By. Nahla Riezuka
Sore ini tidak seperti biasanya, jalanan cukup lenggang,
hanya ada beberapa mobil dan sepeda motor yang berlalu lalang. Aku sedang ingin
menikmati udara sore, melupakan sejenak masalah-masalah yang menggangguku, aku
menyetir mobil dengan lambat. Beberapa sepeda motor menyalipku gila-gilaan, aku
tak peduli, aku hanya ingin menghilangkan kepenatan, biarlah setir ini
membawaku kemana pun ia mau. Apakah aku sedang lari dari masalah? Atau hanya
sekedar menenangkan diri? Atau sedang mencari
ide dan jalan keluar dari masalahku? Ah…sepertinya aku memilih yang
terakhir saja.
Aku merasa melewati seorang wanita yang wajahnya tidak
asing lagi di memori otakku. Maka ku mundurkan mobilku, setelah aku yakin bahwa
aku tidak salah orang, ku hentikan mesin mobil. Ku lihat wajah hitam manisnya yang
nampak serasi dengan jilbab ungu muda yang dikenakannya. Masih seperti dulu, ia
memakai rok panjang, selalu sederhana.
Ku ambil bedakku, ku amati wajahku di cermin, ku periksa
kantong mataku, aku tak mau wanita itu melihat sisa-sisa air mata di wajahku.
Sialnya, riasanku berantakan. Ku rapikan rambut lurus bergelombangku. Kububuhkan
sedikit bedak, ku tarik bibirku agar membentuk sebuah senyuman. Ku jalankan
mobil pelan-pelan, lalu ku buka jendela mobil.
“Assalamu’alaikum, kamu Qorina kan?” Tebakku. “Masih ingat aku tidak?” Aku
mengujinya. Ia menjawab salamku spontan, kemudian menghentikan langkahnya, tampak
mengingat-ingat sebentar, kemudian senyumnya mengembang.
“Mana mungkin aku lupa dengan sahabat cantikku yang satu
ini, Rosa kan?” Qorin antusias sekali, aku mengangguk
mantap. Ku lirik tas besar yang ada di tangannya.
“Mau kemana sore-sore begini?” Tanyaku kemudian.
“Ini mau ke terminal, mau pulang ke rumah Ros,” Jawab
Qorin.
“Jalan kaki?” Aku tak yakin dengan pertanyaanku sendiri.
“Tadinya mau menunggu mikrolet, tapi karena dari tadi
tak ada yang lewat, aku menunggu sambil jalan pelan-pelan,” Jawabnya dengan
nada lembut.
“Ku antar ke terminal ya?” Ku tawarkan jasa, ia
mengangguk dan langsung masuk ke mobilku.
“Sebentar lagi Maghrib, bagaimana kalau pulang ke rumah
ibumu dulu saja, kan
lebih dekat. Besok pagi saja pulang ke rumahnya,” Aku memberi dia ide. Qorin
menimbang.
“Begitu lebih baik, tapi aku meninggalkan dua putra di
rumah, kasihan suamiku. Ia harus menutup tokonya di pasar untuk menemani kedua
anaknya, karena aku pergi meninggalkan rumah seharian,” Qorin menjelaskan
alasannya, aku mulai mengerti.
“Tapi, apa yang kamu lakukan di sini?,” Aku bertanya
lagi.
“Tadi aku keliling di beberapa penerbit, berusaha menjual
karyaku,” Jawabnya, entah mengapa aku bisa melihat raut wajahnya yang berubah
sedih.
“Wah, kau masih aktif menulis ya….. aku salut padamu,”
Pujiku tulus. Senyumnya kembali mengembang.
* * *
15 tahun yang lalu.
“Lihat apa yang terjadi padamu!”
Suara Mama menggelegar memenuhi kamarku. Aku hanya bisa menunduk marah di atas
kasurku, aku tak mengerti kepada siapa kemarahan ini ku tujukan, kepada mama,
diriku sendiri atau Qorina, satu dari segelintir siswi berjilbab di sekolahku.
“OK Ma, aku tahu aku salah, tapi ini
sungguh di luar kendaliku, aku merasa sudah berusaha keras dan Mama sudah
melihat sendiri bagaimana aku belajar, Mama melarangku bermain, aku turuti, Mama
memanggilkan banyak guru untuk mengajariku kursus di rumah, aku taati, sampai
sejauh ini aku tak pernah melawan Mama. Sedikit pun tidak pernah, walau untuk
itu aku sama sekali tak punya teman,” Biasanya aku hanya membalas semua kemarahan
mama dengan diam, karena mama termasuk orang yang tidak sudi menerima alasan,
baginya dialah yang paling benar, dalam hal apa pun. Tapi, kali ini aku merasa
harus berusaha membela diriku sendiri, aku juga masih tidak mengerti di mana
letak kesalahanku, ini hanya masalah gagal dalam ujian, bagi Mamaku rangking
adalah sesuatu yang sangat berharga, beliau hanya punya satu anak yaitu aku.
Mama sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk membentukku menjadi nomor satu
dan sejauh ini usahanya berhasil, sejak TK, SD dan kelas 1 dan 2 SMP aku memang
selalu menduduki peringkat ke satu, tapi di penghujung hariku di kelas 3 SMP,
aku menduduki posisi ke dua, Qorina telah merebut tempatku, dia yang biasanya
ada di posisi ke dua atau tiga. Menurut Mamaku, ini adalah kesalahan fatal.
“Ah, kau ini !!!” Mama kehilangan
kata-kata, mungkin di hatinya terbersit rasa bersalah, semoga saja. Tapi
kemudian beliau melanjutkan.
“Terserahlah apa maumu, tapi Mama
tak mau jika ini terjadi lagi kelak ketika kau masuk SMA, awas jika terjadi
lagi!,” Mama mengancam, kemudian meninggalkan aku sendirian di kamar. Ku
rebahkan tubuhku, ku raih bantal, ku tutup mukaku dan aku berteriak tertahan.
“Mama……kapan kau akan mengerti aku…?”
Isakku tertahan.
* * *
Aku mematutkan diriku di depan cermin
yang cukup lebar di kamarku, lalu ku betulkan letak kaca mataku, aku mengganti
gaya rambutku, kemarin aku ke salon, rambut lurusku ku buat shaggy, ku
perhatikan tubuhku yang bertambah tinggi, kata orang, tubuhku cukup bongsor
untuk ukuran anak kelas 1 SMA, kini aku sudah mengenakan setelan abu-abu
putih.
“Ros, sarapanmu sudah siap, sopir
juga sudah menunggumu di depan, jangan sampai terlambat di hari pertamamu,”
Teriak Mamaku. Lalu aku berjalan santai turun dari tangga, menuju ke meja makan.
“Pagi Non…..,” Sapa pembantuku
ramah, tapi entah mengapa, sulit sekali bagiku untuk membalas keramahannya, aku
hanya menoleh ke arahnya sebentar, tanpa sepatah kata pun.
Aku duduk di meja makan yang
memiliki banyak kursi, ku ambil sandwich dengan gerakan malas, sebenarnya aku
tidak lapar, tapi untuk menyenangkan mama saja.
“Makan yang banyak sayang, kau butuh
asupan gizi yang banyak untuk energimu belajar. Mhmm….seandainya papamu
melihatmu sekarang,” Lagi-lagi mama menyinggung lelaki itu, Papa. Papaku memang
belum mati, tapi beliau menikah lagi
dengan istri yang lebih muda dan lebih cantik dari Mama, saat itu aku masih kelas
5 SD. Sejak itu pula aku berjanji untuk selalu setia menemani Mama dan tidak
ingin membuatnya kecewa sekali lagi. Kebutuhan hidupku dan Mama memang
tercukupi, uang belanja mama dan uang sakuku lebih dari cukup, tapi Papa hampir
tidak pernah mengunjungi kami, hanya
beberapa kali saja dalam setahun. Kadang aku berpikir, kenapa Papa tidak
menceraikan Mama saja, dengan begitu Mama bisa mencarikan Papa baru untukku.
Tapi Mama selalu menolak untuk menggugat cerai, karena beliau masih mencintai
Papa, sangat mencitainya. Aku tak begitu paham apa itu cinta, tapi aku setuju
jika ada yang bilang bahwa cinta itu bisa membuat orang gila. Aku bahkan tak
yakin, apakah aku bisa jatuh cinta.
* * *
SLTA Pelita
Bangsa
Aku
menempati kelas A+. Kata beberapa guru, ini adalah tempat di mana anak-anak
jenius berkumpul. Kebetulan aku duduk di tempat yang paling dekat dengan meja
guru, bangkunya ditata sedemikian rupa, tidak seperti kelas biasa, kelas kami
lebih mirip ruang rapat di kantor tempat Papaku bekerja atau sebuah ruang
kuliah. Di depan ada LCD yang cukup besar. Pandanganku menyapu sekeliling
kelas, di sini ditempati enam anak laki-laki dan empat anak perempuan, semuanya
memancarkan aura kecerdasan, beban di pundakku seakan bertambah berat saja.
Berkumpul di tengah-tengah anak yang kemampuannya setara denganku membuatku
sedikit gentar. SLTA ini memang menyediakan kelas khusus untuk anak-anak jenius
dan indigo. Duh, ini tantangan bagiku. Kelas ini hanya terdiri dari sepuluh
anak, benar-benar spesial. Ku rasa aku harus menjelaskan hal ini pada Mama. Mama
tak boleh berharap terlalu banyak padaku.
Ada empat
anak yang cukup menarik perhatianku,
pertama adalah anak lelaki gendut itu, sedari tadi selalu ada yang camilan
yang dia jejalkan ke mulutnya, kedua adalah anak perempuan keturunan
Tionghoa, ia begitu serius belajar, di
tangannya ada buku yang cukup tebal, eh….bukan buku, sepertinya kamus, aku
melihatnya saat ia mengangkat kamusnya. Oh, ternyata kamus Perancis, sepertinya
ia sedang sibuk menterjemahkan sobekan majalah yang pastinya berbahasa Perancis.
Ketiga adalah lelaki bermata elang, wajahnya sepertinya blasteran, entah
Indonesia-Italia, Turki atau Arab, yang pasti ia cukup tampan dengan hidung
mancungnya, ia terlihat menggambar di atas buku tulisnya, aku tak tahu apa yang
ia gambar, mata elangnya melirik ke arahku sejenak, sepertinya ia merasa sedang
diperhatikan, aku membuang muka. Saat itu juga mataku terpaku pada anak
keempat, pada sosok berjilbab itu, ia tampak menyolok di tengah-tengah kami,
karena dia satu-satunya siswi berjilbab di kelas ini, dia sama sekali tidak
tampak seperti seorang jenius. Menurutku, ia juga terlalu cerewet, entah apa
yang diceritakannya, di hari pertama ia sudah mempunyai banyak teman,
setidaknya 5 orang -setengah dari jumlah anak di kelas ini -telah
mengelilinginya. Semuanya tampak antusias mendengar ia bercerita.
Dia juga tidak terlalu cantik, tapi entah aura
apa yang terpancar darinya, ia bagaikan magnet yang menarik-narik setiap orang
untuk melihat ke arahnya. Bahkan aku sendiri sedikit tertarik untuk melangkahkan
kaki ke mejanya, tetapi egoku mengatakan tidak dengan keras hingga memekakkan
telingaku. Aku tak boleh ke sana,
aku harus ingat bahwa ia adalah Qorina, saingan terberatku. Ia adalah orang
yang membuat mama marah padaku. Aku pun tetap bertahan di tempat dudukku. Aku
jadi ingin cepat-cepat belajar agar perkumpulan itu segera bubar. Ku lirik
arloji yang melingkar di pergelangan tanganku. Kapan pelajaran dimulai? Padahal
sekarang sudah jam delapan. Kelas lain sudah masuk dari tadi. Apakah kelas
spesial memiliki jam pelajaran khusus? Sesosok guru datang, pelajaran pun
dimulai. Aku lega karena penantian panjangku telah usai, aku telah duduk di
bangku paling depan, tak boleh ada satu patah kata dari guru yang terlewatkan.
Tak satu pun.
* * *
3 bulan berlalu….
Aku sudah mulai mengenal kesembilan
temanku, tidak terlalu mengenal sebenarnya, karena aku jarang sekali mengobrol
dengan mereka, terlebih lagi dengan Qorina, entah mengapa segala sesuatu yang
diperbuatnya selalu nampak buruk dan salah di mataku. Kesalahan terbesarnya
adalah karena ia telah berhasil menarik perhatian salah saatu guru favoritku, ia
pengajar Bahasa Indonesia, dulunya aku sama sekali tidak tertarik dengan
pelajaran ini, karena yang kusukai adalah pelajaran eksak, sedangkan Qorina
mahir sekali dalam bidang bahasa, ia bahkan mampu menghasilkan dua cerpen
berbahasa Indonesia dalam waktu satu jam, sedangkan untuk cerpen berbahasa
asing, ia membutuhkan sedikitnya dua jam untuk satu cerpen. Guru itu adalah Pak
Husein, sebenarnya ia belum pantas dipanggil Pak, karena jarak umur kami tidak
terlalu jauh, hanya terpaut beberapa
tahun, ia bahkan sedang menyelesaikan tugas skripsinya, kelas khusus ini memang
memiliki guru-guru khusus dan kebanyakan guru-guru ini juga jenius. SLTA Pelita
Bangsa ini tidak pernah merasa rugi untuk menghabiskan dana sekolah untuk
membiayai guru khusus ini, karena ada timbal balik yang sepadan untuk ini. Aku
memang merasa kelas ini dibuat untuk sebuah misi dan aku mulai bisa membaca
misi itu.
Hanya
dalam jangka waktu tiga bulan ini saja, setiap personel dari kelas ini sudah
mengikuti banyak perlombaan, bahkan aku dan Qorina sudah lebih dari tiga kali.
Kami memang pembawa nama sekolah, banyak siswa dari kelas biasa yang merasa ini
tidak adil karena ini berarti kesempatan untuk mereka tidak ada, perlombaan
untuk mereka hanyalah perlombaan yang beramai-ramai, seperti sepak bola, kasti,
basket, teater dan drama atau yang lainnya, sedangkan olympiade Kimia, Fisika,
Matematika, Karya Ilmiah, Perlombaan Musik khusus –seperti biola (yang hanya
segelintir orang yang bisa memainkannya)- diserahkan sepenuhnya untuk kelas
khusus. Memang, sejauh ini keuntungan terbesar memang untuk sekolah ini, karena
kemenangan-kemenangan yang didapatkan SLTA Pelita Bangsa memaksa sekolah ini
untuk memiliki ruangan khusus untuk menyimpan semua piala yang tak terhitung
jumlahnya.
* * *
Enam
bulan sudah aku duduk di kelas anak-anak spesial ini, aku sudah mulai bisa menyesuaikan
diri, sekarang pelajaran guru favoritku sedang berlangsung. Kami sedang
mengerjakan tugas untuk membuat naskah film yang mana karya terbaik akan
dibuatkan filmnya untuk mengikuti perlombaan pembuatan film dokumenter. Pak
Husein menghabiskan waktunya dengan membaca buku, kupincingkan mata empatku,
oh…judul bukunya Mengikat Makna. Aku sudah baca, buku itu diterbitkan oleh KAIFA dan penulisnya Hernowo. Aku membacaanya saat ada tugas resensi buku
minggu lalu. Kupandangi wajahnya cukup lama. Aku semakin menyukai sosok Pak
Husein yang bersahaja, disiplin, terkadang angkuh dan jarang memuji, seingatku
hanya satu orang yang pernah mendapatkan pujian beliau dan ia tidak lain adalah
musuhku sendiri, Qorina.
“Pak,
aku ingin tahu pendapat Pak Husein, tapi tak ada hubungannya dengan naskah film ini Pak,” Suaranya nyaring, aku
menoleh ke belakang sebentar, anak itu duduk di pojok, kulihat ia sedang mengangkat
tangan, ingin bertanya apa lagi bocah itu, mau cari perhatian Pak Husein lagi
kau, dasar.
“Iya,
silahkan saudari Qorina,” Pak Husein memberi kesempatan pada anak itu untuk
bertanya, bukunya diletakkan di atas meja.
“Begini
Pak, mhmmm……., sepertinya waktunya memang tidak tepat, sebenarnya saya sudah
mengambil keputusan, tapi saya tidak mau gegabah, maka dari itu saya ingin minta pendapat Pak
Husein tentang masalah saya ini,” Qorina berbelit-belit, tapi memang beginilah
kami diatur, ketika kami sedang belajar Bahasa Indonesia, kami harus berbahasa
dengan baik dan benar, begitu pula dengan Bahasa Inggris, Arab, Jepang dan
Perancis yang kami dapatkan. Untuk ketiga bahasa terakhir, hanya kami yang
mendapatkan kesempatan untuk mempelajarinya, kelas lain tidak.
“Saya
ingin pindah kelas Pak, saya merasa kurang cocok dengan suasana kelas ini, saya
merasa……kami terlalu diistimewakan,” Kesembilan anak dan Pak Husein tersentak
kaget, mereka meletakkan pena secara serempak, tadinya aku berniat untuk
melanjutkan tugasku, tapi tadi itu sangat mengejutkan. Aku tidak boleh
melewatkan.
“Apakah
tidak ada cara lain selain kamu pindah?” Tanya Pak Husein.
“Ada
Pak, kelas ini sebaiknya ditiadakan,” Qorin menjawab tegas. Tentu saja kami
semakin terkejut, jika kelas ini ditiadakan, itu berarti kami juga terlibat.
“Bagaimana
kamu bisa berpikir demikian?” Pak Husein tentu saja kelabakan, tak ada kelas
khusus berarti dia berhenti mengejar.
“Begini
Pak, kebetulan saya punya banyak teman di luar kelas ini, saya banyak mendengar
keluhan dari mereka, bahkan keluhan-keluhan ini sudah ada sejak lama, mungkin
sejak kelas ini ada. Saya memikirkan hal ini cukup lama. Tapi, kami bukanlah
robot perebut piala Pak, kami juga butuh bersosialisasi. Sekolah ini
mengeksploitasi anak-anak jenius dan indigo untuk melejitkan nama sekolah, tapi
bagaimana kami hidup di masyarakat nanti?” Kata-kata Qorina diplomatis, ia
memang bisa diandalkan dalam berdebat, ia sanggup menyihir kami dengan setiap pilihan
katanya, masing-masing dari kami tertegun, tentu saja kami merasakannya, karena
yang sedang dibicarakan Qorina adalah kami sendiri.
“Apa
yang kamu khawatirkan tentang masa depan? Semua anak dari kelas ini terbukti
tangguh ketika mereka dewasa, bahkan sebagian besar bisa menjadi ilmuwan dan
pimpinan di perusahaan besar,” Pak Husein berusaha mengubah pandangan Qorina,
tapi bukan Qorina kalau tidak gigih memperjuangkan idenya.
“Pak,
kita harus memberi kesempatan untuk yang lainnya. Aku yakin, di kelas lain
masih banyak yang ingin mengikuti perlombaan, hanya saja sekolah tak memberi
kesempatan untuk mereka. Lagi pula yang terpenting dalam setiap perlombaan
bukanlah masalah piala, tapi masalah usaha yang dikerahkan, proses yang terjadi.
Masalah menang dan kalah, kita tak bisa memaksakan. Karena itu adalah takdir,
sedangkan kita sama-sama tahu bahwa sesungguhnya di ujung usaha, barulah takdir
itu ada,” Qorina sepertinya sudah menyelesaikan semua curahan hatinya, aku
yakin, sebenarnya ia bisa saja pindah kelas jika ia langsung pergi ke kepala
sekolah, tapi sepertinya ia ingin mempengaruhi kami untuk mengikuti langkahnya.
Pak Husein belum menjawab apa pun, beliau tampak berpikir, sejenak kelas ini
senyap.
“Baiklah
Pak, sepertinya saya sudah tahu pendapat Pak Husein, jadi sebaiknya kita
lanjutkan saja penulisan naskah ini, biarlah saya memutuskan sendiri nanti,”
Qorina memecah keheningan, masing-masing dari kami menulis lagi, tapi aku
berani bertaruh, tak ada satu pun dari kami yang fokus menulis naskah, karena
pikiran kami kini tertuju pada apa yang baru saja Qorina katakan.
* * *
Ujian tengah
semester sebentar lagi di mulai, kelas khusus hanya memiliki tujuh murid kini,
Qorina telah memilih untuk pindah. Ada
dua anak yang sangat dekat dengan Qorina yang mengikuti jejaknya, satu laki
laki dan satu lagi perempuan. Mereka berdualah yang mendramatisir keadaan
semenjak perginya Qorina, mereka mengatakan bahwa mereka merindukan
ocehan-ocehannya, merindukan ide-ide cerdas yang tertuang dari otaknya, maka
mereka akhirnya memilih untuk pindah kelas juga.
Huff,
kenapa Qorina harus keluar dari sini, dengan begini aku tidak bisa melihat
persiapan belajarnya, jangan-jangan ia belajar mati-matian tanpa
sepengetahuanku. Baiklah Qorin, aku tak akan membiarkanku merebut posisiku
lagi. Entah mengapa, aku tidak khawatir dengan anak-anak yang ada di sekitarku
ini, bisa jadi beberapa di antara mereka lebih pandai dari aku dan Qorina, tapi
aku lebih khawatir pada anak yang satu itu.
* * *
Aku belajar dengan sangat
sungguh-sungguh, Mamaku mendukungku, bahkan aku merasa Mama lebih antusias
belajar dari pada aku sendiri. Guru privat tetap beliau datangkan, nutrisiku
semakin beragam. Tapi Mama tidak pernah tahu, saat beliau tidur pun aku tetap
memaksakan diriku, aku juga tidak tahu mengapa, setiap aku ingin memejamkan
mata, bayangan Qorin yang sedang belajar giat mampu membangkitkan
kesemangatanku. Aku memang sangat membencinya, sangat iri padanya yang
mempuanyai banyak teman, yang mendapat perhatian Pak Husein dan terlihat
menikmati hidupnya, tapi yang tidak ingin aku akui adalah aku ingin menjadi
dia, lebih parah lagi aku mulai mengidolakannya.
* * *
“Putri ibu sepertinya sangat
kelelahan, baik segi fisik maupun psikisnya, ini adalah salah satu penyebab demamnya,”
Kata dokter di kamarku. Aku menutup mataku, tapi aku tidak tidur, jadi aku
mendengar percakapan dokter dan Mamaku.
“Obat apa yang harus ia minum Dok?”
Tanya Mamaku.
“Oh, anak ibu tak perlu obat, ia
hanya butuh istirahat dan tambahan gizi, jangan biarkan ia berpikir
macam-macam, itu akan memperparah keadaannya,” Nasehat dokter.
“Tapi Dok, bagaimana dengan
ujiannya? 2 hari lagi ia ujian dan ia belum belajar banyak,” Nada suara Mama
terdengar khawatir. Yah….dan besok adalah hari ulang tahunku Ma. Mungkin Mama
sudah melupakannya, karena yang ada di otak Mama sekarang adalah bagaimana aku
mendapatkan nilai setinggi-tingginya. Tak apa Ma, kalau itu yang bisa membuat
Mama bahagia, aku akan sembuh besok, Mama jangan khawatir, aku akan belajar
lagi. Percakapan mereka berdua sayup-sayup terdengar dan semakin lama semakin
hilang, sepertinya dokter memberiku obat tidur tadi.
* * *
Hei…..berapa jam aku sudah tertidur,
sepertinya lama sekali. Aku ingin membuka mata, tapi kelopakku berat sekali.
Kenapa kamarku jadi sangat ribut? Aku benci keributan. Tapi mengapa aku
mengenal suara mereka?
“Alhamdulillah…..ia sudah bangun!!!”
Suara nyaring itu berteriak.
“Hei…., kenapa kalian bisa ada di
sini,” Aku terkejut sekali seteelah mataku benar-benar terbuka, si hitam manis
dengan jilbabnya adalah pemandangan pertama yang kulihat setelah tidur
panjangku.
“Iya nak, sebenarnya Mama hanya
memanggil Qorina, tapi tak tahu kenapa ia membawa banyak sekali pasukan,”
Mamaku memberi alasan, tapi aku masih belum bisa mencerna kata-katanya. Ku
lihat wajah-wajah ini, memang agak buram karena aku tak memakai kaca mataku,
tapi aku bisa menghitung mereka sembilan orang lengkap.
“Dia lebih cantik ketika ia melepas
kacamatanya,” Puji Roni, temanku yang bermata elang. Aku senang mendengarnya,
memang lebih menyenangkan ketika kita dikelilingi teman-teman dari pada
sendirian.
“Tapi kenapa Ma?” Aku masih
penasaran.
“Ada
apa denganmu Rosa? Kau tidak suka dengan
kedatangan kami?” Qorina merajuk, ia ingin menunjukan bahwa ia tersinggung, tapi
aku tahu ia hanya bercanda.
“Begini Ros, selama kau tidur.
Beberapa kali kau memanggil nama Qorina, Mama tidak tahu apa yang terjadi
denganmu. Tapi Mama berinisiatif untuk memanggilnya dan ia datang dengan
membawa teman-temannya.
“Dan ini untukmu, dari kami!!!!!,”
Si Gembul ini, berapa hari aku tidak melihatnya, kenapa tiba-tiba aku sangat
menyayangi mereka semua. Ia menyodorkan kado yang cukup besar di depanku. Aku
bahagia dan kini aku bisa tertawa lepas bersama mereka.
“Dari mana kalian tahu aku ulang
tahun hari ini?,” Tanyaku, aku menghadapkan wajah ke arah Mamaku, Mama
mengisyaratkan bahwa beliau juga tak tahu.
“Qorina menyimpan semua biodata
kita, ia bahkan tahu makanan favoritku,” Si Gembul Adli berkata lagi.
“Ini idenya, tiba-tiba ia datang ke
kelas, ku pikir ia akan kembali ke kelas khusus, ternyata tidak, ia datang
untuk mengajak kita semua ke sini, menemuimu. Ia juga menemukan ide untuk iuran
membeli kado. Sebenarnya, kami semua tahu bahwa kau sakit. Tapi, yah kita tak
terbiasa menjenguk orang sakit,” Min Chui, anak Tionghoa itu berusaha
menceritakan semuanya padaku. Ada
yang hangat di sudut mataku, aku biarkan ia mengalir, aku benar-benar terharu,
tak ku sangka, orang yang dari dulu ku anggap sebagai musuhku. Ternyata……
“Ada apa denganmu Ros, ini hari bahagiamu,
tertawalah….!!” Qorina menghiburku, jika ingin melihat orang yang tertawa
sambil menangis, lihatlah aku sekarang. Bahkan aku sendiri ingin melihat
wajahku di cermin.
“Hei, besok ujian, kalian tidak
belajar?” Tanyaku kemudian.
“Sebenarnya, aku…..” Chui ingin
membuka mulut, tapi semua melotot ke arahnya. Mereka pasti marahasiakan sesuatu
dariku.
“Kami tidak bisa belajar, sementara
kau terbaring sakit di kamarmu, kau harus sembuh, setelah ini kita akan belajar
bersama sambil bermain,” Kata Qorina. Main,
sungguh kata yang asing bagiku, hei….Mama menangis, ia sesenggukan, ia sadar
aku mengamatinya, sepertinya Mama malu aku mendapatinya begitu, Mama keluar.
Semoga Mama sadar bahwa ada sesuatu yang lebih penting dari pada nilai-nilai ujian.
“Baiklah, aku sudah sembuh, aku
tidak mau kalian tidak belajar hanya gara-gara aku,” Aku beranjak duduk. Aku
tidak sedang membohongi mereka, aku merasa badanku sudah baikan. Min Chui
kelihatan bersemangat, ia membuka tasnya yang berisi beberapa buku. Aku tahu
dari tadi dia ingin belajar, tapi yang lain melarangnya.
“Ayo kita belajar…..!!!” Teriak Min
Chui. Beberapa menggeleng melihat kesemangatannya dan yang lainnya tersenyum. Kami
semua mulai belajar.
* * *
Hari semakin senja saja, aku masih
menyetir mobil dan Qorina masih di sampingku. Akhirnya, ia memilih untuk tetap
pulang, ia tak bisa meninggalkan anak-anaknya. Maka, aku mengantarnya ke
terminal.
“Qorin, kau sudah menenteng tiga naskah
novelmu dan hanya satu yang diterima penerbit, bagaimana kalau satu lagi aku beli
naskahnya dan ku terbitkan dengan uangku,” Aku menawarkan diri untuk membeli
novelnya.
“Hei Ros, kau bahkan belum membaca
novelku,” Katanya dengan diiringi tawa.
“Tapi aku yakin pasti itu bagus, aku
kenal anak jenius yang mahir bahasa,” Aku memujinya tulus.
“Tidak, segala sesuatu harus
dilakukan dengan usaha keras, aku tak bisa menerima tawaranmu hanya karena
simpatimu setelah aku menceritakan padamu bahwa menembus penerbit yang mau
menerbitkan karya kita tak semudah yang kita bayangkan,” Ia tetap tegas,
seperti dulu.
“Bukan begitu maksudku Qorin,”
Aku berusaha membela diri.
“Tak apa, bahkan JK. Rowling pernah
ditolak karyanya beberapa kali sebelum ia menjadi milyarder karena ternyata karyanya
disukai jutaan orang di seluruh dunia. Baiklah, aku terima tawaranmu setelah
kau membaca dua novelku ini, setuju?,” Cerdas sekali anak ini, eh….dia bukan
anak-anak lagi, dia kini sudah menjadi ibu dengan dua anak.
“Mhmm, Ros….berapa anakmu?”
Pertanyaannyabenar-benar membuatku kelabakan,
kenapa terminalnya jauh sekali, cepatlah sampai dan ia tak akan
menanyakan ini. Qorin memandangiku lama yang terlihat kikuk. Aku harus segera
menjawabnya.
“Qorin, bagaimana kau bisa punya
anak sementara kau tak pernah menikah, lagi pula aku belum pernah mencintai
lelaki dalam hidupku, aku terjebak menjadi diriku yang workaholic dan
karyawanku sendiri membenciku,” Aku berusaha membuat anekdot, tetapi terasa
kering dan tak lucu.
“Ayolah Ros, kau tidak boleh
melakukan ini, kau akan bahagia jika kau punya keluarga. Untuk apa kekayaanmu
ini, jika kau tak bisa menemukan kebahagiaan, kau harus merasakan bagaimana
rasanya punya anak,” Qorin begitu menggebu-gebu.
“Kita sudah sampai di terminal,
saatnya kau pulang,” Aku menghentikan mobil.
“Tunggu dulu, aku masih sering
berhubungan dengan Roni, kau ingat Roni kan?”
Tanya Qorina.
“Siapa yang bisa melupakan si Mata
Elang itu?,” Aku menjawabnya dengan pertanyaan lagi
“Aku memang jarang sekali bertemu
dengannya, tapi kami bersilaturrahmi via SMS, beberapa hari yang lalu dia
memintaku untuk mencarikan istri yang tepat untuknya, ku rasa kalian berjodoh.
Dia kini menjadi pelukis dan aku berani bertaruh ia masih tampan seperti dulu.
Mhmm….pasangan bisniswoman dan painter, tidak buruk kan?” Qorina, kenapa kau
selalu punya energi untuk bersemangat setiap waktu…..
“Kau serius?” Tanyaku kemudian, aku
takut kabar baik ini hanya bercanda.
“Dua rius malah, baiklah…..aku akan
ke sini lagi minggu depan, ku pikir suamiku tidak keberatan untuk menjaga kedua
anakku lagi dan menutup tokonya, aku akan menghubungi Roni lagi dan minggu
depan kita bertemu untuk membicarakan pernikahan kalian dan…..proses pencetakan
novelku,” Dia begitu yakin.
“Bagaimana kau bisa begitu yakin?”
Qorina tak menggubris pertanyaanku, dia melenggang santai mencari bus yang
menuju ke rumahnya. Katanya, ia akan menjamak sholat di mushola terminal.
Qorina….seandainya kau tahu, sahabatmu ini sudah mulai lupa dengan bacaan
sholat. Nampaknya, setelah ini aku harus memulai sebuah transformasi besar
dalam hidupku. Aku akan memperbaiki hubunganku dengan Allah, karyawanku, orang
tuaku, bahkan Mama tiriku. Aku jadi ingin pakai jilbab juga, seperti Qorina. Senja
ini begitu indah, bersama Qorina, mantan musuhku yang kini menjadi sahabat
terbaikku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar