Ini tugas waktu ikut KPD
PENDIDIKAN KARAKTER DALAM PRAMUKA
(Meneladani Karakteristik Pendidikan Jepang)
PENDAHULUAN
Pendidikan adalah usaha
sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan
latihan bagi perannya di masa yang akan datang. [1]Anak
merupakan titipan dan amanah yang diberikan Tuhan kepada kita sebagai orangtua.
Pemberian amanah tersebut harus
dipertanggungjawabkan di hari kemudian kelak. Oleh karena itu bimbingan serta
arahan dari orangtua menjadi sangat penting dalam kelangsungan hidup dan
kehidupan seorang anak sampai mereka dapat mandiri. [2]
Orangtua merupakan pendidik yang utama dan
pertama bagi seorang anak. Namun demikian, hal tersebut bukanlah sesuatu yang
mutlak karena banyak kendala yang dapat saja dirasakan orangtua. Kerasnya
tuntutan profesi dan aktifitas lainnya dari orangtua serta keinginan agar sang
anak mendapat pembimbingan yang lebih baik dan profesional mengharuskan mereka
mengalihtangankan pembinaan putra-putrinya yang masih terbilang balita pada
suatu institusi yang telah mapan di bidangnya.
Indonesia sebagai negara berkembang dan terus
mengusahakan kemajuan disegala bidang haruslah memperhatikan pembinaan
anak-anak diusia sedini mungkin, Kita tentu mengharap ada perbaikan
penyelenggaraan pendidikan di Indonesia. Untuk itu, tak ada salahnya jika kita
sebagai bangsa Indonesia belajar dari bangsa lain dalam bidang pendidikan.
Dalam makalah ini, penulis akan memaparkan
tentang pendidikan di Negeri Matahari Terbit atau yang biasa disebut dengan
Negeri Sakura. Penulis sengaja memilih negara ini sebagai kaca perbandingan
karena Indonesia dan Jepang sama-sama Negara Asia, tapi keduanya memiliki
perbedaan yang sangat jauh dalam beberapa bidang.
Dari sekian banyaknya perbedaan antara
keduanya, pendidikan adalah yang paling membedakan. Bahkan, banyak pakar
pendidikan yang menyatakan bahwa kemajuan yang dialami Jepang adalah tidak lain
karena mereka sangat mementingkan pendidikan di atas segala hal. Maka, tujuan
dari penulis sendiri adalah agar Indonesia dalam berkaca dan mulai melakukan
perbaikan negeri yang dimulai dari pendidikan.
Pendidikan
merupakan sokoguru
(penyanggga) kemajuan suatu bangsa. Maju mundurnya suatu bangsa tidak akan
lepas dari “hidup” dan “mati”-nya mutu pendidikan negara yang bersangkutan.
Kalimat ini menambah banyak statement yang
telah ada sebelumnya.Akhir-akhir ini muncul pula sebuah slogan “Pendidikan
Adalah Masa Depan Bangsa”. Pernyataan yang berbau klise itu semestinya menjadi
cambuk bagi kemajuan pendidikan kita, namun kenyataannya hingga saat ini
hanyalah sebuah “cita-cita luhur” yang tak tahu kapan terjadi dan di mana
rimbanya.
Mengenaskan
memang, Indonesia yang dulunya terkenal sebagai negara yang kaya raya tata,
titi, tentrem, kerta, tur raharja
(tenteram dan makmur) dan sempat menjadi percontohan di bidang pendidikan di
kawasan ASEAN harus menjadi pecundang dalam hal mutu pendidikan.
Bila
kita membandingkan dengan negara ASEAN lainnya, Vietnam sekalipun kita masih keok,
apalagi dengan Malaysia yang nota bene pernah kita jadikan tujuan “ekspor”
dosen-dosen kita mengajar di sana. Tidak ketinggalan, kurikulum made in
Indonesia pun pernah “dipekerjakan” di Malaysia pada
dekade 70-an. Hasilnya sungguh luar biasa, mereka berhasil! Investasi
pendidikan yang ditanam bangsa serumpun itu telah berbuah manis. Kemajuan
membuat mereka kini berkata “Malaysia
is Truly Asia”. Kemudian, kita harus mencari tahu apa yang
kurang dari bangsa Indonesia.
Di
kawasan Asia Tenggara, bangsa Indonesia dalam banyak hal sering dikonotasikan
negatif oleh bangsa lain. Bangsa ini sering dipandang sebagai bangsa yang
“kreatif” (baca: punya akal bulus/licin bagai belut), terutama dalam korupsi,
kolusi, nepotisme.
Ada
pemeo yang menyatakan bahwa Indonesia ini banyak korupsi, tetapi tidak ada. Terlepas
dari semua itu, bangsa Indonesia belum kiamat walaupun permasalahan dalam
negeri tak kunjung selesai dan ada kecenderungan makin berlarut-larut, kita
tetap harus punya semangat bushido.Krisis
yang melanda bangsa ini begitu multidimensionalnya mulai dari moneter,
dekadensi moral, kepercayaan, disintegrasi bangsa, “perang” antarsesama, dan
tidak terhitung lagi banyaknya permasalahan rumit yang belum
terselesaikan.Sepertinya sungguh suatu peringatan dan azab dari Tuhan Yang
Mahakuasa.
Belajar
dari kesalahan masa lalu dan berusaha untuk tidak mengulanginya serta minta
ampun kepada Pencipta, lebih bijaksana kalau kita menatap ke masa depan dan
hari esok bagi kelangsungan generasi muda. Hari esok bukanlah hari Senin-Minggu,
tetapi hari esok adalah arah kebijakan pendidikan kita yang akan dibawa ke
mana.
Masih
banyak generasi penerus kita yang berprestasi dalam arti yang sebenarnya. Permainan
belum selesai, “Saudara tua” kita, Jepang, mampu bangkit walaupun telah porak-poranda
dihantam bom atom oleh Amerika pada Perang Dunia II.Tetangga kita Vietnam mampu
“berdiri tegak” walaupun baru saja (1975-an) berbenah setelah “bertinju” dengan
Amerika. Malaysia mampu berdendang dengan (We are
truly Asia) setelah hampir 3 dasawarsa “berguru” ke kita.
Kenapa
kita yang lebih dari 56 tahun merdeka masih jalan di tempat. Tidakkah kita
melihat rumput orang lain yang hijau sebagai cambuk untuk maju meskipun
sebenarnya rumput kita sendiri juga hijau. Kalau kita mampu bangkit dan dan
yakin akan segera keluar dari krisis, serta berkeinginan menanamkan investasi
pendidikan, bukan sebuah mimpi kalau nanti kita berhasil dan mengatakan “Indonesia
is pure Asia.”
Selain
itu, juga pengalaman Jepang dalam merombak masyarakatnya lewat pendidikan, sekiranya
bisa “dilirik” untuk dipelajari sungguh-sungguh oleh Indonesia dalam
merencanakan masa depannya. Dalam sebuah hadis disebutkan, “Tuntutlah ilmu
sampai ke negeri Cina”. Betapa pentingnya ilmu dalam kehidupan.Oleh karena itu,
tidak ada salahnya bila kita ngangsu
kawruh (mencari ilmu) ke Jepang mengenai pendidikan.
Penulis juga mengawali makalah ini dengan pembahasan mengenai peran
kepramukaan dalam upaya pendidikan karakter di Bab I, karena mengingat makalah
ini adalah salah satu syarat kelulusan Kursus Pelatih Dasar adalah
menyelesaikan makalah ini. Intinya, penulis
ingin mengetahui, seberapa besarkah peran pramuka dalam membentuk
karakter bangsa Indonesia.
BAB I
PRAMUKA SEBAGAI UPAYA PENDIDIKAN KARAKTER
A.
PENGERTIAN
PENDIDIKAN KARAKTER
Karakter memiliki sinonim kata, yaitu watak dan
sifat. Karakter bisa jadi ada unsur genetika dari orang tua, tapi karakter
lebih banyak terwarnai oleh lingkungan sekitar atau masyarakat. Maka, karakter
bisa dibentuk dan dirubah, dari baik ke buruk atau sebaliknya.
Proses perubahan dari buruk ke baik itu bisa
disebut dengan pendidikan, jadi perubahan yang terjadi itu menunjukan bahwa
proses pendidikan telah berhasil dilaksanakan.
Pendidikan karakter sangat penting
dilaksanakan, terutama untuk masa kenak-kanak yang sedang mencari jati diri
menuju dewasa.[3]
Pendidikan memiliki dua jalur, yaitu sekolah
dan di luar sekolah. Jalur pertama merupakan pendidikan yang diselenggarakan
diselenggarakan di sekolah melalui kegiatan belajar mengajar secara berjenjang
dan berkesinambungan.
Sedangkan jalur kedua merupakan pendidikan yang
diselenggarakan di luar sekolah melalui kegiatan belajar mengajar yang tidak
harus berjenjang dan berkesinambungan. [4]
Menilik kedua jalur di atas, pramuka termasuk
kegiatan yang melengkapi pendidikan yang didapatkan di rumah dan di sekolah,
karena di dalam kepramukaan terdapat beberapa hal yang belum ada di sekolah,
seperti Prinsip Dasar Kepramukaan, di alam terbuka yang menjadi upaya self
education untuk anak itu sendiri.
Pendidikan dalam kepramukaan diartikan sebagai
suatu proses pembinaan dan pengembangan sepanjang hayat yang berkesinambungan
dan kecakapan yang dimiliki peserta didik, baik dia sebagai pribadi maupun
sebagai anggota masyarakat.
Hal ini bertujuan untuk membentuk peserta didik
menjai manusia yang mandiri, peduli, bertanggungjawab, baik dia sebagai pribadi
maupun anggota masyarakat.
Pendidikan ini bertumpu pada soko guru atau
empat sendi, yaitu:
1.
Belajar
mengetahui, untuk memiliki pengetahuan umum yang cukup luar untuk dapat bekerja
secara mendalam dalam beberapa hal. Ini mencakup belajar untu kbelajar, agar
dapat memanfaatkan peluang-peluang pendidikan sepanjang hidup.
2.
Belajar
berbuat, bukan hanya untuk memperoleh kecakapan atau ketrampilan, kerja melainkan juga untuk memiliki
ketrampilan hidup.
3.
Belajar
hidup bermasyarakat. Untuk menumbuhkan pemahaman onag lain, menghargai saling
keterhantungan, ketrampilan dalam kerja kelompok dan membereskan pertentangan
serta menghormati sedalam-dalamnya nilai kemajemukan, saling pengertian,
perdamaian dan keadilan.
4.
Belajar
menjadi seseorang.
Agar dapat mengembankan watak serta dapat
bertindak dengan kemandirian berpendapat dan bertanggungjawab pribadi makin
besar.
Proses pendidikan terjadi pada saaat peserta
didik asyik melakukan kegiatan yang menarik, menyenangkan yang kreatif dan
menantang. Pada saat yang semikian, pembina memberikan bimbingan dan pembinaan
karakter di sela-sela latihan.
B.
PRAMUKA
MELATIH TANGGUNGJAWAB
Di dalam pramuka terdapat banyak kegiatan yang mampu
membentuk karakter anak yang bertanggungjawab, contohnya dalam upacara, di sana
terdapat beberapa anak yang mendapatkan tugas untuk membuat pioneering, menjadi
petugas upacara, dan lainnya. Masing-masing harus melaksanakan tugasnya dengan
rasa penuh tanggungjawab.
Seorang pramuka sejati akan bertanggungjawab
atas apa yang dijanjikannya, Dasa Dharma. Dari janji pertama saja, mereka sudah
dituntut untuk bertakwa kepada Tuhan karena itu adalah tanggungjawabnya sebagai
seorang hamba Allah.
Janji kedua menuntut anak untuk
bertanggungjawab sebagai pecinta alam yang senantiasa menjaga kelestarian alam,
ia akan bersemangat untuk menggalakkan Go Green. Tidak hanya mencintai
lingkungan sekitar, ia juga mencintai orang-orang di sekitarnya. Ia menghormati
yang lebih besar dan menyayangi yang lebih kecil.
Janji ketiga adalah menjadi patriot yang sopan
dan kesatria. Ia akan selalu menjaga tindak tanduknya, ia bisa membawa diri. Ia
juga ,memiliki jiwa patriotisme yang tinggi untuk membela negara, tanah airnya
tercinta.
Janji keempat, patuh dan suka bermusyawarah.
Sebagai pribadi yang bertanggungjawab, ia akan mematuhi kedua orang tuanya,
guru, pembina atau pelatihnya, selain itu ia akan senang bermusyawarah sebelum mengambil
keputusan.
Janji kelima, rela menolong dan tabah. Ia akan
ringan tangan untuk membantu orang lain ketika melihat seseorang dalam keadaan
sulit. Sedangkan tabah di sini adalah
ketika ia mendapatkan musibah, ia akan selalu berusaha untuk tabah
menghadapinya. Tapi itu tidak berarti ia pasrah menjalani nasib, ia akan
mencari penyelesaian dari musibah atau masalah yang ia hadapi dan yang
terpenting di sini, ia akan segera bangkit dan ia tidak akan membiarkan
masalahnya berlarut-larut.
Janji keenam, rajin, terampil dan gembira.
Seorang pramuka yang bertanggungjawab akan selalu rajin dalam mengikuti setiap
kegiatan, ia mampu menanggulangi kebosanannya. Ia akan selalu beusaha riang
gembira dan bersemangat.
Janji ketujuh, hemat, cermat dan bersahaja.
Pramuka akan berusaha menjadi pribadi yang hemat, ia enggan berfoya-foya atau
menghabiskan uangnya untuk sesuatu yang tidak perlu. Ia juga selalu cermat dan
teliti dalam setiap keadaan. Ia juga senantiasa bersahaja, maka ketika ia sudah
dewasa, ia akan memiliki wibawa yang tidak dimiliki oleh setiap orang.
Janji kedelapan, disiplin, berani dan setia. Seorang
pramuka akan berusaha untuk disiplin dan tepat waktu, ia juga berani, berani
berbuat dan berani mempertanggungjawabkan perbuatannya. Ia juga berani mengakui
kesalahannya saat ia berbuat kesalahan, ia tahu bahwa mengakui kesalahan bukan
berarti menurunkan harkat dan martabat, tapi itu adalah bentuk dari rasa
tanggungjawabnya yang besar. Namun ia tidak berhenti dalam tahap meminta maaf,
ia akan memperbaiki jika ia telah merusak sesuatu tanpa disengaja, ia akan
meralat ucapannya ketika ia salah berucap.
Ia juga sosok yang setia pada prinsip dan
keyakinannya, ia tak akan mudah goyah
dan setia dalam upaya mempertahankan apa yang memang pantas dipertahankan. Ia
akan setia pada orang yang memang pantas mendapatkan dedikasinya.
Janji kesembilan, bertanggungawab dan dapat
dipercaya. Inilah point terpenting dalam pembahasan mengenai Dasa Dharma ini,
ia akan selalu berusaha untuk bertangunggjawab. Adapun bentuk tanggungjawab itu
sudah dijelaskan oleh penulis secara terperinci di atas.
Janji terakhir adalah janji untuk selalu
menjaga pikiran, perkataan dan perbuatan. Agar selalu lurus dan tidak melenceng
ke jalan kesesatan.
Demikianlah pramuka, dengan Dasa Dharmanya, ia
mampu melatih sikap tanggungjawab dalam jiwa seorang anak tanpa anak itu
sadari, sedikit demi sedikit karakternya mulai terbentuk.
C.
PRAMUKA
MELATIH JIWA KEPEMIMPINAN
Kata bijak menyebutkan, Siap Memimpin dan Siap
Dipimpin. Demikian halnya dengan pramuka, pramuka berusaha untuk selalu membina
pesertanya agar memiliki jiwa kepemimpinan yang tinggi.
Di dalam pramuka ada system yang bernama Sistem
Among, yaitu terdiri dari 3 hal, yaitu:[5]
1.
Ing
Ngarso Sung Tulodho
Yang maksudnya, yang di depan harus senantiasa
menjadi teladan untuk yang ada di belakangnya. Jadi, yang besar harus member
contoh yang baik kepada yang lebih kecil, yang tua harus bisa mengayomi yang muda.
Karena generasi tua harus sadar bahwa mereka membutuhkan tongkat estafet untuk
meneruskan perjuangan muda. Di sinilah peran mereka untuk menumbuhkan
tunas-tunas bangsa, agar menjadi tunas yang unggul dan bisa diharapkan.
2.
Ing
Madya Mangun Karso
Maknanya, yang di tengah memberi semangat, agar
yang di depan dan di belakangnya tidak patah semangat, keberadaan yang di
tengah ini tidak bisa diremehkan, karena ia juga memiliki peranan yang cukup
signifikan untuk turut serta membangun bangsa. Karena setiap orang membutuhkan
penyemangat atau yang biasa disebut dengan motivasi. Meskipun motivasi
terkadang juga bisa didapatkan dari diri sendiri, tapi motivasi dari luar juga
diperlukan sebagai pendukung.
Jadi, seorang pemimpin harus bisa memotivasi
anggotanya agar tetap semangat dan pantang putus asa.
3.
Tut Wuri
Handayani
Maknanya, yang di belakang pendorong.
Sebenarnya keberadaan yang belakang dan yang di tengah tidak jauh berbeda,
intinya keduanya sama-sama sebagai pendorong.
Selain Sistem Among, Pramuka juga memiliki
berbagai cara untuk melatih jiwa kepemimpinan seorang peserta didik. Beberapa
contohnya adalah: Menjadikan salah seorang dari peserta untuk menjadi pimpinan
upacara, ketua unit, ketua kavling, ketua regu, pratama, pradana, ketua panitia
dan lainnya.
Demikianlah pran pramuka dalm melatih jiwa
kepemimpinan seorang peserta didik.
D.
PRAMUKA
MELATIH KEDEWASAAN
Ada satu peran Pramuka yang sangat penting,
yaitu melatih kedewasaan. Seperti jamak diketahui bahwa ada proses jenjang
yang harus ditempuh seseorang yang fokus
dalam kepramukaan. Jenjang itu adalah siaga
(mula, tata dan bantu), penggalang (ramu, rakit dan terap), penegak (bhatara
dan laksana), dan terakhir pandega.
Setelah itu, seorang
peserta didik bisa menjadi pembina bahkan pelatih setelah mengikuti: KMD, KML,
KPD dan yang terakhir KPL.
Semua jenjang itu secara
tidak langsung dapat membentuk kedewasaan peserta didik. Karena, setiap jenjang
atau tingkatannya memiliki tantangan tersendiri yang disesuaikan dengan jiwa
dan psikologis peserta didik.
Terlebih lagi ketika ia
telah menjadi pembina atau pelatih, maka kedewasaan mutlak dimiliki, karena ia
harus mulai bisa mengayomi adik-adiknya, setidak-tidaknya, ia harus menguasai
sistem Among yang telah disebutkan di atas.
BAB II
Meneladani Karakteristik Pendidikan Jepang
A.
SEJARAH PENDIDIKAN JEPANG
Sebelumnya, di Bab I telah dibahas mengenai peran pramuka dalam
membentuk karakter anak. Selanjutnya, penulis akan mengulas tentang pendidikan yang ada di
Jepang. Karena negara ini memiliki karakter dan jiwa yang belum dimiliki bangsa
lain.
Ada satu pendapat bahwa
Jepang memiliki karakter kuat karena pendidikan dan budanyanya, karena pendidikan
tidak dapat dipisahkan dengan kebudayaan.
Pada dasarnya ada
kemiripan latar belakang perkembangan kebudayaan antara Indonesia dan Jepang.
Secara historis, peradaban Indonesia dan Jepang dapat dilacak kembali sampai ke
zaman yang sangat kuno.Peradaban Indonesia dan Jepang mengembangkan
kebudayaannya dengan jalan menyerap dan mengasimilasikan unsur-unsur asing,
yang berlanjut menjadi lapisan dasar budaya asli.
Di
Indonesia pada abad ke-8 sampai 10 berkembang beberapa kerajaan yang
berorientasi pada agama Budha dan Hindu di Jawa Tengah, dengan peninggalannya
yang terkenal berupa Borobudur, Prambanan, dan lain-lain. Begitu pula di
Jepang, pada zaman yang sama mereka menyerap dan mengasimilasikan kebudayaan
Cina, dengan mengembangkan kebudayaan Nara-Heian dan pembangunan kuil Horyuji
serta Bangsal Budha Agung di Nara. Menurut Taroo Sakamoto, persamaan waktu
antara munculnya Borobudur dan Bangsal Budha Agung merupakan petunjuk akan
adanya persamaan antara Kebudayaan Indonesia dan Jepang.
Namun,
seiring dengan berjalannya waktu pada abad ke-17, Jepang dengan politik
isolasinya, melaksanakan pendidikannya dengan sistem terakoya[6].
Menjelang akhir zaman Shogun terdapat lebih dari 7.000 terakoya, Ini
merupakan dasar bagi pelaksanaan sistem gimu
kyooiku[7].
Namun, semenjak Restorasi
Meiji dikibarkan, bagai bola salju, pemerintah Jepang terus “menggelindingkan”
puspa ragam kebijaksanaannya dengan mulai giat menerjemahkan dan menerbitkan
pelbagai macam buku, di antaranya tentang ilmu pengetahuan, sastra, maupun
filsafat. Para pemuda banyak dikirim ke luar negeri untuk belajar sesuai dengan
bidangnya masing-masing, tujuannya jelas yaitu mencari ilmu dan menanamkan
keyakinan bahwa Jepang akan dapat “berdiri sama tinggi, duduk sama rendah”
dengan kemajuan dunia Barat.
Dari
upaya tersebut, lahirlah tokoh modernisasi pendidikan Jepang era Meiji seperti
Fukuzawa Yukichi, yang punya gagasan cemerlang. Gagasan yang terkenal tercetus
dalam bukunya berjudul Gakumon no Susume
(Jepang: di antara Feodalisme dan Modernisasi) menyatakan pada bagian pendahuluan
buku tersebut “Sebagai jalan yang paling ampuh untuk mencapai tujuan negara
adalah melalui pendidikan sebab Tuhan tidak menempatkan manusia yang lain.
Kalau kenyataan dalam masyarakat memang ada orang yang berkedudukan lebih
tinggi dan ada pula yang berkedudukan lebih rendah. Perbedaan ini disebabkan
karena yang berkedudukan tinggi telah mementingkan pendidikan, sedangkan yang
rendah sebaliknya”.[8]
Kemajuan
bangsa Jepang bertambah “runcing” sesudah tentara pendudukan Amerika Serikat
(AS) — setelah Jepang kalah perang pada PD II — banyak memberikan dorongan pada
bangsa Jepang untuk mencurahkan perhatiannya pada bidang pendidikan. Struktur
baru pendidikan yang dikembangkan Amerika Serikat dalam Cummings (1984), ada
empat hal pokok yang dapat dijelaskan.
Pertama,
sekolah dasar (SD) wajib selama enam tahun dan tidak dipungut biaya. Bertujuan
untuk menyiapkan anak menjadi warga yang sehat, aktif menggunakan pikiran, dan
mengembangkan kemampuan pembawaannya.
Kedua,
sesudah SD ada sekolah lanjutan pertama selama tiga tahun, punya tujuan untuk
mementingkan perkembangan kepribadian siswa, kewarganegaraaan, dan kehidupan
dalam masyarakat serta mulai diberikan kesempatan belajar bekerja.
Ketiga,
setelah sekolah lanjutan pertama, ada sekolah lanjutan selama tiga
tahun.Bertujuan untuk menyiapkan siswa masuk perguruan tinggi dan memperoleh
keterampilan kerja.
Keempat,
universitas harus berperan secara potensial dalam mengembangkan pikiran liberal
dan terbuka bagi siapa saja, bukan pada sekelompok orang. Munculnya struktur
baru pendidikan di Jepang yang di kembangkan Amerika Serikat, merupakan bentuk
“revisi” dari struktur pendidikan lama yang sudah ada sebelum Perang Dunia II.
Kegiatan
Jepang dalam cerdas dan mencerdaskan bangsanya telah menuai hasil yang
signifikan.Korelasi antara majunya pendidikan Jepang dan kemajuan industrinya
benar-benar terwujud. Hal ini dibuktikan dengan keberhasilan bangsa Jepang
tumbuh menjadi negara industri utama di Asia, yang kedudukannya sejajar dengan
bangsa Barat lain seperti Inggris maupun Prancis.
B.
PIONEER PENDIDIKAN KARAKTER
DI JEPANG
Fukuzawa
Yukichi (1835-1901) yang lahir pada 10 Januari 1835 di Nakatsu, Oita
Prefecture. Fukuzawa adalah tokoh yang memelopori modernisasi Jepang.Ia juga
adalah pendiri dan rektor pertama Universitas Keio, Jepang. Universitas Keio (Keio
Gijuku Daigaku) adalah perguruan tinggi tertua dan salah satu
yang paling prestisius di Jepang. Universitas ini didirikan pada tahun 1859
sebagai perguruan tinggi swasta yang fokus pada studi Barat dan Fukuzawa
mendirikan fakultas pertamanya pada tahun 1890.[9]
Fukuzawa
Yukichilah yang telah menyebarkan semangat keterbukaan dan menebarkan
modernisasi di Jepang lewat perjuangan dan karya-karyanya dalam pendidikan.
Tokoh intelektual Jepang yang akhirnya membuka mata Jepang akan adanya dunia
lain selain negeri Jepang ini memang rajin membuat terobosan-terobosan untuk
mengubah pandangan Jepang tentang gaijin (orang asing) dan kaigai
(negeri asing).
Pada
masa-masa awal restorasi Meiji Fukuzawa Yukichi mengusulkan ide yang disebut Datsu
A Ron (keluar dari Asia). Target orang Jepang yang paling utama ialah
“mengejar sehingga melampaui negara-negara Barat”. Dalam usaha itu Jepang
mengikuti contoh negara Barat sehingga berekspansi dan menjajah negara-negara
tetangga sebelum perang dunia (PD) II.
Sejak
kemenangan Jepang atas Rusia dalam perang Jepang-Rusia tahun 1911, pemikiran
Fukuzawa terbukti telah berhasil mengangkat pamor militer Jepang di dunia
sekaligus membuktikan bahwa orang yang berkulit kuning (Asia) mampu mengalahkan
orang berkulit putih (Eropa). Kemenangan Jepang atas Rusia ini juga berpengaruh
pada kebangkitan bangsa-bangsa di benua Asia-Afrika.
Meskipun
letaknya di lingkungan Asia, Jepang selalu berusaha mengabungkan diri dengan
bangsa Barat. Ide Fukuzawa ini dipakai oleh pemerintahan militer Jepang yang
bermaksud membangun “Lingkungan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya”. Bangsa
Jepang tetap berada di pihak negara-negara Barat.
Fukuzawa
Yukichi, juga orang Jepang yang memiliki gagasan cemerlang. Gagasan yang
terkenal tercetus dalam bukunya yang berjudul “Gakumon no Susume”
seperti yang telah disebutkan di atas. Buku yang berjudul “Gakumon no susume”
ini pada tahun 1882 telah terjual 600.000 naskah. Buku ini antara lain
menyatakan: Manusia tidak dilahirkan mulia atau hina, kaya atau miskin, tetapi
dilahirkan sama dengan yang lain. Siapa yang gigih belajar dan menguasai ilmu
dengan baik akan menjadi mulia dan kaya, tetapi mereka yang bodoh akan menjadi
papa dan hina.
Sejak
zaman restorasi Meiji inilah Jepang telah menempatkan ilmu dan pendidikan dalam
posisi penting (1860-an-1880-an). Pada akhir 1888, dikatakan, terdapat sekitar
30.000 pelajar yang belajar pada 90 buah sekolah swasta di Tokyo. Sekitar 80
persennya berasal dari luar kota. Pelajar miskin diberi beasiswa. Sebagian
mereka bekerja paroh waktu sebagai pembantu rumah tangga. Namun mereka bangga
dan memegang slogan: “Jangan menghina kami, kelak kami mungkin menjadi
menteri!” Para pelajar disajikan kisah-kisah kejayaan individu di Barat dan
Timur.
Murid
setia Fukuzawa Yukichi, namanya Hayashi Yuteki, kemudian membantu sang guru
dengan mendirikan perusahaan Maruya Shosha di Yokohama yang sekarang terkenal
dengan sebutan Maruzen, toko buku terbesar dan terluas cabangnya di seluruh
negeri Sakura.
Tokoh
seperti Fukuzawa Yukichi ini di Indonesia mungkin bisa disetarakan dengan Ki
Hajar Dewantoro yang mendirikan “Taman Siswa” dan mendapat gelar bapak
Pendidikan Nasional. Sayangnya pemikiran pemikiran Ki Hajar Dewantoro
kelihatannya tidak berbekas di hati masyarakat Indonesia dan para peminpin
bangsa kita, sehingga mutu pendidikan nasoinal kita masih tetap ketinggalan. Masih
banyak rakyat Indonesia yang belum bisa menikmati bangku sekolah, para guru
banyak yang mogok mengajar karena gaji kecil, anggaran pendidikan masih jauh
dari standard dan berbagai masalah yang rumit yang dihadapi dunia pendidikan
kita.
C.
FAKTA PENDIDIKAN JEPANG
Pendidikan
yang meluas dan membumi telah membuat orang Jepang hampir semuanya melek huruf
mendekati angka 100%, dan orang yang buta huruf kurang lebih hanya 0,7% pada
tahun 1979. Jika dibandingkan dengan Indonesia, Menurut Fasli Djalal [10], saat
ini lebih dari 16 juta WNI yang berusia di atas 10 tahun masih belum melek huruf.
Lagi pula, menurut Indra Jati Sidi[11], banyak
sekali lulusan SD yang tidak bisa melanjutkan ke SMP karena berbagai sebab.
Persentase
siswa Jepang yang melanjutkan ke SMA lebih kurang 94%, dan yang melanjutkan ke
PT lebih kurang 38%. Hal ini bila dibandingkan dengan kondisi yang sama dengan
negara lain di dunia, misalnya Prancis (24%), Inggris (20%), Jepang menempati
urutan pertama setelah Amerika Serikat (43%).[12]
Di
samping itu, berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh The
Political and Economic Risk Consultancy (PERC),
lembaga konsultan yang berkedudukan di Hong Kong pada akhir tahun 2001[13]
menempatkan Jepang dalam urutan ketiga di bawah Korea Selatan dan Singapura,
dalam Human Development Index atau
indeks pembangunan manusia (IPM). Sementara itu, kalau kita bandingkan dengan
IPM Indonesia, sungguh sangat jauh. Dari 12 negara Asia yang disurvei,
Indonesia berada di urutan juru kunci. Hasil survei tahun 2000 dari United
Nation Development Program (UNDP),
badan PBB yang mengurus program pembangunan, menempatkan Indonesia di urutan
ke-109 dari 174 anggota PBB (Republika, ibid).
Rendahnya IPM Indonesia merupakan ouput dari
mutu sistem pendidikan.
Menurut
Prof. Herman Kahn dalam Ajip Rosidi (Mengenal
Jepang) menyatakan, berdasarkan data-data ilmiah,
pada awal abad ke-21, Jepang akan menjadi negara nomor satu di dunia, di segala
bidang.
Tingginya
standar pendidikan Jepang di atas tidak semata-mata muncul dengan sendirinya,
namun yang perlu diungkap di sini adalah ciri utama bangsa Jepang yaitu kehausan
yang tak pernah puas akan pengetahuan. Sebagai bangsa literal dan minat baca
yang tinggi, wajar dan mengamini bila bangsa Jepang maju dalam bidang
pendidikan. Bukan hanya bacaan berupa buku ilmu pengetahuan, teknologi, dan
sastra saja yang menjadi bahan bacaan mereka, tetapi koran pun masih menjadi
bacaan wajib setiap hari. Sebagaimana dikatakan Tanaka dalam Dahidi, “Even
today, Japanese still expect to act as the national conscience…newspapers are
still the trusted medium in Japan”.
Membaca
bagi kebanyakan orang Jepang bukan merupakan kegiatan yang dipaksakan, tetapi
karena dalam diri mereka telah tertanam suatu sifat kebutuhan akan bacaan.
Akibatnya, tidak heran bila kita lihat kehidupan sehari-hari bangsa Jepang
tidak akan lepas dari membaca. Di stasiun, perpustakaan, di jalan, atau secara
ekstremnya dikatakan, di mana ada kehidupan, di situ mereka membaca.
Menurut
Tanaka jumlah buku yang diterbitkan setiap tahun, diperkirakan sebanyak 1.400
juta jilid, majalah bulanan (2.500 juta) jilid, majalah mingguan (1.700 juta)
jilid. Dengan demikian, dapat diperkirakan bahwa dalam setahun, setiap orang
Jepang membaca kira-kira 12 buku dan 35 majalah. Buku-buku tersebut tidak
termasuk buku pelajaran.“This works out to about 12 books and 35
magazines per person per year, not counting the many textbook which students
read in school”. Perputaran uang dari penjualan buku dan
majalah itu sekira 2 triliun yen. Ini bukti yang cukup untuk
menggambarkan besarnya minat baca orang Jepang.
Di
samping hal di atas, pengaruh pendidikan terhadap anak dan masyarakat telah
membuat pendidikan Jepang mempunyai potensi yang luar biasa dalam berbagai hal.
Misalnya, (1) Minat masyarakat yang besar sekali pada pendidikan; (2) prestasi
kognitif dan motivasi siswa relatif setaraf; (3) prestasi kognitif siswa
rata-rata tinggi; (4) munculnya pelajaran ide egalitarianisme; (5) perubahan
sosial yang egalitarian; (6) timbulnya kesamaan yang sama bagi semua lapisan
masyarakat.
D.
KARAKTERISTIK PENDIDIKAN
JEPANG
Menurut
Danasasmita, ada beberapa karakteristik lain dari bangsa Jepang yang mendorong
bangsa ini maju. Pertama, orang Jepang menghargai jasa orang lain. Hal ini
dibuktikan dengan “ringannya” mereka dalam mengatakan arigatoo (terima
kasih) ketika mendapat bantuan orang lain dan tidak menganggap remeh jerih
payah orang lain meskipun bantuan itu tidak seberapa.
Kedua,
orang Jepang menghargai hasil pekerjaan orang lain, dilambangkan dengan ucapan otsukaresamadeshita (maaf,
Anda telah bersusah payah). Ketiga, perlunya setiap orang harus berusaha,
dilambangkan dengan ucapan ganbatte
kudasai (berusahalah!). Keempat, orang Jepang punya
semangat yang tidak pernah luntur, tahan banting, dan tidak mau menyerah oleh
keadaan, yang terkenal dengan semangat bushido (semangat
kesatria).
Dari
beberapa karakteristik yang disebutkan di atas, Jepang mampu menjaga martabat
dan kualitas hidup bangsanya lewat pendidikan. Pendidikan pada hakikatnya
adalah sesuatu yang luhur karena di dalamnya mengandung misi kebajikan dan
mencerdaskan. Pendidikan tidaklah sekadar proses kegiatan belajar-mengajar
saja, melainkan juga sebagai proses penyadaran untuk menjadikan manusia sebagai
“manusia”, bukan seolah-olah manusia dijadikan “jagung” atau “padi” yang setiap
tiga atau enam bulan sekali mengganti metode “penanamannya”, apabila bagus
dilanjutkan dan sebaliknya bila jelek ditinggalkan.
Pendidikan
merupakan sarana untuk menjadikan manusia sebagai “manusia yang sadar diri”
dalam generasi itu. Artinya, menjadikan manusia itu “mengerti” apa yang
seharusnya diperbuat dan apa yang tidak, memahami yang baik dilakukan dan yang
jelek ditinggalkan, serta mengetahui mana yang merupakan hak dan mana
kewajiban.
Menurut
William O’neil[14],
menyatakan bahwa pendidikan kalau boleh diibaratkan memang seperti seorang
musafir yang sedang berada pada persimpangan jalan. Jalan mana yang akan
ditempuh untuk mencapai tujuan adalah pilihan. Demikian juga dengan pendidikan,
memilih jalan itu merupakan hal yang amat penting dan menentukan keberhasilan.
E.
KREATIFITAS, MUTLAK DI
JEPANG
Indonesia banyak melahirkan sederet juara
olimpiade internasional, baik di bidang pelajaran matematika, sains, fisika,
kimia maupun olahraga. Pertanyaannya, dengan mencetak generasi yang bertumpu
pada logika (otak kiri) itu, apa yang bisa diharapkan demi kemajuan bangsa ke
depan? Kita lupa, bangsa yang dibangun hanya dengan mengandalkan ilmu, tanpa
bekal kreativitas dan moral, hanya akan menghancurkan bangsa itu sendiri. [15]
Menurut penelitian mutakhir di AS, peran logika
bagi sukses seseorang hanya 4%. Selebihnya (96%) sukses seseorang ditentukan
oleh kemampuan "otak kanan" yang punya andil besar dalam hal
kreativitas, imajinasi, inovasi, daya rasa, kreasi, seni, kemampuan mencipta
dan merekayasa. (MI, 16/1'06) Kemampuan otak sadar manusia sendiri sebenarnya
hanya 12% dari seluruh kemampuan otak manusia dan selebihnya (88%) berada di
otak bawah sadar, tepatnya di otak kanan. (Quantum Ikhlas, 2007).
Inilah rahasia bangsa Jepang, Korea, China,
Singapura, dan negara-negara Barat hingga menjadi bangsa maju. Belakangan hal
itu mulai diketahui dan disadari pula di India, Thailand, Vietnam, Malaysia,
dan Filipina. Indonesia? Barangkali baru sebagian kecil orang memahami
pentingnya pengembangan peran otak kiri bagi sebuah sistem pendidikan.
Ironis, di tengah bangsa-bangsa lain makin
aktif mengembangkan model pendidikan ke arah yang lebih baik, Indonesia justru
masih berkutat pada berbagai masalah kompleks. Waktu, pikiran dan tenaga kita
seolah terkuras hanya untuk membahas masalah pemberantasan korupsi,
karut-marutnya pelayanan publik dan masalah birokrasi yang berbelit.
Apa yang salah dengan pendidikan kita? Bukankah
sejak duduk di kelas TK, SD, SMP, dan SMA siswa-siswi selain diajarkan beberapa
pelajaran umum dan khusus juga tak ketinggalan selalu dicekoki pelajaran agama
dan kewarganegaraan? Suasana religius pun selalu melingkupi keseharian anak-anak
Indonesia. Khotbah-khotbah agama tak hanya dilakukan di tempat-tempat ibadah,
namun juga di televisi, lingkungan kerja dan masyarakat.
Ini bertolak belakang dengan kehidupan nyata
masyarakat kita, yang justru kurang mencerminkan nuansa kehidupan agamis.
Budaya tertib dan bersih, yang diyakini sebagai bagian dari iman, terabaikan.
Tatanan kehidupan masyarakat secara umum pun tidak menunjukkan kebajikan dan
keteraturan.
Pelanggaran lalu lintas merupakan hal yang
biasa. Budaya antre dan sopan-santun dianggap angin lalu. Kepedulian masyarakat
terhadap kebersihan dan lingkungan, rendah. Banyak orang masih membuang sampah
sembarangan, sementara fasilitas umum kotor dan bau. Di lain pihak, kasus-kasus
perusakan lingkungan dan kriminalitas jalanan selalu menghiasi media massa
setiap hari.
Dari pengalaman ketika berkunjung ke Jepang dan
mencermati secara seksama sekolah dasar di negeri Sakura ini, terlihat
pembiasaan sikap disiplin dan tingkah laku bermoral telah ditanamkan sejak
siswa mulai masuk sekolah. Meski tak dibekali pelajaran agama, tatanan
kehidupan masyarakat Jepang nyatanya lebih mapan, tertib, bermoral.
Begitu anak didik memasuki lingkungan sekolah,
mereka harus rela dan sabar melepas sepatu untuk ditukar dengan sandal/sepatu
khusus yang sudah disediakan di loker-loker. Ketika siswa hendak ke toilet,
sandal/sepatu yang dikenakannya pun masih harus ditukar lagi dengan sandal
khusus toilet yang terparkir rapi di depan pintu toilet. Ingat, usai
memakainya, siswa harus mengembalikannya ke posisi semula untuk memudahkan
rekan lain yang akan menggunakan selanjutnya. Meski kelihatannya sepele, namun
pembiasaan-pembiasaan ini dapat menumbuhkan kesadaran pada siswa untuk bersikap
sabar, bertanggung jawab, menghargai orang lain, hidup bersih dan selalu
menjaga kesehatan tubuh.
Di dalam kelas sendiri, anak-anak Jepang sudah
dibiasakan melayani teman-teman sekelasnya dengan menyajikan makanan secara
bergiliran. Pembiasaan ini untuk menanamkan kesadaran anak-anak agar tertib,
disiplin, menghargai budaya antre, rajin, penuh kebersamaan dan peduli sesama.
Di kelas-kelas sekolah Jepang banyak dipajang hasil
karya siswa, baik di dinding maupun di atas rak-rak tempat tas siswa. Coraknya
beraneka ragam, mulai dari karya dari barang-barang bekas dengan disain robot,
mobil, dan bangunan tinggi hingga bentuk-bentuk karya lainnya yang lebih rumit.
Pembiasaan memamerkan hasil cipta karya siswa,
merupakan momentum bagi siswa untuk meraih cita-cita. Lewat karya-karya
tersebut, anak-anak Jepang kelak diharapkan bisa menjadi perakit mobil, robot,
arsitek gedung-gedung bertingkat dan pencipta alat-alat canggih lainnya hingga
menjadi kebanggaan bagi bangsanya.
Memang, kemampuan untuk berkreasi mendapat
porsi besar dalam sistem pendidikan di Jepang. Sejak dini kemampuan dan
kreativitas siswa digali sebesar-besarnya demi disiapkan sebagai tenaga
terampil penuh kreativitas di bidang masing-masing di masa depan.
Falsafah Jepang mengatakan, "Anak-anak
adalah harta karun negara". Nasib bangsa masa depan diyakini ada di pundak
anak-anak mereka. Maka, negara selalu memperlakukan istimewa anak-anak Jepang,
baik dibidang pendidikan, kesehatan, gizi, maupun perkembangan emosionalnya.
Sistem pendidikan nasional Jepang pun lebih diarahkan demi kemajuan anak-anak
bangsa ke depan.
BAB III
KORELASI ANTARA
PENDIDIKAN KARAKTER JEPANG
DAN PRAMUKA
Setelah mengulas tentang Pendidikan
Karakter dalam Pramuka di Bab 1 dan Pendidikan di Jepang di Bab 2, penulis
melihat adanya kemiripan antara keduanya. Berikut ini adalah beberapa analisa
yang penulis temukan antara keduanya:
1.
Pramuka melatih jiwa
patriotisme, begitu pula pendidikan di Jepang, sejak kecil anak-anak Jepang
dilatih untuk berjiwa patriotisme dan berani untuk membea kebenaran. Mereka
juga berani mengakui kesalahan.
2.
Pramuka melatih sikap
tanggungjawab, pendidikan di Jepang membentuk sikap yang bertanggungjawab,
mereka berani membuat sebuah perubahan dan inovasi baru dan mau
mempertanggungjawabkan apa yang telah mereka buat. Bahkan, di salah satu kisah
heroik mengenai ledakan Fukushima Daichi yang menggemparkan baru-baru ini,
menyebutkan bahwa ada sebuah tim yang benar-benar siap mati demi menyelamatkan
orang lain dari radiasi, mereka sadar sekali akan bahaya yang ada di depan
mereka, namun mereka rela berkorban karena besarnya rasa tanggungjawab mereka.
3.
Pramuka melatih kreatifitas,
inovasi dan tantangan, korelasinya dengan Jepang sangat jelas, mengingat
banyaknya penemuan-penemuan yang menggambarkan kreatifitas masyarakat Jepang.
Seperti penemuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang bisa sejajar
dengan bangsa maju di Barat.
4.
Pramuka mengajarkan untuk
rela menolong dan tabah. Rasa tenggang rasa masyarakat Jepang yang tinggi dapat
dilihat dari peristiwa Tsunami yang melanda Sendai kemarin. Di sana ditemukan
banyak sekali contoh nyata sikap lebih mendahulukan kepentingan orang lain dari
pada kepentingan diri sendiri. Mereka juga terlihat sangat tabah menghadapi musibah
yang mereka hadapi, mereka pantang mengasihani diri sendiri.
Empat contoh di atas
mewakili bukti adanya kesamaa antara pendidikan karakter di Jepang dan
pendidikan karakter di pramuka.
BAB IV
KESIMPULAN DAN PENUTUP
Setelah menelaah makalah di atas, sepertinya tidak
salah jika kita sebagai orang Indonesia yang mengaku berilmu dan berfikir
merasa malu, karena negara kita termasuk negara yang mayoritas penduduknya
beragama Islam, namun prilakunya masih jauh dari sikap Islami, sedangkan Jepang
yang tak terlalu mementingkan agama memiliki jiwa dan sikap yang Islami, sesuai
dengan ajaran Islam.
Maka, di sini penulis sangat setuju dengan ide Wiliam
K. Cummings, yang menyatakan beberapa faktor yang mendukung adalah sebagai berikut:
Pertama, perhatian pada pendidikan datang dari
pelbagai macam pihak.
Kedua, sekolah Jepang tidak mahal.
Ketiga, di Jepang tidak ada diskriminasi terhadap
sekolah.
Keempat, kurikulum sekolah Jepang amat berat.
Kelima, sekolah sebagai unit pendidikan.
Keenam, guru terjamin tidak akan kehilangan jabatan.
Ketujuh, guru Jepang penuh dedikasi.
Kedelapan, guru Jepang merasa wajib memberi pendidikan “manusia
seutuhnya”.
Terakhir, guru Jepang bersikap adil.
Seandainya hal-hal di atas diterapkan
di Indonesia, maka tidak mustahil jika Indonesia akan termasuk dalam jajaran
negara yang maju, jadi syarat untuk memiliki pendidikan yang unggul seperti di
Jepang adalah dengan mengaplikasikan faktor pendukungnya.
Sekarang saatnya kita sadar bahwa
pendidikan adalah hak semua anak, karena anak adalah harta karun negara yang
harus dijaga sebaik-baiknya, karena merekalah aset yang akan meneruskan estafet
kepemimpinan negara kelak. Jadi, jangan ada lagi diskriminasi dalam pendidikan
dan sangat tidak adil jika yang mendapatkan akses pendidikan bermutu hanya anak
orang berada saja sedangkan yang kurang mampu tak mendapatkan pendidikan layak.
Maka, saatnya bersatu, baik dari
pihak guru maupun masyarakat, karena seharusnya memang semua pihak
bertanggungjawab atas generasi setelahnya. Selain itu perlu diingat pula peran
kepramukaan dalam membentuk tunas bangsa yang kuat agar bisa merealisasikan
karakter bangsa Indonesia yang lebih baik, yang jauh dari konotasi negatif.
Referensi
Buku:
Buku pegangan untuk pembina penggalang, Metode Pendidikan
Informal untuk
anak usia 11-15
Kwartir Nasional 2011, Buku Serahan
Kursus Pelatih Dasar
Koordinator Gerakan Pramuka PMDG, Bahan Serahan Materi Kursus
Pembina Pramuka Mahir Tingkat Dasar.
Surat Kabar dan Wesite
Amirullah Arman
Andi, Mencetak Generasi Unggul Ala Jepang, Suara Karya
18
Desember 2008
Data
statistik tahun 1985 dari Japanese
Life Today dan International Society for
Educational
Information, Tokyo
Endang
Kandar, Potret Pendidikan di Jepang,
Website, Mei 6, 2007 Muh. Syukur
Salman, Membina Etika Si Buah Hati Demi Kejayaan Bangsa,
JAWA POS, 7 Mei
2008
Website, Fukuzawa Yukichi: Tokoh Pendidikan
Jepang, Mei, 6 2007.
Republika, 03Mei 2002
[1] Koordinator
Gerakan Pramuka PMDG, Bahan Serahan Materi Kursus Pembina Pramuka Mahir
Tingkat Dasar.
[2] Muh. Syukur Salman, Membina Etika Si Buah Hati Demi Kejayaan
Bangsa, JAWA POS, 7 Mei 2008
[3] Buku pegangan
untuk pembina penggalang, Metode Pendidikan Informal untuk anak usia 11-15
[4]
Koordinator
Gerakan Pramuka PMDG, Bahan Serahan Materi Kursus Pembina Pramuka Mahir
Tingkat Dasar.
[6] Sekolah
kuil
[7] Sistem
wajib belajar yang lebih komprehensif setelah dimulainya Restorasi Meiji.
[10] Dirjen
PLS Depdiknas
[11] Dirjen
Dikdasmen
[12] Data
statistik tahun 1985 dari Japanese Life Today dan International
Society for Educational Information, Tokyo
[13] Republika,
03/05/02
[14] Pakar
pendidikan dari University of Southern
California dalam Ideologi Pendidikan (2001)
[15] Arman Andi
Amirullah, Mencetak Generasi Unggul Ala Jepang, Suara Karya
18 Desember 2008
18 Desember 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar