WASIAT IBU
Oleh:
Nahla Riezuka
Kulangkahkan kaki keluar dari pesantren salafy Nurul Qur’an yang telah
mendidikku dan mengajarkanku kehidupan. Barang bawaanku memang cukup
merepotkan, tas besar di tangan kanan dan yang berukuran sedang di tangan kiri.
Padahal, buku-buku pelajaran yang sudah kubeli di pesantren sengaja ku
tinggalkan, kusumbangkan ke perpustakaan pondok agar bisa mengurangi bawaan. Aku
tidak seperti teman-temanku yang lainnya. Mereka dijemput dengan mobil, oleh
keluarga mereka yang lengkap. Sedangkan aku harus pulang sendiri.
Bapak….bapak…..kenapa bapak musti bunuh diri, setelah usaha bapak bangkrut dan
dililit hutang? Bapak juga meninggalkan ibu, aku dan Rosyad dengan
masalah-masalah yang sungguh menyusahkan kami. Apakah bapak sudah lupa dengan
nasehat bapak sendiri bahwa kita harus sabar menerima cobaan dari Allah?
Masih serasa di alam mimpi saja, akhirnya semuanya
berakhir dengan baik. Setidaknya aku bisa menyelesaikan kewajibanku untuk
belajar, walaupun aku harus belajar mati-matian dan membanting tulang. Aku
bersyukur pada Allah Yang Maha Pemurah yang mengirimkan malaikat-Nya lewat
tangan Ustadz Romli. Beliaulah yang mengabarkan padaku tentang kematian bapak,
beliau prihatin dengan nasib yang menimpaku. Sebenarnya, waktu itu ibu
memaksaku pulang, tapi aku enggan pulang karena sudah terlanjur betah di
pondok. Ustadz Romli yang paling tahu tentang masalahku ini, kemudian beliau
menawarkan bantuan untuk biaya sekolahku, sebenarnya aku sangat ingin
menerimanya, tapi aku tidak mau mendapat bantuan dengan cuma-cuma. Maka, Ustadz
Romli menyuruhku untuk membantu istrinya yang sedang hamil muda dan aku bersedia.
* * *
Di sampingku sudah ada seorang nenek yang umurnya
berkisar di angka lima
puluhan. Aku tak tahu kapan ia datang, aku pun iseng menanyakan tujuan kemana
ia akan pergi, ia menjawab akan ke Banyuwangi, ku katakan padanya bahwa ia satu
tujuan denganku. Senang juga punya teman seperjalanan, walaupun hanya seorang
nenek. Tadinya aku hendak bertanya padanya, kenapa pergi sendirian, tapi aku
urungkan karena itu bukan urusanku.
Bus yang sejak tadi ku tunggu akhirnya
datang juga, ku lambaikan tangan bertanda aku dan nenek di sampingku adalah calon
penumpangnya. Bunyi decitan bus memekakan telinga ketika sang supir mengerem,
kondekturnya berteriak-teriak menyuruhku dan sang nenek naik secepatnya.
Aku mendahulukan sang nenek dulu, namanya juga
nenek-nenek, lambannya minta ampun, para penumpang mulai mengumpat, sang
kondektur berwajah beringas itu menatapku tak sabar dan marah, seolah
mengatakan: Suruh nenekmu cepat! aku
memasang wajah membela diri, aku dan nenek itu tak ada hubungan sama sekali,
kecuali hanya kami punya tujuan yang sama. Setelah sang nenek naik, kini
giliranku naik. Baru saja kaki kananku menapak ke tangga bus, sedang kaki
kiriku masih mengambang, supirnya sudah mulai menjalankan busnya, aku hampir
terjungkal keluar, tapi kondekturnya menarik tanganku cepat sambil tersenyum nakal,
aku beristighfar dalam hati, ini namanya mengambil kesempatan dalam kesempitan.
Sebenarnya aku tak rela tanganku dipegang-pegang oleh orang yang bukan muhrimku, tapi membayangkan kepalaku
remuk jika saja ia tidak sigap menarikku tadi, mau tidak mau aku harus
berterima kasih padanya.
Masalahku tidak selesai sampai di sini,
tadinya aku membayangkan aku akan langsung duduk manis dengan menyelonjorkan
kaki pegalku setelah aku naik bus. Keadaannya tak semudah itu, bus ini penuh,
ralat terlalu penuh. Bahkan sebelum kami sudah ada sekitar tiga orang yang
berdiri. Sebenarnya bukan masalah besar bagiku, karena aku yakin beberapa orang
akan turun. Tapi, mungkin cukup bermasalah untuk nenek yang namanya saja aku
belum tahu. Ia terlihat cukup letih, aku pun menunggu kalau-kalau ada penumpang
yang berbaik hati memberikan tempat duduknya untuk nenek. Ku lihat wajah mereka
satu-persatu dengan tatapan cukup memelas, berharap ada wajah baik yang mungkin
bisa luluh hatinya. Tapi, sepertinya usahaku nihil.
Sang nenek mulai mengeluh kelelahan
padaku, setengah jam sudah kami berdiri, sebenarnya tadi sudah ada seorang
penumpang yang turun, tapi penumpang yang sudah berdiri sebelum kami masuk telah
meraih tempat duduk itu terlebih dahulu. Padahal ia seorang lelaki yang
terlihat masih muda dan bugar. Seandainya aku jadi dia, aku akan menawarkan
tempat duduk itu untuk sang nenek. Aku pun hanya bisa berdoa, semoga saja ada
penumpang lagi yang turun.
Sepertinya tidak perlu waktu yang lama
untuk menunggu doaku dikabulkan, karena ada tiga penumpang yang turun dan
tempat duduk mereka tidak jauh dari aku dan nenek. Setelah mereka bernjak, kupersilahkan
nenek duduk terlebih dahulu, kemudian aku.
* * *
Tidak
tahu sejak kapan aku telah terlelap, tapi aku baru bangun setelah kondektur
membangunkan aku, ia bilang busnya sudah masuk ke kota Banyuwangi. Ku usap mataku untuk
mengembalikan ruhku secara sempurna, aku menoleh ke samping, sang nenek masih
terlelap, pulas sekali. Sebenarnya aku tak tega untuk membangunkannya, tapi aku
harus membangunkannya agar ia juga bersiap-siap untuk turun.
“Nek,
bangun Nek! Sebentar lagi sampai,” Ku pegang tangannya lembut. Ia
mengerjap-ngerjap, lalu aku tersenyum padanya.
“Cepat
juga ya?!,” Katanya kemudian, aku hanya mengangguk.
Tidak
lama kemudian, kondektur berteriak mengumumkan bahwa bus sudah sampai di
terminal Boyolali, aku dan nenek bersiap-siap untuk turun bersama dengan
beberapa penumpang lainnya. Aku berdiri hendak mengambil barang di atas tempat
dudukku, tapi aku tak menemukan tasku yang berukuran sedang, yang tersisa
hanyalah tas besar saja. Aku mulai kalut, ku cari di bawah tempat duduk dan di
mana pun. Kondektur juga sudah tak sabar menyuruh kami segera turun.
“Ayo
cepat yang mau turun!,” Suaranya membahana memenuhi bus yang penumpangnya sudah
cukup lenggang.
“Iya
Pak, tunggu sebentar, tas saya hilang satu,” Keluhku. “Bapak lihat tidak?”
Tanyaku kemudian.
“Mbak
sih, dari tadi tidur terus, mungkin diambil orang, sudah cepat turun!!”
Kondekturnya mulai tidak sabar.
“Tapi
tidak bisa Pak, tas yang hilang itu berisi barang-barang saya yang paling
penting,” Aku tidak sedang berbohong, ijazahku ada di dalamnya, jika itu
hilang….aku tidak bisa membayangkan, hasil belajarku selama enam tahun
seolah-olah tak berbekas.
“Terus
mau bagaimana lagi, kalau hilang ya sudah, memangnya Mbak tidak mau turun? Ini
terminal terakhir Mbak!” Tanyanya semakin tidak sabar. Aku pun menenteng tas
besarku, sang nenek entah tak tahu kemana perginya, ia turun mendahului aku.
Kakiku lunglai, seakan tenagaku terkuras habis. Ku seret kakiku, sebelum mata
Sang Kondektur melompat keluar.
*
* *
Langkahku
gontai, aku marah pada diriku sendiri yang ceroboh, ingin rasanya mengembalikan
waktu, kemudian aku tidak akan tidur dan aku bisa mencegah siapa pun mengambil
barangku. Tapi semua sudah terjadi, aku hanya tinggal menunggu hikmah apa yang
telah Allah persiapkan untukku di balik peristiwa yang menyedihkan ini.
Sekarang aku harus pulang ke rumah, aku mulai memilih ojek yang bisa
kutumpangi, sebelumnya aku melihat tampang mereka dulu, ku cari yang sudah agak
tua, masih terngiang nasehat Ustadz Romli bahwa di luar banyak orang jahat,
kalau naik ojek nanti harus hati-hati, cari saja yang sudah agak tua, jangan cari
tukang ojek yang masih muda. Dan aku menuruti nasehatnya.
Tidak
sampai satu jam, aku sudah sampai di depan rumahku. Tapi aku tidak yakin kalau
ini adalah rumahku, alamatnya aku yakin aku tidak salah, bagaimana aku bisa
lupa dengan alamat rumahku sendiri. Tapi, yang ada di depanku sekarang bukanlah
sebuah rumah, tapi sebuah toko roti. Ada
papan besar terpampaang di depannya bertuliskan: Toko Roti BAROKAH Menerima
pesananan. Aku mulai berpikir, jangan-jangan ibu menjual rumah untuk membayar
hutang bapak, kemudian pindah rumah tanpa sepengetahuanku.
“Hei
Mbak, sampai kapan mau berdiri di situ?” Tanya sebuah suara, aku mengenal suara
itu, aku pun berbalik. Adikku, Rosyad, ia memakai seragam SMA, sepertinya dia
baru pulang dari sekolah.
“Hei
Syad, itu toko siapa?” Aku tidak bisa menyembunyikan rasa penasaranku. Rosyad
tak menjawab, ia malah menarik tas dari tanganku, lalu menggiringku dan aku
seumpama kerbau yang dicocok hidungnya.
Rosyad
mengatakan kepadaku bahwa ibu bekerja keras setelah bapak meninggal. Lalu ada
tetangga yang bilang, sebaiknya rumah dijadikan ruko agar lebih bermanfaat.
Maka dari itu, ibu mengambil resiko dengan berani berhutang lagi dan membangun
ruko ini. Itu berarti hutang ayah yang belum terlunasi harus ditambah lagi
dengan hutang ibu untuk biaya pembangunan ruko dan modal usaha. Memang benar
jika ada yang bilang bahwa resiko yang besar, jika sudah berhasil, maka
hasilnya juga akan besar, sebesar resiko yang telah diambil. Namun sebaliknya,
jika gagal, maka kerugian yang ditanggung juga tidak sedikit.
Alhamdulillah, toko roti yang dibuka ibu
laris manis, bahkan sekarang sudah bisa membuka cabang di pasar. Hutang-hutang
pun bisa dilunasi sedikit demi sedikit. Aku bertanya kepadanya, mengapa tidak
mengabariku bahwa ekonomi keluarga sudah membaik, dengan begitu, aku tidak
perlu kerja di rumahnya Ustadz Romli lagi.
Ia bilang, ibu percaya aku adalah orang yang mandiri, lagi pula,
keuntungan hasil penjualan roti itu digunakan untuk membayar hutang yang
menganak gunung itu. Aku berusaha mengerti.
Rosyad
tidak berbohong, toko kami memang cukup ramai, ibu terlihat sibuk melayani
pembeli, ibu juga dibantu tiga karyawan. Kata Rosyad, cabang toko kami yang di
pasar dikelola oleh paman kami. Aku bersyukur sekali, sejenak aku mulai
melupakan tasku yang berisi ijazahku. Kupandangi wajah ibuku yang terlihat
letih namun penuh semangat. Mungkin ia merasa sedang diamati, maka ia menoleh
kepadaku.
“Subhanallah…..!!! Zainab….., anakku…..!!!”
Ibu histeris sekali, ia berlari mendekatiku kemudian memelukku erat.
Orang-orang berhenti sejenak dari aktivitas mereka, acara jual beli itu sejenak
terhenti, mereka melihat ke arah kami yang sedang mendramatisir adegan, aku
sudah seperti bintang film dalam sinetron saja.
“Mengapa
tidak mengabari ibu kalau kau pulang sekarang, Ibu dan Rosyad kan bisa menjemput, Ibu kangen sekali Nak….”
Suara ibu parau, sepertinya ibu menangis. Aku terharu.
“Bu,
Zainab pulang bawa dua kabar, kabar baik dan kabar buruk,” Aku masih ada di
pelukan ibuku ketika berbicara. “Kabar baiknya, Zainab sekarang sudah lulus
dari pesantren dan boleh pulang, tapi kabar buruknya, ijazah Zainab hilang
waktu di bus tadi,” Ibu melepaskan pelukannya dariku, ia tampak mencerna kata-kataku.
Saat itu juga, Rosyad minta izin pada kami untuk masuk ke kamar dan memasukkan
tasku yang cukup besar.
“Sudahlah
Nak, kau tidak akan mati tanpa ijazah itu, lagipula banyak orang yang
kesana-kemari mencari pekerjan dengan ijazahnya, tapi tak laku. Ijazah sekarang
juga sudah banyak yang tidak murni, orang sudah banyak yang bisa beli ijazah.”
Ibu mencoba menenangkanku, ia mengusap-usap kepalaku yang berjilbab biru.
“Setelah
ini, kau bekerja dengan ibu saja, syaratnya gampang, kau tak perlu ijazah di sini, yang kau perlukan
hanyalah kerja keras di waktu sukses maupun gagal, sabar menghadapi pembeli
karena pembeli adalah raja, sabar saat ada masalah, lalu menyelesaikannya,
syukur dan tidak kufur jika diberi keuntungan dan rizki berlebih oleh Allah, kemudian
tidak lupa mengeluarkan zakatnya. Oh ya, ada lagi syarat paling penting, yaitu
kejujuran, itu mutlak untuk pedagang dan pengusaha. Eh, asal tahu saja ya Zai,
wiraswasta itu lebih enak dari pada pegawai, pekerjaannya lebih santai dan kita
tidak diatur orang,” Penjelasan ibu panjang sekali, tapi ini sangat penting
untukku, ibu memang motivator terbaikku. Ibu….bagaimana ibu bisa setegar ini,
padahal ibu sudah janda dan tidak bersuami. Apakah kesulitan yang ibu hadapi
selama ini semakin membuat ibu bertambah kuat?
“Ibu,
aku bangga punya ibu sepertimu, ku pikir tadi kau akan memarahiku karena
kecerobohanku yang ketiduran di dalam bus, seandainya aku tidak tidur, aku bisa
menunjukan ijazahku sekarang dan ibu akan bangga padaku karena aku mumtazah bu….., aku lulus dengan nilai
yang memuaskan, sayangnya ibu tidak bisa melihatnya. Aku belajar sangat keras,
aku ingin membuat ibu bangga padaku,” Aku meyakinkan pada ibu. Orang-orang
sudah mulai melanjutkan transaksi jual-beli, mungkin tontonannya sudah tidak
menarik lagi, karena aku dan ibu sudah berhenti menangis.
“Tak
usahlah ibu melihatnya, ibu sudah bangga, sekarang ibu mau bukti saja. Jika
persyaratan yang ibu ajukan tadi semuanya bisa kau jalani, ibu akan sangaaaaat
bangga,” Senyum ibu terkembang ketika mengucapkannya, hormone-hormon positif
menjalari tubuhku.
“OK,
aku akan buktikan sekarang pada ibu!!!” Aku bersemangat sekali, aku langsung
menuju ke etalase toko untuk melayani pembeli, aku akan berusaha seramah
mungkin pada mereka, ibu mengamati gelagatku, ia menggelengkan kepalanya sambil
tertawa.
“Zainab….Zainab……,”
Gumam ibu padaku, aku bisa mendengarnya karena ia melangkah mendekatiku, kami
berjualan bersama, beberapa kali ibu menyuruhku untuk istirahat dahulu dan
ganti baju, tapi aku menolak. Kemudian ibu menanyakan padaku apakah aku sudah
sholat, aku jadi teringat bahwa aku belum sholat. Kemudian aku berlari menuju
ke kamar mandi untuk mengambil air wudlu. Sebelum aku berlari, Ibu sempat
menasehatiku, nasehat yang tidak pernah ku lupakan seumur hidupku.
“Zai,
kamu bekerja itu untuk dunia, tapi kalau diniati untuk ibadah, jadinya untuk
dunia dan akhirat. Tapi jangan sampai lupa shalat, kamu tidak boleh disibukkan
dengan dunia dan melupakan akhirat,” Demikianlah wasiatnya untukku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar