Jumat, 21 September 2012

MENELADANI JEPANG DALAM PENDIDIKAN




Ini tugas waktu ikut KPD

PENDIDIKAN KARAKTER DALAM PRAMUKA      

(Meneladani Karakteristik Pendidikan Jepang)



PENDAHULUAN

Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan latihan bagi perannya di masa yang akan datang. [1]Anak merupakan titipan dan amanah yang diberikan Tuhan kepada kita sebagai orangtua. Pemberian amanah tersebut harus dipertanggungjawabkan di hari kemudian kelak. Oleh karena itu bimbingan serta arahan dari orangtua menjadi sangat penting dalam kelangsungan hidup dan kehidupan seorang anak sampai mereka dapat mandiri. [2]

Orangtua merupakan pendidik yang utama dan pertama bagi seorang anak. Namun demikian, hal tersebut bukanlah sesuatu yang mutlak karena banyak kendala yang dapat saja dirasakan orangtua. Kerasnya tuntutan profesi dan aktifitas lainnya dari orangtua serta keinginan agar sang anak mendapat pembimbingan yang lebih baik dan profesional mengharuskan mereka mengalihtangankan pembinaan putra-putrinya yang masih terbilang balita pada suatu institusi yang telah mapan di bidangnya.

Indonesia sebagai negara berkembang dan terus mengusahakan kemajuan disegala bidang haruslah memperhatikan pembinaan anak-anak diusia sedini mungkin, Kita tentu mengharap ada perbaikan penyelenggaraan pendidikan di Indonesia. Untuk itu, tak ada salahnya jika kita sebagai bangsa Indonesia belajar dari bangsa lain dalam bidang pendidikan.

Dalam makalah ini, penulis akan memaparkan tentang pendidikan di Negeri Matahari Terbit atau yang biasa disebut dengan Negeri Sakura. Penulis sengaja memilih negara ini sebagai kaca perbandingan karena Indonesia dan Jepang sama-sama Negara Asia, tapi keduanya memiliki perbedaan yang sangat jauh dalam beberapa bidang.

Dari sekian banyaknya perbedaan antara keduanya, pendidikan adalah yang paling membedakan. Bahkan, banyak pakar pendidikan yang menyatakan bahwa kemajuan yang dialami Jepang adalah tidak lain karena mereka sangat mementingkan pendidikan di atas segala hal. Maka, tujuan dari penulis sendiri adalah agar Indonesia dalam berkaca dan mulai melakukan perbaikan negeri yang dimulai dari pendidikan.

Pendidikan merupakan sokoguru (penyanggga) kemajuan suatu bangsa. Maju mundurnya suatu bangsa tidak akan lepas dari “hidup” dan “mati”-nya mutu pendidikan negara yang bersangkutan. Kalimat ini menambah banyak statement yang telah ada sebelumnya.Akhir-akhir ini muncul pula sebuah slogan “Pendidikan Adalah Masa Depan Bangsa”. Pernyataan yang berbau klise itu semestinya menjadi cambuk bagi kemajuan pendidikan kita, namun kenyataannya hingga saat ini hanyalah sebuah “cita-cita luhur” yang tak tahu kapan terjadi dan di mana rimbanya.

Mengenaskan memang, Indonesia yang dulunya terkenal sebagai negara yang kaya raya tata, titi, tentrem, kerta, tur raharja (tenteram dan makmur) dan sempat menjadi percontohan di bidang pendidikan di kawasan ASEAN harus menjadi pecundang dalam hal mutu pendidikan.

Bila kita membandingkan dengan negara ASEAN lainnya, Vietnam sekalipun kita masih keok, apalagi dengan Malaysia yang nota bene pernah kita jadikan tujuan “ekspor” dosen-dosen kita mengajar di sana. Tidak ketinggalan, kurikulum made in Indonesia pun pernah “dipekerjakan” di Malaysia pada dekade 70-an. Hasilnya sungguh luar biasa, mereka berhasil! Investasi pendidikan yang ditanam bangsa serumpun itu telah berbuah manis. Kemajuan membuat mereka kini berkata “Malaysia is Truly Asia”. Kemudian, kita harus mencari tahu apa yang kurang dari bangsa Indonesia.

Di kawasan Asia Tenggara, bangsa Indonesia dalam banyak hal sering dikonotasikan negatif oleh bangsa lain. Bangsa ini sering dipandang sebagai bangsa yang “kreatif” (baca: punya akal bulus/licin bagai belut), terutama dalam korupsi, kolusi, nepotisme.

Ada pemeo yang menyatakan bahwa Indonesia ini banyak korupsi, tetapi tidak ada. Terlepas dari semua itu, bangsa Indonesia belum kiamat walaupun permasalahan dalam negeri tak kunjung selesai dan ada kecenderungan makin berlarut-larut, kita tetap harus punya semangat bushido.Krisis yang melanda bangsa ini begitu multidimensionalnya mulai dari moneter, dekadensi moral, kepercayaan, disintegrasi bangsa, “perang” antarsesama, dan tidak terhitung lagi banyaknya permasalahan rumit yang belum terselesaikan.Sepertinya sungguh suatu peringatan dan azab dari Tuhan Yang Mahakuasa.

Belajar dari kesalahan masa lalu dan berusaha untuk tidak mengulanginya serta minta ampun kepada Pencipta, lebih bijaksana kalau kita menatap ke masa depan dan hari esok bagi kelangsungan generasi muda. Hari esok bukanlah hari Senin-Minggu, tetapi hari esok adalah arah kebijakan pendidikan kita yang akan dibawa ke mana.

Masih banyak generasi penerus kita yang berprestasi dalam arti yang sebenarnya. Permainan belum selesai, “Saudara tua” kita, Jepang, mampu bangkit walaupun telah porak-poranda dihantam bom atom oleh Amerika pada Perang Dunia II.Tetangga kita Vietnam mampu “berdiri tegak” walaupun baru saja (1975-an) berbenah setelah “bertinju” dengan Amerika. Malaysia mampu berdendang dengan (We are truly Asia) setelah hampir 3 dasawarsa “berguru” ke kita.

Kenapa kita yang lebih dari 56 tahun merdeka masih jalan di tempat. Tidakkah kita melihat rumput orang lain yang hijau sebagai cambuk untuk maju meskipun sebenarnya rumput kita sendiri juga hijau. Kalau kita mampu bangkit dan dan yakin akan segera keluar dari krisis, serta berkeinginan menanamkan investasi pendidikan, bukan sebuah mimpi kalau nanti kita berhasil dan mengatakan “Indonesia is pure Asia.”

Selain itu, juga pengalaman Jepang dalam merombak masyarakatnya lewat pendidikan, sekiranya bisa “dilirik” untuk dipelajari sungguh-sungguh oleh Indonesia dalam merencanakan masa depannya. Dalam sebuah hadis disebutkan, “Tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina”. Betapa pentingnya ilmu dalam kehidupan.Oleh karena itu, tidak ada salahnya bila kita ngangsu kawruh (mencari ilmu) ke Jepang mengenai pendidikan.

Penulis juga mengawali  makalah ini dengan pembahasan mengenai peran kepramukaan dalam upaya pendidikan karakter di Bab I, karena mengingat makalah ini adalah salah satu syarat kelulusan Kursus Pelatih Dasar adalah menyelesaikan makalah ini. Intinya, penulis  ingin mengetahui, seberapa besarkah peran pramuka dalam membentuk karakter bangsa Indonesia.































BAB I



PRAMUKA SEBAGAI UPAYA PENDIDIKAN KARAKTER



A.    PENGERTIAN PENDIDIKAN KARAKTER



Karakter memiliki sinonim kata, yaitu watak dan sifat. Karakter bisa jadi ada unsur genetika dari orang tua, tapi karakter lebih banyak terwarnai oleh lingkungan sekitar atau masyarakat. Maka, karakter bisa dibentuk dan dirubah, dari baik ke buruk atau sebaliknya.

Proses perubahan dari buruk ke baik itu bisa disebut dengan pendidikan, jadi perubahan yang terjadi itu menunjukan bahwa proses pendidikan telah berhasil dilaksanakan.

Pendidikan karakter sangat penting dilaksanakan, terutama untuk masa kenak-kanak yang sedang mencari jati diri menuju dewasa.[3]

Pendidikan memiliki dua jalur, yaitu sekolah dan di luar sekolah. Jalur pertama merupakan pendidikan yang diselenggarakan diselenggarakan di sekolah melalui kegiatan belajar mengajar secara berjenjang dan berkesinambungan.

Sedangkan jalur kedua merupakan pendidikan yang diselenggarakan di luar sekolah melalui kegiatan belajar mengajar yang tidak harus berjenjang dan berkesinambungan. [4]

Menilik kedua jalur di atas, pramuka termasuk kegiatan yang melengkapi pendidikan yang didapatkan di rumah dan di sekolah, karena di dalam kepramukaan terdapat beberapa hal yang belum ada di sekolah, seperti Prinsip Dasar Kepramukaan, di alam terbuka yang menjadi upaya self education untuk anak itu sendiri.

Pendidikan dalam kepramukaan diartikan sebagai suatu proses pembinaan dan pengembangan sepanjang hayat yang berkesinambungan dan kecakapan yang dimiliki peserta didik, baik dia sebagai pribadi maupun sebagai anggota masyarakat.

Hal ini bertujuan untuk membentuk peserta didik menjai manusia yang mandiri, peduli, bertanggungjawab, baik dia sebagai pribadi maupun anggota masyarakat.

Pendidikan ini bertumpu pada soko guru atau empat sendi, yaitu:

1.      Belajar mengetahui, untuk memiliki pengetahuan umum yang cukup luar untuk dapat bekerja secara mendalam dalam beberapa hal. Ini mencakup belajar untu kbelajar, agar dapat memanfaatkan peluang-peluang pendidikan sepanjang hidup.

2.      Belajar berbuat, bukan hanya untuk memperoleh kecakapan atau ketrampilan,  kerja melainkan juga untuk memiliki ketrampilan hidup.

3.      Belajar hidup bermasyarakat. Untuk menumbuhkan pemahaman onag lain, menghargai saling keterhantungan, ketrampilan dalam kerja kelompok dan membereskan pertentangan serta menghormati sedalam-dalamnya nilai kemajemukan, saling pengertian, perdamaian dan keadilan.

4.      Belajar menjadi seseorang.

Agar dapat mengembankan watak serta dapat bertindak dengan kemandirian berpendapat dan bertanggungjawab pribadi makin besar.  



Proses pendidikan terjadi pada saaat peserta didik asyik melakukan kegiatan yang menarik, menyenangkan yang kreatif dan menantang. Pada saat yang semikian, pembina memberikan bimbingan dan pembinaan karakter di sela-sela latihan.

B.     PRAMUKA MELATIH TANGGUNGJAWAB

Di dalam pramuka terdapat banyak kegiatan yang mampu membentuk karakter anak yang bertanggungjawab, contohnya dalam upacara, di sana terdapat beberapa anak yang mendapatkan tugas untuk membuat pioneering, menjadi petugas upacara, dan lainnya. Masing-masing harus melaksanakan tugasnya dengan rasa penuh tanggungjawab.

Seorang pramuka sejati akan bertanggungjawab atas apa yang dijanjikannya, Dasa Dharma. Dari janji pertama saja, mereka sudah dituntut untuk bertakwa kepada Tuhan karena itu adalah tanggungjawabnya sebagai seorang hamba Allah.

Janji kedua menuntut anak untuk bertanggungjawab sebagai pecinta alam yang senantiasa menjaga kelestarian alam, ia akan bersemangat untuk menggalakkan Go Green. Tidak hanya mencintai lingkungan sekitar, ia juga mencintai orang-orang di sekitarnya. Ia menghormati yang lebih besar dan menyayangi yang lebih kecil.

Janji ketiga adalah menjadi patriot yang sopan dan kesatria. Ia akan selalu menjaga tindak tanduknya, ia bisa membawa diri. Ia juga ,memiliki jiwa patriotisme yang tinggi untuk membela negara, tanah airnya tercinta.

Janji keempat, patuh dan suka bermusyawarah. Sebagai pribadi yang bertanggungjawab, ia akan mematuhi kedua orang tuanya, guru, pembina atau pelatihnya, selain itu ia akan senang bermusyawarah sebelum mengambil keputusan.

Janji kelima, rela menolong dan tabah. Ia akan ringan tangan untuk membantu orang lain ketika melihat seseorang dalam keadaan sulit. Sedangkan tabah di sini  adalah ketika ia mendapatkan musibah, ia akan selalu berusaha untuk tabah menghadapinya. Tapi itu tidak berarti ia pasrah menjalani nasib, ia akan mencari penyelesaian dari musibah atau masalah yang ia hadapi dan yang terpenting di sini, ia akan segera bangkit dan ia tidak akan membiarkan masalahnya berlarut-larut.

Janji keenam, rajin, terampil dan gembira. Seorang pramuka yang bertanggungjawab akan selalu rajin dalam mengikuti setiap kegiatan, ia mampu menanggulangi kebosanannya. Ia akan selalu beusaha riang gembira dan bersemangat.

Janji ketujuh, hemat, cermat dan bersahaja. Pramuka akan berusaha menjadi pribadi yang hemat, ia enggan berfoya-foya atau menghabiskan uangnya untuk sesuatu yang tidak perlu. Ia juga selalu cermat dan teliti dalam setiap keadaan. Ia juga senantiasa bersahaja, maka ketika ia sudah dewasa, ia akan memiliki wibawa yang tidak dimiliki oleh setiap orang.

Janji kedelapan, disiplin, berani dan setia. Seorang pramuka akan berusaha untuk disiplin dan tepat waktu, ia juga berani, berani berbuat dan berani mempertanggungjawabkan perbuatannya. Ia juga berani mengakui kesalahannya saat ia berbuat kesalahan, ia tahu bahwa mengakui kesalahan bukan berarti menurunkan harkat dan martabat, tapi itu adalah bentuk dari rasa tanggungjawabnya yang besar. Namun ia tidak berhenti dalam tahap meminta maaf, ia akan memperbaiki jika ia telah merusak sesuatu tanpa disengaja, ia akan meralat ucapannya ketika ia salah berucap.

Ia juga sosok yang setia pada prinsip dan keyakinannya, ia tak akan mudah  goyah dan setia dalam upaya mempertahankan apa yang memang pantas dipertahankan. Ia akan setia pada orang yang memang pantas mendapatkan dedikasinya.

Janji kesembilan, bertanggungawab dan dapat dipercaya. Inilah point terpenting dalam pembahasan mengenai Dasa Dharma ini, ia akan selalu berusaha untuk bertangunggjawab. Adapun bentuk tanggungjawab itu sudah dijelaskan oleh penulis secara terperinci di atas.

Janji terakhir adalah janji untuk selalu menjaga pikiran, perkataan dan perbuatan. Agar selalu lurus dan tidak melenceng ke jalan kesesatan.

Demikianlah pramuka, dengan Dasa Dharmanya, ia mampu melatih sikap tanggungjawab dalam jiwa seorang anak tanpa anak itu sadari, sedikit demi sedikit karakternya mulai terbentuk.







C.     PRAMUKA MELATIH JIWA KEPEMIMPINAN

Kata bijak menyebutkan, Siap Memimpin dan Siap Dipimpin. Demikian halnya dengan pramuka, pramuka berusaha untuk selalu membina pesertanya agar memiliki jiwa kepemimpinan yang tinggi.

Di dalam pramuka ada system yang bernama Sistem Among, yaitu terdiri dari 3 hal, yaitu:[5]

1.    Ing Ngarso Sung Tulodho

Yang maksudnya, yang di depan harus senantiasa menjadi teladan untuk yang ada di belakangnya. Jadi, yang besar harus member contoh yang baik kepada yang lebih kecil, yang tua harus bisa mengayomi yang muda. Karena generasi tua harus sadar bahwa mereka membutuhkan tongkat estafet untuk meneruskan perjuangan muda. Di sinilah peran mereka untuk menumbuhkan tunas-tunas bangsa, agar menjadi tunas yang unggul dan bisa diharapkan.

2.    Ing Madya Mangun Karso

Maknanya, yang di tengah memberi semangat, agar yang di depan dan di belakangnya tidak patah semangat, keberadaan yang di tengah ini tidak bisa diremehkan, karena ia juga memiliki peranan yang cukup signifikan untuk turut serta membangun bangsa. Karena setiap orang membutuhkan penyemangat atau yang biasa disebut dengan motivasi. Meskipun motivasi terkadang juga bisa didapatkan dari diri sendiri, tapi motivasi dari luar juga diperlukan sebagai pendukung.

Jadi, seorang pemimpin harus bisa memotivasi anggotanya agar tetap semangat dan pantang putus asa.









3.    Tut Wuri Handayani

Maknanya, yang di belakang pendorong. Sebenarnya keberadaan yang belakang dan yang di tengah tidak jauh berbeda, intinya keduanya sama-sama sebagai pendorong.

           

Selain Sistem Among, Pramuka juga memiliki berbagai cara untuk melatih jiwa kepemimpinan seorang peserta didik. Beberapa contohnya adalah: Menjadikan salah seorang dari peserta untuk menjadi pimpinan upacara, ketua unit, ketua kavling, ketua regu, pratama, pradana, ketua panitia dan lainnya.

Demikianlah pran pramuka dalm melatih jiwa kepemimpinan seorang peserta didik.



D.    PRAMUKA MELATIH KEDEWASAAN

Ada satu peran Pramuka yang sangat penting, yaitu melatih kedewasaan. Seperti jamak diketahui bahwa ada proses jenjang yang  harus ditempuh seseorang yang fokus dalam kepramukaan. Jenjang itu adalah siaga (mula, tata dan bantu), penggalang (ramu, rakit dan terap), penegak (bhatara dan laksana), dan terakhir pandega.

Setelah itu, seorang peserta didik bisa menjadi pembina bahkan pelatih setelah mengikuti: KMD, KML, KPD dan yang terakhir KPL.

Semua jenjang itu secara tidak langsung dapat membentuk kedewasaan peserta didik. Karena, setiap jenjang atau tingkatannya memiliki tantangan tersendiri yang disesuaikan dengan jiwa dan psikologis peserta didik.

Terlebih lagi ketika ia telah menjadi pembina atau pelatih, maka kedewasaan mutlak dimiliki, karena ia harus mulai bisa mengayomi adik-adiknya, setidak-tidaknya, ia harus menguasai sistem Among yang telah disebutkan di atas.



BAB II

Meneladani Karakteristik Pendidikan Jepang



A.    SEJARAH PENDIDIKAN JEPANG

Sebelumnya, di Bab I  telah dibahas mengenai peran pramuka dalam membentuk karakter anak. Selanjutnya, penulis akan  mengulas tentang pendidikan yang ada di Jepang. Karena negara ini memiliki karakter dan jiwa yang belum dimiliki bangsa lain.

Ada satu pendapat bahwa Jepang memiliki karakter kuat karena pendidikan dan budanyanya, karena pendidikan tidak dapat dipisahkan dengan kebudayaan.

Pada dasarnya ada kemiripan latar belakang perkembangan kebudayaan antara Indonesia dan Jepang. Secara historis, peradaban Indonesia dan Jepang dapat dilacak kembali sampai ke zaman yang sangat kuno.Peradaban Indonesia dan Jepang mengembangkan kebudayaannya dengan jalan menyerap dan mengasimilasikan unsur-unsur asing, yang berlanjut menjadi lapisan dasar budaya asli.

Di Indonesia pada abad ke-8 sampai 10 berkembang beberapa kerajaan yang berorientasi pada agama Budha dan Hindu di Jawa Tengah, dengan peninggalannya yang terkenal berupa Borobudur, Prambanan, dan lain-lain. Begitu pula di Jepang, pada zaman yang sama mereka menyerap dan mengasimilasikan kebudayaan Cina, dengan mengembangkan kebudayaan Nara-Heian dan pembangunan kuil Horyuji serta Bangsal Budha Agung di Nara. Menurut Taroo Sakamoto, persamaan waktu antara munculnya Borobudur dan Bangsal Budha Agung merupakan petunjuk akan adanya persamaan antara Kebudayaan Indonesia dan Jepang.

Namun, seiring dengan berjalannya waktu pada abad ke-17, Jepang dengan politik isolasinya, melaksanakan pendidikannya dengan sistem terakoya[6]. Menjelang akhir zaman Shogun terdapat lebih dari 7.000 terakoya, Ini merupakan dasar bagi pelaksanaan sistem gimu kyooiku[7].

Namun, semenjak Restorasi Meiji dikibarkan, bagai bola salju, pemerintah Jepang terus “menggelindingkan” puspa ragam kebijaksanaannya dengan mulai giat menerjemahkan dan menerbitkan pelbagai macam buku, di antaranya tentang ilmu pengetahuan, sastra, maupun filsafat. Para pemuda banyak dikirim ke luar negeri untuk belajar sesuai dengan bidangnya masing-masing, tujuannya jelas yaitu mencari ilmu dan menanamkan keyakinan bahwa Jepang akan dapat “berdiri sama tinggi, duduk sama rendah” dengan kemajuan dunia Barat.

Dari upaya tersebut, lahirlah tokoh modernisasi pendidikan Jepang era Meiji seperti Fukuzawa Yukichi, yang punya gagasan cemerlang. Gagasan yang terkenal tercetus dalam bukunya berjudul Gakumon no Susume (Jepang: di antara Feodalisme dan Modernisasi) menyatakan pada bagian pendahuluan buku tersebut “Sebagai jalan yang paling ampuh untuk mencapai tujuan negara adalah melalui pendidikan sebab Tuhan tidak menempatkan manusia yang lain. Kalau kenyataan dalam masyarakat memang ada orang yang berkedudukan lebih tinggi dan ada pula yang berkedudukan lebih rendah. Perbedaan ini disebabkan karena yang berkedudukan tinggi telah mementingkan pendidikan, sedangkan yang rendah sebaliknya”.[8]

Kemajuan bangsa Jepang bertambah “runcing” sesudah tentara pendudukan Amerika Serikat (AS) — setelah Jepang kalah perang pada PD II — banyak memberikan dorongan pada bangsa Jepang untuk mencurahkan perhatiannya pada bidang pendidikan. Struktur baru pendidikan yang dikembangkan Amerika Serikat dalam Cummings (1984), ada empat hal pokok yang dapat dijelaskan.

Pertama, sekolah dasar (SD) wajib selama enam tahun dan tidak dipungut biaya. Bertujuan untuk menyiapkan anak menjadi warga yang sehat, aktif menggunakan pikiran, dan mengembangkan kemampuan pembawaannya.

Kedua, sesudah SD ada sekolah lanjutan pertama selama tiga tahun, punya tujuan untuk mementingkan perkembangan kepribadian siswa, kewarganegaraaan, dan kehidupan dalam masyarakat serta mulai diberikan kesempatan belajar bekerja.

Ketiga, setelah sekolah lanjutan pertama, ada sekolah lanjutan selama tiga tahun.Bertujuan untuk menyiapkan siswa masuk perguruan tinggi dan memperoleh keterampilan kerja.

Keempat, universitas harus berperan secara potensial dalam mengembangkan pikiran liberal dan terbuka bagi siapa saja, bukan pada sekelompok orang. Munculnya struktur baru pendidikan di Jepang yang di kembangkan Amerika Serikat, merupakan bentuk “revisi” dari struktur pendidikan lama yang sudah ada sebelum Perang Dunia II.

Kegiatan Jepang dalam cerdas dan mencerdaskan bangsanya telah menuai hasil yang signifikan.Korelasi antara majunya pendidikan Jepang dan kemajuan industrinya benar-benar terwujud. Hal ini dibuktikan dengan keberhasilan bangsa Jepang tumbuh menjadi negara industri utama di Asia, yang kedudukannya sejajar dengan bangsa Barat lain seperti Inggris maupun Prancis.



















B.     PIONEER PENDIDIKAN KARAKTER DI JEPANG












C.     FAKTA PENDIDIKAN JEPANG

Pendidikan yang meluas dan membumi telah membuat orang Jepang hampir semuanya melek huruf mendekati angka 100%, dan orang yang buta huruf kurang lebih hanya 0,7% pada tahun 1979. Jika dibandingkan dengan Indonesia, Menurut Fasli Djalal [10], saat ini lebih dari 16 juta WNI yang berusia di atas 10 tahun masih belum melek huruf. Lagi pula, menurut Indra Jati Sidi[11], banyak sekali lulusan SD yang tidak bisa melanjutkan ke SMP karena berbagai sebab.

Persentase siswa Jepang yang melanjutkan ke SMA lebih kurang 94%, dan yang melanjutkan ke PT lebih kurang 38%. Hal ini bila dibandingkan dengan kondisi yang sama dengan negara lain di dunia, misalnya Prancis (24%), Inggris (20%), Jepang menempati urutan pertama setelah Amerika Serikat (43%).[12]

Di samping itu, berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh The Political and Economic Risk Consultancy (PERC), lembaga konsultan yang berkedudukan di Hong Kong pada akhir tahun 2001[13] menempatkan Jepang dalam urutan ketiga di bawah Korea Selatan dan Singapura, dalam Human Development Index atau indeks pembangunan manusia (IPM). Sementara itu, kalau kita bandingkan dengan IPM Indonesia, sungguh sangat jauh. Dari 12 negara Asia yang disurvei, Indonesia berada di urutan juru kunci. Hasil survei tahun 2000 dari United Nation Development Program (UNDP), badan PBB yang mengurus program pembangunan, menempatkan Indonesia di urutan ke-109 dari 174 anggota PBB (Republika, ibid). Rendahnya IPM Indonesia merupakan ouput dari mutu sistem pendidikan.

Menurut Prof. Herman Kahn dalam Ajip Rosidi (Mengenal Jepang) menyatakan, berdasarkan data-data ilmiah, pada awal abad ke-21, Jepang akan menjadi negara nomor satu di dunia, di segala bidang.

Tingginya standar pendidikan Jepang di atas tidak semata-mata muncul dengan sendirinya, namun yang perlu diungkap di sini adalah ciri utama bangsa Jepang yaitu kehausan yang tak pernah puas akan pengetahuan. Sebagai bangsa literal dan minat baca yang tinggi, wajar dan mengamini bila bangsa Jepang maju dalam bidang pendidikan. Bukan hanya bacaan berupa buku ilmu pengetahuan, teknologi, dan sastra saja yang menjadi bahan bacaan mereka, tetapi koran pun masih menjadi bacaan wajib setiap hari. Sebagaimana dikatakan Tanaka dalam Dahidi, “Even today, Japanese still expect to act as the national conscience…newspapers are still the trusted medium in Japan”.

Membaca bagi kebanyakan orang Jepang bukan merupakan kegiatan yang dipaksakan, tetapi karena dalam diri mereka telah tertanam suatu sifat kebutuhan akan bacaan. Akibatnya, tidak heran bila kita lihat kehidupan sehari-hari bangsa Jepang tidak akan lepas dari membaca. Di stasiun, perpustakaan, di jalan, atau secara ekstremnya dikatakan, di mana ada kehidupan, di situ mereka membaca.

Menurut Tanaka jumlah buku yang diterbitkan setiap tahun, diperkirakan sebanyak 1.400 juta jilid, majalah bulanan (2.500 juta) jilid, majalah mingguan (1.700 juta) jilid. Dengan demikian, dapat diperkirakan bahwa dalam setahun, setiap orang Jepang membaca kira-kira 12 buku dan 35 majalah. Buku-buku tersebut tidak termasuk buku pelajaran.“This works out to about 12 books and 35 magazines per person per year, not counting the many textbook which students read in school”. Perputaran uang dari penjualan buku dan majalah itu sekira 2 triliun yen. Ini bukti yang cukup untuk menggambarkan besarnya minat baca orang Jepang.

Di samping hal di atas, pengaruh pendidikan terhadap anak dan masyarakat telah membuat pendidikan Jepang mempunyai potensi yang luar biasa dalam berbagai hal. Misalnya, (1) Minat masyarakat yang besar sekali pada pendidikan; (2) prestasi kognitif dan motivasi siswa relatif setaraf; (3) prestasi kognitif siswa rata-rata tinggi; (4) munculnya pelajaran ide egalitarianisme; (5) perubahan sosial yang egalitarian; (6) timbulnya kesamaan yang sama bagi semua lapisan masyarakat.



D.    KARAKTERISTIK PENDIDIKAN JEPANG

Menurut Danasasmita, ada beberapa karakteristik lain dari bangsa Jepang yang mendorong bangsa ini maju. Pertama, orang Jepang menghargai jasa orang lain. Hal ini dibuktikan dengan “ringannya” mereka dalam mengatakan arigatoo (terima kasih) ketika mendapat bantuan orang lain dan tidak menganggap remeh jerih payah orang lain meskipun bantuan itu tidak seberapa.

Kedua, orang Jepang menghargai hasil pekerjaan orang lain, dilambangkan dengan ucapan otsukaresamadeshita (maaf, Anda telah bersusah payah). Ketiga, perlunya setiap orang harus berusaha, dilambangkan dengan ucapan ganbatte kudasai (berusahalah!). Keempat, orang Jepang punya semangat yang tidak pernah luntur, tahan banting, dan tidak mau menyerah oleh keadaan, yang terkenal dengan semangat bushido (semangat kesatria).

Dari beberapa karakteristik yang disebutkan di atas, Jepang mampu menjaga martabat dan kualitas hidup bangsanya lewat pendidikan. Pendidikan pada hakikatnya adalah sesuatu yang luhur karena di dalamnya mengandung misi kebajikan dan mencerdaskan. Pendidikan tidaklah sekadar proses kegiatan belajar-mengajar saja, melainkan juga sebagai proses penyadaran untuk menjadikan manusia sebagai “manusia”, bukan seolah-olah manusia dijadikan “jagung” atau “padi” yang setiap tiga atau enam bulan sekali mengganti metode “penanamannya”, apabila bagus dilanjutkan dan sebaliknya bila jelek ditinggalkan.

Pendidikan merupakan sarana untuk menjadikan manusia sebagai “manusia yang sadar diri” dalam generasi itu. Artinya, menjadikan manusia itu “mengerti” apa yang seharusnya diperbuat dan apa yang tidak, memahami yang baik dilakukan dan yang jelek ditinggalkan, serta mengetahui mana yang merupakan hak dan mana kewajiban.

Menurut William O’neil[14], menyatakan bahwa pendidikan kalau boleh diibaratkan memang seperti seorang musafir yang sedang berada pada persimpangan jalan. Jalan mana yang akan ditempuh untuk mencapai tujuan adalah pilihan. Demikian juga dengan pendidikan, memilih jalan itu merupakan hal yang amat penting dan menentukan keberhasilan.





E.     KREATIFITAS, MUTLAK DI JEPANG

Indonesia banyak melahirkan sederet juara olimpiade internasional, baik di bidang pelajaran matematika, sains, fisika, kimia maupun olahraga. Pertanyaannya, dengan mencetak generasi yang bertumpu pada logika (otak kiri) itu, apa yang bisa diharapkan demi kemajuan bangsa ke depan? Kita lupa, bangsa yang dibangun hanya dengan mengandalkan ilmu, tanpa bekal kreativitas dan moral, hanya akan menghancurkan bangsa itu sendiri. [15]

Menurut penelitian mutakhir di AS, peran logika bagi sukses seseorang hanya 4%. Selebihnya (96%) sukses seseorang ditentukan oleh kemampuan "otak kanan" yang punya andil besar dalam hal kreativitas, imajinasi, inovasi, daya rasa, kreasi, seni, kemampuan mencipta dan merekayasa. (MI, 16/1'06) Kemampuan otak sadar manusia sendiri sebenarnya hanya 12% dari seluruh kemampuan otak manusia dan selebihnya (88%) berada di otak bawah sadar, tepatnya di otak kanan. (Quantum Ikhlas, 2007).

Inilah rahasia bangsa Jepang, Korea, China, Singapura, dan negara-negara Barat hingga menjadi bangsa maju. Belakangan hal itu mulai diketahui dan disadari pula di India, Thailand, Vietnam, Malaysia, dan Filipina. Indonesia? Barangkali baru sebagian kecil orang memahami pentingnya pengembangan peran otak kiri bagi sebuah sistem pendidikan.

Ironis, di tengah bangsa-bangsa lain makin aktif mengembangkan model pendidikan ke arah yang lebih baik, Indonesia justru masih berkutat pada berbagai masalah kompleks. Waktu, pikiran dan tenaga kita seolah terkuras hanya untuk membahas masalah pemberantasan korupsi, karut-marutnya pelayanan publik dan masalah birokrasi yang berbelit.

Apa yang salah dengan pendidikan kita? Bukankah sejak duduk di kelas TK, SD, SMP, dan SMA siswa-siswi selain diajarkan beberapa pelajaran umum dan khusus juga tak ketinggalan selalu dicekoki pelajaran agama dan kewarganegaraan? Suasana religius pun selalu melingkupi keseharian anak-anak Indonesia. Khotbah-khotbah agama tak hanya dilakukan di tempat-tempat ibadah, namun juga di televisi, lingkungan kerja dan masyarakat.

Ini bertolak belakang dengan kehidupan nyata masyarakat kita, yang justru kurang mencerminkan nuansa kehidupan agamis. Budaya tertib dan bersih, yang diyakini sebagai bagian dari iman, terabaikan. Tatanan kehidupan masyarakat secara umum pun tidak menunjukkan kebajikan dan keteraturan.

Pelanggaran lalu lintas merupakan hal yang biasa. Budaya antre dan sopan-santun dianggap angin lalu. Kepedulian masyarakat terhadap kebersihan dan lingkungan, rendah. Banyak orang masih membuang sampah sembarangan, sementara fasilitas umum kotor dan bau. Di lain pihak, kasus-kasus perusakan lingkungan dan kriminalitas jalanan selalu menghiasi media massa setiap hari.

Dari pengalaman ketika berkunjung ke Jepang dan mencermati secara seksama sekolah dasar di negeri Sakura ini, terlihat pembiasaan sikap disiplin dan tingkah laku bermoral telah ditanamkan sejak siswa mulai masuk sekolah. Meski tak dibekali pelajaran agama, tatanan kehidupan masyarakat Jepang nyatanya lebih mapan, tertib, bermoral.

Begitu anak didik memasuki lingkungan sekolah, mereka harus rela dan sabar melepas sepatu untuk ditukar dengan sandal/sepatu khusus yang sudah disediakan di loker-loker. Ketika siswa hendak ke toilet, sandal/sepatu yang dikenakannya pun masih harus ditukar lagi dengan sandal khusus toilet yang terparkir rapi di depan pintu toilet. Ingat, usai memakainya, siswa harus mengembalikannya ke posisi semula untuk memudahkan rekan lain yang akan menggunakan selanjutnya. Meski kelihatannya sepele, namun pembiasaan-pembiasaan ini dapat menumbuhkan kesadaran pada siswa untuk bersikap sabar, bertanggung jawab, menghargai orang lain, hidup bersih dan selalu menjaga kesehatan tubuh.

Di dalam kelas sendiri, anak-anak Jepang sudah dibiasakan melayani teman-teman sekelasnya dengan menyajikan makanan secara bergiliran. Pembiasaan ini untuk menanamkan kesadaran anak-anak agar tertib, disiplin, menghargai budaya antre, rajin, penuh kebersamaan dan peduli sesama.

Di kelas-kelas sekolah Jepang banyak dipajang hasil karya siswa, baik di dinding maupun di atas rak-rak tempat tas siswa. Coraknya beraneka ragam, mulai dari karya dari barang-barang bekas dengan disain robot, mobil, dan bangunan tinggi hingga bentuk-bentuk karya lainnya yang lebih rumit.

Pembiasaan memamerkan hasil cipta karya siswa, merupakan momentum bagi siswa untuk meraih cita-cita. Lewat karya-karya tersebut, anak-anak Jepang kelak diharapkan bisa menjadi perakit mobil, robot, arsitek gedung-gedung bertingkat dan pencipta alat-alat canggih lainnya hingga menjadi kebanggaan bagi bangsanya.

Memang, kemampuan untuk berkreasi mendapat porsi besar dalam sistem pendidikan di Jepang. Sejak dini kemampuan dan kreativitas siswa digali sebesar-besarnya demi disiapkan sebagai tenaga terampil penuh kreativitas di bidang masing-masing di masa depan.

Falsafah Jepang mengatakan, "Anak-anak adalah harta karun negara". Nasib bangsa masa depan diyakini ada di pundak anak-anak mereka. Maka, negara selalu memperlakukan istimewa anak-anak Jepang, baik dibidang pendidikan, kesehatan, gizi, maupun perkembangan emosionalnya. Sistem pendidikan nasional Jepang pun lebih diarahkan demi kemajuan anak-anak bangsa ke depan.









































BAB III

KORELASI ANTARA

PENDIDIKAN KARAKTER JEPANG DAN PRAMUKA

         

          Setelah mengulas tentang Pendidikan Karakter dalam Pramuka di Bab 1 dan Pendidikan di Jepang di Bab 2, penulis melihat adanya kemiripan antara keduanya. Berikut ini adalah beberapa analisa yang penulis temukan antara keduanya:



1.      Pramuka melatih jiwa patriotisme, begitu pula pendidikan di Jepang, sejak kecil anak-anak Jepang dilatih untuk berjiwa patriotisme dan berani untuk membea kebenaran. Mereka juga berani mengakui kesalahan.



2.      Pramuka melatih sikap tanggungjawab, pendidikan di Jepang membentuk sikap yang bertanggungjawab, mereka berani membuat sebuah perubahan dan inovasi baru dan mau mempertanggungjawabkan apa yang telah mereka buat. Bahkan, di salah satu kisah heroik mengenai ledakan Fukushima Daichi yang menggemparkan baru-baru ini, menyebutkan bahwa ada sebuah tim yang benar-benar siap mati demi menyelamatkan orang lain dari radiasi, mereka sadar sekali akan bahaya yang ada di depan mereka, namun mereka rela berkorban karena besarnya rasa tanggungjawab mereka.



3.      Pramuka melatih kreatifitas, inovasi dan tantangan, korelasinya dengan Jepang sangat jelas, mengingat banyaknya penemuan-penemuan yang menggambarkan kreatifitas masyarakat Jepang. Seperti penemuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang bisa sejajar dengan bangsa maju di Barat.



4.      Pramuka mengajarkan untuk rela menolong dan tabah. Rasa tenggang rasa masyarakat Jepang yang tinggi dapat dilihat dari peristiwa Tsunami yang melanda Sendai kemarin. Di sana ditemukan banyak sekali contoh nyata sikap lebih mendahulukan kepentingan orang lain dari pada kepentingan diri sendiri. Mereka juga terlihat sangat tabah menghadapi musibah yang mereka hadapi, mereka pantang mengasihani diri sendiri.



Empat contoh di atas mewakili bukti adanya kesamaa antara pendidikan karakter di Jepang dan pendidikan karakter di pramuka.

































BAB IV



KESIMPULAN DAN PENUTUP



Setelah menelaah makalah di atas, sepertinya tidak salah jika kita sebagai orang Indonesia yang mengaku berilmu dan berfikir merasa malu, karena negara kita termasuk negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, namun prilakunya masih jauh dari sikap Islami, sedangkan Jepang yang tak terlalu mementingkan agama memiliki jiwa dan sikap yang Islami, sesuai dengan ajaran Islam.

Maka, di sini penulis sangat setuju dengan ide Wiliam K. Cummings, yang menyatakan beberapa faktor yang mendukung adalah sebagai berikut:

Pertama, perhatian pada pendidikan datang dari pelbagai macam pihak.

Kedua, sekolah Jepang tidak mahal.

Ketiga, di Jepang tidak ada diskriminasi terhadap sekolah.

Keempat, kurikulum sekolah Jepang amat berat.

Kelima, sekolah sebagai unit pendidikan.

Keenam, guru terjamin tidak akan kehilangan jabatan.

Ketujuh, guru Jepang penuh dedikasi.

Kedelapan, guru Jepang merasa wajib memberi pendidikan “manusia seutuhnya”.

Terakhir, guru Jepang bersikap adil.

            Seandainya hal-hal di atas diterapkan di Indonesia, maka tidak mustahil jika Indonesia akan termasuk dalam jajaran negara yang maju, jadi syarat untuk memiliki pendidikan yang unggul seperti di Jepang adalah dengan mengaplikasikan faktor pendukungnya.

            Sekarang saatnya kita sadar bahwa pendidikan adalah hak semua anak, karena anak adalah harta karun negara yang harus dijaga sebaik-baiknya, karena merekalah aset yang akan meneruskan estafet kepemimpinan negara kelak. Jadi, jangan ada lagi diskriminasi dalam pendidikan dan sangat tidak adil jika yang mendapatkan akses pendidikan bermutu hanya anak orang berada saja sedangkan yang kurang mampu tak mendapatkan pendidikan layak.

            Maka, saatnya bersatu, baik dari pihak guru maupun masyarakat, karena seharusnya memang semua pihak bertanggungjawab atas generasi setelahnya. Selain itu perlu diingat pula peran kepramukaan dalam membentuk tunas bangsa yang kuat agar bisa merealisasikan karakter bangsa Indonesia yang lebih baik, yang jauh dari konotasi negatif.








































Referensi

Buku:

Buku pegangan untuk pembina penggalang, Metode Pendidikan Informal untuk
              anak usia 11-15

Kwartir Nasional 2011, Buku Serahan Kursus Pelatih Dasar

Koordinator Gerakan Pramuka PMDG, Bahan Serahan Materi Kursus Pembina    Pramuka Mahir Tingkat Dasar.

Surat Kabar dan Wesite

Amirullah Arman Andi, Mencetak Generasi Unggul Ala Jepang, Suara Karya
18 Desember 2008

Data statistik tahun 1985 dari Japanese Life Today dan International Society for
Educational Information, Tokyo

Endang Kandar, Potret Pendidikan di Jepang, Website, Mei 6, 2007 Muh. Syukur

Salman, Membina Etika Si Buah Hati Demi Kejayaan Bangsa,
              JAWA POS, 7 Mei 2008

Website, Fukuzawa Yukichi: Tokoh Pendidikan Jepang, Mei, 6 2007.

Republika, 03Mei 2002



[1] Koordinator Gerakan Pramuka PMDG, Bahan Serahan Materi Kursus Pembina Pramuka Mahir Tingkat Dasar.
[2] Muh. Syukur Salman, Membina Etika Si Buah Hati Demi Kejayaan Bangsa, JAWA POS, 7 Mei 2008

[3] Buku pegangan untuk pembina penggalang, Metode Pendidikan Informal untuk anak usia 11-15
[4] Koordinator Gerakan Pramuka PMDG, Bahan Serahan Materi Kursus Pembina Pramuka Mahir Tingkat Dasar.

[5] Buku Serahan Kursus Pelatih Dasar, Kwartir Nasional 2011
[6] Sekolah kuil
[7] Sistem wajib belajar yang lebih komprehensif setelah dimulainya Restorasi Meiji.
[8] Endang Kandar, Potret Pendidikan di Jepang, Website, Mei 6, 2007

[9] Website, Fukuzawa Yukichi: Tokoh Pendidikan Jepang, Mei, 6 2007.
[10] Dirjen PLS Depdiknas
[11] Dirjen Dikdasmen
[12] Data statistik tahun 1985 dari Japanese Life Today dan International Society for Educational Information, Tokyo
[13] Republika, 03/05/02
[14] Pakar pendidikan dari University of Southern California dalam Ideologi Pendidikan (2001)
[15] Arman Andi Amirullah, Mencetak Generasi Unggul Ala Jepang, Suara Karya
18 Desember 2008

Tidak ada komentar: