Selasa, 18 September 2012

KORELASI IMAN DAN AMAL


 
korelasi Iman dan amal
Rizka Dwi Seftiani, S.Pd.I

Pendahuluan             

            Seorang wartawan muslim yang paham mengenai hukum suap-menyuap mulai berani menerima ‘hadiah’ dari seorang koruptor agar bersedia memperbaiki namanya yang sering dihujat di koran. Dai-dai di masjid yang selalu menganjurkan kepada jamaahnya untuk memberi sedekah kepada fakir miskin melewati seorang peminta-minta di pasar yang sudah dua hari belum makan.  Guru agama Islam yang gencar melarang muridnya merokok terlihat sedang menikmati seputung gudang garan di sebuah kedai kopi.
            Fenomena di atas hanyalah segelintir contoh yang mengungkapkan fakta bahwa masih banyak penyelewengan dan sekularisme yang terjadi di tengah-tengah agama Islam. Keselarasan antara iman dan amal mulai diragukan. Kini, banyak orang yang bicara tanpa berbuat, menganjurkan tanpa memberi contoh konkrit. Jika ini dibiarkan, bisa terjadi futur iman, karena iman sendiri akan luntur jika maksiat-maksiat terus berlangsung.
            Hal inilah yang ingin dibahas oleh penulis, mengingat keimanan adalah syarat utama diterimanya amalan seorang manusia. Maka penting sekali untuk intropeksi, bisa jadi seseorang sudah menjadi sekuler tanpa ia sadari.
            Membahas mengenai iman adalah sebuah keharusan, terutama bagi orang-orang yang beriman, karena setiap orang bisa saja mendapat perdikat sebagai orang baik, tetapi tidak semua dari mereka beriman. Banyak sekali non-muslim yang memiliki hati mulia, mereka menjadi sosok yang dihormati dan disayangi lantaran kedermawanan mereka, sayangnya kebaikan mereka tidak diterima oleh Allah SWT. Ini dikarenakan tidak adanya iman di hati mereka. Maka, orang yang beriman sudah pasti baik, tapi tidak semua orang baik beriman.
           


Pengertian Iman
      Manusia selalu memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, karena makhluk yang paling sempurna di antara makhluk lainnya ini sudah mendapatkankarunia akal oleh Allah SWT, yang mana dengannya mereka dapat berpikir, memilih dan membedakan antara yang haq dan yang batil. Akal dapat menuntun mereka menuju pengetahuan, kemudian mereka mulai mencari tahu kepercayaan yang harus diyakini, lalu memahami tujuan mereka hidup di dunia dan lain sebagainya.[1]
      Kepercayaan harus berdasarkan dalil atau bukti yang dapat diterima oleh pikiran manusia, namun ini bukan berarti bahwa setiap orang harus tahu semua alasan, karena ada beberapa yang ada dalam sebah kepercayaan yang hanya dapat diterima oleh mereka yang tinggi tingkat akal pikirannya. Selain itu, ada pula alasan yang sederhana yang dapat diterima oleh mereka yang mau percaya. Maka, jika akal tidak dapat mencapai sebuah kebenaran, bukan berarti kebenaran itu tidak ada; tetapi karena kekuatan otaklah yang terbatas.[2]
      Iman, secara spesifik memiliki arti keyakinan di dalam hati, kemudian diucapkan dengan lisan, diamalkan dengan perbuatan-perbuatan yang sesuai dengan rukunnya. Iman bertambah seiring dengan bertambahnya ketaatan kepada Allah SWT dan berkurang seiring dengan bertambahnya kemaksiatan kepada-Nya. [3]
      Namun, arti dari iman tidaklah sesempit ini, iman sendiri adalah suatu pernyatan sikap yang relevan  berakibat pada konsekuensi logis dalam seluruh aspek kehidupan dari empunya.  Dengan kata lain, iman merupakan prinsip yang memiliki validitas tujuan dan fondasi yang akan mengarahkan para pelakunya untuk menghasilkan output dari sudut pandang dan dimensi yang mereka yakini.[4]
            Allah SWT sangat mencintai orang-orang yang beriman dan menunjukan ketaatannya dan Allah SWT senantiasa melindungi hamba-Nya yang beriman dari dunia sebagaimana manusia menjaga orang sakit dari konsumsi makanan dan minuman yang ditakutkan akanl memperparahnya.[5]

Derajat Iman
            Iman itu ada tujuhpuluh sekian cabang, yang paling utama adalah perkataan La Ilaha Illa Allah dan yang paling rendah adalah menyingkirkan sesuatu yang menyakitkan dari jalan.[6]
            Dari konteks ini dapat disimpulkan bahwa dalam ajaran Islam ada tingkatan yang paling tinggi dan ada tingkatan yang paling rendah. Diantara kedua tingkatan ini ada yang mendekati tingkatan tinggi dan ada yang dekat dengan tingkatan yang paling rendah.[7]
            Manusia dalam beragama memiliki tingkatan, dari derajat ilmu al-yaqin ke derajat haq al-yaqin. Hal ini seperti yang telah terjadi pada masa Nabi Ibrahim AS. Beliau memohon kepada Allah SWT untuk menunjukan bagaimana cara Allah SWT menghidupkan orang mati, Allah SWT bertanya, “Apakah engkau tidak yakin?” Ibrahim menjawab, “Ya, saya yakin, tetapi ini untuk menenangkan hatiku.”[8]
            Dengan keimanan sampai pada tingkatan haq al-yaqin, maka motivasi amal meningkat dari sekedar untuk mendekatkan diri (manzilat al-qurb) dengan mengamalkan perintah-perintah wajib saja, ke derajat cinta (manzilat al-hub) , dengan melaksanakan perintah-perintah wajib dan sunnah (nawafil). Inilah yang pernah disinggung Allah dalam ayat-Nya yang menerangkan bahwa ada dari hamba-Nya yang senantiasa mendekatkan diri kepada-Nya dengan perbuatan-perbuatan sunnah sehingga Allah SWT mencintainya.[9]


Pengaruh Iman dalam Kehidupan
            Allah SWT membedakan manusia dengan makhluk-Nya yang lain, manusia merupakan satu-satunya makhluk sosial yang ada di atas bumi ini, mereka tidak mungkin bisa hidup sendiri karena mereka senantiasa membutuhkan orang lain untuk bekerjasama, saling memberi dan menerima.
            Sayangnya, tidak semua manusia mempunyai ciri simbiosis mutualisme dengan sesamanya, ada beberapa orang yang berlaku sebagai parasit di tengah-tengah manusia, keberadaannya tidak mendatangkan kedamaian dan cenderung membawa kerugian. Orang-orang merasa khawatir dan takut dengan adanya orang-orang semacam ini, mereka adalah orang-orang jahat yang menebar kebencian dan kriminalitas.
            Baik dan buruknya seseorang tergantung pada kualitas keimanan orang itu sendiri.[10] Ia akan berusaha untuk berbuat baik ketika agamanya menyuruhnya untuk berbuat demikian, ia juga akan menghindari perbuatan jahat karena ia percaya akan adanya kehidupan akhirat, dimana kebaikan akan dibalas dengan kebaikan dan kejahatan akan dibalas dengan kejahatan.[11]
            Ada beberapa pengaruh dari adanya iman dalam kehidupan manusia, baik secara individu maupun sosial, diantaranya adalah sebagai berikut:[12]
o   Keimanan kepada Allah SWT akan menghidupkan mata batin manusia, ia akan menumbuhkan kekuatan untuk meningkatkan jiwa ke derajat yang mendekati kesempurnaan. Ini menjadi motivasi bagi mereka yang beriman untuk memperbanyak kebaikan dalam hidupnya dan menjauhkan mereka bari kejahatan agar mereka semakin dekat pada Dzat Yang Maha Sempurna.[13]
o   Keimanan membuat hati menjadi tenang, karena ia sesuai dengan fitrah manusia. Iman adalah sumber dari kebahagiaan, hal ini juga pernah diuraikan oleh Imam Muslim dari Shahib RA bahwasannya Rasulullah SAW bersabda: Sungguh menakjubkan segala urusan seorang mukmin, karena segala urusannya sungguh baik. Ketika ia mendapatkan kebaikan, maka ia bersyukur dan ini baik baginya. Ketika ia mendapat keburukan, ia bersabar dan ini baik pula baginya.[14]
o   Keimanan mensucikan jiwa, ia akan membuat mereka yang beriman memiliki derajat yang tinggi disebabkan keutamaan yang dimiliki. Karena kayakina ndan kepercayaan akan menghilangkan keraguan dan ketakutan yang berlebihan akan masa depan.


Menjaga Keseimbangan Amal
           Ajaran Islam itu seimbang, tidak ada ketimpangan terhadap proporsi yang telah ditetapkan dalam taklif dan amal perbuatan. Amalan-amalan dalam ajaran Islam mempunyai takaran dan urutan yang harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan syar’i. Seorang muslim tidak boleh mengacaukan amalan yang telah ditentukan oleh Allah SWT, selain itu tidak boleh pula mendahulukan yang seharusnya diakhirkan dan mengakhirkan amalan yang seharusnya didahulukan. [15]
            Dalam hal ini ada yang berkedudukan sebagai asas atau dasar dan ada pula yang yang hanya sebagai faktor pendukung. Misalnya akidah berkedudukan di permulaan, kemudian ada rukun Islam yang lima, lalu ada fardhu-fardhu lain selain rukun Islam, dilanjutkan dengan amalan yang menurut beberapa fuqaha (ahli ilmu fiqh) dikatakan sebagai amalan yang berada di bawah rukun tetapi di atas sunnah yang mereka sebut dengan wajib, sunnah muakkadah, dan sunnah yang tidak muakkadah.
            Ketentuan ini mempunyai tingkatan-tingkatan, sebagaimana firman Allah SWT yang membedakan derajat antara orang-orang yang memberi minum orang-orang haji dan mengurus Masjidil Haram dengan orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian dan berjihad di jalan Allah SWT.[16]
           Setiap muslim harus mampu menjaga keseimbangan amal dan mengetahui tingkatan-tingkatan amal. Umat Islam tidak boleh mencampuradukkan satu sama lain, sehingga tidak disibukkan dengan perselisihan pendapat dalam hal-hal yang sunnahsementara banyak orang yang meninggalkan perkaran yang wajib. Bahkan sampai ada yang berdebat dan saling menyalahkan hanya karena perbedaan pendapat. Padahal sudah sejak lama para ulama memperingatkan dalam persoalan ijtihadah.
        
Menyatukan Ilmu dan Amal

            Rasulullah SAW bersabda, “Pelajarilah oleh kamu sekalian berbagai ilmu pengetahuan yang kalian kehendaki, maka demi Allh SWT kalian tidak akan pernah mendapatkan pahala hanya semata-mata mengumpulkan dan memperbanyak ilmu pengetahuan saja, tanpa ada keinginan untuk mengamalkannya.”[17]
            Salah satu keistimewaan manusia dibandingkan dengan makhluk lainnya, kata KH. Didin Hafidhuddin, adalah manusia memiliki kemampuan untuk memperoleh dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Bahkan diangkatnya manusia sebagai khalifah Allah SWT di muka bumi ini ipun karena potensi keilmuannya yang secara umum akan selalu terdapat pada setiap manusia.[18]     Manusia tidak akan pernah terpisah dari ilmu. Ini sama artinya dengan eksistensi manusia dan kebaikannya ditentukan oleh kemampuannya untuk berinteraksi dengan ilmu pengetahuan. Rasulullah SAW bersabda, “Pengajar dan pencari ilmu berserikat dalam kebaikan, sedangkan yang lainnya tidak ada kebaikan baginya.”[19]
            Sedangkan hal yang sangat perlu diperhatikan saat ini adalah kebaikan di sini adalah untuk mereka yang berilmu dang mengamalkan ilmunya. Implementasi ilmu akan memberikan nilai yang berarti bagi masyarakat. Ilmu sendiri akan sia-sia jika tidak diamalkan. Sebaliknya, pahal yang besar bagi mereka yang mengamalkan ilmunya.
            KH. Didin Hafidhuddin menambahkan bahwa nilai lebih dari ilmu dibandingkan dengan harta dan jabatan adalah terletak pada pengamalannya. Semakin banyak amal yang dilahirkan dari suatu ilmu, maka akan semakin tinggi nilainya. Sebaliknya, sebanyak apapun pengetahuan yang dimiliki seseorang jika tidak melahirkan amaliyah, maka akan dirasakan kurang manfaatnya. Ilmu yang menjaga manusia yang mengamalkan ilmunya, sedangkan harta harus dijaga oleh manusia yang memilikinya. Ilmu diberikan kepada orang lain akan semakin bertambah, harta diberikan -tanpa niat ikhlas- akan habis.[20]
            Maka, melihat banyaknya ilmuwan dan agamawan di zaman ini yang sesat dan menyesatkan, dapat dibuat pertanyaan dengan tanda tanya besar, apakah mereka belum mengamalkan ilmu mereka dengan sungguh-sungguh? Apakah mereka mulai lupa dengan ayat yang menyatakan bahwa dosa yang besar bagi mereka yang hanya sibuk berdakwah dan menasehati tapi lalai dari melaksanakan apa yang ia ucapkan?
              
Iman Saja Tidak Cukup, Iman Perlu Ujian
Allah SWT tidak pernah membiarkan hamba-Nya lepas dari ujian karena itulah hakikat hidup. Manusia tidak akan pernah belajar tanpa adanya masalah-masalah, terlebih lagi bagi mereka yang mengaku sebagai hamba Allah SWT yang beriman. Karena dengan mengatakan bahwa ia sudah beriman saja belum cukup, iman tak akan pernah tampak tanpa adanya ujian. Ujian-ujian ini tidak hanya datang kepada umat Muhammad SAW saja, namun juga didatangkan pada umat-umat terdahulu untuk membedakan antara mereka yang benar-benar beriman dan yang berdusta. [21]
Allah SWT memiliki sebuah sunnah yang Dia tetapkan oleh dirinya sendiri yang sering disebut dengan sunnatullah, seperti memberi petunjuk dan rizki.[22] Selain kedua hal yang telah disebutkan di atas, masih banyak ketetapan yang ditetapkan Allah atas diri-Nya, di antaranya yang berkenaan dengan masalah iman adalah menguji manusia dan Allah pasti akan menguji manusia keseluruhan, tanpa terkecuali.[23]
Banyak diantara hamba Allah SWT yang masih bertanya mengenai ujian Allah SWT ini, diantaranya adalah: Mengapa Allah harus menguji manusia? Apakah Allah SWT tidak matu tentang makhluk-Nya sendiri? Apakah Allah SWT belum tahu tentang masa depan manusia?
Untuk menjawab pertanyaan di atas memang membutuhkan kehati-hatian, sebab salah dalam pemilihan kata ketika memberi penjelasan kepada segolongan orang yang belum paham ini akan berakibat sangat fatal, bisa jadi keyakinan mereka akan semakin terkikis karena mulai meragukan kekuasaan Allah atas segala hal. Mohsen Qaraati mencoba memberi jawaban denagn jawaban yang lugas agar dapat dimengerti oleh semua golongan, ia menafsirkan bahwa ujian Allah SWT bukan untuk mengetahui manusia, karena Dia sendiri sudah sangat paham dengan seluk-beluk manusia. Tetapi, tujuan utama dari ujian ini adalah agar manusia sendiri memahami dan mengetahui tentang dirinya, selain itu ujian ini untuk memisahkan antara yang beriman dengan sungguh-sungguh dan berdusta.[24] Sedangkan Allah SWT sendiri sudah pasti mengetahui dan dapat membedakan antara orang yang beriman dan orang-orang yang munafik.[25]
Semua orang Islam dan beriman mengaku taat kepada Allah SWT, tetapi kesungguhan imannya ini hanya dapat dibuktikan dengan kelulusannya menghadapi ujian. Mengenai hal ini, ujian Allah SWT tidak hanya berbentuk hal-hal yang menyedihkan, seperti bencana alam, kemiskinan, dan penyakit. Namun, ujian Allah SWT juga berbentuk kejayaan, kesehatan, dan kekayaan.
Orang sakit akan mengeluh setiap hari akan penyakit yang dideritanya, jika ia tidak bersabar dan tidak segera sadar bahwa ini adalah ujian dari Pencipta-Nya. Ia akan terjerumus pada lubang kekafiran karena banyak pula dari hamba-Nya yang diuji keimanannya dengan penderitaan kemudian ia menghujat keadilah Allah Yang Maha Adil.
Sebaliknya, orang yang mendapat kesenangan berupa kekayaan misalnya, ujiannya bukan lagi kesabaran, namun kesyukuran. Karena mukmin yang sebenarnya adalah ketika ia mendapatkan kesukaran dan masalah yang menghimpit dalam hidup, ia senantiasa bersabar. Sedangkan ketia ia mendapatkan anugerah dan rizki dari arah yang tiada disangka-sangka, ia akan bersyukur pada Allah SWT.
                       
Iman Tanpa Amal = Sekuler
            Azyumardi Azra pernah mengungkapkan bahwa sekularisasi tidak akan mematikan agama. "Sekularisasi tidak membuat agama mengalami kematian tetapi sebaliknya mendapat momentum baru yang sering disebut sebagai kebangkitan agama," demikian kata Azra. [26]
            Zahrul Fata, Kandidat Doktor, Department of Quran and Sunnah Studies, International Islamic University Malaysia menanggapi ‘celotehan’ Azyumardi, ia menyebutkan bahwa di satu sisi ia terkesan memberikan justifikasi bagi pengusung sekularisasi untuk terus menggulingkan ide tersebut. Di sisi lain, maksud pernyataan tersebut seolah-olah ingin meredakan kegusaran kaum agamawan akan bahaya sekularisasi.           
            Zahrul Fata menambahkan bahwa agama boleh jadi tidak mati akibat sekularisasi, namun kehidupan beragama akan sekarat karena peran agama dipersempit atau dicabut dari wilayah publik. Agama bagi kehidupan laksana ruh bagi jasad. Agama berfungsi menuntun jalannya kehidupan individu maupun masyarakat ke arah yang benar selama ia belum terkontaminasi oleh nafsu.
            Harvey Cox dalam bukunya, The Secular City, menyimpulkan bahwa sekularisasi tidak bisa lagi dibendung, sehingga setiap orang, mau tidak mau, harus mencintainya, kalau tidak ingin tersingkir dari pentas kehidupan. Dalam konteks Barat, kampanye sekularisasi bisa dipahami dan merupakan proses yang wajar. Hal ini karena, ajaran murni agama sudah bercampur aduk dengan intervensi gereja yang telah memanipulasi dan mempolitisasi agama untuk kepentingan pribadi sebagaimana yang digambarkan oleh Philip Schaff dalam bukunya History of the Christian Church. Sehingga yang tampak oleh pengikut Kristen adalah ajaran yang sudah direvisi oleh pihak gejreja yang sarat dengan kepentingan pribadi. Sedang ajaran murni agama, disembunyikan di 'belakang' gereja. Akibatnya, umat Kristiani meninggalkann gereja karena ajaran-ajarannya sudah tidak membumi lagi. Dibunuhnya para ilmuan Barat oleh pihak gereja karena penemuan mereka dianggap bertentangan dengan kitab suci, semakin menjauhkan masyarakat dari gereja.
            Pelecehan terhadap teks-teks suci agama oleh pihak gereja sebenarnya tidak terjadi pada awal abad ke-16 yang memicu gerakan reformasi protestan pada saat itu, tetapi pada jauh hari sebelumnya. Pascakenabian Isa AS, sudah terjadi bahkan tidak hanya di kalangan Kristen, di kalangan Yahudipun demikian. Hal ini disinyalir dalam Alquran Surat Ali Imran ayat 187. Selama agama ditutupi kemurniannya, dilecehkan teks-teksnya dan ditukar dengan kepentingan pribadi, selama itu pula semakin banyak yang meninggalkan gereja (agama). Sehingga agama di Barat mengerucut menjadi fudiesme dan eupraxophy, dalam artian, asalkan percaya bahwa Tuhan itu ada, tanpa harus menganut agama tertentu, sudah dianggap beragama. Suatu kepercayaan yang amat naif, percaya dengan adanya Tuhan, tapi ajaran-ajaran-Nya dinafikan dan ditukar dengan kepentingan pribadi.
            Itulah gambaran tentang agama (Kristen maupun Yahudi) di Barat. Agama sudah tidak lagi cantik dan memikat hati, ia sudah menjadi tua renta dan tidak menarik, sehingga ia ditinggalkan oleh para pengikutnya dan mereka memilih 'selingkuh' dengan 'agama- agama' baru yang lebih cantik dan menarik. Dalam konteks keislaman, apakah Islam akan mengalami hal yang serupa dengan agama di Barat? Bagaimana hubungan Islam dengan ilmu pengetahuan dan kemajuan? Sebelum menjawab pertanyaan ini ada baiknya kita mengetahui pandangan Islam tentang agama.
            Dalam pandangan Islam, keberagamaan dalam artian pengakuan adanya Tuhan adalah fitrah, ia sudah melekat dalam diri manusia saat penciptaan manusia itu sendiri. Ini berarti manusia tidak dapat melepaskan diri dari agama. Memang manusia dapat menangguhkannya sekian lama, boleh jadi sampai menjelang kematiannya. Tetapi pada akhirnya, sebelum ruh meninggalkan jasad, ia akan merasakan kebutuhan itu.
            Bukankah Fir'aun moyangnya Atheis, ia tidak hanya menafikan keberadaan Tuhan, bahkan lebih dari itu, ia memproklamasikan dirinya sebagi Tuhan. Tetapi pada detik-detik terakhir sebelum ia tenggelam, ia berkata, "Saya percaya bahwa tidak ada Tuhan melainkan Tuhan yang dipercayai oleh Bani Israil, dan saya termasuk orang yang berserah diri (kepada Allah)."[27]          

Iman Harus Dibuktikan
Allah SWT sama sekali tidak pernah membutuhkan amal manusia karena Dia adalah Zat Yang Maha Kaya dan tidak memerlukan segala sesuatu dari seluruh alam.[28]
Semua amal manusia adalah untuk kepentingan manusia. Ibaratnya seperti orang yang ingin membangun rumah, ia bisa memilih untuk membuat rumahnya menghadap sinar matahari atau membelakangi sinar matahari. Ini adalah kepentingan si pembuat rumah sendiri, ialah yang membutuhkan sinar matahari dan matahari tidak membutuhkannya, karena matahari akan tetap ditempatnya meskipun rumah itu dibuat membelakanginya.
Demikian halnya gambaran orang-orang kafir dan atheis yang enggan beriman, fasik yang enggan melaksanakan perintah Allah SWT, si fakir yang tidak mau bersabar akan musibah, dan si kaya yang kufur nikmat. Semua tingkah polah mereka tidak merugikan Allah SWT sama sekali .
Sebenarnya, manusialah yang membutuhkan Allah SWT, merakalah yang butuh shalat, puasa, zakat dan naik haji. Bukan Allah SWT. Karena, shalatlah yang akan menjauhkan manusia dari perbuatan keji dan munkar[29], puasalah yang akan menyehatkan pencernaan manusia, buktinya banyak ahli medis yang menganjurkan pasiennya untuk berpuasa demi kesehatannya, zakatlah yang bisa menghancurkan tembok penghalang antara yang kaya dengan yang miskin, hajilah yang menjadikan hati lembut karena perjalanan spiritual yang
Iman harus dibuktikan dengan amalan-amalan, kita dapat melihat banyaknya firman Allah SWT yang membicarakan hubungan erat antara iman dan amal yang jumlahnya sangat banyak, di sini penulis hanya menyebutkan dua surat di antaranya:
·         Al-Ankabut ayat 7, menerangkan bahwa mereka yang beriman dan beramal shaleh pasti akan dihapuskan kesalahan-kesalahannya dan mereka akan mendapatkan balasan yang lebih baik dari apa yang mereka kerjakan.
·         Ali Imran ayat 57, menjelaskan bahwa mereka yang beriman dan beramal shaleh, maka Allah akan memberikan kepada mereka dengan sempurna pahala amalan mereka.
·          Al-‘Araf ayat 42, menjelaskan bahwa mereka yang beriman dan beramal shaleh, sesunguhnya Allah tidak pernah memikulkan beban atau kewajiban melebihi kemampuan hambanya, merekalah orang-orang yang akan menghuni syurga dan mereka kekal di dalamnya.
            Ayat-ayat di atas hanyalah beberapa bukti yang menunjukan adanya korelasi antara iman dan amal, sesungguhnya masih banyak bukti lain yang menerangkan tentangnya. Maka dari itu, setiap mukmin harus menghayati ayat-ayat ini, kemudian mengamalkannya, agar iman yang terdapat dalam hati mereka tidak luntur lantaran kesinkronan antara iman dan amal, Wallahu ‘Alam.


Penutup
            Setelah membahas mengenai iman dan amal, perlu disadari ada hubungan erat antara keduanya, suatu perbuatan tanpa dasar iman adalah sekularisasi yang nyata, maka setiap muslim harus saling mengingatkan satu sama-lain dalam kebaikan. Seorang mukmin tidak cukup hanya bersyahadat dan yakin akan adanya rukun iman, tapi ia harus menunjukan dan membuktikan keimanannya dengan perbuatannya dalam keseharian, karena keimanan selalu diuji, semakin tinggi tingkat keimanan seseorang, semakin berat pula ujiannya.
            Iman selalu berkurang dan bertambah, iman bertambah ketika seorang hamba mendekatkan diri kepada Allah SWT dan berkurang ketika ia menumpuk maksiat. Maka penyegaran iman sangat dibutuhkan. Banyak jalan untuk menyegarkan iman, agar kualitas amal semakin meningkat dan tidak menurun. Namun penulis hanya mengutarakan beberapa hal di sini. ‘Amru Khalid menyebutkan tiga terapi yang bisa menambah kekhusyukan seorang hamba dalam beribadah dan menambah ketakutan kepada Allah SWT.
            Pertama, mengurangi perbuatan dosa semaksimal mungkin menurut kemampuan, semakin sedikit kemaksiatan di dalam hati maka hati akan semakin bersinar oleh cahaya iman. Ini memang sebuah usaha yang berat karena menyangkut jihad An-Nafsi, jihad melawan hawa nafsu. Kedua, memperbanyak ingatan pada hari kiamat, kematian, surga, dan neraka, memperbanyak mengingat surga membuat manusia merindukan surga dan melakukan berbagai cara untuk meraih surga, dan ketiga, mengasihi manusia, karena dengan mengasihi manusia, niscaya hati akan merasa khusyu’ dan takut. Semakin intens memperlakukan manusia dengan penuh kasih, maka akan semakin banyak pula kekhusyukan.      Demikianlah tiga hal yang sekiranya bisa mempertebal iman, seyogyanya kita mencoba sesuai dengan kemampuan kita, kemudian bertawakkal, mengenai hasil, itu adalah rahasia Ilahi. Karena menurut hemat penulis sendiri, Allah telah memberikan kebebasan kepada manusia untuk membuat pilihan, karena itulah syurga dan neraka ada. Barang siapa yang tetap bertahan dalam menghadapi ujian dan tantangan iman, merekalah orang-orang yang beruntung di dunia dan akhirat.
            Hal yang perlu diingat adalah bahwa dalam menyikapi kehidupan dunia ini, sikap Islam sangat bijak dengan menyatakan bahwa tujuan utama manusia adalah akhirat, kendati demikian, tidak boleh lalai dan menyepelekan urusan dunia. Oleh karenanya, dunia hendaknya dijadikan ladang untuk berkarya dalam kerangka ibadah dengan cakupannya yang luas. Hidup mulia atau mati syahid.

REFERENSI
Buku

  1. Al-Quran
  2. Al-Hadist
  3. Khalid ‘Amru, Jernihkan Hati, (Republika: Jakarta, 2004)
  4. Qaraati, Mohsen, Seri Tafsir untuk Anak Muda –Surah Al-‘Ankabut, (AL-HUDA: Jakarta, 2006)
  5. Zarkasyi, Imam, Ushuluddin (Aqaid), (TRIMURTI Press Ponorogo: Indonesia, 1994)
  6. Hasyim Muzadi, Didin Hafidhuddin, Ahmad Syafii Ma’arif, Refleksi Tiga Kyai, (Republika: Jakarta, 2004)
  7. Al-Qardhawi, Dr. Yusuf, Reposisi Islam –Al-Islam Kama Nu’min Bih (Dhawabith wa Malamih)- (AL-MAWARDI PRIMA:Jakarta, 2001)
  8. Dimensi Sosial Islam, Sebuah Pemikiran, Refleksi, Renungan, dan Pesan Moral, (PISID AL-AZHAR, Ponorogo)

Jurnal

  1. Himmah, Maksimalkan Kualitas Iman-Ilmu-Amal, VOL. IX-No. 4- Sya’ban 1430

































[1] KH. Imam Zarkasyi, Ushuluddin (Aqaid), (TRIMURTI Press Ponorogo: Indonesia,1994) hal: 13
[2] Ibid, hal 14
[3] Attauhid untuk kelas lima KMI, Pondok Modern Darussalam Gontor, Ponorogo, Indonesia. Hal: 7
[4] Mohammad Hafidz, Sikap Terhadap Peningkatan Kualitas Iman, Ilmu dan Amal, Himmah, hal: 13
                [5] Dilansir oleh Ibnu Abi ‘Ashim dalam Az-Zuhd (11), Al-Hakim (7465) dan Al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iimaan (10450)
[6] HR. Muslim, Abu Daud, Nasai, dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah.
[7] Dr. Yusuf Al-Qardhawi, Reposisi Islam –Al-Islam Kama Nu’min Bih (Dhawabith wa Malamih)- AL-MAWARDI PRIMA, Jakarta, 2001 Hal: 74
[8] QS. Al-Baqarah : 260
[9] HR. Bukhari
[10] Attauhid untuk kelas lima KMI, Pondok Modern Darussalam Gontor, Ponorogo, Indonesia. Hal: 118
[11]QS: Az-Zalzalah: 7-8
[12] Ibid, Hal: 121
[13] QS: Al-An’am: 122
[14] Sahih Imam Muslim, Kitab Zuhd wa Raqaiq: Bab Amr Mukmin Kulluhu Khair Hal: 229
[15] Dr. Yusuf Al-Qardhawi, Reposisi Islam –Al-Islam Kama Nu’min Bih (Dhawabith wa Malamih)- AL-MAWARDI PRIMA, Jakarta, 2001 hal: 72
[16] Q.S. At-Taubah: 19
[17] HR. Abul Hasan dari Anas bin Malik
[18] Lihat Dimensi Sosial Islam, Sebuah Pemikiran, Refleksi, Renungan, dan Pesan Moral, PISID AL-AZHAR, Ponorogo hal: 12
[19] HR. Imam Thabrani dari Abi Darda
[20] Usul Tarbiyah wa Ta’lim, Darussalam Press, Gontor Ponorogo hal: 27
[21] QS. Al-Ankabut: 1-3
[22] Mohsen Qaraati, Seri Tafsir untuk Anak Muda –Surah Al-‘Ankabut, AL-HUDA, Jakarta, 2006 Hal: 14
[23] QS. Al-Baqarah: 155
[24] Ibid, Hal: 15
[25] QS. Al-Ankabut: 11
                [26] Harian Republika, 20 Agustus 2007
            [27] QS Yunus: 90
[28] QS. Al-Ankabut: 6

Tidak ada komentar: