Selasa, 18 September 2012

RIYA' VS TAHADDUTS BIN-NI'MAH




Riya’ vs Tahaddust Bin-Ni’mah
Oleh: Rizka Dwi Seftiani
(Pernah dimuat di majalah Nukhbah-Mantingan)

            Masalah hati memang cukup sensitif untuk dibicarakan. Penyakit hati itu banyak macamnya, diantaranya adalah riya’. Riya’ sendiri memiliki makna sebuah perasaan di mana hati merasakan sebuah kebanggaan diri, ingin dilihat, merasa diri lebih baik dan lebih berharga dari orang lain.
Definisi riya’ juga disandingkan dengan syirik kecil, saking kecilnya, banyak hati yang tidak merasa. Lebih akut lagi, jika yang kecil-kecil ini senantiasa ditumpuk, maka akan menjadi penyakit kronis yang bersemayam di hati, sehingga stadiumnya bertambah dan jadilah penyakit yang sangat parah, yaitu: kesombongan, sedangkan Allah telah mengingatkan hamba-Nya bahwa Allah sangat murka terhadap mereka yang menyombongkan diri.
            Masalahnya, ada statement yang membela: Bukan maksud riya’, hanya tahaddust bin-ni’mah atau dalam bahasa mudahnya, mencoba mensyukuri nikmat Allah dengan dibicarakan pada orang lain atas nikmat Allah yang telah diberikan.
            Di sinilah letak sinkronisasinya, antara riya’ dan tahaddust bin-ni’mah memiliki perbedaan yang setipis benang, diibaratkan seperti orang yang sedang berdiri di atas sebuah garis, dengan kaki kanan di atas tahaddust bin-ni’mah dan kaki kiri di atas riya’.
            Hal ini bukan berarti kita sama sekali dilarang untuk membicarakan nikmat Allah, hanya saja yang sulit adalah manajemen hati. Maka dari itu, evaluasi hati harus dilakukan secara intensif dan berkala, jangan sampai hati yang berdosa ini tidak merasa. Karena, dosa yang paling berbahaya adalah ketika pelakunya mulai meremehkan dosa itu sendiri, kemudian dia merasa nyaman dengan dosanya itu.
            Dalam surat terakhir surat Al-Ma’un, Allah juga telah menyindir perilaku riya’ ini. Dan Allah menggolongkan mereka dalam kelompok pendusta agama. Jadi dosa riya’ sebenarnya sepadan dengan menghardik anak yatim, tidak memberi makan orang miskin, juga orang-orang yang melalaikan shalat mereka, dan enggan menolong orang lain dalam kebaikan.
            Iblis juga pernah mengakui bahwa ia sangat menyukai orang-orang yang senantiasa riya’ dalam gerak-gerik dan ucapannya. Selama manusia masih senang dipuji orang lain, maka ia tak akan selamat dari bahaya riya’. Sering terjadi, orang memiliki niat yang mulia, mengundang sanak saudara untuk makan-makan dalam tasyakuran, ternyata dengan niatan agar dibilang sudah sukses.
            Contoh lain yang semarak adalah ketika datang bulan Ramadhan, entah mengapa ajang bulan suci ini sering dipakai sebagai moment penting untuk para artis dan politikus, mereka tiba-tiba menjadi orang yang dermawan. Niatnya berbuat kebaikan dengan mengundang fakir miskin di sekitar, tapi ternyata ada udang di balik batu, entah bagaimana caranya, sering ada media yang memberitakan, mau tidak mau, keikhlasan pun berkurang.
            Di sini penulis tidak sedang memperburuk citra mereka yang ingin berbuat baik, toh, kita sendiri –penulis termasuk di dalamnya- juga menyadari bahwa manajemen hati itu sulitnya luar biasa. Nafsu yang tampak dari luar masih bisa ditanggulangi, selama masih punya rasa malu. Namun, nafsu dari dalam diri sulit sekali untuk diprediksi, kemudian berimbas pada sulitnya upaya pertahanan diri, dalam Islam disebut: jihadu an-nafsi. Maka, tidak salah ketika ada kata bijak, orang yang merdeka adalah yang bisa mengalahkan hawa nafsunya.
            Rasa ingin dipuji adalah salah satu nafsu diri yang menjadi cikal bakal tumbuhnya riya’ dalam hati. Alangkah bijaknya ketika mulai sadar bahwa pujian itu sebenarnya adalah pedang yang terselubung. Hati memang berbunga-bunga ketika mendapat pujian, jiwa akan melayang-layang dan lupa daratan. Tapi dalam waktu bersamaan, ada bahaya yang mengancam, jika rasa tadi tidak segera dikontrol, maka akan berbuah kecelakaan pada diri sendiri, terutama hati.
            Penulis tidak menyalahkan orang-orang yang sudah terlanjur terkenal. Syahdan, orang yang unik, berbeda, dan luar biasa sudah pasti dikenal orang. Kun Ghoriban Fatu’rof, kata pribahasa Arab. Orang yang luar biasa akan menadi bahan pembicaraan orang lain secara otomatis. Terlebih lagi jika mereka orang yang baik dan dikenal karena kebaikannya, mungkin ada niat agar bisa jadi teladan orang lain. Walhasil, semua kembali kepada niat masing-masing, lagi-lagi semua kembali pada manajemen hati, selamat menata hati. Likullim riin maa nawaa, usikum binafsy. Wallau A’lam.

Tidak ada komentar: