by. Nahla Riezuka
(Cerpen ini pernah dimuat di majalah HIMMAH ISID)
(Cerpen ini pernah dimuat di majalah HIMMAH ISID)
Awan
mendung menyambut dhuha, sedari tadi mentari masih malu-malu untuk menampakan
diri, padahal jam dinding tua di sudut rumah sudah menunjukan angka sepuluh.
Memang akhir-akhir ini sering hujan, jadi banyak jemuran yang harus rela
diguyur hujan lantaran pemiliknya sedang tidak ada di rumah. Demikian halnya
dengan jemuran di salah satu rumah sederhana di kawasan Sidorejo itu. Penghuninya
memang tidak ada di tempat, lantaran kepala keluarga sibuk mengajar di sebuah
Sekolah Dasar yang ada di pinggiran kota, ia bekerja sebagai guru honorer yang
perbulannya hanya mendapatkan seratus ribu rupiah saja. Sedangkan sang istri sudah
sejak pagi pergi mengantarkan bayinya untuk periksa ke dokter karena si bayi
menderita sakit tumor di jidatnya. Keluarga kecil ini tidak tinggal sendirian,
tetapi mereka tinggal bersama ibu dari pihak suami.
“Huh,
mana si Idah ini?! Sepagi ini sudah pergi dari rumah, dasar menantu tak tahu
diuntung, jemuran jadi basah semua,” Omel ibu mertua pada menantunnya, hujan
mulai reda dan menyisakan sedikit titik-titik air. Saat itu, sosok berjilbab
lebar masuk ke rumah dengan menggendong bayinya yang sudah lelap tertidur.
“Assalamu’alaikum
Bu, saya tadi sudah salam tapi tak ada jawaban, jadi saya masuk saja, saya
tidak tahu kalau ibu sudah pulang dari pasar.” Kata Roidah lembut.
“Kamu
ini, kerjanya keluyuran, dasar pengangguran!” Bentak Ibu mertua dengan nada nyelekit.
“Maafkan
Idah Bu, sebenarnya Idah juga enggan menganggur, Idah ingin sekali bisa
bekerja, seperti dulu sebelum Idah bertemu dengan Mas Parmin, tapi apa boleh
buat, Mas Parmin melarang Idah bekerja dulu, karena Amin masih perlu asuhan
ibunya, setidaknya sampai ia sekolah TK,” Papar Idah memberi alasan.
“Alasan
itu lagi yang selalu jadi senjatamu, memang ini salahnya si Parmin yang tidak
mau menikah dengan Ita, padahal ia cantik dan kaya,” Gerutu ibu mertua tak
jelas, tapi cukup menusuk di relung hati Idah, ingin sekali hal ini diadukannya
pada suaminya, tapi ia tak mau menjadi pengadu domba antara Ibu mertua dan suaminya,
jadi tak ada pilihan lain selain bertahan dan terus bersabar, saat itu juga Amin
terbangun dari tidurnya dan ia menangis. Sepertinya luka hati yang menganga di
hati sang bunda ikut dirasakannya, Roidah berusaha menenangkan Amin, tapi Amin
tak mau diam. Ibunya mengelus-elus kepalanya, tak sengaja tangannya menyentuh tumor
di jidat putra tunggalnya, tangis Amin makin pecah, luh di mata Roidah
jatuh satu-satu.
Ibu
mertua Idah bukan sekali ini saja menyinggung-nyinggung soal Ita, hal ini sudah
terjadi sejak satu setengah tahun yang lalu, saat Idah dan Parmin baru menjadi
menjadi pengantin baru. Siapapun tahu, mertua Idah tak menyetujui pernikahan
mereka, karena saat itu ada gadis lain yang bernama Ita, anak kepala desa yang namanya
sudah menjadi buah bibir, ia sedang gencar-gencarnya mengejar Parmin, lelaki
yang kini menjadi suaminya.
Parmin memang tidak terlalu tampan, tetapi
perawakannya gagah dan tegap, itulah nilai plusnya yang membuat Ita
tergila-gila padanya. Sayangnya, selera Parmin pada wanita agak berbeda
dari umumnya pria. Ia tidak peduli betapa cantik dan eloknya Ita, anak kampung
yang dandanannya bak artis nyasar. Parmin lebih suka Roidah, wanita
berkulit coklat keputihan dengan jilbab lebar yang membingkai wajahnya. Mereka bertemu
secara tak sengaja ketika ada gempa di Yogyakarta, saat itu Parmin memang
sedang menyelesaikan skripsi S-1nya, sebagai calon sarjana pendidikan, ia
membahas tentang pendidikan untuk anak korban gempa.
Ketika
itu, Roidah mewakili yayasan yatim piatu “Rahmah” dari Surabaya tempat ia
dibesarkan. Ia dipercaya untuk mengetuai rombongan sukarelawan yang datang
untuk membantu korban bencana gempa. Roidah memang sudah yatim piatu sejak ia
kecil, bahkan ia belum sempat mengenali wajah kedua orang tuanya, maka tidak
salah jika ia sangat prihatin pada anak-anak yang terlantar, ia tahu betapa
pedihnya seorang anak yang tumbuh tanpa kasih sayang dari orang tuanya. Ia juga
telah berjanji akan mendedikasikan dirinya untuk menjadi orang yang bermanfaat bagi
semua orang, terutama untuk anak-anak.
Parmin
membutuhkan nara sumber untuk wawancara skripsinya dan Roidah yang menjabat
sebagai ketua adalah pilihannya. Memang kebetulan sekali atau mungkin sudah
ditakdirkan oleh Allah mereka bertemu. Parmin terpesona pada pandangan pertama,
karena wajah Roidah memancarkan cahaya keikhlasan, selain itu Roidah memiliki
mata teduh yang membuat Parmin ingin bernaung di bawahnya.
Saat
itu juga, Parmin menceritakan apa yang dirasakannya pada Fandi, sahabat satu
kos yang ikut menemaninya, namun ketika Fandi melihat wajah Roidah dengan mata
kepalanya sendiri, ia tidak sependapat dengan Parmin, bahkan ia mengatakan
bahwa Roidah itu tidak terlalu cantik, karena Fandi memang kurang tertarik pada
wanita berjilbab lebar.
Ternyata
yang berpendapat bahwa Roidah kurang cantik tidak hanya Fandi, namun ibu Parmin
juga, hal ini diungkapkan oleh ibunya ketika ia ingin melamar Roidah dan
menunjukan foto orang yang ingin dipinangnya. Saat itu ibunya bilang.
“Terus
terang, ibu kurang suka padanya, ibu sudah terlanjur cinta pada Ita dan ingin
mengambilnya sebagai menantu, Ita itu anak baik, ia sering memberi kejutan
hadiah pada ibu, apalagi ketika ia baru pulang dari luar kota, ia tidak pernah
lupa membelikan oleh-oleh untukmu dan ibu. Ibu yakin, hidup kita akan lebih baik
dari sekarang jika kau menikah dengan Ita, ia anak kepala desa dan kaupun akan
mendapatkan peluang jabatan yang sama jika kau mau melamarnya, Ita pasti akan
langsung bersedia jadi istrimu jika kau melamarnya sekarang.” Kata ibu Parmin
panjang lebar dan menggebu-gebu.
Tapi
Parmin tetap bersikukuh, ia yakin sekali bahwa Roidah adalah tulang rusuk yang
selama ini dicarinya. Bidadari surga yang diturunkan Allah khusus untuknya,
karena setiap kali ia menatap sosok bermata teduh itu, ada desiran aneh yang belumpernah
dirasakannya. Hati kecil Parmin selalu bilang itulah yang disebut cinta. Selain
itu, ada hal lain yang membuat Parmin terkesan pada sosok bersahaja yang
berjilbab lebar itu, yaitu ketika Parmin menanyakan nomor Hpnya dan menawarkan
hubungan yang lebih dekat, ia lantas menjaga jarak dan mengatakan: Aku tidak
memberikan nomor Hpku pada sembarangan orang, kupikir, tidak ada wawancara
lanjutan setelah ini. Jika masih ada yang ingin ditanyakan, sekarang saja. Satu
lagi, aku tidak bisa menerima tawaran hubungan yang sifatnya main-main, tapi
aku menerimanya jika kau serius.
Lugas,
tegas, berprinsip dan berkepribadian tangguh, demikianlah konklusi yang dibuat Parmin,
maka entah kekuatan dari mana, tiba-tiba saja, ia mempunyai keberanian untuk melamar
Roidah, saat itu juga. Masih terekam jelas di benak Parmin, betapa terkesiapnya
Roidah ketika mendengar lamarannya, sudah dapat dipastikan, Roidah sangat
terkejut dan tidak siap. Keterkejutan Roidah masuk akal dan lumrah, ia dilamar oleh lelaki yang
baru dikenalnya beberapa jam yang lalu, bahkan ia belum sempat menanyakan nama
lelaki bertubuh tegap itu!
“Ibu...........,”
Kata Parmin di sela-sela desahannya, lalu ia menarik nafas sebelum melanjutkan
kata-katanya. “Yang mau menikah Parmin, bukan ibu dan perlu ibu ketahui juga
bahwa Parmin sama sekali tidak tertarik pada Ita, jika ibu tidak mau melamarkan
Roidah untukku, aku akan berangkat sendiri ke Surabaya. Jika ibu tetap
melarangku, aku tidak akan menikah dengan siapapun selain dia,” Ancam Parmin
saat itu, ternyata, kata-kata Parmin cukup membuat ibunya gentar.
“Te...tapi
Min,” Kata-kata ibu Parmin terbata-bata, mungkin sedikit shok. “Apa yang bisa
kau banggakan dari wanita yatim piatu yang bajunya kedodoran?,” Tanya
ibunya ragu, sepertinya ia kurang pandai memilih kata-kata yang tepat untuk
mengungkapkan ketidak sukaannya pada Roidah yang berpenampilan Islami.
“Kenapa
Bu?” Tanya Parmin seketika. “Ibu malu karena ibu belum berjilbab, aku punya
niat baik Bu, aku ingin punya anak yang sholeh dan sholehah, aku tak ingin
mereka seperti bapaknya yang mengaji saja masih terbata-bata, aku ingin belajar
Islam dari istriku sendiri nantinya, karena aku tak mungkin belajar Iqra’
bersama anak-anak TK, aku malu Bu...malu sekali,” Suara Parmin melirih, tapi
cukup keras menghantam dinding hati ibunya, secara tidak langsung Parmin sedang
protes pada ibunya yang tidak membekalinya dengan ilmu agama yang banyak,
untungnya, Parmin bukanlah anak nakal yang hobi bergerombol dengan orang-orang yang
bermasa depan suram, bahkan sampai sekarang Parmin masih enggan merokok. Parmin
lebih suka berkawan dengan orang-orang yang menurutnya baik, ia yakin sekali
pada kebenaran pepatah: Jika ingin melihat perilaku seseorang, lihat saja teman-temannya.
“Baiklah,
ibu akan melamarkan Roidah untukmu,” Akhirnya sang ibu luluh juga. “Ibu, tak
mau punya anak perjaka tua,” goda ibunya sambil tersenyum di kulum.
“Terima
kasih Bu..., maaf tadi bicara kurang sopan pada ibu,” Parmin meminta maaf,
tulus.
“Tak
apa Min, kamu benar, ibulah yang salah, ibu terlalu gelap mata, ibu belum bisa
memahami jalan pikiranmu,” Ungkap ibunya sambil mengusap rambut Parmin yang
sedikit ikal.
Tetapi,
biarpun akhirnya Parmin menikah dengan Roidah dan sudah punya anak laki-laki,
namun Ita tidak patah arang, ia masih sering mendekati Ibu Parmin dengan
hadiah-hadiah, Ita bahkan sempat bilang bahwa ia masih menunggu Parmin duda.
Sungguh luar biasa kesungguhan Ita akan cintanya pada Parmin. Sampai-sampai Ibu
Parmin sempat berpikir untuk meracuni Roidah agar ia segera mati. Tujuannya
tidak lain adalah agar Parmin menjadi duda dan segera menikah dengan Ita.
* * *
Dhuha
sudah mulai beranjak siang, Parmin sudah pulang dari sekolah., wajahnya
terlihat lelah dan resah. Istrinya, Idah tanggap dan peka pada perubahan diri
yang terjadi pada suaminya. Syukurnya, saat itu Amin sudah pulas tertidur.
Parmin menatap putra semata wayangnya lekat, kemudian ia mendekap wajahnya.
Lalu terduduk di ranjang, Idah pun duduk di sampingnya.
“Kenapa
Mas, ada masalah di sekolah?” Tanya Idah padanya, ia tak bisa menyembunyikan
rasa penasarannya.
“Ehh,
tidak Dah, ini tadi aku......,” Parmin terlihat gugup, Idah ingin sekali menyelanya
dengan pertanyaan lagi, tapi diurungkannya, suaminya tidak hanya sedang resah,
namun juga tergambar gurat ketakutan di wajahnya. Idah memilih menenangkannya
dengan menggenggam tangan kekar suaminya, mencoba memberi kekuatan.
“Idah,
ini tadi ada bayaran dari sekolah, yah....... seperti biasa hanya seratus ribu,
manfaatkan untuk kebutuhan sehari-hari, maaf belum bisa membuatmu senang, aku
sering membayangkan mengajakmu ke pasar besar dan aku bilang kepadamu bahwa kau
bisa memilih apapun sesukamu,” Kata Parmin kemudian. Idah hanya tersenyum
menanggapi kata-kata suaminya.
“Ya
Allah Mas....., aku sudah khawatir sekali, ku pikir Mas dapat masalah besar
apa, apakah selama ini Mas pernah mendapatiku mengomel atau menggerutu karena
masalah gaji? Aku tetap bersyukur berapapun yang Mas dapatkan, aku juga sudah
mulai pandai mengatur uang agar cukup untuk semuanya,” Idah mencoba menenangkan
hati suaminya.
“Memang,
biasanya bisa cukup, tapi sejak Amin terkena tumor, semuanya berubah, semuanya
jadi sulit dan menghimpit,” Keluh Parmin mengawang.
“Ini
ujian dari Allah Mas, untuk membuktikan apakah kita kuat atau tidak,” Kata
Idah.
“Tapi
sepertinya, suamimu tidak lulus ujian Dah,” Perkataan Parmin membuat sang istri
tertegun sesaat, alisnya mengeriyit, ia minta penjelasan.
“Aku
sudah mengambil ini,” Kata Parmin sambil merogoh sesuatu dari kantongnya yang
lusuh, dia mengeluarkan sebuah amplop dari sana. Kemudian membukanya, isinya
lumayan banyak, beberapa lembar ratusan ribu.
“Mas
hutang ke orang?” Idah mencoba husnudzon. Sesaat, sepi menyergap mereka.
Idah masih menunggu jawaban. Sayangnya, Roidah mendapati gelengan suaminya, ini
cukup untuk merobohkan benteng prasangka baiknya.
“Lalu,
dari mana Mas dapat ini semua?” Tanya Idah sedikit gusar.
“Idah,
aku.....tadi aku......meminjam uang bayaran anak-anak, aku berniat meminjam
uang mereka dulu, baru nanti kuganti, aku ingin Amin sembuh dari tumornya. Ini
untuk operasinya, tadinya aku ingin berbohong padamu, tapi kuurungkan, aku
tahu, aku tak bisa berbohong padamu.” Nampak sekali keinginan Parmin untuk
jujur pada istrinya, ia menunduk dalam, ia tak sempat melihat wajah Roidah yang
sempat memerah karena marah.
“Mas,
kenapa pikiran Mas sempit sekali?” Kata Idah, tapi ia menutup mulutnya segera,
ia tahu ia salah, karena suaminya sedang butuh dukungan, memojokannya hanya
akan membuatnya semakin menyesal dan tertekan. Roidah mengambil nafas sejenak,
menenangkan dirinya.
“Mas,
masih banyak jalan untuk mencari kesembuhan Amin, kita bebas memilih jalannya,
aku yakin hati kecil Mas menolak ini, aku bisa melihatnya dengan jelas, Mas
orang baik dan punya maksud baik. Idah tahu, tak ada orang tua yang tega
melihat anaknya terluka dan cacat. Tapi ingat Mas, Amin tidak akan suka jika
kesembuhannya harus dibayar mahal dengan menanggalkan kejujuran ayahnya,”
Roidah melembutkan suaranya.
“Harus
bagaimana lagi aku ini......, aku sudah sangat pusing untuk memikirkan operasi Amin,
aku hanya ingin ia sembuh, itu saja,” Parmin membela diri.
“Tidak
Mas, besok Mas harus mengembalikan uang itu. Kita bisa menghadapi semua ini
dengan cara yang diridhoi Allah, ayo kita adukan masalah kita ini pada Allah
Mas, Dialah sebaik-baik penolong kita, Allah akan memberi jalan keluar bagi
hamba-Nya yang bertakwa,” Ajak Roidah sambil menggandeng tangan suaminya untuk
diajak berwudlu untuk seholat Dzuhur berjama’ah, Parmin menurut.
* * *
Malam
harinya, di tengah keheningan malam, Parmin belum juga sanggup menutup matanya,
ia ingat kata-kata istrinya tadi siang. Saat itu juga, dilihatnya Roidah
bangkit dari tidurnya, ia tidak menyadari bahwa suaminya belum tidur.
Tidak
sampai lima menit, Roidah sudah kembali dari kamar mandi, Parmin tahu, istrinya
akan menjalankan rutinitas kesehariannya. Tadi Roidah sempat membangunkannya,
sebelum ia pergi ke kamar mandi, tapi Parmin enggan membuka matanya, bukan
karena ia malas, tapi ia ingin mendengar apa yang akan istrinya adukan pada
Allah malam ini.
Delapan
roka’at sudah dijalankan Roidah, maka tibalah saat yang paling dinantikan
Parmin. Lirih, didengarnya ratapan Idah.
“Rabbi.......Rahim,
Rahman, Aziz, Ghani.......” Idah membuka doanya dengan pujian pada
Tuhannya.
“Ya
Allah....Ya Ghafur....aku titipkan salam untuk orang tuaku, jika mereka
pendosa, maka ampunilah mereka, jika mereka golongan orang sholeh, izinkan aku
berkumpul dengan mereka di akhirat nanti. Ya Rabb....ampunilah suamiku,
Engkaulah Maha Pengampun, Engkau tahu apa yang ada di dalam dirinya dan maksud
baiknya, Ihdinashirootol Mustaqiim........Berilah jalan lurus untuk
kami, jangan biarkan kami tersesat.” Parmin mendengar semuanya, ia merasa malu
sekali karena menjadi imam dari wanita tegar yang luar biasa. Seketika itu
juga, penyesalan yang dalam mengoyak hati Parmin, matanya mulai digenangi air
mata taubat. Parmin beristighfar.
“Ya
Muqollibal Qulub.....Yang Maha Membolak-balikan hati, baliklah hati ibu
mertuaku, sehingga kebenciannya padaku berubah menjadi cinta..... segala cara
sudah ku coba Ya Rabb......aku ingin beliau ikut dalam barisan jama’ah
kami, aku ingin beliau mengaji bersama kami, aku ingin beliau berhenti
bergunjing dengan tetangga. Ya Allah....maafkanlah hamba yang hanya berani
mendoakan dari jauh, karena untuk mengingatkan secara langsung hamba tak mampu.”
Tangis Parmin hampir saja pecah, jika saja ia tak menahannya, ia sadar wanita
yang sedang berdoa itu memiliki hati yang seputih salju, bahkan detik itu juga
ia merasa punya istri malaikat. Parmin sangat tahu, betapa pedihnya hati
istrinya, sering ia mendapati ibunya yang masih menyebut-nyebut nama Ita di
depan Idah. Tapi, adakah yang lebih mulia melebihi hati yang semanis buah
kurma? Ketika ia dilembari batu, ia membalasnya dengan doa.
“Ya
Rabb....jadikanlah keluargaku qoni’ah, jika Engkau menakdirkan kami
menjadi hamba-Mu yang miskin, berilah kami kesabaran dan keteguhan. Namun, jika
kelak Engkau menakdirkan kami menjadi hamba-Mu yang kaya, jangan biarkan kami
gelap mata, sombong dan bangga. Asykuruka Ya Rabb....Terimakasih atas
segalanya.” Roidah mengusapkan tangan di wajahnya, ia menghapus beberapa tetas
embun bening di sudut matanya. Roidah tidak tahu, bantal yang sedang dipakai
suaminya sudah basah oleh air mata. Parmin menangis, tapi ia berusaha sangat keras
agar sesenggukannya tidak didengar istrinya, istri yang amat dicintainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar