Selasa, 18 September 2012

SEPUTIH SALJU

((P

by. Nahla Riezuka
(Cerpen ini pernah dimuat di majalah HIMMAH ISID)
 
            Awan mendung menyambut dhuha, sedari tadi mentari masih malu-malu untuk menampakan diri, padahal jam dinding tua di sudut rumah sudah menunjukan angka sepuluh. Memang akhir-akhir ini sering hujan, jadi banyak jemuran yang harus rela diguyur hujan lantaran pemiliknya sedang tidak ada di rumah. Demikian halnya dengan jemuran di salah satu rumah sederhana di kawasan Sidorejo itu. Penghuninya memang tidak ada di tempat, lantaran kepala keluarga sibuk mengajar di sebuah Sekolah Dasar yang ada di pinggiran kota, ia bekerja sebagai guru honorer yang perbulannya hanya mendapatkan seratus ribu rupiah saja. Sedangkan sang istri sudah sejak pagi pergi mengantarkan bayinya untuk periksa ke dokter karena si bayi menderita sakit tumor di jidatnya. Keluarga kecil ini tidak tinggal sendirian, tetapi mereka tinggal bersama ibu dari pihak suami.
            “Huh, mana si Idah ini?! Sepagi ini sudah pergi dari rumah, dasar menantu tak tahu diuntung, jemuran jadi basah semua,” Omel ibu mertua pada menantunnya, hujan mulai reda dan menyisakan sedikit titik-titik air. Saat itu, sosok berjilbab lebar masuk ke rumah dengan menggendong bayinya yang sudah lelap tertidur.
            “Assalamu’alaikum Bu, saya tadi sudah salam tapi tak ada jawaban, jadi saya masuk saja, saya tidak tahu kalau ibu sudah pulang dari pasar.” Kata Roidah lembut.
            “Kamu ini, kerjanya keluyuran, dasar pengangguran!” Bentak Ibu mertua dengan nada nyelekit.
            “Maafkan Idah Bu, sebenarnya Idah juga enggan menganggur, Idah ingin sekali bisa bekerja, seperti dulu sebelum Idah bertemu dengan Mas Parmin, tapi apa boleh buat, Mas Parmin melarang Idah bekerja dulu, karena Amin masih perlu asuhan ibunya, setidaknya sampai ia sekolah TK,” Papar Idah memberi alasan.
            “Alasan itu lagi yang selalu jadi senjatamu, memang ini salahnya si Parmin yang tidak mau menikah dengan Ita, padahal ia cantik dan kaya,” Gerutu ibu mertua tak jelas, tapi cukup menusuk di relung hati Idah, ingin sekali hal ini diadukannya pada suaminya, tapi ia tak mau menjadi pengadu domba antara Ibu mertua dan suaminya, jadi tak ada pilihan lain selain bertahan dan terus bersabar, saat itu juga Amin terbangun dari tidurnya dan ia menangis. Sepertinya luka hati yang menganga di hati sang bunda ikut dirasakannya, Roidah berusaha menenangkan Amin, tapi Amin tak mau diam. Ibunya mengelus-elus kepalanya, tak sengaja tangannya menyentuh tumor di jidat putra tunggalnya, tangis Amin makin pecah, luh di mata Roidah jatuh satu-satu.
            Ibu mertua Idah bukan sekali ini saja menyinggung-nyinggung soal Ita, hal ini sudah terjadi sejak satu setengah tahun yang lalu, saat Idah dan Parmin baru menjadi menjadi pengantin baru. Siapapun tahu, mertua Idah tak menyetujui pernikahan mereka, karena saat itu ada gadis lain yang bernama Ita, anak kepala desa yang namanya sudah menjadi buah bibir, ia sedang gencar-gencarnya mengejar Parmin, lelaki yang kini menjadi suaminya.
             Parmin memang tidak terlalu tampan, tetapi perawakannya gagah dan tegap, itulah nilai plusnya yang membuat Ita tergila-gila padanya. Sayangnya, selera Parmin pada wanita agak berbeda dari umumnya pria. Ia tidak peduli betapa cantik dan eloknya Ita, anak kampung yang dandanannya bak artis nyasar. Parmin lebih suka Roidah, wanita berkulit coklat keputihan dengan jilbab lebar yang membingkai wajahnya. Mereka bertemu secara tak sengaja ketika ada gempa di Yogyakarta, saat itu Parmin memang sedang menyelesaikan skripsi S-1nya, sebagai calon sarjana pendidikan, ia membahas tentang pendidikan untuk anak korban gempa.
            Ketika itu, Roidah mewakili yayasan yatim piatu “Rahmah” dari Surabaya tempat ia dibesarkan. Ia dipercaya untuk mengetuai rombongan sukarelawan yang datang untuk membantu korban bencana gempa. Roidah memang sudah yatim piatu sejak ia kecil, bahkan ia belum sempat mengenali wajah kedua orang tuanya, maka tidak salah jika ia sangat prihatin pada anak-anak yang terlantar, ia tahu betapa pedihnya seorang anak yang tumbuh tanpa kasih sayang dari orang tuanya. Ia juga telah berjanji akan mendedikasikan dirinya untuk menjadi orang yang bermanfaat bagi semua orang, terutama untuk anak-anak.
            Parmin membutuhkan nara sumber untuk wawancara skripsinya dan Roidah yang menjabat sebagai ketua adalah pilihannya. Memang kebetulan sekali atau mungkin sudah ditakdirkan oleh Allah mereka bertemu. Parmin terpesona pada pandangan pertama, karena wajah Roidah memancarkan cahaya keikhlasan, selain itu Roidah memiliki mata teduh yang membuat Parmin ingin bernaung di bawahnya.
            Saat itu juga, Parmin menceritakan apa yang dirasakannya pada Fandi, sahabat satu kos yang ikut menemaninya, namun ketika Fandi melihat wajah Roidah dengan mata kepalanya sendiri, ia tidak sependapat dengan Parmin, bahkan ia mengatakan bahwa Roidah itu tidak terlalu cantik, karena Fandi memang kurang tertarik pada wanita berjilbab lebar.
            Ternyata yang berpendapat bahwa Roidah kurang cantik tidak hanya Fandi, namun ibu Parmin juga, hal ini diungkapkan oleh ibunya ketika ia ingin melamar Roidah dan menunjukan foto orang yang ingin dipinangnya. Saat itu ibunya bilang.
            “Terus terang, ibu kurang suka padanya, ibu sudah terlanjur cinta pada Ita dan ingin mengambilnya sebagai menantu, Ita itu anak baik, ia sering memberi kejutan hadiah pada ibu, apalagi ketika ia baru pulang dari luar kota, ia tidak pernah lupa membelikan oleh-oleh untukmu dan ibu. Ibu yakin, hidup kita akan lebih baik dari sekarang jika kau menikah dengan Ita, ia anak kepala desa dan kaupun akan mendapatkan peluang jabatan yang sama jika kau mau melamarnya, Ita pasti akan langsung bersedia jadi istrimu jika kau melamarnya sekarang.” Kata ibu Parmin panjang lebar dan menggebu-gebu.
            Tapi Parmin tetap bersikukuh, ia yakin sekali bahwa Roidah adalah tulang rusuk yang selama ini dicarinya. Bidadari surga yang diturunkan Allah khusus untuknya, karena setiap kali ia menatap sosok bermata teduh itu, ada desiran aneh yang belumpernah dirasakannya. Hati kecil Parmin selalu bilang itulah yang disebut cinta. Selain itu, ada hal lain yang membuat Parmin terkesan pada sosok bersahaja yang berjilbab lebar itu, yaitu ketika Parmin menanyakan nomor Hpnya dan menawarkan hubungan yang lebih dekat, ia lantas menjaga jarak dan mengatakan: Aku tidak memberikan nomor Hpku pada sembarangan orang, kupikir, tidak ada wawancara lanjutan setelah ini. Jika masih ada yang ingin ditanyakan, sekarang saja. Satu lagi, aku tidak bisa menerima tawaran hubungan yang sifatnya main-main, tapi aku menerimanya jika kau serius.
            Lugas, tegas, berprinsip dan berkepribadian tangguh, demikianlah konklusi yang dibuat Parmin, maka entah kekuatan dari mana, tiba-tiba saja, ia mempunyai keberanian untuk melamar Roidah, saat itu juga. Masih terekam jelas di benak Parmin, betapa terkesiapnya Roidah ketika mendengar lamarannya, sudah dapat dipastikan, Roidah sangat terkejut dan tidak siap. Keterkejutan Roidah masuk akal dan  lumrah, ia dilamar oleh lelaki yang baru dikenalnya beberapa jam yang lalu, bahkan ia belum sempat menanyakan nama lelaki bertubuh tegap itu!
            “Ibu...........,” Kata Parmin di sela-sela desahannya, lalu ia menarik nafas sebelum melanjutkan kata-katanya. “Yang mau menikah Parmin, bukan ibu dan perlu ibu ketahui juga bahwa Parmin sama sekali tidak tertarik pada Ita, jika ibu tidak mau melamarkan Roidah untukku, aku akan berangkat sendiri ke Surabaya. Jika ibu tetap melarangku, aku tidak akan menikah dengan siapapun selain dia,” Ancam Parmin saat itu, ternyata, kata-kata Parmin cukup membuat ibunya gentar.
            “Te...tapi Min,” Kata-kata ibu Parmin terbata-bata, mungkin sedikit shok. “Apa yang bisa kau banggakan dari wanita yatim piatu yang bajunya kedodoran?,” Tanya ibunya ragu, sepertinya ia kurang pandai memilih kata-kata yang tepat untuk mengungkapkan ketidak sukaannya pada Roidah yang berpenampilan Islami.
            “Kenapa Bu?” Tanya Parmin seketika. “Ibu malu karena ibu belum berjilbab, aku punya niat baik Bu, aku ingin punya anak yang sholeh dan sholehah, aku tak ingin mereka seperti bapaknya yang mengaji saja masih terbata-bata, aku ingin belajar Islam dari istriku sendiri nantinya, karena aku tak mungkin belajar Iqra’ bersama anak-anak TK, aku malu Bu...malu sekali,” Suara Parmin melirih, tapi cukup keras menghantam dinding hati ibunya, secara tidak langsung Parmin sedang protes pada ibunya yang tidak membekalinya dengan ilmu agama yang banyak, untungnya, Parmin bukanlah anak nakal yang hobi bergerombol dengan orang-orang yang bermasa depan suram, bahkan sampai sekarang Parmin masih enggan merokok. Parmin lebih suka berkawan dengan orang-orang yang menurutnya baik, ia yakin sekali pada kebenaran pepatah: Jika ingin melihat perilaku seseorang, lihat saja teman-temannya.
            “Baiklah, ibu akan melamarkan Roidah untukmu,” Akhirnya sang ibu luluh juga. “Ibu, tak mau punya anak perjaka tua,” goda ibunya sambil tersenyum di kulum.
            “Terima kasih Bu..., maaf tadi bicara kurang sopan pada ibu,” Parmin meminta maaf, tulus.
            “Tak apa Min, kamu benar, ibulah yang salah, ibu terlalu gelap mata, ibu belum bisa memahami jalan pikiranmu,” Ungkap ibunya sambil mengusap rambut Parmin yang sedikit ikal.
            Tetapi, biarpun akhirnya Parmin menikah dengan Roidah dan sudah punya anak laki-laki, namun Ita tidak patah arang, ia masih sering mendekati Ibu Parmin dengan hadiah-hadiah, Ita bahkan sempat bilang bahwa ia masih menunggu Parmin duda. Sungguh luar biasa kesungguhan Ita akan cintanya pada Parmin. Sampai-sampai Ibu Parmin sempat berpikir untuk meracuni Roidah agar ia segera mati. Tujuannya tidak lain adalah agar Parmin menjadi duda dan segera menikah dengan Ita.

* * *
           
            Dhuha sudah mulai beranjak siang, Parmin sudah pulang dari sekolah., wajahnya terlihat lelah dan resah. Istrinya, Idah tanggap dan peka pada perubahan diri yang terjadi pada suaminya. Syukurnya, saat itu Amin sudah pulas tertidur. Parmin menatap putra semata wayangnya lekat, kemudian ia mendekap wajahnya. Lalu terduduk di ranjang, Idah pun duduk di sampingnya.
            “Kenapa Mas, ada masalah di sekolah?” Tanya Idah padanya, ia tak bisa menyembunyikan rasa penasarannya.
            “Ehh, tidak Dah, ini tadi aku......,” Parmin terlihat gugup, Idah ingin sekali menyelanya dengan pertanyaan lagi, tapi diurungkannya, suaminya tidak hanya sedang resah, namun juga tergambar gurat ketakutan di wajahnya. Idah memilih menenangkannya dengan menggenggam tangan kekar suaminya, mencoba memberi kekuatan.
            “Idah, ini tadi ada bayaran dari sekolah, yah....... seperti biasa hanya seratus ribu, manfaatkan untuk kebutuhan sehari-hari, maaf belum bisa membuatmu senang, aku sering membayangkan mengajakmu ke pasar besar dan aku bilang kepadamu bahwa kau bisa memilih apapun sesukamu,” Kata Parmin kemudian. Idah hanya tersenyum menanggapi kata-kata suaminya.
            “Ya Allah Mas....., aku sudah khawatir sekali, ku pikir Mas dapat masalah besar apa, apakah selama ini Mas pernah mendapatiku mengomel atau menggerutu karena masalah gaji? Aku tetap bersyukur berapapun yang Mas dapatkan, aku juga sudah mulai pandai mengatur uang agar cukup untuk semuanya,” Idah mencoba menenangkan hati suaminya.
            “Memang, biasanya bisa cukup, tapi sejak Amin terkena tumor, semuanya berubah, semuanya jadi sulit dan menghimpit,” Keluh Parmin mengawang.
            “Ini ujian dari Allah Mas, untuk membuktikan apakah kita kuat atau tidak,” Kata Idah.
            “Tapi sepertinya, suamimu tidak lulus ujian Dah,” Perkataan Parmin membuat sang istri tertegun sesaat, alisnya mengeriyit, ia minta penjelasan.
            “Aku sudah mengambil ini,” Kata Parmin sambil merogoh sesuatu dari kantongnya yang lusuh, dia mengeluarkan sebuah amplop dari sana. Kemudian membukanya, isinya lumayan banyak, beberapa lembar ratusan ribu.
            “Mas hutang ke orang?” Idah mencoba husnudzon. Sesaat, sepi menyergap mereka. Idah masih menunggu jawaban. Sayangnya, Roidah mendapati gelengan suaminya, ini cukup untuk merobohkan benteng prasangka baiknya.
            “Lalu, dari mana Mas dapat ini semua?” Tanya Idah sedikit gusar.
            “Idah, aku.....tadi aku......meminjam uang bayaran anak-anak, aku berniat meminjam uang mereka dulu, baru nanti kuganti, aku ingin Amin sembuh dari tumornya. Ini untuk operasinya, tadinya aku ingin berbohong padamu, tapi kuurungkan, aku tahu, aku tak bisa berbohong padamu.” Nampak sekali keinginan Parmin untuk jujur pada istrinya, ia menunduk dalam, ia tak sempat melihat wajah Roidah yang sempat memerah karena marah.
            “Mas, kenapa pikiran Mas sempit sekali?” Kata Idah, tapi ia menutup mulutnya segera, ia tahu ia salah, karena suaminya sedang butuh dukungan, memojokannya hanya akan membuatnya semakin menyesal dan tertekan. Roidah mengambil nafas sejenak, menenangkan dirinya.
            “Mas, masih banyak jalan untuk mencari kesembuhan Amin, kita bebas memilih jalannya, aku yakin hati kecil Mas menolak ini, aku bisa melihatnya dengan jelas, Mas orang baik dan punya maksud baik. Idah tahu, tak ada orang tua yang tega melihat anaknya terluka dan cacat. Tapi ingat Mas, Amin tidak akan suka jika kesembuhannya harus dibayar mahal dengan menanggalkan kejujuran ayahnya,” Roidah melembutkan suaranya.
            “Harus bagaimana lagi aku ini......, aku sudah sangat pusing untuk memikirkan operasi Amin, aku hanya ingin ia sembuh, itu saja,” Parmin membela diri.
            “Tidak Mas, besok Mas harus mengembalikan uang itu. Kita bisa menghadapi semua ini dengan cara yang diridhoi Allah, ayo kita adukan masalah kita ini pada Allah Mas, Dialah sebaik-baik penolong kita, Allah akan memberi jalan keluar bagi hamba-Nya yang bertakwa,” Ajak Roidah sambil menggandeng tangan suaminya untuk diajak berwudlu untuk seholat Dzuhur berjama’ah, Parmin menurut.

* * *
           
            Malam harinya, di tengah keheningan malam, Parmin belum juga sanggup menutup matanya, ia ingat kata-kata istrinya tadi siang. Saat itu juga, dilihatnya Roidah bangkit dari tidurnya, ia tidak menyadari bahwa suaminya belum tidur.
            Tidak sampai lima menit, Roidah sudah kembali dari kamar mandi, Parmin tahu, istrinya akan menjalankan rutinitas kesehariannya. Tadi Roidah sempat membangunkannya, sebelum ia pergi ke kamar mandi, tapi Parmin enggan membuka matanya, bukan karena ia malas, tapi ia ingin mendengar apa yang akan istrinya adukan pada Allah malam ini.
            Delapan roka’at sudah dijalankan Roidah, maka tibalah saat yang paling dinantikan Parmin. Lirih, didengarnya ratapan Idah.
            Rabbi.......Rahim, Rahman, Aziz, Ghani.......” Idah membuka doanya dengan pujian pada Tuhannya.
            “Ya Allah....Ya Ghafur....aku titipkan salam untuk orang tuaku, jika mereka pendosa, maka ampunilah mereka, jika mereka golongan orang sholeh, izinkan aku berkumpul dengan mereka di akhirat nanti. Ya Rabb....ampunilah suamiku, Engkaulah Maha Pengampun, Engkau tahu apa yang ada di dalam dirinya dan maksud baiknya, Ihdinashirootol Mustaqiim........Berilah jalan lurus untuk kami, jangan biarkan kami tersesat.” Parmin mendengar semuanya, ia merasa malu sekali karena menjadi imam dari wanita tegar yang luar biasa. Seketika itu juga, penyesalan yang dalam mengoyak hati Parmin, matanya mulai digenangi air mata taubat. Parmin beristighfar.
            Ya Muqollibal Qulub.....Yang Maha Membolak-balikan hati, baliklah hati ibu mertuaku, sehingga kebenciannya padaku berubah menjadi cinta..... segala cara sudah ku coba Ya Rabb......aku ingin beliau ikut dalam barisan jama’ah kami, aku ingin beliau mengaji bersama kami, aku ingin beliau berhenti bergunjing dengan tetangga. Ya Allah....maafkanlah hamba yang hanya berani mendoakan dari jauh, karena untuk mengingatkan secara langsung hamba tak mampu.” Tangis Parmin hampir saja pecah, jika saja ia tak menahannya, ia sadar wanita yang sedang berdoa itu memiliki hati yang seputih salju, bahkan detik itu juga ia merasa punya istri malaikat. Parmin sangat tahu, betapa pedihnya hati istrinya, sering ia mendapati ibunya yang masih menyebut-nyebut nama Ita di depan Idah. Tapi, adakah yang lebih mulia melebihi hati yang semanis buah kurma? Ketika ia dilembari batu, ia membalasnya dengan doa.
            Ya Rabb....jadikanlah keluargaku qoni’ah, jika Engkau menakdirkan kami menjadi hamba-Mu yang miskin, berilah kami kesabaran dan keteguhan. Namun, jika kelak Engkau menakdirkan kami menjadi hamba-Mu yang kaya, jangan biarkan kami gelap mata, sombong dan bangga. Asykuruka Ya Rabb....Terimakasih atas segalanya.” Roidah mengusapkan tangan di wajahnya, ia menghapus beberapa tetas embun bening di sudut matanya. Roidah tidak tahu, bantal yang sedang dipakai suaminya sudah basah oleh air mata. Parmin menangis, tapi ia berusaha sangat keras agar sesenggukannya tidak didengar istrinya, istri yang amat dicintainya.

Tidak ada komentar: