempat yang memadai.[4]
Situasi keberagamaan di Indonesia cenderung
menampilkan kondisi keberagaman yang legalistik-formalistik. Agama “Harus
dimanifestasikan dalam bentuk rital formal, sehingga muncul formalism agama
yang lebih mementingkan bentuk daripada isi. Kondisi seperti ini menyebabkan
agama kurang dipahami sebagai seperangkat paradigma moral dan etika yang
bertujuan membebaskan manusia dan kebodohan, keterbelakangan, dan kemiskinan.
Di samping itu, formalism gejala keagamaan yang cenderung individualistic
daripada kesalehan social menyebabkan munculnya sikap kontra prodiktif seperti
nepotisme, kolusi, dan korupsi.[5]
2. Pandangan Hamid Fahmi Zarkasyi mengenai
Metodologi Studi Islam
Hamid Fahmy – yang telah menyelesaikan
disertasi doktornya tentang ‘Teori Kausalitas al-Ghazali” di ISTAC-IIUM Kuala
Lumpur – mencatat, bahwa para ulama Islam menolak, menerima secara selektif
atau menerima dan memodifikasi prinsip-prinsip filsafat Yunani, karena
konsep-konsepnya yang tidak sejalan dengan konsep Islam.
Selain itu, mereka juga percaya akan
adanya konsep Islam sendiri yang berbeda dengan konsep asing itu. Ini berarti,
simpul Hamid Fahmy, para ulama memandang bahwa dalam Islam terdapat prinsip
berfikir filosofisnya sendiri yang berbeda dari Yunani.Jadi, sejak awal, umat
Islam sudah memiliki tradisi berpikir sendiri yang berdasarkan wahyu, yang
berbeda dengan tradisi berpikir Yunani. Sumber aspirasi yang asli dan riil dari
para pemikir Muslim adalah Al-Quran dan Sunnah Rasul. Bahwa ada sebagian unsur
asing yang kemudian diserap dalam khazanah pemikiran Islam, tetap diupayakan
tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam. Dalam masalah Tuhan,
manusia, dan alam semesta, para pemikir Muslim memiliki konsep mereka sendiri
yang justru tidak terdapat dalam tradisi filsafat Yunani.[6]
Mengambil contoh Kurikulum dan Silabi
Kuliah Filsafat Islam terbitan Departemen Agama, Hamid menunjukkan, bahwa yang
dimaksudkan sebagai “pemikiran filsafat Islam yang awal” dalam kurikulum ini
adalah dimulai sejak masuknya pengaruh filsafat peripatetik Yunani ke dalam
Islam. Artinya, filsafat Islam dianggap wujud hanya setelah datangnya pengaruh
filsafat Yunani. Ha ini mendukung anggapan bahwa dalam Islam tidak ada filsafat
atau pemikiran filosofis. Model kajian seperti ini tidak akan memberi bekal
kemampuan kepada mahasiswa untuk mengembangkan filsafat sains dalam Islam.
“Jika framework ini ditelusuri asal
usulnya maka akan terungkap kesamaannya dengan framework yang dipegang secara
meluas oleh para orientalis,” tulis Hamid Fahmy, yang juga Direktur Centre for
Islamic and Occidental Studies (CIOS), ISID Gontor.
Hasil riset Hamid Fahmy Zarkasyi tentang
metode studi filsafat Islam di Perguruan Tinggi Islam di Indonesia ini sangat
penting untuk ditelaah dan direnungkan secara mendalam.[7]
Jauh sebelumnya, 30 tahun lalu, Prof. HM
Rasjidi telah menunjukkan kuatnya pengaruh metode orientalis terhadap buku
wajib dalam studi Islam di Indonesia, yakni buku “Islam Ditinjau Dari Berbagai
Aspeknya”, karya Prof. Harun Nasution. Rasjidi kemudian memberikan
kritik-kritik yang tajam terhadap buku tersebut, bahwa buku itu merusak dan
membahayakan aqidah Islam.
Tetapi, kritik-kritiknya tidak pernah
didengar. Buku ini tetap dijadikan sebagai rujukan dalam studi Islam di
Perguruan Tinggi, tanpa didampingi oleh buku Prof. Rasjidi: Koreksi terhadap
Dr. Harun Nasution tentang “Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya”.
Seperti pernah kita bahas, buku Harun
Nasution ini memuat begitu banyak kesalahan fatal dan mendasar tentang Islam.
Dalam aspek filsafat, Harun Nasution juga menulis: “Pemikiran filosofis masuk
ke dalam Islam melalui falsafat Yunani yang dijumpai ahli-ahli fikir Islam di
Suria, Mesopotamia, Persia, dan Mesir…Filosof kenamaan yang pertama adalah Abu
Yusuf Ya’qub Ibn Ishaq al-Kindi.”
Dalam pemaparannya, Harun mengungkap
berbagai perdebatan seputar isu-isu dalam kajian filsafat, tetapi tidak
melakukan ‘tarjih’ terhadap pendapat yang benar. Bahkan ketika membahas
pendapat seorang filosof yang jelas-jelas bertentangan dengan ajaran Islam,
Harun tidak memberikan kritik terhadapnya. Seperti ketika menjelaskan tentang
filosof Abu Bakr Muhammad Ibn Zakaria al-Razi (864-925), Harun bahkan menulis,
“Tetapi sungguhpun ia menentang agama-agama, al-Razi bukanlah seorang atheis.
Ia tetap percaya kepada Tuhan sebagai pengatur alam ini.”
Padahal, ditulis oleh Harun: “Al-Razi
adalah seorang rasionalis yang hanya percaya pada akal dan tidakpercaya pada
wahyu. Menurut keyakinannya akal manusia cukup kuat untuk mengetahui adanya
Tuhan, apa yang baik dan apa yang buruk, dan untuk mengatur hidup manusia di
dunia ini. Oleh karena itu Nabi dan Rasul tak perlu, bahkan ajaran-ajaran yang
mereka bawa menimbulkan kekacauan dalam masyarakat manusia. Semua agama dia
kritik. Al-Quran baik dalam bahasa maupun isinya bukanlah mu’jizat.”
Sebagai buku panduan untuk mahasiswa
Muslim, harusnya Prof. Harun menjelaskan, bahwa pendapat Abu Bakr Muhammad Ibn
Zakaria al-Razi (bukan Fakhruddin al-Razi) adalah keliru dan bertentangan
dengan prinsip ajaran Islam.Harusnya, Prof. Harun tidak bersikap netral dalam
hal-hal yang jelas-jelas salah. Bahkan, dalam uraiannya, Harun lebih cenderung
mengunggulkan pendapat Ibnu Ruyd, ketimbang al-Ghazali. Dalam kritiknya,
Rasjidi menyesalkan kecenderungan Harun untuk lebih menonjolkan pendapat Ibn
Rusyd yang memberikan pembelaan kepada para filosof peripatetik dari kritikan
al-Ghazali.[8]
Kajian Harun tentang aspek filsafat
dalam Islam, menurut Prof. Rasjidi, merupakan aspek yang sangat negatif,
khususnya bagi mahasiswa IAIN tingkat pertama.Dalam kritiknya, Rasjidi mengupas
secara tajam kekeliruan pemikiran Ibnu Rusyd, al-Farabi, dan Ibnu Sina.
3. Orientalis mewarnai kajian pemikiran
Islam
Filsafat Islam, kata Prof. Rasjidi,
adalah suatu usaha untuk mempertahankan aqidah Islam dengan mengambil bahan
dari filsafat Yunani yang tidak bertentangan dengan Islam. Teori al-Farabi dan
Ibnu Sina tentang emanasi (pancaran) bertentangan dengan Islam, yang
menegaskan, bahwa Allah menciptakan alam dengan kemauan-Nya, bukan melalui
pancaran.
Meskipun mengakui kebaikan niat baik
Ibnu Rusyd dalam membela filosof – yakni untuk menunjukkan bahwa Islam tidak
bertentangan dengan akal – tetapi Rasjidi menilai teori Ibnu Rusjd tentang
kekekalan alam sudah usang untuk abad ke-20. “Kelihatan sekali bahwa Dr. Harun
Nasution tidak mengikuti perkembangan ilmu cosmology astrophysic, sehingga ia
mempertahankan pendapat Ibnu Rusyd yang sudah usang itu,” tulis Prof. Rasjidi.[9]
Itulah studi kritis Prof. Rasjidi
terhadap aspek filsafat dalam buku “Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya”
karya Prof. Harun Nasution. Rasjidi menulis kritiknya ini pada tahun 1975. Bisa
dikatakan, kajian Hamid Fahmy Zarkasyi lebih maju selangkah lagi dari apa yang
telah dilakukan oleh Prof. Rasjidi, karena Hamid Fahmy sudah menyentuh aspek
“framework” dan cara pandang. Bahkan, Hamid menawarkan perspektif baru dalam
studi filsafat Islam yang belum ditawarkan oleh Prof. Rasjidi sebelumnya.
Kajian-kajian ilmiah dan serius
tentang berbagai bidang keilmuan Islam (Ulumuddin) saat ini merupakan proyek
yang sangat mendesak bagi umat Islam. Apalagi, 30 tahun setelah benih
orientalisme ditanamkan oleh Prof. Harun Nasution, cengkeraman orientalis dalam
studi Islam sudah semakin merambah ke berbagai bidang studi-studi lain, baik
dalam studi agama-agama maupun dalam studi Al-Quran. Belum lagi dengan masuknya
‘proyek-proyek pesanan’ negara-negara dan LSM Barat dalam studi dan pemikiran
Islam. Masuknya studi kritis Al-Quran dan mata kuliah hermeneutika, misalnya,
tidak bisa dianggap hal yang enteng.[10]
Penggunaan epistemologi relatif
dalam studi agama di Ushuluddin telah membongkar framework studi agama-agama
dalam tradisi Islam yang berbasis pada keimaman Islam.Ketika mengisi satu
seminar di Yogyakarta pada 18 Agustus 2006 lalu, seorang peserta menyatakan,
bahwa dalam studi ilmu-ilmu agama, metodologi Barat lebih baik dibandingkan
dengan metodologi Islam. Pernyataan semacam ini sudah sering disampaikan dalam
berbagai buku dan kesempatan. Padahal, biasanya yang mereka maksud dengan
‘metodologi’ yang baik adalah dalam soal teknik penulisan. Misalnya, karena
banyak catatan kakinya, maka suatu tulisan disebut ilmiah dan bagus.
C.
Penutup
Seorang Muslim yakin, bahwa mencari ilmu itu sendiri
adalah kewajiban dan merupakan ibadah. Karena itu, kita diajarkan untuk
senantiasa berdoa, mudah-mudahan kita dijauhkan dari ilmu yang tidak
bermanfaat. Ilmu yang manfaat adalah ilmu yang menghasilkan dan memperkuat
keimanan, dan bukan ilmu yang menambah keraguan dan kebingungan, serta semakin
menjauhkan diri dari ibadah kepada Allah.
Metode studi agama cara Islam ini tentu berbeda
dengan metode para studi agama ‘gaya Barat’ yang lebih diarahkan untuk menjadi
‘ilmuwan dan pengamat keagamaan’. Karena itu, dalam model studi seperti ini,
para dosen tidak mempersoalkan apakah mahasiswa itu sesat atau benar. Suatu
skripsi atau tesis tetap diluluskan jika dianggap sudah memenuhi syarat metode
penulisan ilmiah, tanpa peduli apakah karya ilmiah itu benar atau salah dari
segi isinya dalam pandangan Islam. Bahkan, banyak yang sudah bersifat skeptis
dan agnostik terhadap kebenaran, dengan menyatakan, bahwa manusia tidak akan
tahu kebenaran sejati, yang tahu kebenaran hanya Allah. Tentu saja ini sangat
keliru, sebab Allah telah menurunkan wahyu-Nya kepada manusia melalui Nabi dan
Rasul dengan tujuan untuk bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah.
Kita berharap para dosen di perguruan tinggi Islam
dan para pejabat Departemen Agama sadar akan amanah berat yang mereka pikul
saat ini, sehingga mereka tidak bersantai-santai atau bermain-main dalam hal
ilmu agama.Mereka perlu sadar, bahwa upaya untuk meruntuhkan Islam yang sangat
strategis adalah dengan cara merusak konsep-konsep keilmuan Islam. Itulah yang
sejak berabad-abad lalu dilakukan oleh para orientalis.
Dalam pasal 2, Perpres No 11 tahun 1960, tentang
pembentukan IAIN disebutkan, bahwa tujuan pembentukan IAIN adalah: “IAIN
tersebut bermaksud untuk memberi pengadjaran tinggi dan mendjadi pusat untuk
memperkembangkan dan memperdalam ilmu pengetahuan tentang Agama Islam.”
D. Kesimpulan
Metodologi Barata memang sungguh
menghawatirkan, walaupun tidak semuanya. Kita tidak menolak metode semacam ini.
Bahkan, perlu memberikan apresiasi terhadap ketekunan dankesungguhan para
orientalis dalam melakukan penelitian dan penulisan tentang Islam. Terutama
dengan kesungguhan mereka dalam menghimpun literatur-literatur Islam.
Tetapi, kita juga perlu senantisa
kritis, bahwa dalam metodologi atau lebih tepatnya framework kajian agama, ada
perbedaan yang mendasar antara Islam dengan para orientalis pada umumnya. Bagi
seorang Muslim, belajar agama bertujuan untuk mendapatkan ilmu yang bermanfaat,
yang dapat meningkatkan iman dan ibadah kepada Allah. Sebab, tidaklah manusia
diciptakan kecuali hanya untuk beribadah kepada Allah. (QS
51:56).
51:56).
Jadi, sesuai dengan niat mulia sejak
awalnya, perguruan-perguruan tinggi Islam harus menjadi pusat pengembangan dan
pendalaman ilmu tentang agama Islam. Tentu, sebagai umat Islam Indonesia, kita
berharap, dari kampus-kampus ini lahir para cendekiawan dan ulama yang berilmu
tinggi dan taat kepada Allah. Untuk itu, agar menjadi kampus Islam yang
benar-benar sehat, segala macam jenis kuman dan virus-virus yang merusak
ilmu-ilmu Islam harus mulai dikaji, diteliti, untuk selanjutnya ‘dijinakkan’
dan diamankan’.
Cita-cita mulia itu tidak akan
terwujud, jika civitas academica di kampus Islam tidak bisa membedakan manayang
‘obat’ dan mana yang ‘racun’; mana ilmu yang bermanfaat dan mana ilmu yang
madharat. Jika tidak paham atau tidak peduli densgan masalah ini, bisa jadi,
kampus yang semula didirikan dengan niat begitu mulia, akhirnya secara tidak
sadar sudah dibajak oleh para orientalis. Wallahu a’lam.[11]
Referensi
·
Al-Quran
dan Al-Hadis
·
Drs.
Atang Abdul Hakim dan Dr. Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam,
PT. Remaja Rosdkarya, Bandung. Hal: 7
·
Hal
ini diungkapkannya dalam pengantar symposium nasional yang diselenggarakan oleh
Forum Komunikasi Mahasiswa Pascasarjana (FKMP) IAIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, tanggal 6 Agustus 1998 di Pusat Pengkajian Islam dan MAsyarakat
(PPIM).
·
Harun
Nasution, 1998: 1-2
Website
·
http://m.suaramerdeka.com/bb/bblauncher/SMLauncher.jad
[1] Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini
adalah hasil kerjasama antara Radio Dakta 107 FM dan www.hidayatullah.com
[2] Ibid
[3] Drs. Atang Abdul
Hakim dan Dr. Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, PT. Remaja
Rosdkarya, Bandung. Hal: 7
[4] Hal ini
diungkapkannya dalam pengantar symposium nasional yang diselenggarakan oleh
Forum Komunikasi Mahasiswa Pascasarjana (FKMP) IAIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, tanggal 6 Agustus 1998 di Pusat Pengkajian Islam dan MAsyarakat
(PPIM).
[5] Harun Nasution, 1998:
1-2
[9] Ibid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar