SEIKAT MAKNA
By. Nahla
Riezuka
Aku
bukanlah orang yang luar biasa, aku hanyalah seonggok sampah yang keberadaannya
hanya menyusahkan dan membuat jengah mereka yang menatap sosokku, meskipun
hanya sekilas. Betapa tidak, aku adalah pria dengan jenggot yang cukup lebat,
rambut gondrong berkuncir dan awut-awutan, kulit terbakar oleh ganasnya siang. Tapi,
akhir-akhir ini aku mulai menyadari, sebenarnya aku punya kelebihan, tepatnya
sedikit kelebihan yaitu di mataku, aku punya tatapan tajam dengan lensa mata
coklat gelap. Seandainya mereka lebih jeli melihatku....
Tadinya aku punya cita-cita yang menjulang
tinggi, ingin mendapatkan gadis pujaan hati, punya pekerjaan tetap dengan titel
yang mencorong, bahkan yang lebih malu lagi untuk kuingat-ingat kembali adalah aku
pernah bermimpi kuliah, di luar negeri malah. Aku tidak tahu kenapa hidupku
semerana ini, aku sudah berkepala tiga, mendekati empat, memang sudah tua
sekali, kata orang: umur empat puluhan itu masanya seorang lelaki memiliki
kemapanan hidup, tapi aku hanya menganggapnya omong kosong atau sebuah lelucon,
mungkin pencetusnya lupa masih ada kaum seperti diriku yang menyusuri
jalan-jalan tanpa tujuan dengan harapan bisa menemukan seikat makna di ujung
jalan.
Sebenarnya,
aku masih punya tenaga yang kuat untuk bekerja, tetapi tak ada satupun orang
yang menawarkan pekerjaan untukku. Tadinya, waktu aku masih muda dulu, kalau
tidak salah umurku dua puluh limaan, aku masih menetap di kampung halamanku
bersama orang tua dengan standar hidup terlalu sederhana. Saat itu, aku benar-benar
bosan dengan kemiskinan, setiap hari harus menahan lapar, dengan orang tua yang
hanya sepasang nelayan, dulu aku malu sekali dilahirkan sebagai anak nelayan,
maka, setiap bapakku mengajakku untuk ikut ke laut, aku selalu menolak, sungguh
anak laki-laki yang tidak berguna. Lebih tolol lagi, aku meninggalkan gubukku,
menjemput kemiskinan yang lebih miris lagi.
Akhirnya,
aku malu sekali untuk kembali, aku tak tahu keadaan orang tuaku saat ini, kupikir
keduanya mungkin sudah mati, sebenarnya aku masih peduli pada mereka, tapi
untuk masalah ini, rasa maluku masih lebih tinggi, sehingga mencegahku untuk
menemui mereka.
Sampai
sekarang aku belum bisa menemukan, jawaban dari pertanyaan: kenapa aku harus
dilahirkan. Aku, seumpana kapas yang menari-nari diterpa angin semilir dan
angin itulah takdirku, maka aku pasrah kemanapun ia membawaku. Terkadang ia
membawaku di tengah jalan yang jahat, kadang juga di kolong jembatan yang
berbau busuk, dan entah kemana lagi aku akan dibawanya pergi.
Jika
banyak orang-orang berjasa yang selalu dikenang, kisah hidup dan perjuangannya
dibukukan, kata-katanya didengar dan ditirukan, buah pikirannya dijadikan
rujukan. Sungguh, aku juga ingin menjadi seperti mereka, tapi siapa yang sudi
menyibukkan diri untuk menulis kisah hidup seorang pengemis jalanan bermodalkan
gitar rongsokan, yang mondar-mandir menjual suara yang pas-pasan, bahkan kadang
serak-serak yang memekakkan gendang telinga para pendengar.
Yah,
inilah hidupku, pria lajang yang sudah beruban. Hidupku mirip dengan kali di
musim kemarau panjang, kering-sekering-keringnya, apa yang bisa kau manfaatkan
dari sungai yang kering? Jiwaku kosong, ragaku hampa.
Atau
aku lebih mirip dengan sebuah kanvas putih yang telah dicoreti dengan
warna-warna buram lagi pekat, tak menyisakan sedikit pun celah untuk warna
cerah. Aku telah kehilangan sesuatu, yang dicari-cari oleh hampir setiap anak
Adam, sesuatu yang telah lama meninggalkanku, yaitu: kebahagiaan.
Kadang
aku heran, kenapa kehidupan memiliki jurang yang telalu lebar. Sering kulihat
keluarga bahagia dalam sebuah mobil mengkilat, merayakan liburan pada hari
Minggu, mereka tertawa lepas, seakan tak ada beban yang menghimpit. Sedangkan
aku, meringkuk dari luar kaca mobil, memainkan gitar rongsokku tanpa ruh dan
tenaga, menjadi saksi hidup atas perbedaan sosial yang keterlaluan.
Hingga
aku sering melamunkan, jika aku yang duduk di tempat ia menyetir, dengan rambut
dan jenggot yang tercukur rapi, disampingku ada bidadari yang cantik jelita,
digendongannya ada seorang bayi mungil, bayiku. Aku di sana sedang tertawa-tawa
mendengar candaan dua kakak si bayi yang duduk di jok belakang.
Aku
terduduk di pinggir trotoar, gitar kupeluk erat, tak kupedulikan tatapan
orang-orang di sekitarku yang memandangku dengan pandangan yang tak bisa lagi
kutebak maknanya, mungkin miris, kasihan, jijik, atau apalah. Tak terasa, luhku
terjatuh satu-satu, hei.....untuk apa menangis? Aku bertanya pada diriku yang
lain, kau laki-laki, pantang menangis, sungguh memalukan. Tapi, aku yang
cengeng membela diri: Salahkah aku jika aku menyesali kesendirianku?
Keterpurukanku? Salahkah jika aku mengasihani diriku sendiri karena hampir
semua orang tidak peduli pada keadaanku?
“Mas....,”
Sebuah tepukan halus menyentuh punggungku, suaranya terdengar mendesah dan manja.
“Eh...,”
Aku menoleh karena sedikit terkejut. Tak kusangka masih ada yang peduli padaku,
tapi betapa kecewanya aku pada detik berikutnya, ia hanyalah seorang, uff...aku
benci mengatakannya, seorang banci yang sama sekali tidak cantik. Terdetik dalam
hatiku sedikit kesyukuran, separah-parahnya hidupku, aku tak akan menutupi
kesedihanku dengan topeng monyet seperti dirinya, bukan, bukan topeng monyet tapi
badut. Aku tidak sedang bercanda, ia berdempul cukup tebal, dengah lipstik
merah menyala, riasan wajah yang sungguh murahan, coreng moreng dan tidak
profesional, bajunya juga sangat norak.
“Mas
kok nangis sih? Dari pada mas sedih terus, mendingan ikut saya saja jadi banci,
kenalkan, nama saya Retno,” Ajaknya, sumpah!! aku tidak percaya namanya benar-benar
Retno, pasti nama yang tercantum di aktanya, ijazahnya atau KTPnya bukan Retno,
melainkan Tejo, Rajoso atau siapa pun juga, dan dia mengajakku untuk bergabung
di komunitasnya. Tiba-tiba aku merasa mual dan mau muntah, mungkin karena aku
sempat membayangkan diriku memakai rok dan menggerai rambut gimbalku, aku
bergidik ngeri, maka cepat-cepat kutinggalkan dia, tanpa mengindahkan
ajakannya. Jelek-jelek begini aku masih bangga menjadi lelaki.
Retno
atau siapapun dia melenguh kesal, kemudian berjalan menjauhiku dengan jalan bak
peragawati yang jalan di catwalk, setelah aku yakin jarakku sudah cukup
jauh dari dia, aku menoleh sebentar, kulihat si Retno sedang menari-nari di
depan sebuah warung nasi pecel, beberapa bapak-bapak yang sedang menikmati
makan siang tertawa melihat tingkahnya.
Aku
miris, tapi aku yakin luhku yang sempat jatuh tadi sudah kering, sayangnya kini hatiku yang gerimis. Lalu aku
berjalan lagi, kali ini merunduk, aku sedang menekuri arah hidupku yang
kompasnya sudah kacau tak tentu arah. Apakah aku selamanya akan begini, hingga
ajal kutemui?
Brakkk...........
Aku
tahu, pasti aku yang salah, aku berjalan sambil merunduk, tak melihat jalan
sehingga aku menabrak seseorang.
“Maaf...,”
Aku mendongakkan wajah smbil mengucapkan sepatah kata maaf. Aku tersentak
kaget, aku menabrak seorang remaja tanggung, tapi ia tak kunjung berdiri, ku
pikir tabrakan tadi tidak terlalu parah. Remaja itu berbaju lusuh dengan
beberapa sobekan yang menghiasi, kulitnya legam, bahkan lebih legam dariku,
rambutnya sangat kotor, mungkin sudah beberapa minggu belum dicuci, lama-lama, aku
jadi sedikit khawatir, jangan-jangan aku membuatnya terluka. Anehnya, ia tak
juga beranjak dari duduknya, bahkan
setelah kuulurkan tanganku.
“Kau
perlu bantuan?” Tanyaku kemudian. Ia mengangguk, tapi tak memberikan tangannya,
sedangakan telunjuknya menunjuk sesuatu. Aku mengikuti arah telunjuknya. Oh....tidak....,
ia memintaku mengambilkan tongkat kayunya dan kaleng susu yang terbuka di salah
satu sisinya, di samping kaleng susu itu ada 2 buah uang logam seratusan rupiah
dan 1 buah uang dua ratusan rupiah. Ada
dengungan yang tak jelas dari bibirnya yang kering. Aku baru saja menyadari, ia
memintaku untuk mengambilkan barang-barangnya,
anak itu bisu.
Ternyata,
memang akulah yang paling tidak tahu diri, kenapa selama ini selalu menutup
mata dari hal-hal semacam ini? Seandainya
aku sadar dari dulu, aku akan lebih mensyukuri hidupku, mungkin setelah
ini aku akan bekerja dengan benar, salah besar jika aku menyalahkan orang-orang
yang tidak sudi memberiku pekerjaan, yang salah adalah aku sendiri yang
menyia-nyiakan kekuatan yang kumiliki. Tiba-tiba terbersit sedikit harapan yang
membuncah: Aku harus bisa jadi orang kaya, jika aku kaya, aku akan memberikan
sebagian hartaku untuk orang-orang yang tak jelas kemana laju hidupnya,
sehingga tak ada lagi orang-orang yang sepertiku, luntang-lantung tak
tahu diuntung, tidak ada lagi Retno-Retno yang lain, yang membuat orang-orang
di sekitarnya tertawa, sedangkan ia sendiri menjerit tangis tanpa suara, juga
tak perlu ada lagi remaja yang seperti di depanku ini. Sepertinya belum
terlambat untuk memperbaiki nasib, iya kan? Aku bertanya pada angin, angin yang
ingin kutaklukkan, aku berniat berhenti menjadi kapas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar