Selasa, 18 September 2012

SEMANIS DOA

q











SEMANIS DOA
S

Oleh: Nahla Riezuka

iang begitu terik membakar kulit, nampaknya lapisan ozon sudah kian menipis, tak mampu lagi menampung polusi udara yang membuat langit semakin pekat berhiaskan mendung seumpama gadis yang dirundung duka. Terlebih lagi saat terlihat sesosok Rajiman yang meringkuk di atas becaknya yang sepi penumpang. Rajiman, lelaki paruh baya umur empat puluh tahunan itu sedang asyik menghisap rokoknya. Setiap kali Rajiman menghisap sebatang rokoknya kemudian menghembuskannya, ia membuat gumpalan-gumpalan unik, kepulannya mengangkasa, namun hilang beberapa saat kemudian. Sebenarnya Rajiman adalah pegawai pabrik sepatu, tapi sayang ia terkena imbas PHK, akhirnya dengan setengah hati ia merubah haluannya, tabungan istrinya yang sedikit terpaksa digelontorkannya untuk menebus becak agar ia tidak dibilang pengangguran. Terlebih lagi ada dua anak dan satu istri yang harus dihidupinya, walupun sebenarnya istrinya sudah banyak membantunya dengan menjual singkong ke pasar, tapi sayangnya singkong tidak tumbuh setiap hari, jadi istrinya hanya membantu keuangan keluarga sesekali saja. Kalau tidak menjual singkong, istrinya mencuci atau menyeterika baju tetangga, istrinya memang ulet dan suka kerja serabutan, selain itu istrinya juga rajin beribadah. Memiliki istri sholehah dan tidak banyak mengeluh adalah anugerah yang terindah bagi seorang miskin papa serupa Rajiman.
            Jiman memang sudah berusaha untuk mencari sumber rezeki yang halal, motto hidupnya, sesulit apapun hidup ini, jangan sampai nyolong, tekatnya yang kuat ini memang sangat mengagumkan, tapi usaha yang dia lakukan tidak bisa dibilang keras, ia hanya menunggu penumpang menghampirinya, tanpa menawarkan-nawarkan becaknya pada calon penumpang, maka ia sering kehilangan calon penumpang lantaran sering diserobot tukang becak lain yang lebih bersemangat, jika sudah begitu Jiman hanya diam terpaku, memandang calon penumpangnya pergi dibawa saingannya tanpa raut marah dan terlihat sangat pasrah. Kemudian ia meneruskan kesibukannya, menghisap batang rokok untuk kesekian kalinya. Jika ada penumpang yang memilih Jiman, itupun karena tak ada becak lain yang bisa ditumpangi.
            Seharian sudah Jiman menunggu penumpang di perempatan jalan, namun ia hanya berhasil mendapatkan selembar uang sepuluh ribuan dan dua lembar seribuan. Perutnya sudah berdendang ria, ia mengayuh becaknya tanpa ekspresi, harapannya hanya satu, istrinya Lani sudah menyiapkan makan malam sekedarnya di atas meja pasalnya Jiman tadi pagi belum sarapan, karena tak ada yang bisa dimakannya, kata Lani, istrinya tak ada bahan makanan yang bisa dimasak pagi itu. Walhasil, tak ada apapun yang masuk ke mulutnya kecuali air putih dan beberapa batang rokok.
            Sesampainya di rumah, Jiman mengucapkan salam di depan pintu rumah yang hanya berdinding papan tebal. Istrinya menjawab salamnya dari dalam lalu membukakan pintu untuk suaminya, menyambutnya dengan senyuman termanis, Lani masih memakai mukenanya, rupanya ia sedang mengajarkan iqra’ pada kedua anaknya. Sayangnya, suaminya tak membalas senyumannya, Jiman memang terlalu dingin, Lani membesarkan hatinya dengan berusaha untuk berprasangka baik, mungkin suamuinya terlalu lelah.
            “Ada nasi tidak? Aku lapar, uhuk..uhuk...,” Keluh Jiman sambil batuk-batuk, ia mendudukan dirinya di atas kursi.
            “Adanya singkong mas, tadi pagi jualan di pasar dan Alhamdulillah ada yang beli, tapi ini masih ada sisa, jadi kumasak saja, sebenarnya hasil jualannya lumayan banyak, dua puluh lima ribu, tapi aku tak tega membeli beras dengan uang itu, niatnya uang itu buat beli buku si Dimas sama Tinuk, kasihan juga mas, satu buku tulis untuk beberapa pelajaran, mereka jadi bingung mempelajarinya. Tulisannya kacau dan tidak rapi karena pelajarannya tercampur antara yang satu dengan yang lain, ehhmmm…Mas hari ini dapat berapa?,” Tanya istrinya dengan nada ragu, takut suaminya tersinggung.
            “Lebih sedikit dari penghasilanmu, Cuma dua belas ribu, nih! Kamu ini memang terlalu baik buatku, lebih pintar dan lebih segalanya, seharusnya kamu mendapatkan suami yang seperti dirimu, bukan orang yang tidak becus seperti aku ini Lan…,” Kata suaminya sambil melemparkan uang lusuh dari sakunya ke arah istrinya. Sekali lagi sang istri harus bersabar, menghadapi suami yang sensitif memang harus ekstra hati-hati, jika tidak ingin terjadi apa-apa.
            “Mas ini ngomong apa sih? Ko jadi ngelantur kemana-mana…ya sudah mas, sekarang mandi dulu, terus sholat Maghrib, sebentar lagi Isya’ mas,” Ajak Lani, tapi Jiman tidak menggubris kata-katanya, ia malah melesat ke arah meja makan untuk menikmati singkong bikinan istrinya. Lani menggelengkan kepalanya melas, ia tak berani menanyakan pada suaminya tentang sholatnya hari ini, karena kemungkinan besar Subuh sampai Asyarnya hari ini pasti terlewatkan. Lani membayangkan masa awal perkenalan mereka, di mana Rajiman muda yang ia kenal adalah sosok pria yang amat rajin beribadah, ia tampak sangat alim dan mengajar anak-anak di kampug mengaji, mereka saling kenal karena sama-sama aktif di TPA dan akhirnya mereka menikah, padahal umur Lani waktu itu baru delapan belas –menikah setelah lulus SMA karena tak ada biaya-sedangkan Jiman sudah dua puluh sembilan, Sayangnya, Jiman hanya pandai beribadah, ia kurang kreatif dalam mencari celah kesempatan, ia juga sangat minder dan merasa masa depannya buram, ia pun hanya bisa jadi babu di pabrik sepatu, karena tak mampu menciptakan peluang pekerjaan sendiri. Kesibukan Jiman di pabrik sepatu membuatnya jauh dari agama, karena pabrik itu sangat ketat dalam membuat peraturan, sampai-sampai waktu sholat sangat sempit, hal ini membuat Jiman kelelahan dan malas, puncak kemalasannya adalah ketika ia mulai mengenal rokok dari teman-temannya di pabrik, Jiman mulai tidak bisa mengatur mana kebutuhan primer dan mana yang sekunder, uang hasil kerja yang cuma sedikit dialokasikan untuk membeli rokok dan sisanya untuk kebutuhan keluarga, suaminya mulai kecanduan rokok. Jiman sudah menjadikan rokok sebagai pelipur laranya, mainannya, hiburannya, bahkan posisi Lani pun telah dikalahkan rokok. Kehidupan keluarga kecil Jiman-Lani mencapai puncak kekacauan saat Jiman dinyatakan PHK di pabrik tempat ia bekerja, Jiman kalang kabut, seakan hidupnya tercerabut, hampir-hampir Jiman stres, waktunya dihabiskan untuk melamun sambil merokok, Lani sudah berusaha mengajak suaminya istighfar, tapi pria itu semakin bertambah aneh saja. Untungnya, Lani memiliki ide cermelang dengan membeli becak dengan uang yang ditabungnya, sebenarnya uang itu untuk pendidikan anak-anaknya. Tapi demi melihat suaminya hidup kembali, ia tak peduli pada bagaimana pendidikan anaknya nanti, biarlah waktu yang menjawabnya.

* * *
Setelah menikmati singkong buatan istrinya, Jiman beranjak ke kamar mandi, Lani sudah melipat mukenanya dan menemani kedua buah hatinya belajar.
            “Bu, buku tulisku tinggal selembar lagi,” Lapor Tinuk.
            “Oh, tenang sayang, besok ibu belikan yang baru,” Jawaban Lani cukup menenangkan bungsunya.
            “Memangnya ibu sudah punya uang?,” Tanya Tinuk menyelidik, rupanya ia sudah mulai paham keuangan keluarganya yang selalu paceklik.
            “Ada kok,” Kata Lani lagi dan Tinuk pun tersenyum riang.
            Lani mendengar suara suaminya yang terbatuk-batuk di kamar mandi, sepertinya batuknya itu kian hari kian parah saja, Lani sangat yakin itu pasti karena pengaruh rokok yang tampaknya sudah mulai menggerogoti paru-parunya. Sejenak kemudian, Jiman sudah keluar dari kamar mandi dengan batuknya yang menggigil dan membuat siapapun yang mendengarnya ngeri. Lani cekatan menyambut suaminya, dengan gerakan gesit dia menepuk-nepuk punggung suaminya, kemudian memijit-mijit berharap batuknya akan mereda.
            “Mas…mas…, batuknya sudah seperti ini masih merokok terus, paru-paru mas pasti kotor sekali,” Ujar Lani pilu dan ekstra khawatir.
            “Ya gimana lagi Lan, kamu ini belum merasakan enaknya rokok sih,” Jiman membela diri.
            “Oh, jadi mas mmenyuruh Lani merokok juga, biar kita bisa batuk sama-sama?,”Kata Lani ketus dengan nada bercanda menanggapi suamiya yang keras kepala.
            “Ya, bukan begitu maksudku uhuk…uhuk…,” Jiman masih disibukkan dengan batuknya yang kian parah.
            “Periksa ke dokter saja ya mas, Lani takut mas kenapa-napa,” Kata Lani khawatir, Jiman hanya menanggapinya dengan senyum tipis, senyum yang lebih terlihat miris. Lani mengerti maksud senyumnya, seolah senyumnya sedang berbicara-mau bayar dokter pakai daun?-
            “Dimas…uhuk…,” Jiman memanggil putranya.
            “Ya pak,” Sahut Dimas sambil menoleh kearah bapaknya yang kurus kering.
            “Tolong belikan bapak rokok sebungkus saja, Lan..uang yang tadi mana, ku pinjam dulu,” Kata Jiman yang semakin membuat Lani naik pitam. Alih Lani langsung terangkat.
            “Mas ini jangan bercanda! maaf mas, kali ini Lani tidak bisa menuruti kemauan mas lagi, sudah jelas mas ini sakit gara-gara rokok masih ingin membeli rokok juga, terkutuklah orang yang menjual rokok itu, mas sudah kecanduan rokok, kapan mas mau sadar?,” suara Lani pilu seolah ia sudah mencapai puncak kesabarannya.
            “Tapi Lan, aku tak bisa hidup tanpa rokok, sebenarnya aku juga sangat sadar kalau aku ini salah, tapi mau bagaimana lagi?,” Sesal Jiman, suaraya pasrah “Ya sudah, untuk kali ini aku menurut padamu,” Lanjutnya. Raut wajah Lani berubah drastic, senyumnya kembali mengembang setelah tadi sempat menghilang.
            “Sungguh mas,” Lani meyakinkan dirinya. Jiman menjawab dengan anggukan mantap. Sebenarnya Jiman sangat ingin membahagiakan istrinya yang tampanya menderita hidup dengannya tapi tetap berusaha tegar.
            “Ya sudah, sekarang mas istirahat dulu, mas sudah bekerja seharian, oh ya sebelum tidur, sholat Isya’ dulu lah mas,” Kata Lani lembut. Namun suaminya tak mengindahkan ajakannya untuk sholat isya’, ia hanya ingin tidur untuk mengistirahatkan tubuhnya. Lani pun membatin, ia sangat rindu menjadi makmun suaminya, mendengar suaranya mengucapkan kalam Ilahi, Jiman itu dulu qori’, suaranya bagus sekali, tapi entahlah sejak ia merokok dan jarang –atau tak pernah lagi- menyentuh kitab suci, mungkin saja suaranya kini tak seindah dulu. Memang banyak sekali yang bisa berubah seiring berjalannya waktu. Mereka yang istiqomah pasti bisa bertahan melawan hidup yang begitu sulit. Lani sadar betul kalau fakir itu mendekati kafir, maka ia tak pernah putus doa untuk kesadaran suaminya dan untuk kebahagiaan keluarganya.
            “Bu, taqwa itu apa sih? ini PRnya susah,” Keluhan Dimas membuyarkan lamunan Lani.
            “Oh, apa Mas?,”Tanya Lani linglung pada putranya.
            “Ini bu, taqwa…Dimas nggak ngerti,” Ulang anaknya.
            “Oh, taqwa itu, jika seorang hamba berusaha menjalankan perintah Allah SWT dan menjauhi larangannya, maka orang itu disebut sebagai orang yang bertaqwa,” Jawab Lani mantap. Lani sangat bersyukur, Allah memberikan anak-anak yang rajin dan penurut, Dimas dan Tinuk bukanlah anak yang nakal, kalaupun mereka bertengkar dengan teman mereka, itu pasti karena temannya dulu yang memulai. Lani memang bertekad, walaupun keluarganya harus hidup miskin, jangan sampai miskin ilmu dan miskin budi, Lani tidak berniat untuk mewariskan harta melimpah pada anaknya, ia hanya ingin kedua anaknya tumbuh dengan ilmu dan budi pekerti yang baik, karena keduanya lebih kekal untuk bekal di dunia dan akhirat. Maka Lani berusaha menemani anaknya belajar, mengajarkan beberapa ilmu pada mereka, setidaknya ia dulu selalu menjadi peringkat pertama di sekolah, Lani memang terkenal sebagai anak cerdas dan pintar, sayangnya orang tuanya menyuruhnya menikah setelah lulus SMA dan tidak mengizinkannya untuk melanjutkan studinya, terlebih lagi pada saat yang sama Rajiman yang menurutnya pemuda sholeh telah datang meminangnya. Maka tak ada alasan untuk tidak menikah muda. Namun, ketika melihat perubahan drastis suaminya, ada sedikit penyesalan dan kekecewaan yang kerap menghampirinya, tapi Lani selalu berusaha menepisnya, Lani selalu yakin suaminya akan kembali, hanya menunggu waktu yang tepat. Pernah suatu hari Lani nekat ingin bekerja sambil kuliah agar ia bisa lebih leluasa mencari pekerjaan yang sesuai dengan kemampuannya, tapi mengingat suaminya hanya pekerja di pabrik, maka niat kuat itu dikuburnya. Lagipula, suaminya juga hanya lulusan pesantren salafi. Kata orang, suami itu tidak suka lebih rendah dari istrinya.

* * *
            Senin pagi itu begitu padat, perempatan jalan penuh dengan orang-orang yang berlalu-lalang., termasuk Jiman dan becaknya. Tidak seperti biasanya, Jiman pagi ini terlihat begitu bersemangat apalagi pagi ini sarapan di rumahnya lebih istimewa dari biasanya, Lani mengatakan, keuangan keluarga mulai membaik karena banyak orang yang mencucikan baju padanya. Maka, ia sengaja memasak dengan masakan yang istimewa, ikan dan sambal.
            Jiman pun mengayuh becaknya dengan bersemangat, ia sempat tersenyum mengingat kata-katanya sendiri pada istrinya pagi tadi.
             “Lan, kamu ini benar-benar sosok wanita yang sangat sempurna, kamu selalu berusaha membuat gubuk reot kita ini penuh dengan cinta, aku minta maaf belum bisa jadi suami yang baik untukmu, mulai hari ini aku akan berusaha untuk menjadi suami yang baik, sekarang kamu maunya aku jadi suami yang bagaimana?,” Tanya Jiman pada istrinya.
            “Mas ini apa-apaan, pagi-pagi sudah menggombal, malu sama anak-anak,”Kata Lani tersipu.
            “Aku serius Lan, kamu maunya bagaimana?,” Wajah Jiman begitu seriua, mau tidak mau Lani ikut serius. Lani merasa, saat yang dinantikannya telah datang, Allah mendengar doa yang dipanjatkannya setiap malam-malam tahajjud yang pekat, dalam hati ia menjerit syukur.
            “Lan…,” Jiman menyadarkan istrinya yang mulai melamun.
            “Iya, aku kaget aja mas tiba-tiba nanya begitu, baiklah, aku mau mas jadi mas Jiman yang Lani kenal dulu, mas Jiman yang rajin ibadah, mas Jiman yang qari’, mas Jiman yang selalu mengingatkan Lani setiap Lani salah, terus jangan merokok,”Uraian Lani panjang lebar mengenai sosok Jiman yang diinginkannya. Jiman terdiam sejenak, kemudian mengangguk. Lani sempat takut suaminya tersinggung, tapi akhirnya ketakutannya tidak terbukti, karena setelah itu Jiman menyunggingkan senyumannya, senyum termanis yang sudah lama tidak dilihat Lani.   
            “Ya sudahlah, aku narik becak dulu ya, jaga anak-anak,” Wasiat Jiman pada istrinya.
            “Tumben mas bilang begitu,” Kata Lani diiringi senyum melepas kepergian suaminya.
            Jiman pun berjuang keras hari itu, ia merasa seperti baterai yang baru saja dicash, kayuhannya begitu bersemangat, ia aktif menawar-nawarkan becaknya, sesekali batuknya memang masih ada, tapi menurutnya itu bukanlah masalah besar, ia juga sudah berniat untuk mengurangi rokoknya sedikit demi sedikit, jika biasanya sehari satu bungkus, kini ia akan mencoba sehari setengah bungkus, kemudian seperempat dan akhirnya seperdelapan lalu tidak merokok sama sekali, memang hal itu kedengarannya mudah tapi Jiman juga sangat sadar bahwa mengobati kecanduannya pada rokok bukanlah perkara mudah.
           
* * *

            Adzan Dzuhur berkumandang, hati Jiman bergetar mendengar suara muadzin yang mendayu-dayu, betapa ia sudah terlalu lama tiak menggubris suara itu, padahal dulu dia sangat sering menjadi muadzin di pondoknya dulu, betapa ia telah lama menul;ikan telinganya dari ajakan untuk mendekat pada Allah SWT. Maka, Jiman langsung bergegas menghampiri masjid terdekat. Lalu turun dari becaknya, melangkah menuju rumah Allah yang agung, ia berjalan mendekati tempat wudlu, membasuh setiap anggota tubuhnya denga air wudlu, berharap dosa-dosanya akan luntur dengan air jernih itu, dosa yang sudah terlampau banyak. Bukankah melupakan Sang Kekasih adalah dosa yang teramat besar? Selepas berwudlu, Jiman melangkah ke dalam masjid, ia duduk di shaf ke dua, masjid itu terlalu lenggang dan tampak sangat besar untuk barisan shalat yang hanya dua shaff, namun Jiman tak berani mengkritik orang-orang yang enggan menginjakan kakinya di masjid itu, karena sebelum ini ia juga adallah bagian dari mereka, disibukkan oleh dunia dan melupakan akhiratnya.
            Jiman merasa sholatnya kini sungguh berarti, ia merasa dilahirkan kembali untuk menjadi sosok Jiman yang baru. Jiman berdoa lama, bahkan semua jamaah yang hadir sudah meninggalkan masjid untuk kembali melanjutkan pekerjaan masing-masing. Dari mulut Jiman terlantun doa yang menyayat hati:
            “Ya Allah….hamba sangat kerdil, mohon ampun atas kesombongan dan kecongkakan hamba yag telah menjauh dari-Mu, melupakan karunia-Mu yang amat banyak. Ya Allah…maafkan hamba jika hamba termasuk orang yang mendholimi keluarga, istri dan anak hamba. Hamba sadar hamba belum mampu membahagiakan mereka, maka kuatkanlah hamba untuk menghadapi hidup yang sangat sulit ini, jangalah hamba dibuat lalai lagi. Ya Allah….aku percaya, maafmu lebih luas dari dosa-dosa hamba, ya Allah istri hamba begitu sholehah, seharusnya ia menikah lagi dengan lelaki lain yang lebih baik dari hamba, jika Engkau memcabut nyawaku lebih dahulu sebelum dia, berilah dia penggantiku yang benar-benar lebih baik dariku, yang bisa mengayomi dirinya dan bisa membahagiakan hatinya, tidak sepertiku yang hanya bisa membuat sengsara.”
            Sesaat kemudian, ia mengusap wajahnya sambil mengucap kata amin dengan lirih, sudut matanya berembun. Ia merasa lega sekali, seakan beban yang selama ini menggelayuti hatinya hilang seketika. Ia nampak lebih tegar menghadapi hidup, kemudian berdiri lebih tegak, melangkah dengan langkah mantap keluar dari masjid.
            Jiman menghampiri becaknya kemudian mengendarainya untuk mencari penumpang lagi, ia menyadari kemalasannya dulu karena sudah lama tidak tersentuh air wudlu yang sangat segar, lebih segar dari air mineral dari lemari es.

* * *
  Sore hari masih di hari senin yang sama, Jiman berusaha untuk pulang sebelum Maghrib, ia sudah berniat untuk mengimami keluarganya, uang yang didapatkannya hari itu juga lumayan, ia tidak sabar untuk bertemu keluarganya. Apalagi ia juga sudah menenteng sebungkus sate, ia tidak sabar untuk ingin bertemu Lani, Dimas dan Tinuk. Jiman menghayalkan berbagai macam hal dan merencanakan banyak kejutan untuk keluarganya, Jiman kurang konsentrasi saat mengendarai becaknya, padahal sore itu jalanan begitu ramai, sampai-sampai ia tidak menyadari ada sebuah truk besar yang merepet ke arahnya dan peristiwa naas itu pun terjadi, Jiman terserempet truk besar, becaknya terpelanting, sebungkus sate di tangannya jatuh bertebaran, jalanan yang macet semakin macet saja. Padahal jarak antara rumah Jiman dan tempat di mana tabrakan itu terjadi tidak begitu jauh, maka setelah orang-orang tahu bahwa yang tertabrak adalah Rajiman, suami Lani, orang-orang langsung mengabari Lani.
Ketika ada beberapa tetangga yang mengabari Lani tentang kecelakaan yang menimpa suaminya, ia begitu kalut, begitu juga Dimas dan Tinuk, secepat kilat Lani menyambar jilbabnya begitu juga Tinuk, ia juga mengikuti gerakan ibunya dengan mengambil jilbab mungil, Lani tak menggubris bagaimana bentuk jilbabnya, ia tidak peduli asal menutup rambut panjangnya saja.
            Lani diikuti kedua buah hatinya berlari sekuat tenaga, jilbab Lani berkelebat tertiup angin sore, maka jilbab yang tadinya sudah koyak tak berbentuk semakin mencong sana-sini. Mereka bergitu terkejut dengan kabar buruk yang tiba-tiba mereka dengar mengenai kepala keluarga mereka. Bahkan Lani merasa semua yang terjadi sama sekali tidak mungkin, tapi apa yang tidak mungkin jika Yang di Atas sudah berkehendak?
            Sesampainya di lokasi kejadian, ketiganya langsung  mendekat ke arah Jiman yang sudah terkepar berlumuran darah. Mereka melewati celah-celah kumpulan manusia manusia yang menyemut. Mata Lani membulat melihat suaminya, serta merta ia menghampiri jasad yang sudah terbujur kaku itu.
            “Mas….!!!,”Teriak Lani histeris, diikuti Dimas dan Tinuk yang meraung-raung memanggil bapak mereka yang sudah tiada. Orang-orang terenyuh dan terharu melihat mereka. Seketika itu juga Lani langsung menyadari bahwa kata-kata Rajiman tadi pagi adalah ungkapan perpisahan.
            “Baiklah mas Jiman, aku akan menjaga anak-anak sampai kapanpun, semampuku,” Tekad Lani di sela-sela derai air matanya, Lani benar-benar belum bisa percaya, ia berharap ini hanyalah mimpi buruk dan ia ingin esok pagi iamasih bisa membuatkan kopi untuk suaminya, semuanya terjadi begitu cepat, maha benar Allah, nyawa kita ada di tangan-Nya, maka Ia bisa menyabutnya kapan pun juga.

10 tahun kemudian
            Dimas dan tinuk sedang menikmati liburan kuliah mereka, keduanya menikmati musk di depan sebuah lap top. Ibu mereka, Lani menyempatkan diri membuatkan camilan ringan untuk mereka di sela-sela kesibukannya membuat catering kue-kue, ia memang handal memasak. Setelah kematian suaminya sepuluh tahun yang lalu, ia memutar otak untuk menghidupi anaknya, hasil orderan cucian dan setrikaan serta jualan singkong akan habis untuk kebutuhan sehari-hari, sedangkan ia mempunyai mimpi untuk menyekolahkan anaknya setinggi-tingginya agar bisa merubah nasib mereka, ia tidak mau kemiskinan yang melanda keluarganya harus dialami keturunannya nanti, ia merasa bahwa ia harus mandiri, membuat perubahan. Maka dipilihnya usaha catering dengan modal nekat, ia sangat sadar bahwa kue yang ia buat sangat enak dan banyak tetangga yang menyukai hasil masakannya. Tidak sampai setahun, usaha Lani membuahkan hasil, kelezatan makanannya sudah dikenal seantero kota tempat dia tinggal.
            Lani juga sudah menikah lagi dengan seorang pria duda yang tidak terlalu kaya, hanya seorang pedagang yang membuka kios di pasar, tapi Lani sangat bersyukur karena akhlak suaminya yang bernama Hari itu menyerupai Rajiman ketika ia masih muda. Lani menemukan sosok Rajiman yang ia inginkan pada diri Hari, karena hari tidak mengenal yang namanya rokok. Selain itu, kedua anaknya, Tinuk dan Dimas juga sangan mencintai bapak barunya itu. Lani tidak tahu-menahu sama sekali bahwa keadaannya kini bisa jadi karena doa tulus suaminya yang berbuah manis untuknya beberapa jam sebelum Allah menjemput ajalnya. Bagaimanapun juga seseorang memang akan mendapatan apa pun yang ia usahakan, Lani telah membuktikannya, selama Iman dan Islam masih ada pada dirinya, ia begitu yakin bahwa Allah pasti selalu bersamanya di setiap keadaan, sayangnya manusia sering lalai dan merasa sendiri sehingga ia berputus asa.

Tidak ada komentar: