by. Nahla Riezuka
(Pernah dimuat di Majalah Nukhbah Mantingan)
(Pernah dimuat di Majalah Nukhbah Mantingan)
“Aku benci
perang..!!!!,” Erang Sultan sambil memejamkan matanya. Garis wajah kegeraman
tergambar jelas di matanya yang baru saja terbuka, merah menyala, tangan pemuda
Afghanistan itu menggenggam erat, kebenciannya akan peperangan cukup beralasan,
sungguh-sungguh punya alasan.
Sultan tidak sendirian, di
sampingnya ada Hamid, Iqbal, Raihan yang merasakan kepedihan yang sama.
“Tidak ada seorang pun yang suka
perang kawan, bahkan sekeji apa pun orang itu, hati kecilnya akan menolak perang,”
Suara lirih Iqbal mencoba menenangkan Sultan yang kalut.
“Namun ada pengecualian, untuk
mereka yang hatinya sudah mati,” Sanggah Raihan yang diamini teman-temannya.
* *
*
1 tahun yang
lalu……
Sultan baru saja memejamkan matanya
sesaat sebelum subuh, ia tak bisa tidur semalaman, saat dilihatnya kakaknya
beranjak, ia pun ikut terbangun.
“Kakak mau ke masjid?,” Tanya remaja
tanggung seumuran SMP itu sambil membuka matanya yang sayu. Suara adzan subuh
belum terdengar.
“Iya, mau ikut?,” Tanya kakaknya
kemudian, Sultan menggeleng. Pada saat yang sama kepala ayah mereka menyembul
dari balik pintu, tetesan bekas air wudlu nampak berkilauan sebening embun di
mata Sultan, hal ini membuat wajahnya yang menua semakin bercahaya dan bekas
sujud kehitaman di dahinya semakin kentara.
“Siapa yang mau ikut ayah ke
masjid?,” Tanya sang ayah, sang kakak pun beranjak dari tempat tidur menuju
kamar mandi, menandakan ia ingin ikut.
“Sultan kalau tidak ikut juga tidak
apa-apa, nanti kamu jadi imam ibu saja, memang harus ada yang tetap tinggal di
rumah, akhir-akhir ini ada serangan di pagi buta, teroris yang selalu berteriak
teroris itu memang tak pandang bulu dan tak kenal waktu, kami titip ibu sama
kamu ya Tan, jaga ibu baik-baik sampai kami kembali dari masjid,” Pesan sang
ayah.
“Ayah, kenapa kita tidak berjamaah
di rumah saja? Bukankah lebih aman berjamaah di rumah? Aku khawatir terjadi
apa-apa di masjid, bukankah masjid juga sering jadi sasaran pengeboman?,” Tanya
Sultan khawatir.
“Sultan, nyawa kita ada di tangan
Allah, kepada-Nyalah kita akan kembali, jika memang sekarang waktunya
dipanggil, mau bagaimana lagi, kita hanya bisa tawakkal,” Ayah mencoba
menenangkan dengan suara baritonnya..
* *
*
BOOOOOOOMMMMMM…………………
Dentuman bom itu memekakkan setiap
telinga yang mendengarnya, meluluh lantakan bangunan berkubah dengan menaranya
yang menjulang. Suaranya memecah fajar, tubuh jamaah yang sedang sholat baru
bangkit dari raka’at pertama hancur berkeping-keping, tak ada satu nyawa pun
yang selamat, para malaikat menyambut gembira arwah-arwah yang khusnul khatimah
itu.
Suara ledakan bom itu sampai ke
rumah Sultan, getarannya serasa seperti gempa kecil. Saat itu ia dan ibunya
baru saja akan berjamaan di rumah.
“Sssuu…ultan, ada serangan pagi ini,”
Lirih suara ibu, serak dan terbata-bata, tangannya gemetaran menggenggam lengan
Sultan, seolah-olah mencari sandaran dan kekuatan.
“Iya Bu, sepertinya begitu,” Ia
menjawab sama lirihnya, keduanya sama-sama kalut, otak keduanya memikirkan hal
yang sama: ayah dan kakak. Memang, keduanya tak tahu persis di mana bom itu
dijatuhkan, bisa di mana saja. Tapi, justru itulah yang membuat mereka semakin
khawatir.
“Begini saja Bu, kita sholat dulu
sekarang, mohon perlindungan pada Allah Yang Maha Melindungi. Kita hanya bisa
tawakkal, setelah keadaan sudah membaik, nanti kita ke masjid dan semoga tidak
terjadi apa yang kita takutkan,” Kata-kata Sultan cukup mengejutkan bagi
ibunya, bahkan Sultan sendiri merasa ada yang aneh dengan dirinya sendiri, ia
merasa bahwa yang berkata bukanlah dirinya, tapi mungkin ada malaikat yang
menggerakkan bibirnya sehingga ia menjadi lebih bijak dan dewasa.
Ia sangat sadar bahwa ibunya ada di
puncak ketakutan, menurutnya sekaranglah saatnya membuktikan kebenaran namanya,
ia ingin menyesuaikan diri dengan nama SULTAN yang berarti kekuatan. Dan kini
ia harus bisa menjadi kekuatan untuk ibunya walaupun hati kecilnya sendiri
masih ragu untuk mengakui kemampuannya.
“Kami titip ibu sama kamu ya Tan,
jaga ibu baik-baik sampai kami kembali……,”
Deg, belum juga Sultan bertakbir, suara ayahnya kembali terngiang,
Ia menolak kata hatinya yang mengatakan, kata-kata itu adalah ungkapan
perpisahan. Sejenak Ia menoleh ke arah ibu yang amat
dicintainya. Ternyata, sang ibu pun juga sudah mengamati putranya lama,
pandangan mereka bertemu. Sang ibu melihat wajah putih anaknya semakin pucat
pasi.
“Ada
apa Sultan? Kau tidak konsen ya……..kalau kau tidak bisa konsentrasi, kita
sholat sendiri-sendiri saja, ibu akan ke kamar,” Kata ibunya, serak di suaranya
sudah berkurang. Sultan hanya menggeleng, kemudian ia berusaha keras untuk
berkonsentrasi dan mengerahkan seluruh pikirannya secara total. Saatnya untuk
tunduk dan khusyuk, pikirnya.
Ibu dan anak itu mulai sholat, suara remaja yang mulai berat itu
memenuhi ruang sholat. Surat Al-A’la
menjadi pilihan untuk rakaat pertama, sedangkan untuk rakaat kedua, Sultan
memilih surat Al-Fajr.
Ketika sampai di ayat 27 sampai 30, suara Sultan terdengar pilu dan menyayat
hati.
Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhan-mu dengan hati yang
puas lagi diridhai-Nya, maka, masuklah dalam jamaah hamba-hamba-Ku, dan
masuklah ke dalam surga-Ku.
Saat itu juga, terdengar sesenggukan ibunya, pedih hati Sultan
mendengarnya, hantinya serasa diiris-iris sembilu, keduanya merasakan luka yang
sama, keduanya menangis dalam shalat. Bumi Kabul menjadi saksi atas tangisan
ibu dan anak itu.
* *
*
Seperti yang telah direncanakan sebelumnya, Sultan dan ibunya akan
melihat ke masjid jika ayah dan kakak tak kunjung pulang. Matahari sudah mulai
bangun dari peraduannya, dua orang yang ditunggu tak kunjung kembali, sang ibu pun
memaksa Sultan untuk mengantarnya pergi ke masjid, Sultan pun menyetujuinya. Namun,
ia tak bisa menipu dirinya sendiri, Ia belum siap menghadapi kenyataan
terburuk.
Belum juga sampai di masjid, keduanya terhenti di jarak beberapa
meter dari masjid, dari jarak mereka berdiri, biasanya mereka sudah bisa
melihat kubah dan menara masjid yang menjulang, tapi pagi itu mereka hanya
melihat sisa-sisa kepulan asap dari sana. Tidak perlu didekati, keduanya sudah
sama-sama tahu bahwa masjid kebanggaan mereka telah dibom manusia durjana,
tentara iblis.
Sultan menguatkan diri, ibunya memeluknya erat, ia pun berusaha
menyalurkan kekuatannya. Namun, semakin lama pelukan ibunya semakin mengendur,
Sultan segera sadar bahwa ibunya limbung. Sigap lengannya menopang tubuh
ibunya, sebenarnya ia ingin menggendong ibunya sampai rumah, tapi tubuh SMPnya
masih belum cukup kuat untuk menggendong sang Ibu.
Beruntung, pamannya dari kejauhan melihat keganjilan ibu dan
putranya itu, ia juga sedang melihat masjid yang baru saja dibom pagi itu, segera
sang paman menghampiri.
“Sultan, ada apa dengan ibumu?,” Teriaknya pada keponakannya sambil
berlari.
“Ibu baru saja pingsan paman, tolong aku….,” Sultan minta
bantuannya. Akhirnya, sang paman menggendong tubuh kakaknya untuk dibawa
pulang.
“Kenapa ibumu bisa pingsan di sini?,” Tanya sang paman, namun tak
ada jawaban, ia pun menoleh ke arah bocah di sampingnya, ternyata remaja itu
sedang menunduk dalam dengam mata yang berkaca-kaca.
“Paman…..,” Sang keponakan memanggil pamannya, kata-katanya
menggantung, paman menunggu, “Apakah anak laki-laki boleh menangis?,” Tanya
Sultan kemudian, sang paman pun menghentikan langkahnya. Firasatnya mengatakan,
ada yang tidak beres.
“Ayah dan kakak ke masjid fajar ini,” Tidak perlu dijelaskan lagi
alasan Sultan yang tiba-tiba menangis dan ibunya yang pingsan. Paman pun
menoleh lagi ke belakang, melihat sisa-sisa asap yang kian menipis. Selalu saja
begini akhirnya, kasihan sekali Sultan, ia terlalu kecil untuk menanggung semua
ini.
“Menangislah Sultan, biar air matamu mengobati luka hatimu, semoga
Allah menguatkanmu dan ibumu,” Doa paman tulus, tangis Sultan pun pecah,
tangisan yang sudah ditahan dari tadi.
* *
*
Malam hari sebelum
pengeboman itu terjadi.
Sultan belum juga bisa menutup
matanya, padahal kakak yang tidur di sampingnya sudah pulas sejak tadi. Dia
hanya membolak-balikkan tubuhnya, resah. Kakaknya pun terbangun, seolah ikut
merasakan keresahan adiknya.
“Kenapa Sultan? Kau tak bisa tidur?,”
Tanya kakaknya pengertian tanpa menoleh pada adiknya.
“Tak bisa kak,” Jawabnya.
“Apa yang kau pikirkan hah?,”
Selidik kakaknya, ia mulai memalingkan muka ke arah Sultan.
“Aku memikirkan masa depan bangsa
kita dan masa depan kita sendiri….,” Sultan mengadu.
“Tak usahlah kau risaukan, semua
kekalutan ini akan segera berakhir, kita akan menemukan kedamaian nanti.
Tentang masa depan kita, itu tergantung sekeras apa kita berusaha.” Nasehat
bijak sang kakak.
“Tapi, apakah aku masih mungkin jadi
dokter jika keadaannya terus begini?,” Tanya Sultan ragu.
“Tentu saja, kau sangat pandai dan
cerdas, bahkan sekarang kakak bisa melihatmu sedang berjalan di koridor rumah
sakit megah dengan baju dokter kebanggaanmu,” Kata-kata kakaknya memotivasinya
dan membakar semangatnya.
“Aku berharap kak, semoga kedamaian yang kau katakan akan segera
datang, kedamaian untuk Afghanistan,
semoga,” Sultan berdoa lirih, kakaknya mengamini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar