Selasa, 18 September 2012

HAKIKAT HIJRAH


 
BIJAK MEMAKNAI HIJRAH                                                                                                                                                                                  
Rizka Dwi Seftiani

Marilah sejenak menyimak salah satu firman Allah SWT di dalam kitab suci Al-Quran:
“Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran) dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) dan supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang dzalim.” (QS. Ali Imran: 140)
Jika ayat ini ditelaah lebih dalam, maka akan tersingkaplah hikmah yang dikandungnya. Kata ‘pergilirkan’ di sana menunjukan adanya sebuah perubahan, gerakan yang dinamis dan progresif. Hal ini menunjukan bahwa Allah SWT menghendaki hamba- Nya untuk tidak statis, hanya memasrahkan jalan hidup pada takdir tanpa usaha sedikit pun. Manusia yang hidup sekedarnya, tanpa gairah untuk maju dan mengembangkan bakat yang telah dianugerahkan Allah untuknya, sama halnya dengan menyia-nyiakan karunia Allah dan kufur akan nikmat yang telah diberikan-Nya. Maka, gerakan yang mengarah ke arah kebaikan mutlak diperlukan. 
Membincangkan tentang perubahan di awal bulan Muharram merupakan waktu yang sangat tepat. Sebab, ini merupakan tahun baru Islam. Jika tahun baru masehi senantiasa identik dengan terompet, kembang api dan pesta hura-hura, tidak demikian halnya dengan tahun baru Islam. Awal tahun hijriyah seyogyanya digunakan untuk intropeksi diri, menanyakan pada diri sendiri tentang tingkah polah yang telah dilakukan selama satu tahun yang lalu. Bisa jadi lisan yang seharusnya dijaga mengeluarkan bisa yang menyakiti hati, atau mulut yang terlalu banyak mengocehkan kejelekan orang lain tanpa mengingat kesalahan dan keburukan diri sendiri, sehingga timbul perasaan bahwa ‘saya lebih baik dari pada dia’ atau hati yang selalu mendengki kebaikan yang telah didapatkan orang lain dan besenang-senang di atas penderitaan orang lain.
Inilah hakikat dari pada tahun baru hijriyah. Tahun yang dimulai sejak hijrahnya Rasulullah SAW bersama para sahabat dari Makkah menuju Yatsrib (Madinah) merupakan hari bersejarah dalam rentetan perjalanan sejarah umat. Hijrah adalah pembuka fase kemenangan dan lembaran sejarah baru dari kegelapan, penindasan dan intimidasi ke fase terang benderang dan kebebasan.
Peristiwa hirah ini memiliki nilai pendidikan bahwa waktu itu amat berharga karena segala sesuatu yang telah terjadi tak akan terulang kembali. Ini memberi peringatan kepada setiap manusia, umat Islam khususnya, untuk berhati-hati dalam menggunakan waktunya, karena waktu adalah pedang, bisa jadi waktu luang yang disia-siakan menjadi poros kehancuran seseorang. Untuk masalah ini, tidak terlalu sulit mencari contohnya, sebut saja beberapa diantaranya: Seorang pelajar SMA yang telah menyelesaikan studinya dan belum memiliki gambaran untuk pendidikan ke jenjang selanjutnya akan cenderung menganggur, saat inilah setan-setan begitu gencar menggodanya. Keinginan yang bergejolak yang didukung oleh jiwa mudanya akan menuntutnya untuk mencoba hal-hal yang baru. Ini tidak jadi masalah jika dia mampu mengatur waktunya dan mengisinya dengan kegiatan yang positif dan bermanfaat untuk masa depannya. Tapi, ini bisa jadi masalah besar ketika ia menuruti hawa nafsu yang tidak kunjung habisnya.
Alangkah baiknya jika setiap muslim selalu menjaga esensi dari hijrah, sayangnya tidak sedikit dari umat Islam sendiri yang lupa untuk berintropeksi dan bermuhasabah. Mereka telah terlena dengan kesenangan duniawi yang nisbi seakan mereka akan hidup abadi. Segala kebaikan dilakukan berdasarkan materi dan berumuskan untung rugi. Perubahan yang dikehendaki sama sekali tidak terealisasi, harapan akan adanya perubahan ke arah kebaikan hanya isapan jempol, berbalik 180 derajat dari perubahan yang pernah dilakukan Rasulullah dalam hijrahnya.
Jika dulu, pasca hijrahnya Nabi Muhammad, beliau berhasil menyatukan kaum Muhajirin dan Anshor, sehingga mereka dengan segenap kerelaan hati dan keikhlasan tingkat tinggi mau berbagi, maka tidak demikian yang terjadi di zaman ini. Individualisme semakin menjadi-jadi, kesulitan yang dihadapi sesama umat Islam hanya dijadikan bahan perbincangan dan tontonan di televisi, sabda Nabi bahwa umat Islam dengan saudaranya bagaikan satu tubuh, jika ada satu bagian saja yang sakit, maka bagian tubuh yang lain juga akan turut merasakannya telah banyak dilupakan. Tapi yang patut disyukuri, kemirisan ini tidak merata di seluruh pelosok negeri, karena masih ada segelintir orang yang masih bersedia berbagi dengan sesamanya.
Seharusnya, umat Islam mulai sadar bahwa kini mereka sedang berada dalam bahaya besar, karena musuh-musuh Islam semakin bersemangat memojokkan umat Islam setelah melihat kekuatan Islam yang mulai tercerai-berai. Karena sejak awal mereka sudah berkeyakinan bahwa kekuatan Islam tidak dapat dihancurkan dari luar, hal ini terbukti dengan penyerangan yang digencarkan oleh Israel kepada penduduk Palestina atau serangan Amerika pada Afghanistan, Bosnia dan belahan dunia Islam lainnya, umat Islam yang diserang dengan senjata sama sekali tidak bergeming, justru yang terjadi adalah sebaliknya, semangat jihad mereka tersulut yang menjadikan mereka begitu optimis untuk melancarkan serangan balik, sehingga bala tentara musuh pun lari tunggang langgang dan putus asa dibuatnya. Maka, tidak sepenuhnya salah jika mereka berkeyakinan bahwa: yang mampu menghancurkan Islam adalah orang Islam sendiri, sebuah pohon yang ada di kebun tidak akan boleh ditebang kecuali jika anak si pemiliki kebun sendiri yang menebangnya.
Setelah menyadari kenyataan ini, hendaknya setiap mulim mulai melakukan pembenahan, membuat perubahan yang berarti, tak perlu muluk harus merubah negara menjadi baik misalnya, tapi perubahan yang dimulai dari diri sendiri dan keluarga akan menjadi kekuatan yang luar biasa. Teorinya begini: Jika setiap individu dalam keluarga berusaha merubah diri sendiri sebelum ia menganjurkan orang lain untuk berubah, maka sekeluarga akan menjadi baik. Jika setiap keluarga menjadi baik, maka akan tercipta lingkungan masyarakat yang baik, kemudian pengaruhnya semakin meluas, hingga akhirnya terbentuklah sebuah negara yang baik. 
Begitu banyak pelajaran dan hikmah yang didapatkan dari hijrahnya Rasulullah SAW. KH. Moh. Tidjani Dauhari, MA, Pengasuh PP. Al Amien Prenduan, Sumenep, Madura telah merangkumnya menjadi 6 ibrah, diantaranya sebagai berikut:
Pertama, tarbiyah imaniyyah berupa loyalitas total kepada Allah, mulai masa penungguan sampai turunnya izin untuk hijrah. Kedua, tarbiyah imaniyyah dalam kesempurnaan iman kepada Allah SWT dan percaya sepenuhnya atas pertolongan-Nya. Ketiga, tarbiyah khuluqiyyah berupa akhlak karimah, secara pribadi dan sebagai pemimpin yang penuh kasih sayang antar sesama terutama kepada para sahabat yang lemah. Keempat, tarbiyah siyasiyyah al-qiyadiyyah berupa strategi dan taktik yang hebat dalam pembentukan sebuah negara Islam yang memiliki kekuatan. Kelima, tarbiyah diniyah wa bil uswah. Dalam fase pembinaannya, Rasulullah SAW juga ikut berperan serta mengangkat batu bersama para sahabat yang menunjukan rasa kebersamaan dan keteladanan. Keenam, tarbiyah ukhuwwah ijtima’iyyah berupa al-mu’akhkhakh (mempersaudarakan), antara kaum Anshar dan kaum Muhajirin  dalam kondisi yang melebihi hubungan darah dan nasab.
Demikianlah hikmah dari tahun baru hijriyah, maka marilah kita memaknai hijrah ini dengan lebih bijak. Tak perlulah tahun baru ini dihiasi dengan petasan dan terompet ala tahun baru masehi, namun jika tahun baru Islam ini diisi dengan kegiatan keagamaan atau acara-acara yang bisa menumbuhkan semangat untuk memperbaiki diri dan saling berlomba dalam kebaikan, ini merupakan sebuah gerakan yang tidak akan berujung pada kesia-siaan.
Sebelum mengakhiri tulisan ini, alangkah baiknya jika kita menyelipkan doa, semoga Allah SWT senantiasa memberkahi kita kapan pun dan di mana pun kita berada. Sesungguhnya, intropeksi dan perbaikan diri tidak dilakukan setahun sekali, tapi seharusnya dilakukan setiap hari dan terus-menerus. Dengan demikian, kita semakin dekat dengan Allah SWT dan semakin dicintai-Nya. Insya Allah.
                                      *Mahasiswi Kampus Mantingan Fakultas Tarbiyah PBA 5











  

Tidak ada komentar: