TAKDIR DI UJUNG USAHA
Oleh Rizka Dwi Seftiani,
S.Pd.I
Alumni Pondok Modern
Darussalam Gontor
مَنْ عَرَفَ اللهَ أَزَالَ التُّهْمَةَ # وَقاَلَ كُلُّ
فِعْلِهِ بِالحِكْمَةِ
“Barang siapa mengenal Tuhannya, hilanglah prasangka buruknya
dan ia akan mengatakan: Semua kejadian pasti ada hikmahnya.” Demikian ungkap Syarif ‘Abasyi
yang wafat pada tahun 504 H.
Kehidupan manusia di muka bumi ini memiliki
warna-warni yang berbeda, setiap orang memiliki kisah hidup masing-masing. Kebahagiaan
dan kesedihan datang silih berganti, namun ada sebagian orang yang selalu bersedih
karena menyesali takdir yang dijalaninya, sehingga hari-harinya hanya diisi
dengan rasa penyesalan. Padahal, jika mereka mau, mereka bisa merubah keadaan
mereka, karena Allah tak akan pernah merubah keadaan suatu kaum, sampai mereka
merubah keadaan mereka sendiri. (QS. Ar-Ra’ad [13]:
11)
Di dalam Al-Qur’an banyak ayat-ayat yang
memotivasi para pembacanya agar selalu optimis, diantaranya adalah yang tertera
dalam Surat An-Najm [53]: 39 - 40
yang menjelaskan bahwa manusia tidak akan memperoleh selain apa yang diusahakannya
dan bahwa hasil usahanya akan diperlihatkan di kemudian hari, baik itu usaha
untuk urusan dunia maupun urusan akhirat.
Selain itu, banyak pula kisah teladan yang patut
kita contoh seperti kisah Ibunda Nabi Ismail AS ketika Ismail menangis
kehausan, bagaimana perjuangannya berlari-lari kecil dari Shafa ke Marwah dan
sebaliknya. Bahkan, kisah itu menjadi dasar disyari’atkannya sā’i, salah
satu ritual dalam ibadah haji dan umrah. Sehingga akhirnya, Allah memberi
berita gembira di ujung usahanya dengan berkah air Zam-Zam yang airnya masih
mengalir jernih sampai detik ini.
Sā’i sendiri berasal dari kata sa’ā - yas’ā – sa’yun yang
artinya usaha, dari ritual sā’i kita bisa mengambil hikmah dan
pelajaran. Perlu disadari bahwa mayoritas orang-orang sukses adalah mereka
memiliki karakter pantang menyerah. Setiap kali mereka menemui kegagalan,
mereka akan berusaha sekuat tenaga untuk tetap bertahan. Kegagalan bagi mereka
bukanlah waktu untuk berhenti, justru kegagalan itu dijadikan sebagai bahan
evaluasi yang bisa meningkatkan ketangguhan jiwa.
Jika dulu Thomas Alva Edison menyerah dan putus
asa setelah berkali-kali gagal dalam eksperimennya ketika membuat lampu pijar, maka niscaya kita sekarang masih
diliputi kegelapan dan masih harus menggunakan lampu minyak. Demikian halnya
dengan Charles Babbage yang menemukan komputer pertama kali, jika ia menyerah
saat mengalami kesulitan, sejarah teknologi tidak akan secanggih sekarang.
Maka dari itu, hendaknya setiap muslim tidak berhenti
berusaha dan selalu memiliki jiwa yang optimis, jangan sampai ada kata menyerah
dan pasrah. Jika cara A belum berhasil, saatnya intropeksi, bisa jadi ada
sesuatu yang kurang dengan cara A, perlu adanya pembenahan lalu membuat cara B
atau C dan seterusnya. Namun, jika berbagai cara sudah ditempuh dan akhirnya
tetap kegagalan yang didapat, jangan sampai ada prasangka buruk pada Allah,
karena Allah sudah pasti menyimpan rahasia di balik setiap kejadian.
Misalnya seorang pelajar yang sudah belajar
sebaik mungkin dan sekuat tenaganya untuk mendapatkan nilai yang baik dalam
ujian, semua buku sudah dibaca, dia juga bergadang semalaman untuk belajar,
tidak lupa usahanya diiringi doa yang tidak putus. Ternyata, hasil ujian jauh
dari harapan, takdir menentukan bahwa ia belum berhasil dalam ujiannya.
Di sinilah keyakinan si pelajar pada kekuatan
takdir sedang diuji, ini adalah cara Allah untuk menguji hamba-Nya dan Allah
selalu menyimpan hikmah yang indah bagi hamba-Nya yang senantiasa bersabar dan
menjadikan shalatnya sebagai penolongnya. Tidak diragukan lagi, orang-orang yang
tabah dan sabar menghadapi takdir yang menimpanya, itulah orang-orang yang
selalu bersama Allah (QS. Al-Baqarah [2]: 153).
Akhirnya, ketika ujung usaha sudah didapat, yang
perlu dilakukan adalah ikhlas menerima takdir dengan senyum tulus, karena bisa
jadi sesuatu yang kita benci adalah yang
terbaik untuk kita dan yang kita sukai belum tentu baik untuk kita dan Allah
Maha Mengetahui sedangkan pengetahuan kita terbatas (QS. Al-Baqarah [2]: 216). Wallahu A’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar