Selasa, 18 September 2012

SENJA QORINA


By. Nahla Riezuka
Sore ini tidak seperti biasanya, jalanan cukup lenggang, hanya ada beberapa mobil dan sepeda motor yang berlalu lalang. Aku sedang ingin menikmati udara sore, melupakan sejenak masalah-masalah yang menggangguku, aku menyetir mobil dengan lambat. Beberapa sepeda motor menyalipku gila-gilaan, aku tak peduli, aku hanya ingin menghilangkan kepenatan, biarlah setir ini membawaku kemana pun ia mau. Apakah aku sedang lari dari masalah? Atau hanya sekedar menenangkan diri? Atau sedang mencari  ide dan jalan keluar dari masalahku? Ah…sepertinya aku memilih yang terakhir saja.
Aku merasa melewati seorang wanita yang wajahnya tidak asing lagi di memori otakku. Maka ku mundurkan mobilku, setelah aku yakin bahwa aku tidak salah orang, ku hentikan mesin mobil. Ku lihat wajah hitam manisnya yang nampak serasi dengan jilbab ungu muda yang dikenakannya. Masih seperti dulu, ia memakai rok panjang, selalu sederhana.
Ku ambil bedakku, ku amati wajahku di cermin, ku periksa kantong mataku, aku tak mau wanita itu melihat sisa-sisa air mata di wajahku. Sialnya, riasanku berantakan. Ku rapikan rambut lurus bergelombangku. Kububuhkan sedikit bedak, ku tarik bibirku agar membentuk sebuah senyuman. Ku jalankan mobil pelan-pelan, lalu ku buka jendela mobil.
“Assalamu’alaikum, kamu Qorina kan?” Tebakku. “Masih ingat aku tidak?” Aku mengujinya. Ia menjawab salamku spontan, kemudian menghentikan langkahnya, tampak mengingat-ingat sebentar, kemudian senyumnya mengembang.
“Mana mungkin aku lupa dengan sahabat cantikku yang satu  ini, Rosa kan?” Qorin antusias sekali, aku mengangguk mantap. Ku lirik tas besar yang ada di tangannya.
“Mau kemana sore-sore begini?” Tanyaku kemudian.
“Ini mau ke terminal, mau pulang ke rumah Ros,” Jawab Qorin.
“Jalan kaki?” Aku tak yakin dengan pertanyaanku sendiri.
“Tadinya mau menunggu mikrolet, tapi karena dari tadi tak ada yang lewat, aku menunggu sambil jalan pelan-pelan,” Jawabnya dengan nada lembut.
“Ku antar ke terminal ya?” Ku tawarkan jasa, ia mengangguk dan langsung masuk ke mobilku.
“Sebentar lagi Maghrib, bagaimana kalau pulang ke rumah ibumu dulu saja, kan lebih dekat. Besok pagi saja pulang ke rumahnya,” Aku memberi dia ide. Qorin menimbang.
“Begitu lebih baik, tapi aku meninggalkan dua putra di rumah, kasihan suamiku. Ia harus menutup tokonya di pasar untuk menemani kedua anaknya, karena aku pergi meninggalkan rumah seharian,” Qorin menjelaskan alasannya, aku mulai mengerti.
“Tapi, apa yang kamu lakukan di sini?,” Aku bertanya lagi.
“Tadi aku keliling di beberapa penerbit, berusaha menjual karyaku,” Jawabnya, entah mengapa aku bisa melihat raut wajahnya yang berubah sedih.
“Wah, kau masih aktif menulis ya….. aku salut padamu,” Pujiku tulus. Senyumnya kembali mengembang.
* * *
15  tahun yang lalu.
            “Lihat apa yang terjadi padamu!” Suara Mama menggelegar memenuhi kamarku. Aku hanya bisa menunduk marah di atas kasurku, aku tak mengerti kepada siapa kemarahan ini ku tujukan, kepada mama, diriku sendiri atau Qorina, satu dari segelintir siswi berjilbab di sekolahku.
            “OK Ma, aku tahu aku salah, tapi ini sungguh di luar kendaliku, aku merasa sudah berusaha keras dan Mama sudah melihat sendiri bagaimana aku belajar, Mama melarangku bermain, aku turuti, Mama memanggilkan banyak guru untuk mengajariku kursus di rumah, aku taati, sampai sejauh ini aku tak pernah melawan Mama. Sedikit pun tidak pernah, walau untuk itu aku sama sekali tak punya teman,” Biasanya aku hanya membalas semua kemarahan mama dengan diam, karena mama termasuk orang yang tidak sudi menerima alasan, baginya dialah yang paling benar, dalam hal apa pun. Tapi, kali ini aku merasa harus berusaha membela diriku sendiri, aku juga masih tidak mengerti di mana letak kesalahanku, ini hanya masalah gagal dalam ujian, bagi Mamaku rangking adalah sesuatu yang sangat berharga, beliau hanya punya satu anak yaitu aku. Mama sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk membentukku menjadi nomor satu dan sejauh ini usahanya berhasil, sejak TK, SD dan kelas 1 dan 2 SMP aku memang selalu menduduki peringkat ke satu, tapi di penghujung hariku di kelas 3 SMP, aku menduduki posisi ke dua, Qorina telah merebut tempatku, dia yang biasanya ada di posisi ke dua atau tiga. Menurut Mamaku, ini adalah kesalahan fatal.
            “Ah, kau ini !!!” Mama kehilangan kata-kata, mungkin di hatinya terbersit rasa bersalah, semoga saja. Tapi kemudian beliau melanjutkan.
            “Terserahlah apa maumu, tapi Mama tak mau jika ini terjadi lagi kelak ketika kau masuk SMA, awas jika terjadi lagi!,” Mama mengancam, kemudian meninggalkan aku sendirian di kamar. Ku rebahkan tubuhku, ku raih bantal, ku tutup mukaku dan aku berteriak tertahan.
            “Mama……kapan kau akan mengerti aku…?” Isakku tertahan.

* * *
            Aku mematutkan diriku di depan cermin yang cukup lebar di kamarku, lalu ku betulkan letak kaca mataku, aku mengganti gaya rambutku, kemarin aku ke salon, rambut lurusku ku buat shaggy, ku perhatikan tubuhku yang bertambah tinggi, kata orang, tubuhku cukup bongsor untuk ukuran anak kelas 1 SMA, kini aku sudah mengenakan setelan abu-abu putih. 
            “Ros, sarapanmu sudah siap, sopir juga sudah menunggumu di depan, jangan sampai terlambat di hari pertamamu,” Teriak Mamaku. Lalu aku berjalan santai turun dari tangga, menuju ke meja makan.
            “Pagi Non…..,” Sapa pembantuku ramah, tapi entah mengapa, sulit sekali bagiku untuk membalas keramahannya, aku hanya menoleh ke arahnya sebentar, tanpa sepatah kata pun.
            Aku duduk di meja makan yang memiliki banyak kursi, ku ambil sandwich dengan gerakan malas, sebenarnya aku tidak lapar, tapi untuk menyenangkan mama saja.
            “Makan yang banyak sayang, kau butuh asupan gizi yang banyak untuk energimu belajar. Mhmm….seandainya papamu melihatmu sekarang,” Lagi-lagi mama menyinggung lelaki itu, Papa. Papaku memang belum mati,  tapi beliau menikah lagi dengan istri yang lebih muda dan lebih cantik dari Mama, saat itu aku masih kelas 5 SD. Sejak itu pula aku berjanji untuk selalu setia menemani Mama dan tidak ingin membuatnya kecewa sekali lagi. Kebutuhan hidupku dan Mama memang tercukupi, uang belanja mama dan uang sakuku lebih dari cukup, tapi Papa hampir tidak pernah  mengunjungi kami, hanya beberapa kali saja dalam setahun. Kadang aku berpikir, kenapa Papa tidak menceraikan Mama saja, dengan begitu Mama bisa mencarikan Papa baru untukku. Tapi Mama selalu menolak untuk menggugat cerai, karena beliau masih mencintai Papa, sangat mencitainya. Aku tak begitu paham apa itu cinta, tapi aku setuju jika ada yang bilang bahwa cinta itu bisa membuat orang gila. Aku bahkan tak yakin, apakah aku bisa jatuh cinta.

* * *
SLTA Pelita Bangsa  
Aku menempati kelas A+. Kata beberapa guru, ini adalah tempat di mana anak-anak jenius berkumpul. Kebetulan aku duduk di tempat yang paling dekat dengan meja guru, bangkunya ditata sedemikian rupa, tidak seperti kelas biasa, kelas kami lebih mirip ruang rapat di kantor tempat Papaku bekerja atau sebuah ruang kuliah. Di depan ada LCD yang cukup besar. Pandanganku menyapu sekeliling kelas, di sini ditempati enam anak laki-laki dan empat anak perempuan, semuanya memancarkan aura kecerdasan, beban di pundakku seakan bertambah berat saja. Berkumpul di tengah-tengah anak yang kemampuannya setara denganku membuatku sedikit gentar. SLTA ini memang menyediakan kelas khusus untuk anak-anak jenius dan indigo. Duh, ini tantangan bagiku. Kelas ini hanya terdiri dari sepuluh anak, benar-benar spesial. Ku rasa aku harus menjelaskan hal ini pada Mama. Mama tak boleh berharap terlalu banyak padaku.
Ada empat anak yang cukup menarik perhatianku,  pertama adalah anak lelaki gendut itu, sedari tadi selalu ada yang camilan yang dia jejalkan ke mulutnya, kedua adalah anak perempuan keturunan Tionghoa,  ia begitu serius belajar, di tangannya ada buku yang cukup tebal, eh….bukan buku, sepertinya kamus, aku melihatnya saat ia mengangkat kamusnya. Oh, ternyata kamus Perancis, sepertinya ia sedang sibuk menterjemahkan sobekan majalah yang pastinya berbahasa Perancis. Ketiga adalah lelaki bermata elang, wajahnya sepertinya blasteran, entah Indonesia-Italia, Turki atau Arab, yang pasti ia cukup tampan dengan hidung mancungnya, ia terlihat menggambar di atas buku tulisnya, aku tak tahu apa yang ia gambar, mata elangnya melirik ke arahku sejenak, sepertinya ia merasa sedang diperhatikan, aku membuang muka. Saat itu juga mataku terpaku pada anak keempat, pada sosok berjilbab itu, ia tampak menyolok di tengah-tengah kami, karena dia satu-satunya siswi berjilbab di kelas ini, dia sama sekali tidak tampak seperti seorang jenius. Menurutku, ia juga terlalu cerewet, entah apa yang diceritakannya, di hari pertama ia sudah mempunyai banyak teman, setidaknya 5 orang -setengah dari jumlah anak di kelas ini -telah mengelilinginya. Semuanya tampak antusias mendengar ia bercerita.
 Dia juga tidak terlalu cantik, tapi entah aura apa yang terpancar darinya, ia bagaikan magnet yang menarik-narik setiap orang untuk melihat ke arahnya. Bahkan aku sendiri sedikit tertarik untuk melangkahkan kaki ke mejanya, tetapi egoku mengatakan tidak dengan keras hingga memekakkan telingaku. Aku tak boleh ke sana, aku harus ingat bahwa ia adalah Qorina, saingan terberatku. Ia adalah orang yang membuat mama marah padaku. Aku pun tetap bertahan di tempat dudukku. Aku jadi ingin cepat-cepat belajar agar perkumpulan itu segera bubar. Ku lirik arloji yang melingkar di pergelangan tanganku. Kapan pelajaran dimulai? Padahal sekarang sudah jam delapan. Kelas lain sudah masuk dari tadi. Apakah kelas spesial memiliki jam pelajaran khusus? Sesosok guru datang, pelajaran pun dimulai. Aku lega karena penantian panjangku telah usai, aku telah duduk di bangku paling depan, tak boleh ada satu patah kata dari guru yang terlewatkan. Tak satu pun.

* * *
3 bulan berlalu….
            Aku sudah mulai mengenal kesembilan temanku, tidak terlalu mengenal sebenarnya, karena aku jarang sekali mengobrol dengan mereka, terlebih lagi dengan Qorina, entah mengapa segala sesuatu yang diperbuatnya selalu nampak buruk dan salah di mataku. Kesalahan terbesarnya adalah karena ia telah berhasil menarik perhatian salah saatu guru favoritku, ia pengajar Bahasa Indonesia, dulunya aku sama sekali tidak tertarik dengan pelajaran ini, karena yang kusukai adalah pelajaran eksak, sedangkan Qorina mahir sekali dalam bidang bahasa, ia bahkan mampu menghasilkan dua cerpen berbahasa Indonesia dalam waktu satu jam, sedangkan untuk cerpen berbahasa asing, ia membutuhkan sedikitnya dua jam untuk satu cerpen. Guru itu adalah Pak Husein, sebenarnya ia belum pantas dipanggil Pak, karena jarak umur kami tidak terlalu  jauh, hanya terpaut beberapa tahun, ia bahkan sedang menyelesaikan tugas skripsinya, kelas khusus ini memang memiliki guru-guru khusus dan kebanyakan guru-guru ini juga jenius. SLTA Pelita Bangsa ini tidak pernah merasa rugi untuk menghabiskan dana sekolah untuk membiayai guru khusus ini, karena ada timbal balik yang sepadan untuk ini. Aku memang merasa kelas ini dibuat untuk sebuah misi dan aku mulai bisa membaca misi itu.
Hanya dalam jangka waktu tiga bulan ini saja, setiap personel dari kelas ini sudah mengikuti banyak perlombaan, bahkan aku dan Qorina sudah lebih dari tiga kali. Kami memang pembawa nama sekolah, banyak siswa dari kelas biasa yang merasa ini tidak adil karena ini berarti kesempatan untuk mereka tidak ada, perlombaan untuk mereka hanyalah perlombaan yang beramai-ramai, seperti sepak bola, kasti, basket, teater dan drama atau yang lainnya, sedangkan olympiade Kimia, Fisika, Matematika, Karya Ilmiah, Perlombaan Musik khusus –seperti biola (yang hanya segelintir orang yang bisa memainkannya)- diserahkan sepenuhnya untuk kelas khusus. Memang, sejauh ini keuntungan terbesar memang untuk sekolah ini, karena kemenangan-kemenangan yang didapatkan SLTA Pelita Bangsa memaksa sekolah ini untuk memiliki ruangan khusus untuk menyimpan semua piala yang tak terhitung jumlahnya.

* * *
Enam bulan sudah aku duduk di kelas anak-anak spesial ini, aku sudah mulai bisa menyesuaikan diri, sekarang pelajaran guru favoritku sedang berlangsung. Kami sedang mengerjakan tugas untuk membuat naskah film yang mana karya terbaik akan dibuatkan filmnya untuk mengikuti perlombaan pembuatan film dokumenter. Pak Husein menghabiskan waktunya dengan membaca buku, kupincingkan mata empatku, oh…judul bukunya Mengikat Makna. Aku sudah baca, buku itu diterbitkan oleh  KAIFA dan penulisnya Hernowo.  Aku membacaanya saat ada tugas resensi buku minggu lalu. Kupandangi wajahnya cukup lama. Aku semakin menyukai sosok Pak Husein yang bersahaja, disiplin, terkadang angkuh dan jarang memuji, seingatku hanya satu orang yang pernah mendapatkan pujian beliau dan ia tidak lain adalah musuhku sendiri, Qorina.
“Pak, aku ingin tahu pendapat Pak Husein, tapi tak ada hubungannya dengan  naskah film ini Pak,” Suaranya nyaring, aku menoleh ke belakang sebentar, anak itu duduk di pojok, kulihat ia sedang mengangkat tangan, ingin bertanya apa lagi bocah itu, mau cari perhatian Pak Husein lagi kau, dasar.
“Iya, silahkan saudari Qorina,” Pak Husein memberi kesempatan pada anak itu untuk bertanya, bukunya diletakkan di atas meja.
“Begini Pak, mhmmm……., sepertinya waktunya memang tidak tepat, sebenarnya saya sudah mengambil keputusan, tapi saya tidak mau gegabah,  maka dari itu saya ingin minta pendapat Pak Husein tentang masalah saya ini,” Qorina berbelit-belit, tapi memang beginilah kami diatur, ketika kami sedang belajar Bahasa Indonesia, kami harus berbahasa dengan baik dan benar, begitu pula dengan Bahasa Inggris, Arab, Jepang dan Perancis yang kami dapatkan. Untuk ketiga bahasa terakhir, hanya kami yang mendapatkan kesempatan untuk mempelajarinya, kelas lain tidak.
“Saya ingin pindah kelas Pak, saya merasa kurang cocok dengan suasana kelas ini, saya merasa……kami terlalu diistimewakan,” Kesembilan anak dan Pak Husein tersentak kaget, mereka meletakkan pena secara serempak, tadinya aku berniat untuk melanjutkan tugasku, tapi tadi itu sangat mengejutkan. Aku tidak boleh melewatkan.
“Apakah tidak ada cara lain selain kamu pindah?” Tanya Pak Husein.
“Ada Pak, kelas ini sebaiknya ditiadakan,” Qorin menjawab tegas. Tentu saja kami semakin terkejut, jika kelas ini ditiadakan, itu berarti kami juga terlibat.
“Bagaimana kamu bisa berpikir demikian?” Pak Husein tentu saja kelabakan, tak ada kelas khusus berarti dia berhenti mengejar.
“Begini Pak, kebetulan saya punya banyak teman di luar kelas ini, saya banyak mendengar keluhan dari mereka, bahkan keluhan-keluhan ini sudah ada sejak lama, mungkin sejak kelas ini ada. Saya memikirkan hal ini cukup lama. Tapi, kami bukanlah robot perebut piala Pak, kami juga butuh bersosialisasi. Sekolah ini mengeksploitasi anak-anak jenius dan indigo untuk melejitkan nama sekolah, tapi bagaimana kami hidup di masyarakat nanti?” Kata-kata Qorina diplomatis, ia memang bisa diandalkan dalam berdebat, ia sanggup menyihir kami dengan setiap pilihan katanya, masing-masing dari kami tertegun, tentu saja kami merasakannya, karena yang sedang dibicarakan Qorina adalah kami sendiri.
“Apa yang kamu khawatirkan tentang masa depan? Semua anak dari kelas ini terbukti tangguh ketika mereka dewasa, bahkan sebagian besar bisa menjadi ilmuwan dan pimpinan di perusahaan besar,” Pak Husein berusaha mengubah pandangan Qorina, tapi bukan Qorina kalau tidak gigih memperjuangkan idenya.
“Pak, kita harus memberi kesempatan untuk yang lainnya. Aku yakin, di kelas lain masih banyak yang ingin mengikuti perlombaan, hanya saja sekolah tak memberi kesempatan untuk mereka. Lagi pula yang terpenting dalam setiap perlombaan bukanlah masalah piala, tapi masalah usaha yang dikerahkan, proses yang terjadi. Masalah menang dan kalah, kita tak bisa memaksakan. Karena itu adalah takdir, sedangkan kita sama-sama tahu bahwa sesungguhnya di ujung usaha, barulah takdir itu ada,” Qorina sepertinya sudah menyelesaikan semua curahan hatinya, aku yakin, sebenarnya ia bisa saja pindah kelas jika ia langsung pergi ke kepala sekolah, tapi sepertinya ia ingin mempengaruhi kami untuk mengikuti langkahnya. Pak Husein belum menjawab apa pun, beliau tampak berpikir, sejenak kelas ini senyap.
“Baiklah Pak, sepertinya saya sudah tahu pendapat Pak Husein, jadi sebaiknya kita lanjutkan saja penulisan naskah ini, biarlah saya memutuskan sendiri nanti,” Qorina memecah keheningan, masing-masing dari kami menulis lagi, tapi aku berani bertaruh, tak ada satu pun dari kami yang fokus menulis naskah, karena pikiran kami kini tertuju pada apa yang baru saja Qorina katakan.

* * *
   Ujian tengah semester sebentar lagi di mulai, kelas khusus hanya memiliki tujuh murid kini, Qorina telah memilih untuk pindah. Ada dua anak yang sangat dekat dengan Qorina yang mengikuti jejaknya, satu laki laki dan satu lagi perempuan. Mereka berdualah yang mendramatisir keadaan semenjak perginya Qorina, mereka mengatakan bahwa mereka merindukan ocehan-ocehannya, merindukan ide-ide cerdas yang tertuang dari otaknya, maka mereka akhirnya memilih untuk pindah kelas juga.
            Huff, kenapa Qorina harus keluar dari sini, dengan begini aku tidak bisa melihat persiapan belajarnya, jangan-jangan ia belajar mati-matian tanpa sepengetahuanku. Baiklah Qorin, aku tak akan membiarkanku merebut posisiku lagi. Entah mengapa, aku tidak khawatir dengan anak-anak yang ada di sekitarku ini, bisa jadi beberapa di antara mereka lebih pandai dari aku dan Qorina, tapi aku lebih khawatir pada anak yang satu itu.

* * *
            Aku belajar dengan sangat sungguh-sungguh, Mamaku mendukungku, bahkan aku merasa Mama lebih antusias belajar dari pada aku sendiri. Guru privat tetap beliau datangkan, nutrisiku semakin beragam. Tapi Mama tidak pernah tahu, saat beliau tidur pun aku tetap memaksakan diriku, aku juga tidak tahu mengapa, setiap aku ingin memejamkan mata, bayangan Qorin yang sedang belajar giat mampu membangkitkan kesemangatanku. Aku memang sangat membencinya, sangat iri padanya yang mempuanyai banyak teman, yang mendapat perhatian Pak Husein dan terlihat menikmati hidupnya, tapi yang tidak ingin aku akui adalah aku ingin menjadi dia, lebih parah lagi aku mulai mengidolakannya.  

* * *
            “Putri ibu sepertinya sangat kelelahan, baik segi fisik maupun psikisnya, ini adalah salah satu penyebab demamnya,” Kata dokter di kamarku. Aku menutup mataku, tapi aku tidak tidur, jadi aku mendengar percakapan dokter dan Mamaku.
            “Obat apa yang harus ia minum Dok?” Tanya Mamaku.
            “Oh, anak ibu tak perlu obat, ia hanya butuh istirahat dan tambahan gizi, jangan biarkan ia berpikir macam-macam, itu akan memperparah keadaannya,” Nasehat dokter.
            “Tapi Dok, bagaimana dengan ujiannya? 2 hari lagi ia ujian dan ia belum belajar banyak,” Nada suara Mama terdengar khawatir. Yah….dan besok adalah hari ulang tahunku Ma. Mungkin Mama sudah melupakannya, karena yang ada di otak Mama sekarang adalah bagaimana aku mendapatkan nilai setinggi-tingginya. Tak apa Ma, kalau itu yang bisa membuat Mama bahagia, aku akan sembuh besok, Mama jangan khawatir, aku akan belajar lagi. Percakapan mereka berdua sayup-sayup terdengar dan semakin lama semakin hilang, sepertinya dokter memberiku obat tidur tadi.

* * *
            Hei…..berapa jam aku sudah tertidur, sepertinya lama sekali. Aku ingin membuka mata, tapi kelopakku berat sekali. Kenapa kamarku jadi sangat ribut? Aku benci keributan. Tapi mengapa aku mengenal suara mereka?
            “Alhamdulillah…..ia sudah bangun!!!” Suara nyaring itu berteriak.
            “Hei…., kenapa kalian bisa ada di sini,” Aku terkejut sekali seteelah mataku benar-benar terbuka, si hitam manis dengan jilbabnya adalah pemandangan pertama yang kulihat setelah tidur panjangku.
            “Iya nak, sebenarnya Mama hanya memanggil Qorina, tapi tak tahu kenapa ia membawa banyak sekali pasukan,” Mamaku memberi alasan, tapi aku masih belum bisa mencerna kata-katanya. Ku lihat wajah-wajah ini, memang agak buram karena aku tak memakai kaca mataku, tapi aku bisa menghitung mereka sembilan orang lengkap.
            “Dia lebih cantik ketika ia melepas kacamatanya,” Puji Roni, temanku yang bermata elang. Aku senang mendengarnya, memang lebih menyenangkan ketika kita dikelilingi teman-teman dari pada sendirian.
            “Tapi kenapa Ma?” Aku masih penasaran.
            “Ada apa denganmu Rosa? Kau tidak suka dengan kedatangan kami?” Qorina merajuk, ia ingin menunjukan bahwa ia tersinggung, tapi aku tahu ia hanya bercanda.
            “Begini Ros, selama kau tidur. Beberapa kali kau memanggil nama Qorina, Mama tidak tahu apa yang terjadi denganmu. Tapi Mama berinisiatif untuk memanggilnya dan ia datang dengan membawa teman-temannya.
            “Dan ini untukmu, dari kami!!!!!,” Si Gembul ini, berapa hari aku tidak melihatnya, kenapa tiba-tiba aku sangat menyayangi mereka semua. Ia menyodorkan kado yang cukup besar di depanku. Aku bahagia dan kini aku bisa tertawa lepas bersama mereka.
            “Dari mana kalian tahu aku ulang tahun hari ini?,” Tanyaku, aku menghadapkan wajah ke arah Mamaku, Mama mengisyaratkan bahwa beliau juga tak tahu.
            “Qorina menyimpan semua biodata kita, ia bahkan tahu makanan favoritku,” Si Gembul Adli berkata lagi.
            “Ini idenya, tiba-tiba ia datang ke kelas, ku pikir ia akan kembali ke kelas khusus, ternyata tidak, ia datang untuk mengajak kita semua ke sini, menemuimu. Ia juga menemukan ide untuk iuran membeli kado. Sebenarnya, kami semua tahu bahwa kau sakit. Tapi, yah kita tak terbiasa menjenguk orang sakit,” Min Chui, anak Tionghoa itu berusaha menceritakan semuanya padaku. Ada yang hangat di sudut mataku, aku biarkan ia mengalir, aku benar-benar terharu, tak ku sangka, orang yang dari dulu ku anggap sebagai musuhku. Ternyata……
            “Ada apa denganmu Ros, ini hari bahagiamu, tertawalah….!!” Qorina menghiburku, jika ingin melihat orang yang tertawa sambil menangis, lihatlah aku sekarang. Bahkan aku sendiri ingin melihat wajahku di cermin.
            “Hei, besok ujian, kalian tidak belajar?” Tanyaku  kemudian.
            “Sebenarnya, aku…..” Chui ingin membuka mulut, tapi semua melotot ke arahnya. Mereka pasti marahasiakan sesuatu dariku.
            “Kami tidak bisa belajar, sementara kau terbaring sakit di kamarmu, kau harus sembuh, setelah ini kita akan belajar bersama sambil bermain,” Kata Qorina. Main, sungguh kata yang asing bagiku, hei….Mama menangis, ia sesenggukan, ia sadar aku mengamatinya, sepertinya Mama malu aku mendapatinya begitu, Mama keluar. Semoga Mama sadar bahwa ada sesuatu yang lebih penting dari pada nilai-nilai ujian.
            “Baiklah, aku sudah sembuh, aku tidak mau kalian tidak belajar hanya gara-gara aku,” Aku beranjak duduk. Aku tidak sedang membohongi mereka, aku merasa badanku sudah baikan. Min Chui kelihatan bersemangat, ia membuka tasnya yang berisi beberapa buku. Aku tahu dari tadi dia ingin belajar, tapi yang lain melarangnya.
            “Ayo kita belajar…..!!!” Teriak Min Chui. Beberapa menggeleng melihat kesemangatannya dan yang lainnya tersenyum. Kami semua mulai belajar.

            * * *
            Hari semakin senja saja, aku masih menyetir mobil dan Qorina masih di sampingku. Akhirnya, ia memilih untuk tetap pulang, ia tak bisa meninggalkan anak-anaknya. Maka, aku mengantarnya ke terminal.
            “Qorin, kau sudah menenteng tiga naskah novelmu dan hanya satu yang diterima penerbit, bagaimana kalau satu lagi aku beli naskahnya dan ku terbitkan dengan uangku,” Aku menawarkan diri untuk membeli novelnya.
            “Hei Ros, kau bahkan belum membaca novelku,” Katanya dengan diiringi tawa.
            “Tapi aku yakin pasti itu bagus, aku kenal anak jenius yang mahir bahasa,” Aku memujinya tulus.
            “Tidak, segala sesuatu harus dilakukan dengan usaha keras, aku tak bisa menerima tawaranmu hanya karena simpatimu setelah aku menceritakan padamu bahwa menembus penerbit yang mau menerbitkan karya kita tak semudah yang kita bayangkan,” Ia tetap tegas, seperti dulu.
            “Bukan begitu maksudku Qorin,” Aku  berusaha membela diri.       
            “Tak apa, bahkan JK. Rowling pernah ditolak karyanya beberapa kali sebelum ia menjadi milyarder karena ternyata karyanya disukai jutaan orang di seluruh dunia. Baiklah, aku terima tawaranmu setelah kau membaca dua novelku ini, setuju?,” Cerdas sekali anak ini, eh….dia bukan anak-anak lagi, dia kini sudah menjadi ibu dengan dua anak.
            “Mhmm, Ros….berapa anakmu?” Pertanyaannyabenar-benar membuatku kelabakan,  kenapa terminalnya jauh sekali, cepatlah sampai dan ia tak akan menanyakan ini. Qorin memandangiku lama yang terlihat kikuk. Aku harus segera menjawabnya.
            “Qorin, bagaimana kau bisa punya anak sementara kau tak pernah menikah, lagi pula aku belum pernah mencintai lelaki dalam hidupku, aku terjebak menjadi diriku yang workaholic dan karyawanku sendiri membenciku,” Aku berusaha membuat anekdot, tetapi terasa kering dan tak lucu.
            “Ayolah Ros, kau tidak boleh melakukan ini, kau akan bahagia jika kau punya keluarga. Untuk apa kekayaanmu ini, jika kau tak bisa menemukan kebahagiaan, kau harus merasakan bagaimana rasanya punya anak,” Qorin begitu menggebu-gebu.
            “Kita sudah sampai di terminal, saatnya kau pulang,” Aku menghentikan mobil.
            “Tunggu dulu, aku masih sering berhubungan dengan Roni, kau ingat Roni kan?” Tanya Qorina.
            “Siapa yang bisa melupakan si Mata Elang itu?,” Aku menjawabnya dengan pertanyaan lagi
            “Aku memang jarang sekali bertemu dengannya, tapi kami bersilaturrahmi via SMS, beberapa hari yang lalu dia memintaku untuk mencarikan istri yang tepat untuknya, ku rasa kalian berjodoh. Dia kini menjadi pelukis dan aku berani bertaruh ia masih tampan seperti dulu. Mhmm….pasangan bisniswoman dan painter, tidak buruk kan?” Qorina, kenapa kau selalu punya energi untuk bersemangat setiap waktu…..
            “Kau serius?” Tanyaku kemudian, aku takut kabar baik ini hanya bercanda.
            “Dua rius malah, baiklah…..aku akan ke sini lagi minggu depan, ku pikir suamiku tidak keberatan untuk menjaga kedua anakku lagi dan menutup tokonya, aku akan menghubungi Roni lagi dan minggu depan kita bertemu untuk membicarakan pernikahan kalian dan…..proses pencetakan novelku,” Dia begitu yakin.
            “Bagaimana kau bisa begitu yakin?” Qorina tak menggubris pertanyaanku, dia melenggang santai mencari bus yang menuju ke rumahnya. Katanya, ia akan menjamak sholat di mushola terminal. Qorina….seandainya kau tahu, sahabatmu ini sudah mulai lupa dengan bacaan sholat. Nampaknya, setelah ini aku harus memulai sebuah transformasi besar dalam hidupku. Aku akan memperbaiki hubunganku dengan Allah, karyawanku, orang tuaku, bahkan Mama tiriku. Aku jadi ingin pakai jilbab juga, seperti Qorina. Senja ini begitu indah, bersama Qorina, mantan musuhku yang kini menjadi sahabat terbaikku.


Tidak ada komentar: