korelasi Iman dan amal
Rizka Dwi
Seftiani, S.Pd.I
Pendahuluan
Seorang
wartawan muslim yang paham mengenai hukum suap-menyuap mulai berani menerima
‘hadiah’ dari seorang koruptor agar bersedia memperbaiki namanya yang sering
dihujat di koran. Dai-dai di masjid yang selalu menganjurkan kepada
jamaahnya untuk memberi sedekah kepada fakir miskin melewati seorang
peminta-minta di pasar yang sudah dua hari belum makan. Guru agama Islam yang gencar melarang
muridnya merokok terlihat sedang menikmati seputung gudang garan di sebuah kedai
kopi.
Fenomena
di atas hanyalah segelintir contoh yang mengungkapkan fakta bahwa masih banyak
penyelewengan dan sekularisme yang terjadi di tengah-tengah agama Islam.
Keselarasan antara iman dan amal mulai diragukan. Kini, banyak orang yang
bicara tanpa berbuat, menganjurkan tanpa memberi contoh konkrit. Jika ini
dibiarkan, bisa terjadi futur iman, karena iman sendiri akan luntur jika
maksiat-maksiat terus berlangsung.
Hal
inilah yang ingin dibahas oleh penulis, mengingat keimanan adalah syarat utama
diterimanya amalan seorang manusia. Maka penting sekali untuk intropeksi, bisa
jadi seseorang sudah menjadi sekuler tanpa ia sadari.
Membahas
mengenai iman adalah sebuah keharusan, terutama bagi orang-orang yang beriman,
karena setiap orang bisa saja mendapat perdikat sebagai orang baik, tetapi
tidak semua dari mereka beriman. Banyak sekali non-muslim yang memiliki hati
mulia, mereka menjadi sosok yang dihormati dan disayangi lantaran kedermawanan
mereka, sayangnya kebaikan mereka tidak diterima oleh Allah SWT. Ini
dikarenakan tidak adanya iman di hati mereka. Maka, orang yang beriman sudah
pasti baik, tapi tidak semua orang baik beriman.
Pengertian Iman
Manusia selalu memiliki rasa ingin tahu
yang tinggi, karena makhluk yang paling sempurna di antara makhluk lainnya ini
sudah mendapatkankarunia akal oleh Allah SWT, yang mana dengannya mereka dapat
berpikir, memilih dan membedakan antara yang haq dan yang batil. Akal
dapat menuntun mereka menuju pengetahuan, kemudian mereka mulai mencari tahu
kepercayaan yang harus diyakini, lalu memahami tujuan mereka hidup di dunia dan
lain sebagainya.[1]
Kepercayaan harus berdasarkan dalil atau
bukti yang dapat diterima oleh pikiran manusia, namun ini bukan berarti bahwa
setiap orang harus tahu semua alasan, karena ada beberapa yang ada dalam sebah
kepercayaan yang hanya dapat diterima oleh mereka yang tinggi tingkat akal
pikirannya. Selain itu, ada pula alasan yang sederhana yang dapat diterima oleh
mereka yang mau percaya. Maka,
jika akal tidak dapat mencapai sebuah kebenaran, bukan berarti kebenaran itu
tidak ada; tetapi karena kekuatan otaklah yang terbatas.[2]
Iman, secara spesifik memiliki arti
keyakinan di dalam hati, kemudian diucapkan dengan lisan, diamalkan dengan
perbuatan-perbuatan yang sesuai dengan rukunnya. Iman bertambah seiring dengan
bertambahnya ketaatan kepada Allah SWT dan berkurang seiring dengan
bertambahnya kemaksiatan kepada-Nya. [3]
Namun, arti dari iman tidaklah sesempit
ini, iman sendiri adalah suatu pernyatan sikap yang relevan berakibat pada konsekuensi logis dalam
seluruh aspek kehidupan dari empunya.
Dengan kata lain, iman merupakan prinsip yang memiliki validitas tujuan
dan fondasi yang akan mengarahkan para pelakunya untuk menghasilkan output dari sudut pandang dan dimensi
yang mereka yakini.[4]
Allah SWT sangat mencintai orang-orang yang
beriman dan menunjukan ketaatannya dan Allah SWT senantiasa melindungi
hamba-Nya yang beriman dari dunia sebagaimana manusia menjaga orang sakit dari
konsumsi makanan dan minuman yang ditakutkan akanl memperparahnya.[5]
Derajat Iman
Iman
itu ada tujuhpuluh sekian cabang, yang paling utama adalah perkataan La
Ilaha Illa Allah dan yang paling rendah adalah menyingkirkan sesuatu yang
menyakitkan dari jalan.[6]
Dari
konteks ini dapat disimpulkan bahwa dalam ajaran Islam ada tingkatan yang
paling tinggi dan ada tingkatan yang paling rendah. Diantara kedua tingkatan
ini ada yang mendekati tingkatan tinggi dan ada yang dekat dengan tingkatan
yang paling rendah.[7]
Manusia dalam beragama memiliki tingkatan, dari derajat
ilmu al-yaqin ke derajat haq al-yaqin. Hal ini seperti yang telah
terjadi pada masa Nabi Ibrahim AS. Beliau memohon kepada Allah SWT untuk
menunjukan bagaimana cara Allah SWT menghidupkan orang mati, Allah SWT
bertanya, “Apakah engkau tidak yakin?” Ibrahim menjawab, “Ya, saya yakin,
tetapi ini untuk menenangkan hatiku.”[8]
Dengan
keimanan sampai pada tingkatan haq al-yaqin, maka motivasi amal meningkat dari
sekedar untuk mendekatkan diri (manzilat al-qurb) dengan mengamalkan
perintah-perintah wajib saja, ke derajat cinta (manzilat al-hub) ,
dengan melaksanakan perintah-perintah wajib dan sunnah (nawafil). Inilah
yang pernah disinggung Allah dalam ayat-Nya yang menerangkan bahwa ada dari
hamba-Nya yang senantiasa mendekatkan diri kepada-Nya dengan perbuatan-perbuatan
sunnah sehingga Allah SWT mencintainya.[9]
Pengaruh Iman dalam Kehidupan
Allah
SWT membedakan manusia dengan makhluk-Nya yang lain, manusia merupakan
satu-satunya makhluk sosial yang ada di atas bumi ini, mereka tidak mungkin
bisa hidup sendiri karena mereka senantiasa membutuhkan orang lain untuk
bekerjasama, saling memberi dan menerima.
Sayangnya,
tidak semua manusia mempunyai ciri simbiosis
mutualisme dengan sesamanya, ada beberapa orang yang berlaku sebagai parasit di tengah-tengah manusia,
keberadaannya tidak mendatangkan kedamaian dan cenderung membawa kerugian. Orang-orang merasa khawatir dan takut
dengan adanya orang-orang semacam ini, mereka adalah orang-orang jahat yang
menebar kebencian dan kriminalitas.
Baik
dan buruknya seseorang tergantung pada kualitas keimanan orang itu sendiri.[10] Ia akan berusaha untuk berbuat baik
ketika agamanya menyuruhnya untuk berbuat demikian, ia juga akan menghindari
perbuatan jahat karena ia percaya akan adanya kehidupan akhirat, dimana
kebaikan akan dibalas dengan kebaikan dan kejahatan akan dibalas dengan
kejahatan.[11]
Ada
beberapa pengaruh dari adanya iman dalam kehidupan manusia, baik secara
individu maupun sosial, diantaranya adalah sebagai berikut:[12]
o
Keimanan kepada Allah SWT akan menghidupkan mata
batin manusia, ia akan menumbuhkan kekuatan untuk meningkatkan jiwa ke derajat
yang mendekati kesempurnaan. Ini menjadi motivasi bagi mereka yang beriman
untuk memperbanyak kebaikan dalam hidupnya dan menjauhkan mereka bari kejahatan
agar mereka semakin dekat pada Dzat Yang Maha Sempurna.[13]
o
Keimanan membuat hati menjadi tenang, karena ia
sesuai dengan fitrah manusia. Iman adalah sumber dari kebahagiaan, hal ini juga
pernah diuraikan oleh Imam Muslim dari Shahib RA bahwasannya Rasulullah SAW
bersabda: Sungguh menakjubkan segala urusan seorang mukmin, karena segala
urusannya sungguh baik. Ketika ia mendapatkan kebaikan, maka ia bersyukur dan
ini baik baginya. Ketika ia mendapat keburukan, ia bersabar dan ini baik pula
baginya.[14]
o
Keimanan mensucikan jiwa, ia akan membuat mereka
yang beriman memiliki derajat yang tinggi disebabkan keutamaan yang dimiliki.
Karena kayakina ndan kepercayaan akan menghilangkan keraguan dan ketakutan yang
berlebihan akan masa depan.
Menjaga Keseimbangan Amal
Ajaran Islam itu seimbang, tidak ada ketimpangan
terhadap proporsi yang telah ditetapkan dalam taklif dan amal perbuatan.
Amalan-amalan dalam ajaran Islam mempunyai takaran dan urutan yang harus
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan syar’i. Seorang muslim tidak boleh
mengacaukan amalan yang telah ditentukan oleh Allah SWT, selain itu tidak boleh
pula mendahulukan yang seharusnya diakhirkan dan mengakhirkan amalan yang
seharusnya didahulukan. [15]
Dalam
hal ini ada yang berkedudukan sebagai asas atau dasar dan ada pula yang yang
hanya sebagai faktor pendukung. Misalnya akidah berkedudukan di permulaan,
kemudian ada rukun Islam yang lima, lalu ada fardhu-fardhu lain selain rukun
Islam, dilanjutkan dengan amalan yang menurut beberapa fuqaha (ahli ilmu
fiqh) dikatakan sebagai amalan yang berada di bawah rukun tetapi di atas sunnah
yang mereka sebut dengan wajib, sunnah muakkadah, dan sunnah yang tidak muakkadah.
Ketentuan
ini mempunyai tingkatan-tingkatan, sebagaimana firman Allah SWT yang membedakan
derajat antara orang-orang yang memberi minum orang-orang haji dan mengurus
Masjidil Haram dengan orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian
dan berjihad di jalan Allah SWT.[16]
Setiap
muslim harus mampu menjaga keseimbangan amal dan mengetahui tingkatan-tingkatan
amal. Umat Islam tidak boleh mencampuradukkan satu sama lain, sehingga tidak
disibukkan dengan perselisihan pendapat dalam hal-hal yang sunnahsementara
banyak orang yang meninggalkan perkaran yang wajib. Bahkan sampai ada yang
berdebat dan saling menyalahkan hanya karena perbedaan pendapat. Padahal sudah
sejak lama para ulama memperingatkan dalam persoalan ijtihadah.
Menyatukan Ilmu dan Amal
Rasulullah
SAW bersabda, “Pelajarilah oleh kamu sekalian berbagai ilmu pengetahuan yang
kalian kehendaki, maka demi Allh SWT kalian tidak akan pernah mendapatkan
pahala hanya semata-mata mengumpulkan dan memperbanyak ilmu pengetahuan saja,
tanpa ada keinginan untuk mengamalkannya.”[17]
Salah
satu keistimewaan manusia dibandingkan dengan makhluk lainnya, kata KH. Didin
Hafidhuddin, adalah manusia memiliki kemampuan untuk memperoleh dan
mengembangkan ilmu pengetahuan. Bahkan diangkatnya manusia sebagai khalifah
Allah SWT di muka bumi ini ipun karena potensi keilmuannya yang secara umum
akan selalu terdapat pada setiap manusia.[18] Manusia tidak akan pernah terpisah dari
ilmu. Ini sama artinya dengan eksistensi manusia dan kebaikannya ditentukan
oleh kemampuannya untuk berinteraksi dengan ilmu pengetahuan. Rasulullah SAW
bersabda, “Pengajar dan pencari ilmu berserikat dalam kebaikan, sedangkan yang
lainnya tidak ada kebaikan baginya.”[19]
Sedangkan hal yang sangat perlu diperhatikan saat
ini adalah kebaikan di sini adalah untuk mereka yang berilmu dang mengamalkan
ilmunya. Implementasi ilmu akan memberikan nilai yang berarti bagi masyarakat.
Ilmu sendiri akan sia-sia jika tidak diamalkan. Sebaliknya, pahal yang besar
bagi mereka yang mengamalkan ilmunya.
KH.
Didin Hafidhuddin menambahkan bahwa nilai lebih dari ilmu dibandingkan dengan
harta dan jabatan adalah terletak pada pengamalannya. Semakin banyak amal yang
dilahirkan dari suatu ilmu, maka akan semakin tinggi nilainya. Sebaliknya,
sebanyak apapun pengetahuan yang dimiliki seseorang jika tidak melahirkan amaliyah,
maka akan dirasakan kurang manfaatnya. Ilmu yang menjaga manusia yang mengamalkan
ilmunya, sedangkan harta harus dijaga oleh manusia yang memilikinya. Ilmu
diberikan kepada orang lain akan semakin bertambah, harta diberikan -tanpa niat
ikhlas- akan habis.[20]
Maka,
melihat banyaknya ilmuwan dan agamawan di zaman ini yang sesat dan menyesatkan,
dapat dibuat pertanyaan dengan tanda tanya besar, apakah mereka belum
mengamalkan ilmu mereka dengan sungguh-sungguh? Apakah mereka mulai lupa dengan
ayat yang menyatakan bahwa dosa yang besar bagi mereka yang hanya sibuk
berdakwah dan menasehati tapi lalai dari melaksanakan apa yang ia ucapkan?
Iman Saja Tidak Cukup, Iman Perlu Ujian
Allah SWT tidak pernah membiarkan
hamba-Nya lepas dari ujian karena itulah hakikat hidup. Manusia tidak akan
pernah belajar tanpa adanya masalah-masalah, terlebih lagi bagi mereka yang
mengaku sebagai hamba Allah SWT yang beriman. Karena dengan mengatakan bahwa ia
sudah beriman saja belum cukup, iman tak akan pernah tampak tanpa adanya ujian.
Ujian-ujian ini tidak hanya datang kepada umat Muhammad SAW saja, namun juga
didatangkan pada umat-umat terdahulu untuk membedakan antara mereka yang
benar-benar beriman dan yang berdusta. [21]
Allah SWT memiliki sebuah sunnah yang
Dia tetapkan oleh dirinya sendiri yang sering disebut dengan sunnatullah,
seperti memberi petunjuk dan rizki.[22]
Selain kedua hal yang telah disebutkan di atas, masih banyak ketetapan yang
ditetapkan Allah atas diri-Nya, di antaranya yang berkenaan dengan masalah iman
adalah menguji manusia dan Allah pasti akan menguji manusia keseluruhan, tanpa
terkecuali.[23]
Banyak diantara hamba Allah SWT yang
masih bertanya mengenai ujian Allah SWT ini, diantaranya adalah: Mengapa Allah
harus menguji manusia? Apakah Allah SWT tidak matu tentang makhluk-Nya sendiri?
Apakah Allah SWT belum tahu tentang masa depan manusia?
Untuk menjawab pertanyaan di atas
memang membutuhkan kehati-hatian, sebab salah dalam pemilihan kata ketika
memberi penjelasan kepada segolongan orang yang belum paham ini akan berakibat
sangat fatal, bisa jadi keyakinan mereka akan semakin terkikis karena mulai
meragukan kekuasaan Allah atas segala hal. Mohsen Qaraati mencoba memberi
jawaban denagn jawaban yang lugas agar dapat dimengerti oleh semua golongan, ia
menafsirkan bahwa ujian Allah SWT bukan untuk mengetahui manusia, karena Dia
sendiri sudah sangat paham dengan seluk-beluk manusia. Tetapi, tujuan utama
dari ujian ini adalah agar manusia sendiri memahami dan mengetahui tentang
dirinya, selain itu ujian ini untuk memisahkan antara yang beriman dengan
sungguh-sungguh dan berdusta.[24]
Sedangkan Allah SWT sendiri sudah pasti mengetahui dan dapat membedakan antara
orang yang beriman dan orang-orang yang munafik.[25]
Semua orang Islam dan beriman mengaku
taat kepada Allah SWT, tetapi kesungguhan imannya ini hanya dapat dibuktikan
dengan kelulusannya menghadapi ujian. Mengenai hal ini, ujian Allah SWT tidak
hanya berbentuk hal-hal yang menyedihkan, seperti bencana alam, kemiskinan, dan
penyakit. Namun, ujian Allah SWT juga berbentuk kejayaan, kesehatan, dan
kekayaan.
Orang sakit akan mengeluh setiap hari
akan penyakit yang dideritanya, jika ia tidak bersabar dan tidak segera sadar
bahwa ini adalah ujian dari Pencipta-Nya. Ia akan terjerumus pada lubang
kekafiran karena banyak pula dari hamba-Nya yang diuji keimanannya dengan
penderitaan kemudian ia menghujat keadilah Allah Yang Maha Adil.
Sebaliknya, orang yang mendapat
kesenangan berupa kekayaan misalnya, ujiannya bukan lagi kesabaran, namun
kesyukuran. Karena mukmin yang sebenarnya adalah ketika ia mendapatkan
kesukaran dan masalah yang menghimpit dalam hidup, ia senantiasa bersabar.
Sedangkan ketia ia mendapatkan anugerah dan rizki dari arah yang tiada
disangka-sangka, ia akan bersyukur pada Allah SWT.
Iman Tanpa Amal = Sekuler
Azyumardi Azra pernah
mengungkapkan bahwa sekularisasi tidak akan mematikan agama. "Sekularisasi
tidak membuat agama mengalami kematian tetapi sebaliknya mendapat momentum baru
yang sering disebut sebagai kebangkitan agama," demikian kata Azra. [26]
Zahrul Fata, Kandidat
Doktor, Department of Quran and Sunnah Studies, International Islamic
University Malaysia menanggapi ‘celotehan’ Azyumardi, ia menyebutkan bahwa
di satu sisi ia terkesan memberikan justifikasi bagi pengusung sekularisasi
untuk terus menggulingkan ide tersebut. Di sisi lain, maksud pernyataan
tersebut seolah-olah ingin meredakan kegusaran kaum agamawan akan bahaya
sekularisasi.
Zahrul Fata menambahkan
bahwa agama boleh jadi tidak mati akibat sekularisasi, namun kehidupan beragama
akan sekarat karena peran agama dipersempit atau dicabut dari wilayah publik.
Agama bagi kehidupan laksana ruh bagi jasad. Agama berfungsi menuntun jalannya
kehidupan individu maupun masyarakat ke arah yang benar selama ia belum
terkontaminasi oleh nafsu.
Harvey Cox dalam bukunya, The
Secular City, menyimpulkan bahwa sekularisasi tidak bisa lagi dibendung,
sehingga setiap orang, mau tidak mau, harus mencintainya, kalau tidak ingin
tersingkir dari pentas kehidupan. Dalam konteks Barat, kampanye sekularisasi
bisa dipahami dan merupakan proses yang wajar. Hal ini karena, ajaran murni
agama sudah bercampur aduk dengan intervensi gereja yang telah memanipulasi dan
mempolitisasi agama untuk kepentingan pribadi sebagaimana yang digambarkan oleh
Philip Schaff dalam bukunya History of the Christian Church. Sehingga
yang tampak oleh pengikut Kristen adalah ajaran yang sudah direvisi oleh pihak
gejreja yang sarat dengan kepentingan pribadi. Sedang ajaran murni agama,
disembunyikan di 'belakang' gereja. Akibatnya, umat Kristiani meninggalkann
gereja karena ajaran-ajarannya sudah tidak membumi lagi. Dibunuhnya para ilmuan
Barat oleh pihak gereja karena penemuan mereka dianggap bertentangan dengan
kitab suci, semakin menjauhkan masyarakat dari gereja.
Pelecehan terhadap
teks-teks suci agama oleh pihak gereja sebenarnya tidak terjadi pada awal abad
ke-16 yang memicu gerakan reformasi protestan pada saat itu, tetapi pada jauh
hari sebelumnya. Pascakenabian Isa AS, sudah terjadi bahkan tidak hanya di
kalangan Kristen, di kalangan Yahudipun demikian. Hal ini disinyalir dalam
Alquran Surat Ali Imran ayat 187. Selama agama ditutupi kemurniannya,
dilecehkan teks-teksnya dan ditukar dengan kepentingan pribadi, selama itu pula
semakin banyak yang meninggalkan gereja (agama). Sehingga agama di Barat
mengerucut menjadi fudiesme dan eupraxophy, dalam artian, asalkan percaya bahwa
Tuhan itu ada, tanpa harus menganut agama tertentu, sudah dianggap beragama.
Suatu kepercayaan yang amat naif, percaya dengan adanya Tuhan, tapi
ajaran-ajaran-Nya dinafikan dan ditukar dengan kepentingan pribadi.
Itulah gambaran tentang
agama (Kristen maupun Yahudi) di Barat. Agama sudah tidak lagi cantik dan
memikat hati, ia sudah menjadi tua renta dan tidak menarik, sehingga ia
ditinggalkan oleh para pengikutnya dan mereka memilih 'selingkuh' dengan
'agama- agama' baru yang lebih cantik dan menarik. Dalam konteks keislaman,
apakah Islam akan mengalami hal yang serupa dengan agama di Barat? Bagaimana
hubungan Islam dengan ilmu pengetahuan dan kemajuan? Sebelum menjawab
pertanyaan ini ada baiknya kita mengetahui pandangan Islam tentang agama.
Dalam pandangan Islam,
keberagamaan dalam artian pengakuan adanya Tuhan adalah fitrah, ia sudah
melekat dalam diri manusia saat penciptaan manusia itu sendiri. Ini berarti
manusia tidak dapat melepaskan diri dari agama. Memang manusia dapat
menangguhkannya sekian lama, boleh jadi sampai menjelang kematiannya. Tetapi
pada akhirnya, sebelum ruh meninggalkan jasad, ia akan merasakan kebutuhan itu.
Bukankah
Fir'aun moyangnya Atheis, ia tidak hanya menafikan keberadaan Tuhan, bahkan
lebih dari itu, ia memproklamasikan dirinya sebagi Tuhan. Tetapi pada
detik-detik terakhir sebelum ia tenggelam, ia berkata, "Saya percaya bahwa
tidak ada Tuhan melainkan Tuhan yang dipercayai oleh Bani Israil, dan saya
termasuk orang yang berserah diri (kepada Allah)."[27]
Iman Harus Dibuktikan
Allah SWT sama sekali tidak pernah
membutuhkan amal manusia karena Dia adalah Zat Yang Maha Kaya dan tidak
memerlukan segala sesuatu dari seluruh alam.[28]
Semua amal manusia adalah untuk
kepentingan manusia. Ibaratnya seperti orang yang ingin membangun rumah, ia
bisa memilih untuk membuat rumahnya menghadap sinar matahari atau membelakangi
sinar matahari. Ini adalah kepentingan si pembuat rumah sendiri, ialah yang
membutuhkan sinar matahari dan matahari tidak membutuhkannya, karena matahari
akan tetap ditempatnya meskipun rumah itu dibuat membelakanginya.
Demikian halnya gambaran orang-orang
kafir dan atheis yang enggan beriman, fasik yang enggan melaksanakan perintah
Allah SWT, si fakir yang tidak mau bersabar akan musibah, dan si kaya yang kufur
nikmat. Semua tingkah polah
mereka tidak merugikan Allah SWT sama sekali .
Sebenarnya, manusialah yang
membutuhkan Allah SWT, merakalah yang butuh shalat, puasa, zakat dan naik haji.
Bukan Allah SWT. Karena, shalatlah yang akan menjauhkan manusia dari perbuatan
keji dan munkar[29], puasalah yang akan menyehatkan
pencernaan manusia, buktinya banyak ahli medis yang menganjurkan pasiennya
untuk berpuasa demi kesehatannya, zakatlah yang bisa menghancurkan tembok
penghalang antara yang kaya dengan yang miskin, hajilah yang menjadikan hati
lembut karena perjalanan spiritual yang
Iman harus dibuktikan dengan
amalan-amalan, kita dapat melihat banyaknya firman Allah SWT yang membicarakan
hubungan erat antara iman dan amal yang jumlahnya sangat banyak, di sini penulis
hanya menyebutkan dua surat di antaranya:
·
Al-Ankabut ayat 7,
menerangkan bahwa mereka yang beriman dan beramal shaleh pasti akan dihapuskan
kesalahan-kesalahannya dan mereka akan mendapatkan balasan yang lebih baik dari
apa yang mereka kerjakan.
·
Ali Imran ayat 57, menjelaskan bahwa mereka yang beriman dan
beramal shaleh, maka Allah akan memberikan kepada mereka dengan sempurna pahala
amalan mereka.
·
Al-‘Araf ayat 42, menjelaskan bahwa mereka yang
beriman dan beramal shaleh, sesunguhnya Allah tidak pernah memikulkan beban
atau kewajiban melebihi kemampuan hambanya, merekalah orang-orang yang akan
menghuni syurga dan mereka kekal di dalamnya.
Ayat-ayat
di atas hanyalah beberapa bukti yang menunjukan adanya korelasi antara iman dan
amal, sesungguhnya masih banyak bukti lain yang menerangkan tentangnya. Maka
dari itu, setiap mukmin harus menghayati ayat-ayat ini, kemudian
mengamalkannya, agar iman yang terdapat dalam hati mereka tidak luntur lantaran
kesinkronan antara iman dan amal, Wallahu ‘Alam.
Penutup
Setelah
membahas mengenai iman dan amal, perlu disadari ada hubungan erat antara
keduanya, suatu perbuatan tanpa dasar iman adalah sekularisasi yang nyata, maka
setiap muslim harus saling mengingatkan satu sama-lain dalam kebaikan. Seorang
mukmin tidak cukup hanya bersyahadat dan yakin akan adanya rukun iman, tapi ia
harus menunjukan dan membuktikan keimanannya dengan perbuatannya dalam
keseharian, karena keimanan selalu diuji, semakin tinggi tingkat keimanan
seseorang, semakin berat pula ujiannya.
Iman
selalu berkurang dan bertambah, iman bertambah ketika seorang hamba mendekatkan
diri kepada Allah SWT dan berkurang ketika ia menumpuk maksiat. Maka penyegaran iman sangat dibutuhkan.
Banyak jalan untuk menyegarkan iman, agar kualitas amal semakin meningkat dan
tidak menurun. Namun penulis hanya mengutarakan beberapa hal di sini. ‘Amru
Khalid menyebutkan tiga terapi yang bisa menambah kekhusyukan seorang hamba
dalam beribadah dan menambah ketakutan kepada Allah SWT.
Pertama,
mengurangi perbuatan dosa semaksimal mungkin menurut kemampuan, semakin sedikit
kemaksiatan di dalam hati maka hati akan semakin bersinar oleh cahaya iman. Ini
memang sebuah usaha yang berat karena menyangkut jihad An-Nafsi, jihad
melawan hawa nafsu. Kedua, memperbanyak ingatan pada hari kiamat,
kematian, surga, dan neraka, memperbanyak mengingat surga membuat manusia
merindukan surga dan melakukan berbagai cara untuk meraih surga, dan ketiga,
mengasihi manusia, karena dengan mengasihi manusia, niscaya hati akan merasa
khusyu’ dan takut. Semakin intens memperlakukan manusia dengan penuh kasih,
maka akan semakin banyak pula kekhusyukan. Demikianlah
tiga hal yang sekiranya bisa mempertebal iman, seyogyanya kita mencoba sesuai
dengan kemampuan kita, kemudian bertawakkal, mengenai hasil, itu adalah rahasia
Ilahi. Karena menurut hemat penulis sendiri, Allah telah memberikan kebebasan
kepada manusia untuk membuat pilihan, karena itulah syurga dan neraka ada.
Barang siapa yang tetap bertahan dalam menghadapi ujian dan tantangan iman,
merekalah orang-orang yang beruntung di dunia dan akhirat.
Hal
yang perlu diingat adalah bahwa dalam menyikapi kehidupan dunia ini, sikap
Islam sangat bijak dengan menyatakan bahwa tujuan utama manusia adalah akhirat,
kendati demikian, tidak boleh lalai dan menyepelekan urusan dunia. Oleh
karenanya, dunia hendaknya dijadikan ladang untuk berkarya dalam kerangka
ibadah dengan cakupannya yang luas. Hidup mulia atau
mati syahid.
REFERENSI
Buku
- Al-Quran
- Al-Hadist
- Khalid ‘Amru, Jernihkan Hati, (Republika: Jakarta, 2004)
- Qaraati, Mohsen, Seri Tafsir untuk Anak Muda –Surah Al-‘Ankabut, (AL-HUDA: Jakarta, 2006)
- Zarkasyi, Imam, Ushuluddin (Aqaid), (TRIMURTI Press Ponorogo: Indonesia, 1994)
- Hasyim Muzadi, Didin Hafidhuddin, Ahmad Syafii Ma’arif, Refleksi Tiga Kyai, (Republika: Jakarta, 2004)
- Al-Qardhawi, Dr. Yusuf, Reposisi Islam –Al-Islam Kama Nu’min Bih (Dhawabith wa Malamih)- (AL-MAWARDI PRIMA:Jakarta, 2001)
- Dimensi Sosial Islam, Sebuah Pemikiran, Refleksi, Renungan, dan Pesan Moral, (PISID AL-AZHAR, Ponorogo)
Jurnal
- Himmah, Maksimalkan Kualitas Iman-Ilmu-Amal, VOL. IX-No. 4- Sya’ban 1430
[2] Ibid, hal 14
[3] Attauhid untuk kelas lima KMI, Pondok Modern Darussalam Gontor, Ponorogo, Indonesia.
Hal: 7
[6] HR. Muslim, Abu Daud, Nasai, dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah.
[7] Dr. Yusuf Al-Qardhawi, Reposisi Islam –Al-Islam Kama Nu’min Bih
(Dhawabith wa Malamih)- AL-MAWARDI PRIMA, Jakarta, 2001 Hal: 74
[8] QS. Al-Baqarah : 260
[9] HR. Bukhari
[13] QS: Al-An’am:
122
[15] Dr. Yusuf Al-Qardhawi, Reposisi Islam –Al-Islam Kama Nu’min Bih
(Dhawabith wa Malamih)- AL-MAWARDI PRIMA, Jakarta, 2001 hal: 72
[16] Q.S. At-Taubah: 19
[17] HR. Abul Hasan dari Anas bin Malik
[18] Lihat Dimensi Sosial Islam, Sebuah Pemikiran, Refleksi,
Renungan, dan Pesan Moral, PISID AL-AZHAR, Ponorogo hal: 12
[19] HR. Imam Thabrani dari Abi Darda
[21] QS. Al-Ankabut: 1-3
[23] QS. Al-Baqarah: 155
[24] Ibid, Hal: 15
[25] QS. Al-Ankabut: 11
[28] QS. Al-Ankabut: 6
Tidak ada komentar:
Posting Komentar