SEMANIS
DOA
S
|
Oleh: Nahla Riezuka
iang begitu terik membakar kulit, nampaknya lapisan ozon sudah kian
menipis, tak mampu lagi menampung polusi udara yang membuat langit semakin
pekat berhiaskan mendung seumpama gadis yang dirundung duka. Terlebih lagi saat
terlihat sesosok Rajiman yang meringkuk di atas becaknya yang sepi penumpang.
Rajiman, lelaki paruh baya umur empat puluh tahunan itu sedang asyik menghisap
rokoknya. Setiap kali Rajiman menghisap sebatang rokoknya kemudian
menghembuskannya, ia membuat gumpalan-gumpalan unik, kepulannya mengangkasa,
namun hilang beberapa saat kemudian. Sebenarnya Rajiman adalah pegawai pabrik
sepatu, tapi sayang ia terkena imbas PHK, akhirnya dengan setengah hati ia
merubah haluannya, tabungan istrinya yang sedikit terpaksa digelontorkannya
untuk menebus becak agar ia tidak dibilang pengangguran. Terlebih lagi ada dua
anak dan satu istri yang harus dihidupinya, walupun sebenarnya istrinya sudah
banyak membantunya dengan menjual singkong ke pasar, tapi sayangnya singkong tidak
tumbuh setiap hari, jadi istrinya hanya membantu keuangan keluarga sesekali
saja. Kalau tidak menjual singkong, istrinya mencuci atau menyeterika baju
tetangga, istrinya memang ulet dan suka kerja serabutan, selain itu istrinya
juga rajin beribadah. Memiliki istri sholehah dan tidak banyak mengeluh adalah
anugerah yang terindah bagi seorang miskin papa serupa Rajiman.
Jiman memang sudah
berusaha untuk mencari sumber rezeki yang halal, motto hidupnya, sesulit apapun
hidup ini, jangan sampai nyolong, tekatnya
yang kuat ini memang sangat mengagumkan, tapi usaha yang dia lakukan tidak bisa
dibilang keras, ia hanya menunggu penumpang menghampirinya, tanpa
menawarkan-nawarkan becaknya pada calon penumpang, maka ia sering kehilangan
calon penumpang lantaran sering diserobot tukang becak lain yang lebih
bersemangat, jika sudah begitu Jiman hanya diam terpaku, memandang calon
penumpangnya pergi dibawa saingannya tanpa raut marah dan terlihat sangat
pasrah. Kemudian ia meneruskan kesibukannya, menghisap batang rokok untuk
kesekian kalinya. Jika ada penumpang yang memilih Jiman, itupun karena tak ada
becak lain yang bisa ditumpangi.
Seharian sudah
Jiman menunggu penumpang di perempatan jalan, namun ia hanya berhasil
mendapatkan selembar uang sepuluh ribuan dan dua lembar seribuan. Perutnya
sudah berdendang ria, ia mengayuh becaknya tanpa ekspresi, harapannya hanya
satu, istrinya Lani sudah menyiapkan makan malam sekedarnya di atas meja pasalnya
Jiman tadi pagi belum sarapan, karena tak ada yang bisa dimakannya, kata Lani,
istrinya tak ada bahan makanan yang bisa dimasak pagi itu. Walhasil, tak ada
apapun yang masuk ke mulutnya kecuali air putih dan beberapa batang rokok.
Sesampainya di
rumah, Jiman mengucapkan salam di depan pintu rumah yang hanya berdinding papan
tebal. Istrinya menjawab salamnya dari dalam lalu membukakan pintu untuk
suaminya, menyambutnya dengan senyuman termanis, Lani masih memakai mukenanya,
rupanya ia sedang mengajarkan iqra’ pada kedua anaknya. Sayangnya, suaminya tak
membalas senyumannya, Jiman memang terlalu dingin, Lani membesarkan hatinya dengan
berusaha untuk berprasangka baik, mungkin suamuinya terlalu lelah.
“Ada nasi tidak? Aku lapar, uhuk..uhuk...,”
Keluh Jiman sambil batuk-batuk, ia mendudukan dirinya di atas kursi.
“Adanya singkong
mas, tadi pagi jualan di pasar dan Alhamdulillah ada yang beli, tapi ini masih
ada sisa, jadi kumasak saja, sebenarnya hasil jualannya lumayan banyak, dua
puluh lima ribu, tapi aku tak tega membeli beras dengan uang itu, niatnya uang
itu buat beli buku si Dimas sama Tinuk, kasihan juga mas, satu buku tulis untuk
beberapa pelajaran, mereka jadi bingung mempelajarinya. Tulisannya kacau dan
tidak rapi karena pelajarannya tercampur antara yang satu dengan yang lain,
ehhmmm…Mas hari ini dapat berapa?,” Tanya istrinya dengan nada ragu, takut
suaminya tersinggung.
“Lebih sedikit dari
penghasilanmu, Cuma dua belas ribu, nih! Kamu ini memang terlalu baik buatku,
lebih pintar dan lebih segalanya, seharusnya kamu mendapatkan suami yang
seperti dirimu, bukan orang yang tidak becus seperti aku ini Lan…,” Kata
suaminya sambil melemparkan uang lusuh dari sakunya ke arah istrinya. Sekali
lagi sang istri harus bersabar, menghadapi suami yang sensitif memang harus
ekstra hati-hati, jika tidak ingin terjadi apa-apa.
“Mas ini ngomong
apa sih? Ko jadi ngelantur kemana-mana…ya sudah mas, sekarang mandi dulu, terus
sholat Maghrib, sebentar lagi Isya’ mas,” Ajak Lani, tapi Jiman tidak
menggubris kata-katanya, ia malah melesat ke arah meja makan untuk menikmati
singkong bikinan istrinya. Lani menggelengkan kepalanya melas, ia tak berani
menanyakan pada suaminya tentang sholatnya hari ini, karena kemungkinan besar
Subuh sampai Asyarnya hari ini pasti terlewatkan. Lani membayangkan masa awal
perkenalan mereka, di mana Rajiman muda yang ia kenal adalah sosok pria yang
amat rajin beribadah, ia tampak sangat alim dan mengajar anak-anak di kampug
mengaji, mereka saling kenal karena sama-sama aktif di TPA dan akhirnya mereka
menikah, padahal umur Lani waktu itu baru delapan belas –menikah setelah lulus
SMA karena tak ada biaya-sedangkan Jiman sudah dua puluh sembilan, Sayangnya,
Jiman hanya pandai beribadah, ia kurang kreatif dalam mencari celah kesempatan,
ia juga sangat minder dan merasa masa depannya buram, ia pun hanya bisa jadi
babu di pabrik sepatu, karena tak mampu menciptakan peluang pekerjaan sendiri.
Kesibukan Jiman di pabrik sepatu membuatnya jauh dari agama, karena pabrik itu
sangat ketat dalam membuat peraturan, sampai-sampai waktu sholat sangat sempit,
hal ini membuat Jiman kelelahan dan malas, puncak kemalasannya adalah ketika ia
mulai mengenal rokok dari teman-temannya di pabrik, Jiman mulai tidak bisa
mengatur mana kebutuhan primer dan mana yang sekunder, uang hasil kerja yang cuma
sedikit dialokasikan untuk membeli rokok dan sisanya untuk kebutuhan keluarga,
suaminya mulai kecanduan rokok. Jiman sudah menjadikan rokok sebagai pelipur
laranya, mainannya, hiburannya, bahkan posisi Lani pun telah dikalahkan rokok.
Kehidupan keluarga kecil Jiman-Lani mencapai puncak kekacauan saat Jiman
dinyatakan PHK di pabrik tempat ia bekerja, Jiman kalang kabut, seakan hidupnya
tercerabut, hampir-hampir Jiman stres, waktunya dihabiskan untuk melamun sambil
merokok, Lani sudah berusaha mengajak suaminya istighfar, tapi pria itu semakin
bertambah aneh saja. Untungnya, Lani memiliki ide cermelang dengan membeli
becak dengan uang yang ditabungnya, sebenarnya uang itu untuk pendidikan
anak-anaknya. Tapi demi melihat suaminya hidup kembali, ia tak peduli pada
bagaimana pendidikan anaknya nanti, biarlah waktu yang menjawabnya.
* * *
Setelah menikmati singkong buatan istrinya, Jiman beranjak ke kamar
mandi, Lani sudah melipat mukenanya dan menemani kedua buah hatinya belajar.
“Bu, buku tulisku
tinggal selembar lagi,” Lapor Tinuk.
“Oh, tenang sayang,
besok ibu belikan yang baru,” Jawaban Lani cukup menenangkan bungsunya.
“Memangnya ibu
sudah punya uang?,” Tanya Tinuk menyelidik, rupanya ia sudah mulai paham
keuangan keluarganya yang selalu paceklik.
“Ada kok,” Kata Lani lagi dan Tinuk pun
tersenyum riang.
Lani mendengar
suara suaminya yang terbatuk-batuk di kamar mandi, sepertinya batuknya itu kian
hari kian parah saja, Lani sangat yakin itu pasti karena pengaruh rokok yang
tampaknya sudah mulai menggerogoti paru-parunya. Sejenak kemudian, Jiman sudah
keluar dari kamar mandi dengan batuknya yang menggigil dan membuat siapapun
yang mendengarnya ngeri. Lani cekatan menyambut suaminya, dengan gerakan gesit
dia menepuk-nepuk punggung suaminya, kemudian memijit-mijit berharap batuknya
akan mereda.
“Mas…mas…, batuknya
sudah seperti ini masih merokok terus, paru-paru mas pasti kotor sekali,” Ujar
Lani pilu dan ekstra khawatir.
“Ya gimana lagi
Lan, kamu ini belum merasakan enaknya rokok sih,” Jiman membela diri.
“Oh, jadi mas
mmenyuruh Lani merokok juga, biar kita bisa batuk sama-sama?,”Kata Lani ketus
dengan nada bercanda menanggapi suamiya yang keras kepala.
“Ya, bukan begitu
maksudku uhuk…uhuk…,” Jiman masih disibukkan dengan batuknya yang kian parah.
“Periksa ke dokter
saja ya mas, Lani takut mas kenapa-napa,” Kata Lani khawatir, Jiman hanya
menanggapinya dengan senyum tipis, senyum yang lebih terlihat miris. Lani
mengerti maksud senyumnya, seolah senyumnya sedang berbicara-mau bayar dokter
pakai daun?-
“Dimas…uhuk…,”
Jiman memanggil putranya.
“Ya pak,” Sahut
Dimas sambil menoleh kearah bapaknya yang kurus kering.
“Tolong belikan
bapak rokok sebungkus saja, Lan..uang yang tadi mana, ku pinjam dulu,” Kata
Jiman yang semakin membuat Lani naik pitam. Alih Lani langsung terangkat.
“Mas ini jangan
bercanda! maaf mas, kali ini Lani tidak bisa menuruti kemauan mas lagi, sudah
jelas mas ini sakit gara-gara rokok masih ingin membeli rokok juga, terkutuklah
orang yang menjual rokok itu, mas sudah kecanduan rokok, kapan mas mau sadar?,”
suara Lani pilu seolah ia sudah mencapai puncak kesabarannya.
“Tapi Lan, aku tak
bisa hidup tanpa rokok, sebenarnya aku juga sangat sadar kalau aku ini salah,
tapi mau bagaimana lagi?,” Sesal Jiman, suaraya pasrah “Ya sudah, untuk kali
ini aku menurut padamu,” Lanjutnya. Raut wajah Lani berubah drastic, senyumnya
kembali mengembang setelah tadi sempat menghilang.
“Sungguh mas,” Lani
meyakinkan dirinya. Jiman menjawab dengan anggukan mantap. Sebenarnya Jiman
sangat ingin membahagiakan istrinya yang tampanya menderita hidup dengannya
tapi tetap berusaha tegar.
“Ya sudah, sekarang
mas istirahat dulu, mas sudah bekerja seharian, oh ya sebelum tidur, sholat
Isya’ dulu lah mas,” Kata Lani lembut. Namun suaminya tak mengindahkan
ajakannya untuk sholat isya’, ia hanya ingin tidur untuk mengistirahatkan
tubuhnya. Lani pun membatin, ia sangat rindu menjadi makmun suaminya, mendengar
suaranya mengucapkan kalam Ilahi, Jiman itu dulu qori’, suaranya bagus sekali,
tapi entahlah sejak ia merokok dan jarang –atau tak pernah lagi- menyentuh kitab
suci, mungkin saja suaranya kini tak seindah dulu. Memang banyak sekali yang
bisa berubah seiring berjalannya waktu. Mereka yang istiqomah pasti bisa
bertahan melawan hidup yang begitu sulit. Lani sadar betul kalau fakir itu
mendekati kafir, maka ia tak pernah putus doa untuk kesadaran suaminya dan
untuk kebahagiaan keluarganya.
“Bu, taqwa itu apa
sih? ini PRnya susah,” Keluhan Dimas membuyarkan lamunan Lani.
“Oh, apa
Mas?,”Tanya Lani linglung pada putranya.
“Ini bu,
taqwa…Dimas nggak ngerti,” Ulang anaknya.
“Oh, taqwa itu,
jika seorang hamba berusaha menjalankan perintah Allah SWT dan menjauhi
larangannya, maka orang itu disebut sebagai orang yang bertaqwa,” Jawab Lani
mantap. Lani sangat bersyukur, Allah memberikan anak-anak yang rajin dan
penurut, Dimas dan Tinuk bukanlah anak yang nakal, kalaupun mereka bertengkar
dengan teman mereka, itu pasti karena temannya dulu yang memulai. Lani memang
bertekad, walaupun keluarganya harus hidup miskin, jangan sampai miskin ilmu
dan miskin budi, Lani tidak berniat untuk mewariskan harta melimpah pada
anaknya, ia hanya ingin kedua anaknya tumbuh dengan ilmu dan budi pekerti yang
baik, karena keduanya lebih kekal untuk bekal di dunia dan akhirat. Maka Lani
berusaha menemani anaknya belajar, mengajarkan beberapa ilmu pada mereka,
setidaknya ia dulu selalu menjadi peringkat pertama di sekolah, Lani memang
terkenal sebagai anak cerdas dan pintar, sayangnya orang tuanya menyuruhnya
menikah setelah lulus SMA dan tidak mengizinkannya untuk melanjutkan studinya,
terlebih lagi pada saat yang sama Rajiman yang menurutnya pemuda sholeh telah
datang meminangnya. Maka tak ada alasan untuk tidak menikah muda. Namun, ketika
melihat perubahan drastis suaminya, ada sedikit penyesalan dan kekecewaan yang
kerap menghampirinya, tapi Lani selalu berusaha menepisnya, Lani selalu yakin
suaminya akan kembali, hanya menunggu waktu yang tepat. Pernah suatu hari Lani
nekat ingin bekerja sambil kuliah agar ia bisa lebih leluasa mencari pekerjaan
yang sesuai dengan kemampuannya, tapi mengingat suaminya hanya pekerja di
pabrik, maka niat kuat itu dikuburnya. Lagipula, suaminya juga hanya lulusan
pesantren salafi. Kata orang, suami itu tidak suka lebih rendah dari istrinya.
* * *
Senin pagi itu begitu padat, perempatan jalan penuh dengan
orang-orang yang berlalu-lalang., termasuk Jiman dan becaknya. Tidak seperti
biasanya, Jiman pagi ini terlihat begitu bersemangat apalagi pagi ini sarapan
di rumahnya lebih istimewa dari biasanya, Lani mengatakan, keuangan keluarga
mulai membaik karena banyak orang yang mencucikan baju padanya. Maka, ia
sengaja memasak dengan masakan yang istimewa, ikan dan sambal.
Jiman pun mengayuh
becaknya dengan bersemangat, ia sempat tersenyum mengingat kata-katanya sendiri
pada istrinya pagi tadi.
“Lan, kamu ini benar-benar sosok wanita yang
sangat sempurna, kamu selalu berusaha membuat gubuk reot kita ini penuh dengan
cinta, aku minta maaf belum bisa jadi suami yang baik untukmu, mulai hari ini
aku akan berusaha untuk menjadi suami yang baik, sekarang kamu maunya aku jadi
suami yang bagaimana?,” Tanya Jiman pada istrinya.
“Mas ini apa-apaan,
pagi-pagi sudah menggombal, malu sama anak-anak,”Kata Lani tersipu.
“Aku serius Lan,
kamu maunya bagaimana?,” Wajah Jiman begitu seriua, mau tidak mau Lani ikut
serius. Lani merasa, saat yang dinantikannya telah datang, Allah mendengar doa
yang dipanjatkannya setiap malam-malam tahajjud yang pekat, dalam hati ia
menjerit syukur.
“Lan…,” Jiman
menyadarkan istrinya yang mulai melamun.
“Iya, aku kaget aja
mas tiba-tiba nanya begitu, baiklah, aku mau mas jadi mas Jiman yang Lani kenal
dulu, mas Jiman yang rajin ibadah, mas Jiman yang qari’, mas Jiman yang selalu
mengingatkan Lani setiap Lani salah, terus jangan merokok,”Uraian Lani panjang
lebar mengenai sosok Jiman yang diinginkannya. Jiman terdiam sejenak, kemudian
mengangguk. Lani sempat takut suaminya tersinggung, tapi akhirnya ketakutannya
tidak terbukti, karena setelah itu Jiman menyunggingkan senyumannya, senyum
termanis yang sudah lama tidak dilihat Lani.
“Ya sudahlah, aku narik
becak dulu ya, jaga anak-anak,” Wasiat Jiman pada istrinya.
“Tumben mas bilang
begitu,” Kata Lani diiringi senyum melepas kepergian suaminya.
Jiman pun berjuang
keras hari itu, ia merasa seperti baterai yang baru saja dicash, kayuhannya
begitu bersemangat, ia aktif menawar-nawarkan becaknya, sesekali batuknya
memang masih ada, tapi menurutnya itu bukanlah masalah besar, ia juga sudah
berniat untuk mengurangi rokoknya sedikit demi sedikit, jika biasanya sehari
satu bungkus, kini ia akan mencoba sehari setengah bungkus, kemudian seperempat
dan akhirnya seperdelapan lalu tidak merokok sama sekali, memang hal itu
kedengarannya mudah tapi Jiman juga sangat sadar bahwa mengobati kecanduannya
pada rokok bukanlah perkara mudah.
* * *
Adzan Dzuhur
berkumandang, hati Jiman bergetar mendengar suara muadzin yang mendayu-dayu,
betapa ia sudah terlalu lama tiak menggubris suara itu, padahal dulu dia sangat
sering menjadi muadzin di pondoknya dulu, betapa ia telah lama menul;ikan
telinganya dari ajakan untuk mendekat pada Allah SWT. Maka, Jiman langsung
bergegas menghampiri masjid terdekat. Lalu turun dari becaknya, melangkah
menuju rumah Allah yang agung, ia berjalan mendekati tempat wudlu, membasuh
setiap anggota tubuhnya denga air wudlu, berharap dosa-dosanya akan luntur
dengan air jernih itu, dosa yang sudah terlampau banyak. Bukankah melupakan
Sang Kekasih adalah dosa yang teramat besar? Selepas berwudlu, Jiman melangkah
ke dalam masjid, ia duduk di shaf ke dua, masjid itu terlalu lenggang dan
tampak sangat besar untuk barisan shalat yang hanya dua shaff, namun Jiman tak
berani mengkritik orang-orang yang enggan menginjakan kakinya di masjid itu,
karena sebelum ini ia juga adallah bagian dari mereka, disibukkan oleh dunia
dan melupakan akhiratnya.
Jiman merasa
sholatnya kini sungguh berarti, ia merasa dilahirkan kembali untuk menjadi
sosok Jiman yang baru. Jiman berdoa lama, bahkan semua jamaah yang hadir sudah
meninggalkan masjid untuk kembali melanjutkan pekerjaan masing-masing. Dari
mulut Jiman terlantun doa yang menyayat hati:
“Ya Allah….hamba
sangat kerdil, mohon ampun atas kesombongan dan kecongkakan hamba yag telah
menjauh dari-Mu, melupakan karunia-Mu yang amat banyak. Ya Allah…maafkan hamba
jika hamba termasuk orang yang mendholimi keluarga, istri dan anak hamba. Hamba
sadar hamba belum mampu membahagiakan mereka, maka kuatkanlah hamba untuk
menghadapi hidup yang sangat sulit ini, jangalah hamba dibuat lalai lagi. Ya
Allah….aku percaya, maafmu lebih luas dari dosa-dosa hamba, ya Allah istri
hamba begitu sholehah, seharusnya ia menikah lagi dengan lelaki lain yang lebih
baik dari hamba, jika Engkau memcabut nyawaku lebih dahulu sebelum dia, berilah
dia penggantiku yang benar-benar lebih baik dariku, yang bisa mengayomi dirinya
dan bisa membahagiakan hatinya, tidak sepertiku yang hanya bisa membuat
sengsara.”
Sesaat kemudian, ia
mengusap wajahnya sambil mengucap kata amin dengan lirih, sudut matanya
berembun. Ia merasa lega sekali, seakan beban yang selama ini menggelayuti
hatinya hilang seketika. Ia nampak lebih tegar menghadapi hidup, kemudian
berdiri lebih tegak, melangkah dengan langkah mantap keluar dari masjid.
Jiman menghampiri
becaknya kemudian mengendarainya untuk mencari penumpang lagi, ia menyadari
kemalasannya dulu karena sudah lama tidak tersentuh air wudlu yang sangat
segar, lebih segar dari air mineral dari lemari es.
* * *
Sore hari masih
di hari senin yang sama, Jiman berusaha untuk pulang sebelum Maghrib, ia sudah
berniat untuk mengimami keluarganya, uang yang didapatkannya hari itu juga
lumayan, ia tidak sabar untuk bertemu keluarganya. Apalagi ia juga sudah menenteng
sebungkus sate, ia tidak sabar untuk ingin bertemu Lani, Dimas dan Tinuk. Jiman
menghayalkan berbagai macam hal dan merencanakan banyak kejutan untuk
keluarganya, Jiman kurang konsentrasi saat mengendarai becaknya, padahal sore
itu jalanan begitu ramai, sampai-sampai ia tidak menyadari ada sebuah truk
besar yang merepet ke arahnya dan peristiwa naas itu pun terjadi, Jiman
terserempet truk besar, becaknya terpelanting, sebungkus sate di tangannya jatuh
bertebaran, jalanan yang macet semakin macet saja. Padahal jarak antara rumah
Jiman dan tempat di mana tabrakan itu terjadi tidak begitu jauh, maka setelah
orang-orang tahu bahwa yang tertabrak adalah Rajiman, suami Lani, orang-orang
langsung mengabari Lani.
Ketika ada beberapa tetangga yang mengabari Lani tentang
kecelakaan yang menimpa suaminya, ia begitu kalut, begitu juga Dimas dan Tinuk,
secepat kilat Lani menyambar jilbabnya begitu juga Tinuk, ia juga mengikuti
gerakan ibunya dengan mengambil jilbab mungil, Lani tak menggubris bagaimana
bentuk jilbabnya, ia tidak peduli asal menutup rambut panjangnya saja.
Lani diikuti kedua
buah hatinya berlari sekuat tenaga, jilbab Lani berkelebat tertiup angin sore, maka
jilbab yang tadinya sudah koyak tak berbentuk semakin mencong sana-sini. Mereka
bergitu terkejut dengan kabar buruk yang tiba-tiba mereka dengar mengenai
kepala keluarga mereka. Bahkan Lani merasa semua yang terjadi sama sekali tidak
mungkin, tapi apa yang tidak mungkin jika Yang di Atas sudah berkehendak?
Sesampainya di
lokasi kejadian, ketiganya langsung
mendekat ke arah Jiman yang sudah terkepar berlumuran darah. Mereka
melewati celah-celah kumpulan manusia manusia yang menyemut. Mata Lani membulat
melihat suaminya, serta merta ia menghampiri jasad yang sudah terbujur kaku
itu.
“Mas….!!!,”Teriak
Lani histeris, diikuti Dimas dan Tinuk yang meraung-raung memanggil bapak
mereka yang sudah tiada. Orang-orang terenyuh dan terharu melihat mereka.
Seketika itu juga Lani langsung menyadari bahwa kata-kata Rajiman tadi pagi
adalah ungkapan perpisahan.
“Baiklah mas Jiman,
aku akan menjaga anak-anak sampai kapanpun, semampuku,” Tekad Lani di sela-sela
derai air matanya, Lani benar-benar belum bisa percaya, ia berharap ini hanyalah
mimpi buruk dan ia ingin esok pagi iamasih bisa membuatkan kopi untuk suaminya,
semuanya terjadi begitu cepat, maha benar Allah, nyawa kita ada di tangan-Nya,
maka Ia bisa menyabutnya kapan pun juga.
10 tahun kemudian
Dimas dan tinuk
sedang menikmati liburan kuliah mereka, keduanya menikmati musk di depan sebuah
lap top. Ibu mereka, Lani menyempatkan diri membuatkan camilan ringan untuk
mereka di sela-sela kesibukannya membuat catering kue-kue, ia memang handal
memasak. Setelah kematian suaminya sepuluh tahun yang lalu, ia memutar otak
untuk menghidupi anaknya, hasil orderan cucian dan setrikaan serta jualan
singkong akan habis untuk kebutuhan sehari-hari, sedangkan ia mempunyai mimpi
untuk menyekolahkan anaknya setinggi-tingginya agar bisa merubah nasib mereka,
ia tidak mau kemiskinan yang melanda keluarganya harus dialami keturunannya
nanti, ia merasa bahwa ia harus mandiri, membuat perubahan. Maka dipilihnya
usaha catering dengan modal nekat, ia sangat sadar bahwa kue yang ia buat
sangat enak dan banyak tetangga yang menyukai hasil masakannya. Tidak sampai
setahun, usaha Lani membuahkan hasil, kelezatan makanannya sudah dikenal
seantero kota
tempat dia tinggal.
Lani juga sudah
menikah lagi dengan seorang pria duda yang tidak terlalu kaya, hanya seorang
pedagang yang membuka kios di pasar, tapi Lani sangat bersyukur karena akhlak
suaminya yang bernama Hari itu menyerupai Rajiman ketika ia masih muda. Lani
menemukan sosok Rajiman yang ia inginkan pada diri Hari, karena hari tidak
mengenal yang namanya rokok. Selain itu, kedua anaknya, Tinuk dan Dimas juga
sangan mencintai bapak barunya itu. Lani tidak tahu-menahu sama sekali bahwa
keadaannya kini bisa jadi karena doa tulus suaminya yang berbuah manis untuknya
beberapa jam sebelum Allah menjemput ajalnya. Bagaimanapun juga seseorang
memang akan mendapatan apa pun yang ia usahakan, Lani telah membuktikannya,
selama Iman dan Islam masih ada pada dirinya, ia begitu yakin bahwa Allah pasti
selalu bersamanya di setiap keadaan, sayangnya manusia sering lalai dan merasa
sendiri sehingga ia berputus asa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar