Selasa, 18 September 2012

SEINDAH IMPIAN SULTAN





by. Nahla Riezuka 
(Pernah dimuat di Majalah Nukhbah Mantingan)

“Aku benci perang..!!!!,” Erang Sultan sambil memejamkan matanya. Garis wajah kegeraman tergambar jelas di matanya yang baru saja terbuka, merah menyala, tangan pemuda Afghanistan itu menggenggam erat, kebenciannya akan peperangan cukup beralasan, sungguh-sungguh punya alasan.
            Sultan tidak sendirian, di sampingnya ada Hamid, Iqbal, Raihan yang merasakan kepedihan yang sama.
            “Tidak ada seorang pun yang suka perang kawan, bahkan sekeji apa pun orang itu, hati kecilnya akan menolak perang,” Suara lirih Iqbal mencoba menenangkan Sultan yang kalut.
            “Namun ada pengecualian, untuk mereka yang hatinya sudah mati,” Sanggah Raihan yang diamini teman-temannya.
* * *

1 tahun yang lalu……
            Sultan baru saja memejamkan matanya sesaat sebelum subuh, ia tak bisa tidur semalaman, saat dilihatnya kakaknya beranjak, ia pun ikut terbangun.
            “Kakak mau ke masjid?,” Tanya remaja tanggung seumuran SMP itu sambil membuka matanya yang sayu. Suara adzan subuh belum terdengar.
            “Iya, mau ikut?,” Tanya kakaknya kemudian, Sultan menggeleng. Pada saat yang sama kepala ayah mereka menyembul dari balik pintu, tetesan bekas air wudlu nampak berkilauan sebening embun di mata Sultan, hal ini membuat wajahnya yang menua semakin bercahaya dan bekas sujud kehitaman di dahinya semakin kentara.
            “Siapa yang mau ikut ayah ke masjid?,” Tanya sang ayah, sang kakak pun beranjak dari tempat tidur menuju kamar mandi, menandakan ia ingin ikut.
            “Sultan kalau tidak ikut juga tidak apa-apa, nanti kamu jadi imam ibu saja, memang harus ada yang tetap tinggal di rumah, akhir-akhir ini ada serangan di pagi buta, teroris yang selalu berteriak teroris itu memang tak pandang bulu dan tak kenal waktu, kami titip ibu sama kamu ya Tan, jaga ibu baik-baik sampai kami kembali dari masjid,” Pesan sang ayah.
            “Ayah, kenapa kita tidak berjamaah di rumah saja? Bukankah lebih aman berjamaah di rumah? Aku khawatir terjadi apa-apa di masjid, bukankah masjid juga sering jadi sasaran pengeboman?,” Tanya Sultan khawatir.
            “Sultan, nyawa kita ada di tangan Allah, kepada-Nyalah kita akan kembali, jika memang sekarang waktunya dipanggil, mau bagaimana lagi, kita hanya bisa tawakkal,” Ayah mencoba menenangkan dengan suara baritonnya..
* * *

BOOOOOOOMMMMMM…………………
            Dentuman bom itu memekakkan setiap telinga yang mendengarnya, meluluh lantakan bangunan berkubah dengan menaranya yang menjulang. Suaranya memecah fajar, tubuh jamaah yang sedang sholat baru bangkit dari raka’at pertama hancur berkeping-keping, tak ada satu nyawa pun yang selamat, para malaikat menyambut gembira arwah-arwah yang khusnul khatimah itu.
            Suara ledakan bom itu sampai ke rumah Sultan, getarannya serasa seperti gempa kecil. Saat itu ia dan ibunya baru saja akan berjamaan di rumah.
            “Sssuu…ultan, ada serangan pagi ini,” Lirih suara ibu, serak dan terbata-bata, tangannya gemetaran menggenggam lengan Sultan, seolah-olah mencari sandaran dan kekuatan.
            “Iya Bu, sepertinya begitu,” Ia menjawab sama lirihnya, keduanya sama-sama kalut, otak keduanya memikirkan hal yang sama: ayah dan kakak. Memang, keduanya tak tahu persis di mana bom itu dijatuhkan, bisa di mana saja. Tapi, justru itulah yang membuat mereka semakin khawatir.
            “Begini saja Bu, kita sholat dulu sekarang, mohon perlindungan pada Allah Yang Maha Melindungi. Kita hanya bisa tawakkal, setelah keadaan sudah membaik, nanti kita ke masjid dan semoga tidak terjadi apa yang kita takutkan,” Kata-kata Sultan cukup mengejutkan bagi ibunya, bahkan Sultan sendiri merasa ada yang aneh dengan dirinya sendiri, ia merasa bahwa yang berkata bukanlah dirinya, tapi mungkin ada malaikat yang menggerakkan bibirnya sehingga ia menjadi lebih bijak dan dewasa.
            Ia sangat sadar bahwa ibunya ada di puncak ketakutan, menurutnya sekaranglah saatnya membuktikan kebenaran namanya, ia ingin menyesuaikan diri dengan nama SULTAN yang berarti kekuatan. Dan kini ia harus bisa menjadi kekuatan untuk ibunya walaupun hati kecilnya sendiri masih ragu untuk mengakui kemampuannya.

            “Kami titip ibu sama kamu ya Tan, jaga ibu baik-baik sampai kami kembali……,”

Deg, belum juga Sultan bertakbir, suara ayahnya kembali terngiang, Ia menolak kata hatinya yang mengatakan, kata-kata itu adalah ungkapan perpisahan. Sejenak Ia menoleh ke arah ibu yang amat dicintainya. Ternyata, sang ibu pun juga sudah mengamati putranya lama, pandangan mereka bertemu. Sang ibu melihat wajah putih anaknya semakin pucat pasi.
“Ada apa Sultan? Kau tidak konsen ya……..kalau kau tidak bisa konsentrasi, kita sholat sendiri-sendiri saja, ibu akan ke kamar,” Kata ibunya, serak di suaranya sudah berkurang. Sultan hanya menggeleng, kemudian ia berusaha keras untuk berkonsentrasi dan mengerahkan seluruh pikirannya secara total. Saatnya untuk tunduk dan khusyuk, pikirnya.
Ibu dan anak itu mulai sholat, suara remaja yang mulai berat itu memenuhi ruang sholat. Surat Al-A’la menjadi pilihan untuk rakaat pertama, sedangkan untuk rakaat kedua, Sultan memilih surat Al-Fajr. Ketika sampai di ayat 27 sampai 30, suara Sultan terdengar pilu dan menyayat hati.
Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhan-mu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya, maka, masuklah dalam jamaah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku.
Saat itu juga, terdengar sesenggukan ibunya, pedih hati Sultan mendengarnya, hantinya serasa diiris-iris sembilu, keduanya merasakan luka yang sama, keduanya menangis dalam shalat. Bumi Kabul menjadi saksi atas tangisan ibu dan anak itu.

* * *



Seperti yang telah direncanakan sebelumnya, Sultan dan ibunya akan melihat ke masjid jika ayah dan kakak tak kunjung pulang. Matahari sudah mulai bangun dari peraduannya, dua orang yang ditunggu tak kunjung kembali, sang ibu pun memaksa Sultan untuk mengantarnya pergi ke masjid, Sultan pun menyetujuinya. Namun, ia tak bisa menipu dirinya sendiri, Ia belum siap menghadapi kenyataan terburuk.
Belum juga sampai di masjid, keduanya terhenti di jarak beberapa meter dari masjid, dari jarak mereka berdiri, biasanya mereka sudah bisa melihat kubah dan menara masjid yang menjulang, tapi pagi itu mereka hanya melihat sisa-sisa kepulan asap dari sana. Tidak perlu didekati, keduanya sudah sama-sama tahu bahwa masjid kebanggaan mereka telah dibom manusia durjana, tentara iblis.
Sultan menguatkan diri, ibunya memeluknya erat, ia pun berusaha menyalurkan kekuatannya. Namun, semakin lama pelukan ibunya semakin mengendur, Sultan segera sadar bahwa ibunya limbung. Sigap lengannya menopang tubuh ibunya, sebenarnya ia ingin menggendong ibunya sampai rumah, tapi tubuh SMPnya masih belum cukup kuat untuk menggendong sang Ibu.
Beruntung, pamannya dari kejauhan melihat keganjilan ibu dan putranya itu, ia juga sedang melihat masjid yang baru saja dibom pagi itu, segera sang paman menghampiri.
“Sultan, ada apa dengan ibumu?,” Teriaknya pada keponakannya sambil berlari.
“Ibu baru saja pingsan paman, tolong aku….,” Sultan minta bantuannya. Akhirnya, sang paman menggendong tubuh kakaknya untuk dibawa pulang.
“Kenapa ibumu bisa pingsan di sini?,” Tanya sang paman, namun tak ada jawaban, ia pun menoleh ke arah bocah di sampingnya, ternyata remaja itu sedang menunduk dalam dengam mata yang berkaca-kaca.
“Paman…..,” Sang keponakan memanggil pamannya, kata-katanya menggantung, paman menunggu, “Apakah anak laki-laki boleh menangis?,” Tanya Sultan kemudian, sang paman pun menghentikan langkahnya. Firasatnya mengatakan, ada yang tidak beres.
“Ayah dan kakak ke masjid fajar ini,” Tidak perlu dijelaskan lagi alasan Sultan yang tiba-tiba menangis dan ibunya yang pingsan. Paman pun menoleh lagi ke belakang, melihat sisa-sisa asap yang kian menipis. Selalu saja begini akhirnya, kasihan sekali Sultan, ia terlalu kecil untuk menanggung semua ini.
“Menangislah Sultan, biar air matamu mengobati luka hatimu, semoga Allah menguatkanmu dan ibumu,” Doa paman tulus, tangis Sultan pun pecah, tangisan yang sudah ditahan dari tadi.
* * *

Malam hari sebelum pengeboman itu terjadi.
            Sultan belum juga bisa menutup matanya, padahal kakak yang tidur di sampingnya sudah pulas sejak tadi. Dia hanya membolak-balikkan tubuhnya, resah. Kakaknya pun terbangun, seolah ikut merasakan keresahan adiknya.
            “Kenapa Sultan? Kau tak bisa tidur?,” Tanya kakaknya pengertian tanpa menoleh pada adiknya.
            “Tak bisa kak,” Jawabnya.
            “Apa yang kau pikirkan hah?,” Selidik kakaknya, ia mulai memalingkan muka ke arah Sultan.
            “Aku memikirkan masa depan bangsa kita dan masa depan kita sendiri….,” Sultan mengadu.
            “Tak usahlah kau risaukan, semua kekalutan ini akan segera berakhir, kita akan menemukan kedamaian nanti. Tentang masa depan kita, itu tergantung sekeras apa kita berusaha.” Nasehat bijak sang kakak.
            “Tapi, apakah aku masih mungkin jadi dokter jika keadaannya terus begini?,” Tanya Sultan ragu.
            “Tentu saja, kau sangat pandai dan cerdas, bahkan sekarang kakak bisa melihatmu sedang berjalan di koridor rumah sakit megah dengan baju dokter kebanggaanmu,” Kata-kata kakaknya memotivasinya dan membakar semangatnya.
“Aku berharap kak, semoga kedamaian yang kau katakan akan segera datang, kedamaian untuk Afghanistan, semoga,” Sultan berdoa lirih, kakaknya mengamini.


Tidak ada komentar: