Kamis, 14 November 2013

TAKDIR DI UJUNG USAHA



TAKDIR DI UJUNG USAHA
 
Oleh Rizka Dwi Seftiani, S.Pd.I
Alumni Pondok Modern Darussalam Gontor

مَنْ عَرَفَ اللهَ أَزَالَ التُّهْمَةَ # وَقاَلَ كُلُّ فِعْلِهِ بِالحِكْمَةِ
Barang siapa mengenal Tuhannya, hilanglah prasangka buruknya dan ia akan mengatakan: Semua kejadian pasti ada  hikmahnya.” Demikian ungkap Syarif ‘Abasyi yang wafat pada tahun 504 H.
Kehidupan manusia di muka bumi ini memiliki warna-warni yang berbeda, setiap orang memiliki kisah hidup masing-masing. Kebahagiaan dan kesedihan datang silih berganti, namun ada sebagian orang yang selalu bersedih karena menyesali takdir yang dijalaninya, sehingga hari-harinya hanya diisi dengan rasa penyesalan. Padahal, jika mereka mau, mereka bisa merubah keadaan mereka, karena Allah tak akan pernah merubah keadaan suatu kaum, sampai mereka merubah keadaan mereka sendiri. (QS. Ar-Ra’ad [13]: 11)
Di dalam Al-Qur’an banyak ayat-ayat yang memotivasi para pembacanya agar selalu optimis, diantaranya adalah yang tertera dalam Surat An-Najm [53]: 39 - 40 yang menjelaskan bahwa manusia tidak akan memperoleh selain apa yang diusahakannya dan bahwa hasil usahanya akan diperlihatkan di kemudian hari, baik itu usaha untuk urusan dunia maupun urusan akhirat.
Selain itu, banyak pula kisah teladan yang patut kita contoh seperti kisah Ibunda Nabi Ismail AS ketika Ismail menangis kehausan, bagaimana perjuangannya berlari-lari kecil dari Shafa ke Marwah dan sebaliknya. Bahkan, kisah itu menjadi dasar disyari’atkannya sā’i, salah satu ritual dalam ibadah haji dan umrah. Sehingga akhirnya, Allah memberi berita gembira di ujung usahanya dengan berkah air Zam-Zam yang airnya masih mengalir jernih sampai detik ini.
Sā’i sendiri berasal dari kata sa’ā - yas’āsa’yun yang artinya usaha, dari ritual sā’i kita bisa mengambil hikmah dan pelajaran. Perlu disadari bahwa mayoritas orang-orang sukses adalah mereka memiliki karakter pantang menyerah. Setiap kali mereka menemui kegagalan, mereka akan berusaha sekuat tenaga untuk tetap bertahan. Kegagalan bagi mereka bukanlah waktu untuk berhenti, justru kegagalan itu dijadikan sebagai bahan evaluasi yang bisa meningkatkan ketangguhan jiwa.
Jika dulu Thomas Alva Edison menyerah dan putus asa setelah berkali-kali gagal dalam eksperimennya ketika membuat  lampu pijar, maka niscaya kita sekarang masih diliputi kegelapan dan masih harus menggunakan lampu minyak. Demikian halnya dengan Charles Babbage yang menemukan komputer pertama kali, jika ia menyerah saat mengalami kesulitan, sejarah teknologi tidak akan secanggih sekarang.
Maka dari itu, hendaknya setiap muslim tidak berhenti berusaha dan selalu memiliki jiwa yang optimis, jangan sampai ada kata menyerah dan pasrah. Jika cara A belum berhasil, saatnya intropeksi, bisa jadi ada sesuatu yang kurang dengan cara A, perlu adanya pembenahan lalu membuat cara B atau C dan seterusnya. Namun, jika berbagai cara sudah ditempuh dan akhirnya tetap kegagalan yang didapat, jangan sampai ada prasangka buruk pada Allah, karena Allah sudah pasti menyimpan rahasia di balik setiap kejadian.
Misalnya seorang pelajar yang sudah belajar sebaik mungkin dan sekuat tenaganya untuk mendapatkan nilai yang baik dalam ujian, semua buku sudah dibaca, dia juga bergadang semalaman untuk belajar, tidak lupa usahanya diiringi doa yang tidak putus. Ternyata, hasil ujian jauh dari harapan, takdir menentukan bahwa ia belum berhasil dalam ujiannya.
Di sinilah keyakinan si pelajar pada kekuatan takdir sedang diuji, ini adalah cara Allah untuk menguji hamba-Nya dan Allah selalu menyimpan hikmah yang indah bagi hamba-Nya yang senantiasa bersabar dan menjadikan shalatnya sebagai penolongnya. Tidak diragukan lagi, orang-orang yang tabah dan sabar menghadapi takdir yang menimpanya, itulah orang-orang yang selalu bersama Allah (QS. Al-Baqarah [2]: 153).
Akhirnya, ketika ujung usaha sudah didapat, yang perlu dilakukan adalah ikhlas menerima takdir dengan senyum tulus, karena bisa jadi sesuatu yang kita benci  adalah yang terbaik untuk kita dan yang kita sukai belum tentu baik untuk kita dan Allah Maha Mengetahui sedangkan pengetahuan kita terbatas (QS. Al-Baqarah [2]: 216). Wallahu A’lam.

Tidak ada komentar: