Selasa, 18 September 2012

SEIKAT MAKNA



SEIKAT MAKNA
By. Nahla Riezuka

            Aku bukanlah orang yang luar biasa, aku hanyalah seonggok sampah yang keberadaannya hanya menyusahkan dan membuat jengah mereka yang menatap sosokku, meskipun hanya sekilas. Betapa tidak, aku adalah pria dengan jenggot yang cukup lebat, rambut gondrong berkuncir dan awut-awutan, kulit terbakar oleh ganasnya siang. Tapi, akhir-akhir ini aku mulai menyadari, sebenarnya aku punya kelebihan, tepatnya sedikit kelebihan yaitu di mataku, aku punya tatapan tajam dengan lensa mata coklat gelap. Seandainya mereka lebih jeli melihatku....
             Tadinya aku punya cita-cita yang menjulang tinggi, ingin mendapatkan gadis pujaan hati, punya pekerjaan tetap dengan titel yang mencorong, bahkan yang lebih malu lagi untuk kuingat-ingat kembali adalah aku pernah bermimpi kuliah, di luar negeri malah. Aku tidak tahu kenapa hidupku semerana ini, aku sudah berkepala tiga, mendekati empat, memang sudah tua sekali, kata orang: umur empat puluhan itu masanya seorang lelaki memiliki kemapanan hidup, tapi aku hanya menganggapnya omong kosong atau sebuah lelucon, mungkin pencetusnya lupa masih ada kaum seperti diriku yang menyusuri jalan-jalan tanpa tujuan dengan harapan bisa menemukan seikat makna di ujung jalan.
            Sebenarnya, aku masih punya tenaga yang kuat untuk bekerja, tetapi tak ada satupun orang yang menawarkan pekerjaan untukku. Tadinya, waktu aku masih muda dulu, kalau tidak salah umurku dua puluh limaan, aku masih menetap di kampung halamanku bersama orang tua dengan standar hidup terlalu sederhana. Saat itu, aku benar-benar bosan dengan kemiskinan, setiap hari harus menahan lapar, dengan orang tua yang hanya sepasang nelayan, dulu aku malu sekali dilahirkan sebagai anak nelayan, maka, setiap bapakku mengajakku untuk ikut ke laut, aku selalu menolak, sungguh anak laki-laki yang tidak berguna. Lebih tolol lagi, aku meninggalkan gubukku, menjemput kemiskinan yang lebih miris lagi.
            Akhirnya, aku malu sekali untuk kembali, aku tak tahu keadaan orang tuaku saat ini, kupikir keduanya mungkin sudah mati, sebenarnya aku masih peduli pada mereka, tapi untuk masalah ini, rasa maluku masih lebih tinggi, sehingga mencegahku untuk menemui mereka.  
            Sampai sekarang aku belum bisa menemukan, jawaban dari pertanyaan: kenapa aku harus dilahirkan. Aku, seumpana kapas yang menari-nari diterpa angin semilir dan angin itulah takdirku, maka aku pasrah kemanapun ia membawaku. Terkadang ia membawaku di tengah jalan yang jahat, kadang juga di kolong jembatan yang berbau busuk, dan entah kemana lagi aku akan dibawanya pergi.
            Jika banyak orang-orang berjasa yang selalu dikenang, kisah hidup dan perjuangannya dibukukan, kata-katanya didengar dan ditirukan, buah pikirannya dijadikan rujukan. Sungguh, aku juga ingin menjadi seperti mereka, tapi siapa yang sudi menyibukkan diri untuk menulis kisah hidup seorang pengemis jalanan bermodalkan gitar rongsokan, yang mondar-mandir menjual suara yang pas-pasan, bahkan kadang serak-serak yang memekakkan gendang telinga para pendengar.
            Yah, inilah hidupku, pria lajang yang sudah beruban. Hidupku mirip dengan kali di musim kemarau panjang, kering-sekering-keringnya, apa yang bisa kau manfaatkan dari sungai yang kering? Jiwaku kosong, ragaku hampa.
            Atau aku lebih mirip dengan sebuah kanvas putih yang telah dicoreti dengan warna-warna buram lagi pekat, tak menyisakan sedikit pun celah untuk warna cerah. Aku telah kehilangan sesuatu, yang dicari-cari oleh hampir setiap anak Adam, sesuatu yang telah lama meninggalkanku, yaitu: kebahagiaan.
            Kadang aku heran, kenapa kehidupan memiliki jurang yang telalu lebar. Sering kulihat keluarga bahagia dalam sebuah mobil mengkilat, merayakan liburan pada hari Minggu, mereka tertawa lepas, seakan tak ada beban yang menghimpit. Sedangkan aku, meringkuk dari luar kaca mobil, memainkan gitar rongsokku tanpa ruh dan tenaga, menjadi saksi hidup atas perbedaan sosial yang keterlaluan.
            Hingga aku sering melamunkan, jika aku yang duduk di tempat ia menyetir, dengan rambut dan jenggot yang tercukur rapi, disampingku ada bidadari yang cantik jelita, digendongannya ada seorang bayi mungil, bayiku. Aku di sana sedang tertawa-tawa mendengar candaan dua kakak si bayi yang duduk di jok belakang.
            Aku terduduk di pinggir trotoar, gitar kupeluk erat, tak kupedulikan tatapan orang-orang di sekitarku yang memandangku dengan pandangan yang tak bisa lagi kutebak maknanya, mungkin miris, kasihan, jijik, atau apalah. Tak terasa, luhku terjatuh satu-satu, hei.....untuk apa menangis? Aku bertanya pada diriku yang lain, kau laki-laki, pantang menangis, sungguh memalukan. Tapi, aku yang cengeng membela diri: Salahkah aku jika aku menyesali kesendirianku? Keterpurukanku? Salahkah jika aku mengasihani diriku sendiri karena hampir semua orang tidak peduli pada keadaanku?
            “Mas....,” Sebuah tepukan halus menyentuh punggungku, suaranya terdengar mendesah dan manja.  
            “Eh...,” Aku menoleh karena sedikit terkejut. Tak kusangka masih ada yang peduli padaku, tapi betapa kecewanya aku pada detik berikutnya, ia hanyalah seorang, uff...aku benci mengatakannya, seorang banci yang sama sekali tidak cantik. Terdetik dalam hatiku sedikit kesyukuran, separah-parahnya hidupku, aku tak akan menutupi kesedihanku dengan topeng monyet seperti dirinya, bukan, bukan topeng monyet tapi badut. Aku tidak sedang bercanda, ia berdempul cukup tebal, dengah lipstik merah menyala, riasan wajah yang sungguh murahan, coreng moreng dan tidak profesional, bajunya juga sangat norak.
            “Mas kok nangis sih? Dari pada mas sedih terus, mendingan ikut saya saja jadi banci, kenalkan, nama saya Retno,” Ajaknya, sumpah!! aku tidak percaya namanya benar-benar Retno, pasti nama yang tercantum di aktanya, ijazahnya atau KTPnya bukan Retno, melainkan Tejo, Rajoso atau siapa pun juga, dan dia mengajakku untuk bergabung di komunitasnya. Tiba-tiba aku merasa mual dan mau muntah, mungkin karena aku sempat membayangkan diriku memakai rok dan menggerai rambut gimbalku, aku bergidik ngeri, maka cepat-cepat kutinggalkan dia, tanpa mengindahkan ajakannya. Jelek-jelek begini aku masih bangga menjadi lelaki.
            Retno atau siapapun dia melenguh kesal, kemudian berjalan menjauhiku dengan jalan bak peragawati yang jalan di catwalk, setelah aku yakin jarakku sudah cukup jauh dari dia, aku menoleh sebentar, kulihat si Retno sedang menari-nari di depan sebuah warung nasi pecel, beberapa bapak-bapak yang sedang menikmati makan siang tertawa melihat tingkahnya.
            Aku miris, tapi aku yakin luhku yang sempat jatuh tadi sudah kering,  sayangnya kini hatiku yang gerimis. Lalu aku berjalan lagi, kali ini merunduk, aku sedang menekuri arah hidupku yang kompasnya sudah kacau tak tentu arah. Apakah aku selamanya akan begini, hingga ajal kutemui?
            Brakkk...........
            Aku tahu, pasti aku yang salah, aku berjalan sambil merunduk, tak melihat jalan sehingga aku menabrak seseorang.
            “Maaf...,” Aku mendongakkan wajah smbil mengucapkan sepatah kata maaf. Aku tersentak kaget, aku menabrak seorang remaja tanggung, tapi ia tak kunjung berdiri, ku pikir tabrakan tadi tidak terlalu parah. Remaja itu berbaju lusuh dengan beberapa sobekan yang menghiasi, kulitnya legam, bahkan lebih legam dariku, rambutnya sangat kotor, mungkin sudah beberapa minggu belum dicuci, lama-lama, aku jadi sedikit khawatir, jangan-jangan aku membuatnya terluka. Anehnya, ia tak juga beranjak dari duduknya,  bahkan setelah kuulurkan tanganku.
            “Kau perlu bantuan?” Tanyaku kemudian. Ia mengangguk, tapi tak memberikan tangannya, sedangakan telunjuknya menunjuk sesuatu. Aku mengikuti arah telunjuknya. Oh....tidak...., ia memintaku mengambilkan tongkat kayunya dan kaleng susu yang terbuka di salah satu sisinya, di samping kaleng susu itu ada 2 buah uang logam seratusan rupiah dan 1 buah uang  dua ratusan rupiah. Ada dengungan yang tak jelas dari bibirnya yang kering. Aku baru saja menyadari, ia memintaku untuk mengambilkan barang-barangnya,  anak itu bisu.
            Ternyata, memang akulah yang paling tidak tahu diri, kenapa selama ini selalu menutup mata dari hal-hal semacam ini? Seandainya  aku sadar dari dulu, aku akan lebih mensyukuri hidupku, mungkin setelah ini aku akan bekerja dengan benar, salah besar jika aku menyalahkan orang-orang yang tidak sudi memberiku pekerjaan, yang salah adalah aku sendiri yang menyia-nyiakan kekuatan yang kumiliki. Tiba-tiba terbersit sedikit harapan yang membuncah: Aku harus bisa jadi orang kaya, jika aku kaya, aku akan memberikan sebagian hartaku untuk orang-orang yang tak jelas kemana laju hidupnya, sehingga tak ada lagi orang-orang yang sepertiku, luntang-lantung tak tahu diuntung, tidak ada lagi Retno-Retno yang lain, yang membuat orang-orang di sekitarnya tertawa, sedangkan ia sendiri menjerit tangis tanpa suara, juga tak perlu ada lagi remaja yang seperti di depanku ini. Sepertinya belum terlambat untuk memperbaiki nasib, iya kan? Aku bertanya pada angin, angin yang ingin kutaklukkan, aku berniat berhenti menjadi kapas.

Tidak ada komentar: