BIJAK MEMAKNAI HIJRAH
Rizka Dwi Seftiani
Marilah sejenak menyimak
salah satu firman Allah SWT di dalam kitab suci Al-Quran:
“Kami pergilirkan di
antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran) dan supaya Allah membedakan
orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) dan supaya sebagian kamu
dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada. Dan Allah tidak
menyukai orang-orang yang dzalim.” (QS. Ali Imran: 140)
Jika ayat ini ditelaah lebih dalam, maka akan tersingkaplah hikmah yang
dikandungnya. Kata ‘pergilirkan’ di sana menunjukan adanya sebuah
perubahan, gerakan yang dinamis dan progresif. Hal ini menunjukan bahwa Allah
SWT menghendaki hamba- Nya untuk tidak statis, hanya memasrahkan jalan hidup
pada takdir tanpa usaha sedikit pun. Manusia yang hidup sekedarnya, tanpa
gairah untuk maju dan mengembangkan bakat yang telah dianugerahkan Allah
untuknya, sama halnya dengan menyia-nyiakan karunia Allah dan kufur akan nikmat
yang telah diberikan-Nya. Maka, gerakan yang mengarah ke arah kebaikan mutlak
diperlukan.
Membincangkan tentang perubahan di awal bulan Muharram merupakan waktu yang
sangat tepat. Sebab, ini merupakan tahun baru Islam. Jika tahun baru masehi
senantiasa identik dengan terompet, kembang api dan pesta hura-hura, tidak
demikian halnya dengan tahun baru Islam. Awal tahun hijriyah seyogyanya
digunakan untuk intropeksi diri, menanyakan pada diri sendiri tentang tingkah
polah yang telah dilakukan selama satu tahun yang lalu. Bisa jadi lisan yang
seharusnya dijaga mengeluarkan bisa yang menyakiti hati, atau mulut yang
terlalu banyak mengocehkan kejelekan orang lain tanpa mengingat kesalahan dan
keburukan diri sendiri, sehingga timbul perasaan bahwa ‘saya lebih baik dari
pada dia’ atau hati yang selalu mendengki kebaikan yang telah didapatkan orang
lain dan besenang-senang di atas penderitaan orang lain.
Inilah hakikat dari pada tahun baru hijriyah. Tahun yang dimulai sejak
hijrahnya Rasulullah SAW bersama para sahabat dari Makkah menuju Yatsrib
(Madinah) merupakan hari bersejarah dalam rentetan perjalanan sejarah umat.
Hijrah adalah pembuka fase kemenangan dan lembaran sejarah baru dari kegelapan,
penindasan dan intimidasi ke fase terang benderang dan kebebasan.
Peristiwa hirah ini memiliki nilai pendidikan bahwa waktu itu amat berharga
karena segala sesuatu yang telah terjadi tak akan terulang kembali. Ini memberi
peringatan kepada setiap manusia, umat Islam khususnya, untuk berhati-hati
dalam menggunakan waktunya, karena waktu adalah pedang, bisa jadi waktu luang
yang disia-siakan menjadi poros kehancuran seseorang. Untuk masalah ini, tidak
terlalu sulit mencari contohnya, sebut saja beberapa diantaranya: Seorang
pelajar SMA yang telah menyelesaikan studinya dan belum memiliki gambaran untuk
pendidikan ke jenjang selanjutnya akan cenderung menganggur, saat inilah
setan-setan begitu gencar menggodanya. Keinginan yang bergejolak yang didukung
oleh jiwa mudanya akan menuntutnya untuk mencoba hal-hal yang baru. Ini tidak jadi masalah
jika dia mampu mengatur waktunya dan mengisinya dengan kegiatan yang positif
dan bermanfaat untuk masa depannya. Tapi, ini bisa jadi masalah besar ketika ia
menuruti hawa nafsu yang tidak kunjung habisnya.
Alangkah
baiknya jika setiap muslim selalu menjaga esensi dari hijrah, sayangnya tidak
sedikit dari umat Islam sendiri yang lupa untuk berintropeksi dan bermuhasabah.
Mereka telah terlena dengan kesenangan duniawi yang nisbi seakan mereka akan
hidup abadi. Segala kebaikan dilakukan berdasarkan materi dan berumuskan untung
rugi. Perubahan yang dikehendaki sama sekali tidak terealisasi, harapan akan
adanya perubahan ke arah kebaikan hanya isapan jempol, berbalik 180 derajat
dari perubahan yang pernah dilakukan Rasulullah dalam hijrahnya.
Jika dulu,
pasca hijrahnya Nabi Muhammad, beliau berhasil menyatukan kaum Muhajirin dan
Anshor, sehingga mereka dengan segenap kerelaan hati dan keikhlasan tingkat
tinggi mau berbagi, maka tidak demikian yang terjadi di zaman ini.
Individualisme semakin menjadi-jadi, kesulitan yang dihadapi sesama umat Islam
hanya dijadikan bahan perbincangan dan tontonan di televisi, sabda Nabi bahwa
umat Islam dengan saudaranya bagaikan satu tubuh, jika ada satu bagian saja
yang sakit, maka bagian tubuh yang lain juga akan turut merasakannya telah
banyak dilupakan. Tapi yang patut disyukuri, kemirisan ini tidak merata di
seluruh pelosok negeri, karena masih ada segelintir orang yang masih bersedia
berbagi dengan sesamanya.
Seharusnya,
umat Islam mulai sadar bahwa kini mereka sedang berada dalam bahaya besar,
karena musuh-musuh Islam semakin bersemangat memojokkan umat Islam setelah
melihat kekuatan Islam yang mulai tercerai-berai. Karena sejak awal mereka
sudah berkeyakinan bahwa kekuatan Islam tidak dapat dihancurkan dari luar, hal
ini terbukti dengan penyerangan yang digencarkan oleh Israel kepada penduduk
Palestina atau serangan Amerika pada Afghanistan, Bosnia dan belahan dunia
Islam lainnya, umat Islam yang diserang dengan senjata sama sekali tidak
bergeming, justru yang terjadi adalah sebaliknya, semangat jihad mereka
tersulut yang menjadikan mereka begitu optimis untuk melancarkan serangan
balik, sehingga bala tentara musuh pun lari tunggang langgang dan putus asa
dibuatnya. Maka, tidak sepenuhnya salah jika mereka berkeyakinan bahwa: yang
mampu menghancurkan Islam adalah orang Islam sendiri, sebuah pohon yang ada di
kebun tidak akan boleh ditebang kecuali jika anak si pemiliki kebun sendiri
yang menebangnya.
Setelah
menyadari kenyataan ini, hendaknya setiap mulim mulai melakukan pembenahan,
membuat perubahan yang berarti, tak perlu muluk harus merubah negara menjadi
baik misalnya, tapi perubahan yang dimulai dari diri sendiri dan keluarga akan
menjadi kekuatan yang luar biasa. Teorinya begini: Jika setiap individu dalam
keluarga berusaha merubah diri sendiri sebelum ia menganjurkan orang lain untuk
berubah, maka sekeluarga akan menjadi baik. Jika setiap keluarga menjadi baik,
maka akan tercipta lingkungan masyarakat yang baik, kemudian pengaruhnya
semakin meluas, hingga akhirnya terbentuklah sebuah negara yang baik.
Begitu banyak
pelajaran dan hikmah yang didapatkan dari hijrahnya Rasulullah SAW. KH. Moh. Tidjani Dauhari, MA,
Pengasuh PP. Al Amien Prenduan, Sumenep, Madura telah merangkumnya menjadi 6 ibrah,
diantaranya sebagai berikut:
Pertama, tarbiyah
imaniyyah berupa loyalitas total kepada Allah, mulai masa penungguan sampai
turunnya izin untuk hijrah. Kedua, tarbiyah imaniyyah dalam kesempurnaan
iman kepada Allah SWT dan percaya sepenuhnya atas pertolongan-Nya. Ketiga, tarbiyah
khuluqiyyah berupa akhlak karimah, secara pribadi dan sebagai
pemimpin yang penuh kasih sayang antar sesama terutama kepada para sahabat yang
lemah. Keempat, tarbiyah siyasiyyah al-qiyadiyyah berupa strategi dan
taktik yang hebat dalam pembentukan sebuah negara Islam yang memiliki kekuatan.
Kelima, tarbiyah diniyah wa bil uswah. Dalam fase pembinaannya,
Rasulullah SAW juga ikut berperan serta mengangkat batu bersama para sahabat
yang menunjukan rasa kebersamaan dan keteladanan. Keenam, tarbiyah ukhuwwah
ijtima’iyyah berupa al-mu’akhkhakh (mempersaudarakan), antara kaum
Anshar dan kaum Muhajirin dalam kondisi
yang melebihi hubungan darah dan nasab.
Demikianlah
hikmah dari tahun baru hijriyah, maka marilah kita memaknai hijrah ini dengan
lebih bijak. Tak perlulah tahun baru ini dihiasi dengan petasan dan terompet ala
tahun baru masehi, namun jika tahun baru Islam ini diisi dengan kegiatan
keagamaan atau acara-acara yang bisa menumbuhkan semangat untuk memperbaiki
diri dan saling berlomba dalam kebaikan, ini merupakan sebuah gerakan yang
tidak akan berujung pada kesia-siaan.
Sebelum
mengakhiri tulisan ini, alangkah baiknya jika kita menyelipkan doa, semoga
Allah SWT senantiasa memberkahi kita kapan pun dan di mana pun kita berada.
Sesungguhnya, intropeksi dan perbaikan diri tidak dilakukan setahun sekali,
tapi seharusnya dilakukan setiap hari dan terus-menerus. Dengan demikian,
kita semakin dekat dengan Allah SWT dan semakin dicintai-Nya. Insya Allah.
*Mahasiswi
Kampus Mantingan Fakultas Tarbiyah PBA 5
Tidak ada komentar:
Posting Komentar