Selasa, 18 September 2012

WASIAT IBU




WASIAT IBU
Oleh: Nahla Riezuka

Kulangkahkan kaki keluar dari pesantren salafy Nurul Qur’an yang telah mendidikku dan mengajarkanku kehidupan. Barang bawaanku memang cukup merepotkan, tas besar di tangan kanan dan yang berukuran sedang di tangan kiri. Padahal, buku-buku pelajaran yang sudah kubeli di pesantren sengaja ku tinggalkan, kusumbangkan ke perpustakaan pondok agar bisa mengurangi bawaan. Aku tidak seperti teman-temanku yang lainnya. Mereka dijemput dengan mobil, oleh keluarga mereka yang lengkap. Sedangkan aku harus pulang sendiri. Bapak….bapak…..kenapa bapak musti bunuh diri, setelah usaha bapak bangkrut dan dililit hutang? Bapak juga meninggalkan ibu, aku dan Rosyad dengan masalah-masalah yang sungguh menyusahkan kami. Apakah bapak sudah lupa dengan nasehat bapak sendiri bahwa kita harus sabar menerima cobaan dari Allah?
Masih serasa di alam mimpi saja, akhirnya semuanya berakhir dengan baik. Setidaknya aku bisa menyelesaikan kewajibanku untuk belajar, walaupun aku harus belajar mati-matian dan membanting tulang. Aku bersyukur pada Allah Yang Maha Pemurah yang mengirimkan malaikat-Nya lewat tangan Ustadz Romli. Beliaulah yang mengabarkan padaku tentang kematian bapak, beliau prihatin dengan nasib yang menimpaku. Sebenarnya, waktu itu ibu memaksaku pulang, tapi aku enggan pulang karena sudah terlanjur betah di pondok. Ustadz Romli yang paling tahu tentang masalahku ini, kemudian beliau menawarkan bantuan untuk biaya sekolahku, sebenarnya aku sangat ingin menerimanya, tapi aku tidak mau mendapat bantuan dengan cuma-cuma. Maka, Ustadz Romli menyuruhku untuk membantu istrinya yang sedang  hamil muda dan aku bersedia. 
* * *
Di sampingku sudah ada seorang nenek yang umurnya berkisar di angka lima puluhan. Aku tak tahu kapan ia datang, aku pun iseng menanyakan tujuan kemana ia akan pergi, ia menjawab akan ke Banyuwangi, ku katakan padanya bahwa ia satu tujuan denganku. Senang juga punya teman seperjalanan, walaupun hanya seorang nenek. Tadinya aku hendak bertanya padanya, kenapa pergi sendirian, tapi aku urungkan karena itu bukan urusanku.
Bus yang sejak tadi ku tunggu akhirnya datang juga, ku lambaikan tangan bertanda aku dan nenek di sampingku adalah calon penumpangnya. Bunyi decitan bus memekakan telinga ketika sang supir mengerem, kondekturnya berteriak-teriak menyuruhku dan sang nenek naik secepatnya.
 Aku mendahulukan sang nenek dulu, namanya juga nenek-nenek, lambannya minta ampun, para penumpang mulai mengumpat, sang kondektur berwajah beringas itu menatapku tak sabar dan marah, seolah mengatakan: Suruh nenekmu cepat!  aku memasang wajah membela diri, aku dan nenek itu tak ada hubungan sama sekali, kecuali hanya kami punya tujuan yang sama. Setelah sang nenek naik, kini giliranku naik. Baru saja kaki kananku menapak ke tangga bus, sedang kaki kiriku masih mengambang, supirnya sudah mulai menjalankan busnya, aku hampir terjungkal keluar, tapi kondekturnya menarik tanganku cepat sambil tersenyum nakal, aku beristighfar dalam hati, ini namanya mengambil kesempatan dalam kesempitan. Sebenarnya aku tak rela tanganku dipegang-pegang oleh orang yang bukan muhrimku, tapi membayangkan kepalaku remuk jika saja ia tidak sigap menarikku tadi, mau tidak mau aku harus berterima kasih padanya.
Masalahku tidak selesai sampai di sini, tadinya aku membayangkan aku akan langsung duduk manis dengan menyelonjorkan kaki pegalku setelah aku naik bus. Keadaannya tak semudah itu, bus ini penuh, ralat terlalu penuh. Bahkan sebelum kami sudah ada sekitar tiga orang yang berdiri. Sebenarnya bukan masalah besar bagiku, karena aku yakin beberapa orang akan turun. Tapi, mungkin cukup bermasalah untuk nenek yang namanya saja aku belum tahu. Ia terlihat cukup letih, aku pun menunggu kalau-kalau ada penumpang yang berbaik hati memberikan tempat duduknya untuk nenek. Ku lihat wajah mereka satu-persatu dengan tatapan cukup memelas, berharap ada wajah baik yang mungkin bisa luluh hatinya. Tapi, sepertinya usahaku nihil.
Sang nenek mulai mengeluh kelelahan padaku, setengah jam sudah kami berdiri, sebenarnya tadi sudah ada seorang penumpang yang turun, tapi penumpang yang sudah berdiri sebelum kami masuk telah meraih tempat duduk itu terlebih dahulu. Padahal ia seorang lelaki yang terlihat masih muda dan bugar. Seandainya aku jadi dia, aku akan menawarkan tempat duduk itu untuk sang nenek. Aku pun hanya bisa berdoa, semoga saja ada penumpang lagi yang turun.
Sepertinya tidak perlu waktu yang lama untuk menunggu doaku dikabulkan, karena ada tiga penumpang yang turun dan tempat duduk mereka tidak jauh dari aku dan nenek. Setelah mereka bernjak, kupersilahkan nenek duduk terlebih dahulu, kemudian aku.
* * *
            Tidak tahu sejak kapan aku telah terlelap, tapi aku baru bangun setelah kondektur membangunkan aku, ia bilang busnya sudah masuk ke kota Banyuwangi. Ku usap mataku untuk mengembalikan ruhku secara sempurna, aku menoleh ke samping, sang nenek masih terlelap, pulas sekali. Sebenarnya aku tak tega untuk membangunkannya, tapi aku harus membangunkannya agar ia juga bersiap-siap untuk turun.
            “Nek, bangun Nek! Sebentar lagi sampai,” Ku pegang tangannya lembut. Ia mengerjap-ngerjap, lalu aku tersenyum padanya.
            “Cepat juga ya?!,” Katanya kemudian, aku hanya mengangguk.
            Tidak lama kemudian, kondektur berteriak mengumumkan bahwa bus sudah sampai di terminal Boyolali, aku dan nenek bersiap-siap untuk turun bersama dengan beberapa penumpang lainnya. Aku berdiri hendak mengambil barang di atas tempat dudukku, tapi aku tak menemukan tasku yang berukuran sedang, yang tersisa hanyalah tas besar saja. Aku mulai kalut, ku cari di bawah tempat duduk dan di mana pun. Kondektur juga sudah tak sabar menyuruh kami segera turun.
            “Ayo cepat yang mau turun!,” Suaranya membahana memenuhi bus yang penumpangnya sudah cukup lenggang.
            “Iya Pak, tunggu sebentar, tas saya hilang satu,” Keluhku. “Bapak lihat tidak?” Tanyaku kemudian.
            “Mbak sih, dari tadi tidur terus, mungkin diambil orang, sudah cepat turun!!” Kondekturnya mulai tidak sabar.
            “Tapi tidak bisa Pak, tas yang hilang itu berisi barang-barang saya yang paling penting,” Aku tidak sedang berbohong, ijazahku ada di dalamnya, jika itu hilang….aku tidak bisa membayangkan, hasil belajarku selama enam tahun seolah-olah tak berbekas.
            “Terus mau bagaimana lagi, kalau hilang ya sudah, memangnya Mbak tidak mau turun? Ini terminal terakhir Mbak!” Tanyanya semakin tidak sabar. Aku pun menenteng tas besarku, sang nenek entah tak tahu kemana perginya, ia turun mendahului aku. Kakiku lunglai, seakan tenagaku terkuras habis. Ku seret kakiku, sebelum mata Sang Kondektur melompat keluar.

* * *
            Langkahku gontai, aku marah pada diriku sendiri yang ceroboh, ingin rasanya mengembalikan waktu, kemudian aku tidak akan tidur dan aku bisa mencegah siapa pun mengambil barangku. Tapi semua sudah terjadi, aku hanya tinggal menunggu hikmah apa yang telah Allah persiapkan untukku di balik peristiwa yang menyedihkan ini. Sekarang aku harus pulang ke rumah, aku mulai memilih ojek yang bisa kutumpangi, sebelumnya aku melihat tampang mereka dulu, ku cari yang sudah agak tua, masih terngiang nasehat Ustadz Romli bahwa di luar banyak orang jahat, kalau naik ojek nanti harus hati-hati, cari saja yang sudah agak tua, jangan cari tukang ojek yang masih muda. Dan aku menuruti nasehatnya.
            Tidak sampai satu jam, aku sudah sampai di depan rumahku. Tapi aku tidak yakin kalau ini adalah rumahku, alamatnya aku yakin aku tidak salah, bagaimana aku bisa lupa dengan alamat rumahku sendiri. Tapi, yang ada di depanku sekarang bukanlah sebuah rumah, tapi sebuah toko roti. Ada papan besar terpampaang di depannya bertuliskan: Toko Roti BAROKAH Menerima pesananan. Aku mulai berpikir, jangan-jangan ibu menjual rumah untuk membayar hutang bapak, kemudian pindah rumah tanpa sepengetahuanku.
            “Hei Mbak, sampai kapan mau berdiri di situ?” Tanya sebuah suara, aku mengenal suara itu, aku pun berbalik. Adikku, Rosyad, ia memakai seragam SMA, sepertinya dia baru pulang dari sekolah.
            “Hei Syad, itu toko siapa?” Aku tidak bisa menyembunyikan rasa penasaranku. Rosyad tak menjawab, ia malah menarik tas dari tanganku, lalu menggiringku dan aku seumpama kerbau yang dicocok hidungnya.
            Rosyad mengatakan kepadaku bahwa ibu bekerja keras setelah bapak meninggal. Lalu ada tetangga yang bilang, sebaiknya rumah dijadikan ruko agar lebih bermanfaat. Maka dari itu, ibu mengambil resiko dengan berani berhutang lagi dan membangun ruko ini. Itu berarti hutang ayah yang belum terlunasi harus ditambah lagi dengan hutang ibu untuk biaya pembangunan ruko dan modal usaha. Memang benar jika ada yang bilang bahwa resiko yang besar, jika sudah berhasil, maka hasilnya juga akan besar, sebesar resiko yang telah diambil. Namun sebaliknya, jika gagal, maka kerugian yang ditanggung juga tidak sedikit.
            Alhamdulillah, toko roti yang dibuka ibu laris manis, bahkan sekarang sudah bisa membuka cabang di pasar. Hutang-hutang pun bisa dilunasi sedikit demi sedikit. Aku bertanya kepadanya, mengapa tidak mengabariku bahwa ekonomi keluarga sudah membaik, dengan begitu, aku tidak perlu kerja di rumahnya Ustadz Romli lagi.  Ia bilang, ibu percaya aku adalah orang yang mandiri, lagi pula, keuntungan hasil penjualan roti itu digunakan untuk membayar hutang yang menganak gunung itu. Aku berusaha mengerti.
            Rosyad tidak berbohong, toko kami memang cukup ramai, ibu terlihat sibuk melayani pembeli, ibu juga dibantu tiga karyawan. Kata Rosyad, cabang toko kami yang di pasar dikelola oleh paman kami. Aku bersyukur sekali, sejenak aku mulai melupakan tasku yang berisi ijazahku. Kupandangi wajah ibuku yang terlihat letih namun penuh semangat. Mungkin ia merasa sedang diamati, maka ia menoleh kepadaku.
            Subhanallah…..!!! Zainab….., anakku…..!!!” Ibu histeris sekali, ia berlari mendekatiku kemudian memelukku erat. Orang-orang berhenti sejenak dari aktivitas mereka, acara jual beli itu sejenak terhenti, mereka melihat ke arah kami yang sedang mendramatisir adegan, aku sudah seperti bintang film dalam sinetron saja.
            “Mengapa tidak mengabari ibu kalau kau pulang sekarang, Ibu dan Rosyad kan bisa menjemput, Ibu kangen sekali Nak….” Suara ibu parau, sepertinya ibu menangis. Aku terharu.
            “Bu, Zainab pulang bawa dua kabar, kabar baik dan kabar buruk,” Aku masih ada di pelukan ibuku ketika berbicara. “Kabar baiknya, Zainab sekarang sudah lulus dari pesantren dan boleh pulang, tapi kabar buruknya, ijazah Zainab hilang waktu di bus tadi,” Ibu melepaskan pelukannya dariku, ia tampak mencerna kata-kataku. Saat itu juga, Rosyad minta izin pada kami untuk masuk ke kamar dan memasukkan tasku yang cukup besar.
            “Sudahlah Nak, kau tidak akan mati tanpa ijazah itu, lagipula banyak orang yang kesana-kemari mencari pekerjan dengan ijazahnya, tapi tak laku. Ijazah sekarang juga sudah banyak yang tidak murni, orang sudah banyak yang bisa beli ijazah.” Ibu mencoba menenangkanku, ia mengusap-usap kepalaku yang berjilbab biru.
            “Setelah ini, kau bekerja dengan ibu saja, syaratnya gampang, kau  tak perlu ijazah di sini, yang kau perlukan hanyalah kerja keras di waktu sukses maupun gagal, sabar menghadapi pembeli karena pembeli adalah raja, sabar saat ada masalah, lalu menyelesaikannya, syukur dan tidak kufur jika diberi keuntungan dan rizki berlebih oleh Allah, kemudian tidak lupa mengeluarkan zakatnya. Oh ya, ada lagi syarat paling penting, yaitu kejujuran, itu mutlak untuk pedagang dan pengusaha. Eh, asal tahu saja ya Zai, wiraswasta itu lebih enak dari pada pegawai, pekerjaannya lebih santai dan kita tidak diatur orang,” Penjelasan ibu panjang sekali, tapi ini sangat penting untukku, ibu memang motivator terbaikku. Ibu….bagaimana ibu bisa setegar ini, padahal ibu sudah janda dan tidak bersuami. Apakah kesulitan yang ibu hadapi selama ini semakin membuat ibu bertambah kuat?
            “Ibu, aku bangga punya ibu sepertimu, ku pikir tadi kau akan memarahiku karena kecerobohanku yang ketiduran di dalam bus, seandainya aku tidak tidur, aku bisa menunjukan ijazahku sekarang dan ibu akan bangga padaku karena aku mumtazah bu….., aku lulus dengan nilai yang memuaskan, sayangnya ibu tidak bisa melihatnya. Aku belajar sangat keras, aku ingin membuat ibu bangga padaku,” Aku meyakinkan pada ibu. Orang-orang sudah mulai melanjutkan transaksi jual-beli, mungkin tontonannya sudah tidak menarik lagi, karena aku dan ibu sudah berhenti menangis.
            “Tak usahlah ibu melihatnya, ibu sudah bangga, sekarang ibu mau bukti saja. Jika persyaratan yang ibu ajukan tadi semuanya bisa kau jalani, ibu akan sangaaaaat bangga,” Senyum ibu terkembang ketika mengucapkannya, hormone-hormon positif menjalari tubuhku.
            “OK, aku akan buktikan sekarang pada ibu!!!” Aku bersemangat sekali, aku langsung menuju ke etalase toko untuk melayani pembeli, aku akan berusaha seramah mungkin pada mereka, ibu mengamati gelagatku, ia menggelengkan kepalanya sambil tertawa.
            “Zainab….Zainab……,” Gumam ibu padaku, aku bisa mendengarnya karena ia melangkah mendekatiku, kami berjualan bersama, beberapa kali ibu menyuruhku untuk istirahat dahulu dan ganti baju, tapi aku menolak. Kemudian ibu menanyakan padaku apakah aku sudah sholat, aku jadi teringat bahwa aku belum sholat. Kemudian aku berlari menuju ke kamar mandi untuk mengambil air wudlu. Sebelum aku berlari, Ibu sempat menasehatiku, nasehat yang tidak pernah ku lupakan  seumur hidupku.
            “Zai, kamu bekerja itu untuk dunia, tapi kalau diniati untuk ibadah, jadinya untuk dunia dan akhirat. Tapi jangan sampai lupa shalat, kamu tidak boleh disibukkan dengan dunia dan melupakan akhirat,” Demikianlah wasiatnya untukku.









Tidak ada komentar: