Riya’ vs Tahaddust Bin-Ni’mah
Oleh: Rizka Dwi Seftiani
(Pernah dimuat di majalah Nukhbah-Mantingan)
Masalah hati memang
cukup sensitif untuk dibicarakan. Penyakit hati itu banyak macamnya,
diantaranya adalah riya’. Riya’ sendiri memiliki makna sebuah
perasaan di mana hati merasakan sebuah kebanggaan diri, ingin dilihat, merasa
diri lebih baik dan lebih berharga dari orang lain.
Definisi
riya’ juga disandingkan dengan syirik kecil, saking kecilnya, banyak
hati yang tidak merasa. Lebih akut lagi, jika yang kecil-kecil ini senantiasa
ditumpuk, maka akan menjadi penyakit kronis yang bersemayam di hati, sehingga
stadiumnya bertambah dan jadilah penyakit yang sangat parah, yaitu:
kesombongan, sedangkan Allah telah mengingatkan hamba-Nya bahwa Allah sangat
murka terhadap mereka yang menyombongkan diri.
Masalahnya, ada
statement yang membela: Bukan maksud riya’, hanya tahaddust
bin-ni’mah atau dalam bahasa mudahnya, mencoba mensyukuri nikmat Allah
dengan dibicarakan pada orang lain atas nikmat Allah yang telah diberikan.
Di sinilah letak
sinkronisasinya, antara riya’ dan tahaddust bin-ni’mah memiliki
perbedaan yang setipis benang, diibaratkan seperti orang yang sedang berdiri di
atas sebuah garis, dengan kaki kanan di atas tahaddust bin-ni’mah dan
kaki kiri di atas riya’.
Hal ini bukan
berarti kita sama sekali dilarang untuk membicarakan nikmat Allah, hanya saja
yang sulit adalah manajemen hati. Maka dari itu, evaluasi hati harus dilakukan
secara intensif dan berkala, jangan sampai hati yang berdosa ini tidak merasa.
Karena, dosa yang paling berbahaya adalah ketika pelakunya mulai meremehkan
dosa itu sendiri, kemudian dia merasa nyaman dengan dosanya itu.
Dalam surat
terakhir surat Al-Ma’un, Allah juga telah menyindir perilaku riya’ ini.
Dan Allah menggolongkan mereka dalam kelompok pendusta agama. Jadi dosa riya’
sebenarnya sepadan dengan menghardik anak yatim, tidak memberi makan orang
miskin, juga orang-orang yang melalaikan shalat mereka, dan enggan menolong
orang lain dalam kebaikan.
Iblis juga pernah
mengakui bahwa ia sangat menyukai orang-orang yang senantiasa riya’
dalam gerak-gerik dan ucapannya. Selama manusia masih senang dipuji orang lain,
maka ia tak akan selamat dari bahaya riya’. Sering terjadi, orang
memiliki niat yang mulia, mengundang sanak saudara untuk makan-makan dalam
tasyakuran, ternyata dengan niatan agar dibilang sudah sukses.
Contoh lain yang
semarak adalah ketika datang bulan Ramadhan, entah mengapa ajang bulan suci ini
sering dipakai sebagai moment penting untuk para artis dan politikus, mereka
tiba-tiba menjadi orang yang dermawan. Niatnya berbuat kebaikan dengan
mengundang fakir miskin di sekitar, tapi ternyata ada udang di balik batu,
entah bagaimana caranya, sering ada media yang memberitakan, mau tidak mau,
keikhlasan pun berkurang.
Di sini penulis
tidak sedang memperburuk citra mereka yang ingin berbuat baik, toh, kita
sendiri –penulis termasuk di dalamnya- juga menyadari bahwa manajemen hati itu
sulitnya luar biasa. Nafsu yang tampak dari luar masih bisa ditanggulangi,
selama masih punya rasa malu. Namun, nafsu dari dalam diri sulit sekali untuk
diprediksi, kemudian berimbas pada sulitnya upaya pertahanan diri, dalam Islam
disebut: jihadu an-nafsi. Maka, tidak salah ketika ada kata bijak, orang
yang merdeka adalah yang bisa mengalahkan hawa nafsunya.
Rasa ingin dipuji
adalah salah satu nafsu diri yang menjadi cikal bakal tumbuhnya riya’ dalam
hati. Alangkah bijaknya ketika mulai sadar bahwa pujian itu sebenarnya adalah
pedang yang terselubung. Hati memang berbunga-bunga ketika mendapat pujian,
jiwa akan melayang-layang dan lupa daratan. Tapi dalam waktu bersamaan, ada
bahaya yang mengancam, jika rasa tadi tidak segera dikontrol, maka akan berbuah
kecelakaan pada diri sendiri, terutama hati.
Penulis tidak
menyalahkan orang-orang yang sudah terlanjur terkenal. Syahdan, orang
yang unik, berbeda, dan luar biasa sudah pasti dikenal orang. Kun Ghoriban
Fatu’rof, kata pribahasa Arab. Orang yang luar biasa akan menadi bahan
pembicaraan orang lain secara otomatis. Terlebih lagi jika mereka orang yang
baik dan dikenal karena kebaikannya, mungkin ada niat agar bisa jadi teladan
orang lain. Walhasil, semua kembali kepada niat masing-masing, lagi-lagi
semua kembali pada manajemen hati, selamat menata hati. Likullim riin maa
nawaa, usikum binafsy. Wallau A’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar