Senin, 31 Desember 2012

New Year

Renungan Tahun Baru....

1 1 '13

Ya Allah....
Terima kasih untuk semua kebaikan yang hamba terima.
Berilah hamba kekuatan untuk memperbaiki diri.
Jangan biarkan hamba terlena oleh mimpi-mimpi....

Di tahun yang baru ini.
Semoga, terkabul semua harapan.
Semoga tetap optimis menghadapi masa depan.
Semoga tidak sia-sia semua yang diusahakan.

Ya Allah....
Hamba percaya,
Di balik semua yang terjadi selalu ada hikmah yang tersembunyi.
Hamba yakin, Engkau selalu mendengar doa-doa hamba.
Doa yang dipanjatkan dengan penuh keyakinan.

Ya Allah.....
Di antara banyak jalan yang bercabang ini.
Pilihkanlah yang tebaik untuk hamba.
Jangan buat hamba menyesal akan setiap keputusan yang hamba ambil.

Ya Allah.....
Engkau Yang Maha Tahu.
Siapa dan apa yang terbaik untuk hamba.
Semoga terbuka setiap pintu yang diketuk.
Semoga terjawab setiap pertanyaan.
Semoga terkabul setiap doa.
Semoga datang yang dinantikan.
Amin, Amin.... Ya Robbal 'Alamin.

Alhamdulillah.... Wa syukrulillah lillah.....


Jumat, 21 September 2012

FILSAFAT SEJARAH IBNU KHALDUN




FILSAFAT SEJARAH
Menurut Ibnu Khaldun

Pendahuluan
A. Sejarah Kehidupan Ibnu Khaldun
Ibnu Khaldun, sosok yang merupakan filosof besar yang mendalami filsafat sejarah lahir di Tunis pada tahun 732 H dan wafat di Mesir pada tahun 808 H , namanya dikenal oleh orang-orang Timur dan Barat. Dia merupakan salah satu pembesar di abad kedelapan. Nama asli dari Ibnu Khaldun adalah Abu Zaid Abdurrahman bin Muhammad bin Muhammad bin Ibnu Khaldun Waliyuddin Tunisyi. Sebelumnya, keluarganya tidak tinggal di Tunis, namun di Isbelia, kemudian kakek buyutnya mulai pindah ke Tunis pada abad ke-7 H.
Kakek buyut Ibnu Khaldun kkembali lagi pada keturunan mereka di Bani Watsil dari kabilah Yaman dan membahntah hijrahnya kakek buyut mereka dari Yaman ke Andalus sampai abad ke-3 H.
            Ibnu Khaldun tumbuh di Tunis dan belajar tentang ilmu pengetahuan di zamannya, kemudian meninggalkan Tunis untuk menghindari wabah dan melakukan perjalanan ke Hawarar  dan tinggal di rumah temannya, Ibnu ‘Abdun. Sedangkan Ibnu ‘Abdun sendiri sangat menghargai Ibnu Khaldun, bahkan ia sempat  menolong Ibnu  Khaldun saat ia melakukan perjalanan ke Maghrib dan ia berpindah-pindah dari satu negara ke negara lain, padahal ia mesih belum tua, sebagaimana Ibnu Battutah.[1]
            Ibnu Khaldun dikenal sebagai sosos yang spesial oleh para ulama dan pemikir-pemikir Islam, terlebih lagi bukunya Mukaddimah Ibnu Khaldun. Sedangkan bukunya tentang sejarah, seperti umur, tempat mubtada’ dan khobar, tentang Arab, non-Arab dan Barbar, dan buku Ibnu Khaldun sendiri dibagi menjadi 3 buku yang dijilid menjadi tujuh jilidan. Kitab pertama, Dalam Pembangunan
Apa yang ditulisnya dalan buku jilidan pertama meliputi perkembangan pemerintahan,  kehidupan, pabrik-pabrik, dan ilmu pengetahuan. Tidak hanya itu, ia juga menyertakan sebab-sebab dan penjelasan mengenai hal-hal yang telah disebutkan di atas.
Buku pertama inilah yang disebut sebagai Mukaddimah, kitab yang sungguh terkenal. Kitab ini terdiri dari 401 halaman yang ditulis oleh Ibnu Khaldun sendiri. Selain itu, di dalam buku ini terdapat pembahasan yang modern, yang pada masa sekarang disebut dengan Ilmu Sosiologi, Ilmu Politik, Ilmu Ekonomi, Ilmu Sosial, Filsafat Sejarah, Ilmu-Ilmu Umum, dan tidak diragukan lagi bahwa Hegel yang berasal dari Jerman, Mechafilli dari Italia, dan Gibun dari Inggris, Mereka adalah muris dari Ibnu Khaldun.[2]













B. Pembahasan

Filsafat Sejarah Menurut Ibnu Khaldun
                 Sesungguhnya, ilmu sejarah adalah ilmu yang mulia, yang memiliki banyak manfaat, ilmu yang mahal dan berharga. Ilmu sejarah mengaja kita untuk melihat bagaimana keadaan di masa lampau dari umat-umat  terdahulu, juga akhlak-akhlak mereka. Ilmu sejarah juga membuat kita tahu tentang keadaan para nabi dan perjalanan hidup mereka, termasuk raja-raja dan siasat-siasat mereka.[3]  
                     Ibnu Khaldun menyatakan bahwasannya sejarah adalah sejarah kemanusiaan, atau sejarah alam, masalah seputar perubahan di dalam masyarakat dan budayanya.
                     Gambaran politik dan kemasyarakatan sangat membutuhkan peraturan sosial kemasyarakatan. Maka dari itu, filsafat sejarah Ibnu Khaldun tidak terpaku kecuali pada kehidupan agama dan dunia atas dasar satu dengan yang lainnya bagaikan dua sisi mata uang.

1.       Kesholehan dan Kesuksesan                
                  Dari sisi ini, diketahuilah bahwa kesholehan dan kesuksesan merupakan dua hal yang berbeda untuk sejarah modern.           Demikian halnya yang dikatakan oleh Ibnu Khaldun, sebagai berikut:
“Saya tidak bermaksud demikian, Imam Mahdi dari Daulat Muwahhidin, dia adalah seorang yang sangat tabah dan sabar menghadapi kesulitan dan himpitan dunia, tidak ada kenikmatan sama sekali dalam dunianya. Jika bukan karena Allah SWT, ia tak mungkin menyengsarakan dirinya sendiri di dunia. Jika bukan karena kesholehannya, ia tidak akan bisa menjadi seperti ini.



2.       Al-Mabrur Al-Khalduni
Banyak dari pembaca pemikiran Ibnu Khaldun yang ingin mengetahui cara berpikirnya. Untuk hubungan  antara perjalanan sejarah yang sesuai dengan undang-undangnya. Lebih khusus lagi adalah urusan sebab-musababnya dan pelajaran evaluasi yang sangat menentukan sebuah perubahan dan peraturan dalam hal sastra.

3.      Ihraj Ibnu Khaldun
                  Sebagaimana ihraj yang diletakkan oleh Ibnu Khaldun tidak mungkin hanya dalam bidang agama, dengan dasar  yang berdiri di atasnya sebuah pembangunan. Sebenarnya, semua berawal dari sebuah sejarah, yang mana oleh Ibnu Khaldun sendiri diambil dari sejarah Islam. Dan kejadian-kejadian ini sebagai saksi untuk menjadi penjelasan nantinya atau sebagai bukti yang kuat di masa yang akan datang.

4.       Tashih
                  Adakah tashih untuk pemikiran Ibnu Khaldun ini? Sedangkan Tashih itu sendiri adalah sendiri adalah suatu masa dimana tunduknya sejarah kepada undang-undang sebab-musabab dan tunduknya sejarah pada pencari akhlak dalam sastra. Permasalahan ini sendiri sudah mendapatkan tempat, yaitu pembahasan mengenai pemahaman pada sejarah kita dan sejarah itu sendiri, maka para pemikir dalam bidang sejarah lebih banyak menyoroti permasalahan ini.[4]
                  Selanjutnya, permasalahan ini mulai meluas, bahkan sampai menajngkau dalam hal metafisika.
                  Maka dari itu, kita harus memegang perkataan Ibnu Khaldun ini, yang membicarakan tentang kealamian pembangunan dan apa yang ditampilan di dalamnya. Ibnu Khaldun berkata dalam bukunya:
                  “Dan kita telah menyelesaikan pembahasan mengenai pembangunan ini, dan kita cukupkan sampai di sini. kami berharap semoga ada diantara manusia yang lahir setelah habisnya masa kami, orang-orang yang yang dikaruniai Allah dengan pikiran yang benar, yang memiliki ilmu lebih banyak dari apa yang telah kami tulis di sini, juga mengenai hal-hal yang berkenaan dengan ilmu untuk menyelesaikan permasalahan sesuai dengan apa yang telah kami tulis. Semoga ada yang memperluas pembahasannya, juga orang-orang pada masa yang akan datang, sehingga semakin berkembangkan ilmu-ilmu it, sehingga mencapai batas kesempurnaan. Dan Allah Maha Mengetahui dan kamu tidak mengetanui.”
                  Ibnu Khaldun juga menambahkan, “Saya sudah menyelesaikan bab pertama yang meliputi mukaddimah atau pendahuluan dengan percobaan untuk meletakkan dasar sebelum adanya pengecekkan ulang selama lima bulan terakhir. Kemudian kalianlah yang melanjutkan dan meneruskan usaha ini yang dengannya akan lengakplah sejarah umat manusia. Sebagaimana yang telah kusampaikan di awal pembahasan. Tidak ada ilmu satupun tanpa izin Allah SWT.[5]

C. Kesimpulan
          Ibnu Khaldun sangat terkenal sebagaimana ulama sejarah pada zamannya. Betapa banyaknya pemikirannya dan luasnya pengetahuannya mengenai sejarah.
            Tujuan utama dari penulisan Sejarah Ibnu Khaldun adalah untuk menunjukan bahwa kita bisa mengaca pada generasi di masa lampau dalam, menyelesaikan persoalan. Selain itu, kita juga bisa mengambil hikmah untuk memperkuat pondasi masa depan, misalnya dengan membuat perbandingan antara masa lalu dan masa kini.
            Cara Ibnu Khaldun dalam menyelesaikan permasalahan yang berhubungan dengan sejarah berbeda dengan ahli sejarah yang lain. Dia tidak hanya memaparkan masalah sebagaimana yang dilakukan ulama lainnya. Namun ia juga membuat cara baru, yaitu dengan meyertakan sebab-musababnya dan perkembangannya sesuai dengan filsafat sosiologi.
            Sebagaimana yang dinyatakan oleh Ibnu Khaldun bahwa sejarah adalah satu dari pengkhususan pelajaran yang memiliki aspek yang cukup luas dari generasi ke generasi. Maka, tidak salah jika sejarah dihubungkan dengan filsafat, kemudian dijadikan satu dari cabang filsafat.
            Sejarah adalah satu dari banyaknya cara menyelesaikan masalah, karena sejarah tidak akan pernah terulang kembali. Jikapun terulang, pasti berbeda pelaku sejarahnya.
            Maka, bagi seorang ahli sejarah, haruslah mampu untuk mengambil ilham dari adanya filsafat, serta mengambil pelajaran dari pembahasan sejarahnya.

D. Kritik
          Ibnu Khaldun adalah satu dari ahli ilmu klasik Islam, banyak peendapat tentang dirinya di zaman ini. Terlebih lagi mengenai kita Mukaddimahnya. Pengkritik Ibnu Khaldun terbagi menjadi dua kubu.
            Jamaah pertama adalah Filsafat Sejarah berasal dari pembesar Islam atau Arab, sedangkan yang lain mengatakan bahwa Ibnu Khaldunlah yang banyak berkecimpung mengenai sejarah ini, jamaah kedua ini menganggapnya sebagai peletak dasar filsafat sejarah.
            Karena itulah, sudah menajadi kewajiban umat Islam untuk menjaga kemuliaan sejarah, karena sejarah sendiri menjadi satu hal yang cukup besar untuk generasi yang akan datang setelah kita. Mengenai pengetahuan yang tidak akan pernah mereka ketahui kecuali setelah mereka membaca buku sejarah tentang umat di masa lampau, kemudian menjadi pelajaran bagi mereka.
            Ibnu Khaldun sendiri memiliki sebuah cita-cita mulia, untuk ahli sejarah yang datang setelahnya, yang memungkinkan kita untuk mengampil pelajaran untuk pondasi masa depan. Dialah yang akan menjadi tongkat estafet antara masa lalu dan masa depan.




DAFTAR PUSTAKA

  • Muhammad Abdurrahman Ibnu Khaldun, Mukaddimah Ibnu Khaldun, Darul Fikr Lithaba’ah wa Nasr, 732-808, 1332-1406

·         Dr. Mulhan Qurban, Khalduuniyyat: Nadhrah Al-Ma’rifah fii al-Mukaddimah Ibnu Khaldun, Dirasah MAnhajiyah Naqidah fii al-Iijtima’ wa as-siasi

·         Muhammad Tufi Jam’yhi, Tarikh Al-Falsafah Al-Islam fil Masyriq wal Maghrib, Mathba’ah Al-Ma’luf wal Maktabatiha, 1345-1927



                [1] Muhammad Adurrahman Ibnu Khaldun, Mukaddimah Ibnu Khaldun, Darul Fikr Lithaba’ah wa Nasr, 732-808, 1332-1406
                [2] Ibid

                [3] Ibid
                [4] Dr. Mulhan Qurban, Khalduuniyyat: Nadhrah Al-Ma’rifah fii al-Mukaddimah Ibnu Khaldun, Dirasah MAnhajiyah Naqidah fii al-Iijtima’ wa as-siasi

                [5] Muhammad Tufi Jam’yhi, Tarikh Al-Falsafah Al-Islam fil Masyriq wal Maghrib, Mathba’ah Al-Ma’luf wal Maktabatiha, 1345-1927

Metodologi Studi Islam menurut Hamid Fahmy Zarkasyi




(Tugas kuliah MSI, semoga ana bisa mengikuti beliau, cara nulis beliau menurutku cukup keren)

Metodologi Studi Islam
Menurut Hamid Fahmy Zarkasyi

A.     Pendahuluan
Hamid Fahmy Zarkasyi adalah salah satu pemikir Islam yang patut diperhitungkan. Hal ini juga diakui oleh Adian Husaini, beliau berujar, “Saat mengisi acara workshop di Pondok Pesantren Gontor, 19-20 Agustus 2006 lalu, saya mendapatkan hadiah sebuah Jurnal yang sangat bagus, bernama TSAQAFAH. Jurnal ini diterbitkan oleh Institut Studi Islam Darussalam (ISID) Pondok Modern Darussalam Gontor Indonesia. Pada edisi Vol.2, Nomor 2, 2006/1427, diangkat berbagai artikel menarik tentang keislaman. Salah satu yang perlu kita jadikan catatan adalah sebuah artikel berjudul “Framework Kajian Filsafat Islam” tulisan Hamid Fahmy Zarkasyi, Pembantu Rektor III ISID. [1]
Melalui riset yang cukup mendalam terhadap sejumlah kurikulum kajian filsafat Islam di Perguruan Tinggi Islam di Indonesia –baik yang negeri maupun swasta– Hamid Fahmy membuktikan bahwa kajian filsafat Islam di Indonesia tampak jelas terpengaruh oleh kajian para orientalis. Pengaruh itu tidak hanya pada cara atau metodologi pengkajian, tetapi lebih mendasar lagi, sampai sampai pada cara pandangnya terhadap filsafat Islam.
Cara pandang ini tentu bukan tanpa maksud. Secara sistematis, mereka akan menunjukkan bahwa filsafatIslam hanyalah kertas copi dari Yunani; tanpa Yunani, Islam tidak memiliki pemikiran rasional. Padahal, sekalipun konsepsi falsafah juga dikenal dalam pemikiran Islam, namun tetap disertai kritik dan seleksi yang ketat. Itulah yang dilakukan oleh Al-Ghazali dan Ibn Taymiyah.
Menurut Hamid Fahmy, berbeda dengan tradisi filsafat Yunani yang berdasarkan akal, tradisi filsafat Islam bersumberkan pada wahyu. Dengan demikian, filsafat Islam adalah filsafat yang lahir dari pemahaman, penjelasan, dan pengembangan konsep-konsep penting dalam al-Quran dan Sunnah.
Dalam sejarahnya, para ulama dan cendekiawam Muslim telah melakukan proses seleksi dan adapsi yang ketat terhadap pemikiran yang datang dari luar Islam. Sejumlah ilmuwan seperti Ibn Sina, al-Kindi, dan al-Farabi, menerima filsafat Yunani dan berusaha memodifikasikannya agar sesuai dengan prinsip-prinsip penting dalam ajaran Islam. Al-Ghazali dan Fakhruddin al-Razi menerimanya sejauh masih sejalan dengan ajaran Islam dan menolak konsep-konsep yang bertentangan dengan Islam.
Ibn Taymiyah termasuk diantara penolak keras “filsafat”, tetapi ternyata juga menerima jenis filsafat tertentu, yang disebutnya al-falsafah al-shahihah (filsafat yang benar) dan al-falsafah al-haqiqiyah (filsafat yang sebenarnya).[2]
Menghubungkan antara sosok Hamid Fahmy Zarkasyi dengan Metodologi Studi Islam adalah sebuah keniscayaan, karena Hamid Fahmi sendiri adalah orang yang sudi menyibukan dirinya dengan hal-hal yang berhubungan dengan studi Islam. Selain karena ia sendiri merupakan penulis yang aktif menulis di berbagai Jurnal, bahkan sampai menjadi pemimpinnya. Sebut saja beberapa di antara Koran dan majalah yang sudah memuat tulisannya: ISLAMIA, Tsaqafah, Republika, dan tulisan lain yang  tersebar di internet, semuanya tidak lepas dari pembahasan mengenai perkembangan agama Islam.

B. Pembahasan
1.  Metodologi Studi Islam
Dari segi tingkatan kebudayaan, agama merupakan universal cultural. Salah satu prinsip teori fungsional menyatakan bahwa segala sesuatu yang tidak berfungsi akan lenyap dengan sendirinya. Karena sejak dulu hingga sekarang agam dengan tangguh menyatakan eksistensinya, berarti ia mempunyai dan memerankan sejumlah peran, secara umum, studi Islam menjadi penting karena agama, termasuk Islam, memerankan sejumlah peran dan fungsi di masyarakat.[3]
Harus Nasution mengatakan bahwa persoalan yang menyangkut usaha perbaikan pemahaman dan penghayatan agama terutama dari sisi etika dan moralitasnya, kurang mendapat tempat yang memadai.[4]
Situasi keberagamaan di Indonesia cenderung menampilkan kondisi keberagaman yang legalistik-formalistik. Agama “Harus dimanifestasikan dalam bentuk rital formal, sehingga muncul formalism agama yang lebih mementingkan bentuk daripada isi. Kondisi seperti ini menyebabkan agama kurang dipahami sebagai seperangkat paradigma moral dan etika yang bertujuan membebaskan manusia dan kebodohan, keterbelakangan, dan kemiskinan. Di samping itu, formalism gejala keagamaan yang cenderung individualistic daripada kesalehan social menyebabkan munculnya sikap kontra prodiktif seperti nepotisme, kolusi, dan korupsi.[5]

2.  Pandangan Hamid Fahmi Zarkasyi mengenai Metodologi Studi Islam
Hamid Fahmy – yang telah menyelesaikan disertasi doktornya tentang ‘Teori Kausalitas al-Ghazali” di ISTAC-IIUM Kuala Lumpur – mencatat, bahwa para ulama Islam menolak, menerima secara selektif atau menerima dan memodifikasi prinsip-prinsip filsafat Yunani, karena konsep-konsepnya yang tidak sejalan dengan konsep Islam.
Selain itu, mereka juga percaya akan adanya konsep Islam sendiri yang berbeda dengan konsep asing itu. Ini berarti, simpul Hamid Fahmy, para ulama memandang bahwa dalam Islam terdapat prinsip berfikir filosofisnya sendiri yang berbeda dari Yunani.Jadi, sejak awal, umat Islam sudah memiliki tradisi berpikir sendiri yang berdasarkan wahyu, yang berbeda dengan tradisi berpikir Yunani. Sumber aspirasi yang asli dan riil dari para pemikir Muslim adalah Al-Quran dan Sunnah Rasul. Bahwa ada sebagian unsur asing yang kemudian diserap dalam khazanah pemikiran Islam, tetap diupayakan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam. Dalam masalah Tuhan, manusia, dan alam semesta, para pemikir Muslim memiliki konsep mereka sendiri yang justru tidak terdapat dalam tradisi filsafat Yunani.[6]
Mengambil contoh Kurikulum dan Silabi Kuliah Filsafat Islam terbitan Departemen Agama, Hamid menunjukkan, bahwa yang dimaksudkan sebagai “pemikiran filsafat Islam yang awal” dalam kurikulum ini adalah dimulai sejak masuknya pengaruh filsafat peripatetik Yunani ke dalam Islam. Artinya, filsafat Islam dianggap wujud hanya setelah datangnya pengaruh filsafat Yunani. Ha ini mendukung anggapan bahwa dalam Islam tidak ada filsafat atau pemikiran filosofis. Model kajian seperti ini tidak akan memberi bekal kemampuan kepada mahasiswa untuk mengembangkan filsafat sains dalam Islam.
“Jika framework ini ditelusuri asal usulnya maka akan terungkap kesamaannya dengan framework yang dipegang secara meluas oleh para orientalis,” tulis Hamid Fahmy, yang juga Direktur Centre for Islamic and Occidental Studies (CIOS), ISID Gontor.
Hasil riset Hamid Fahmy Zarkasyi tentang metode studi filsafat Islam di Perguruan Tinggi Islam di Indonesia ini sangat penting untuk ditelaah dan direnungkan secara mendalam.[7]
Jauh sebelumnya, 30 tahun lalu, Prof. HM Rasjidi telah menunjukkan kuatnya pengaruh metode orientalis terhadap buku wajib dalam studi Islam di Indonesia, yakni buku “Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya”, karya Prof. Harun Nasution. Rasjidi kemudian memberikan kritik-kritik yang tajam terhadap buku tersebut, bahwa buku itu merusak dan membahayakan aqidah Islam.
Tetapi, kritik-kritiknya tidak pernah didengar. Buku ini tetap dijadikan sebagai rujukan dalam studi Islam di Perguruan Tinggi, tanpa didampingi oleh buku Prof. Rasjidi: Koreksi terhadap Dr. Harun Nasution tentang “Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya”.
Seperti pernah kita bahas, buku Harun Nasution ini memuat begitu banyak kesalahan fatal dan mendasar tentang Islam. Dalam aspek filsafat, Harun Nasution juga menulis: “Pemikiran filosofis masuk ke dalam Islam melalui falsafat Yunani yang dijumpai ahli-ahli fikir Islam di Suria, Mesopotamia, Persia, dan Mesir…Filosof kenamaan yang pertama adalah Abu Yusuf Ya’qub Ibn Ishaq al-Kindi.”
Dalam pemaparannya, Harun mengungkap berbagai perdebatan seputar isu-isu dalam kajian filsafat, tetapi tidak melakukan ‘tarjih’ terhadap pendapat yang benar. Bahkan ketika membahas pendapat seorang filosof yang jelas-jelas bertentangan dengan ajaran Islam, Harun tidak memberikan kritik terhadapnya. Seperti ketika menjelaskan tentang filosof Abu Bakr Muhammad Ibn Zakaria al-Razi (864-925), Harun bahkan menulis, “Tetapi sungguhpun ia menentang agama-agama, al-Razi bukanlah seorang atheis. Ia tetap percaya kepada Tuhan sebagai pengatur alam ini.”
Padahal, ditulis oleh Harun: “Al-Razi adalah seorang rasionalis yang hanya percaya pada akal dan tidakpercaya pada wahyu. Menurut keyakinannya akal manusia cukup kuat untuk mengetahui adanya Tuhan, apa yang baik dan apa yang buruk, dan untuk mengatur hidup manusia di dunia ini. Oleh karena itu Nabi dan Rasul tak perlu, bahkan ajaran-ajaran yang mereka bawa menimbulkan kekacauan dalam masyarakat manusia. Semua agama dia kritik. Al-Quran baik dalam bahasa maupun isinya bukanlah mu’jizat.”
Sebagai buku panduan untuk mahasiswa Muslim, harusnya Prof. Harun menjelaskan, bahwa pendapat Abu Bakr Muhammad Ibn Zakaria al-Razi (bukan Fakhruddin al-Razi) adalah keliru dan bertentangan dengan prinsip ajaran Islam.Harusnya, Prof. Harun tidak bersikap netral dalam hal-hal yang jelas-jelas salah. Bahkan, dalam uraiannya, Harun lebih cenderung mengunggulkan pendapat Ibnu Ruyd, ketimbang al-Ghazali. Dalam kritiknya, Rasjidi menyesalkan kecenderungan Harun untuk lebih menonjolkan pendapat Ibn Rusyd yang memberikan pembelaan kepada para filosof peripatetik dari kritikan al-Ghazali.[8]
Kajian Harun tentang aspek filsafat dalam Islam, menurut Prof. Rasjidi, merupakan aspek yang sangat negatif, khususnya bagi mahasiswa IAIN tingkat pertama.Dalam kritiknya, Rasjidi mengupas secara tajam kekeliruan pemikiran Ibnu Rusyd, al-Farabi, dan Ibnu Sina.




3.  Orientalis mewarnai kajian pemikiran Islam
Filsafat Islam, kata Prof. Rasjidi, adalah suatu usaha untuk mempertahankan aqidah Islam dengan mengambil bahan dari filsafat Yunani yang tidak bertentangan dengan Islam. Teori al-Farabi dan Ibnu Sina tentang emanasi (pancaran) bertentangan dengan Islam, yang menegaskan, bahwa Allah menciptakan alam dengan kemauan-Nya, bukan melalui pancaran.
            Meskipun mengakui kebaikan niat baik Ibnu Rusyd dalam membela filosof – yakni untuk menunjukkan bahwa Islam tidak bertentangan dengan akal – tetapi Rasjidi menilai teori Ibnu Rusjd tentang kekekalan alam sudah usang untuk abad ke-20. “Kelihatan sekali bahwa Dr. Harun Nasution tidak mengikuti perkembangan ilmu cosmology astrophysic, sehingga ia mempertahankan pendapat Ibnu Rusyd yang sudah usang itu,” tulis Prof. Rasjidi.[9]
            Itulah studi kritis Prof. Rasjidi terhadap aspek filsafat dalam buku “Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya” karya Prof. Harun Nasution. Rasjidi menulis kritiknya ini pada tahun 1975. Bisa dikatakan, kajian Hamid Fahmy Zarkasyi lebih maju selangkah lagi dari apa yang telah dilakukan oleh Prof. Rasjidi, karena Hamid Fahmy sudah menyentuh aspek “framework” dan cara pandang. Bahkan, Hamid menawarkan perspektif baru dalam studi filsafat Islam yang belum ditawarkan oleh Prof. Rasjidi sebelumnya.
            Kajian-kajian ilmiah dan serius tentang berbagai bidang keilmuan Islam (Ulumuddin) saat ini merupakan proyek yang sangat mendesak bagi umat Islam. Apalagi, 30 tahun setelah benih orientalisme ditanamkan oleh Prof. Harun Nasution, cengkeraman orientalis dalam studi Islam sudah semakin merambah ke berbagai bidang studi-studi lain, baik dalam studi agama-agama maupun dalam studi Al-Quran. Belum lagi dengan masuknya ‘proyek-proyek pesanan’ negara-negara dan LSM Barat dalam studi dan pemikiran Islam. Masuknya studi kritis Al-Quran dan mata kuliah hermeneutika, misalnya, tidak bisa dianggap hal yang enteng.[10]
            Penggunaan epistemologi relatif dalam studi agama di Ushuluddin telah membongkar framework studi agama-agama dalam tradisi Islam yang berbasis pada keimaman Islam.Ketika mengisi satu seminar di Yogyakarta pada 18 Agustus 2006 lalu, seorang peserta menyatakan, bahwa dalam studi ilmu-ilmu agama, metodologi Barat lebih baik dibandingkan dengan metodologi Islam. Pernyataan semacam ini sudah sering disampaikan dalam berbagai buku dan kesempatan. Padahal, biasanya yang mereka maksud dengan ‘metodologi’ yang baik adalah dalam soal teknik penulisan. Misalnya, karena banyak catatan kakinya, maka suatu tulisan disebut ilmiah dan bagus.
           











C. Penutup
Seorang Muslim yakin, bahwa mencari ilmu itu sendiri adalah kewajiban dan merupakan ibadah. Karena itu, kita diajarkan untuk senantiasa berdoa, mudah-mudahan kita dijauhkan dari ilmu yang tidak bermanfaat. Ilmu yang manfaat adalah ilmu yang menghasilkan dan memperkuat keimanan, dan bukan ilmu yang menambah keraguan dan kebingungan, serta semakin menjauhkan diri dari ibadah kepada Allah.
Metode studi agama cara Islam ini tentu berbeda dengan metode para studi agama ‘gaya Barat’ yang lebih diarahkan untuk menjadi ‘ilmuwan dan pengamat keagamaan’. Karena itu, dalam model studi seperti ini, para dosen tidak mempersoalkan apakah mahasiswa itu sesat atau benar. Suatu skripsi atau tesis tetap diluluskan jika dianggap sudah memenuhi syarat metode penulisan ilmiah, tanpa peduli apakah karya ilmiah itu benar atau salah dari segi isinya dalam pandangan Islam. Bahkan, banyak yang sudah bersifat skeptis dan agnostik terhadap kebenaran, dengan menyatakan, bahwa manusia tidak akan tahu kebenaran sejati, yang tahu kebenaran hanya Allah. Tentu saja ini sangat keliru, sebab Allah telah menurunkan wahyu-Nya kepada manusia melalui Nabi dan Rasul dengan tujuan untuk bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah.
Kita berharap para dosen di perguruan tinggi Islam dan para pejabat Departemen Agama sadar akan amanah berat yang mereka pikul saat ini, sehingga mereka tidak bersantai-santai atau bermain-main dalam hal ilmu agama.Mereka perlu sadar, bahwa upaya untuk meruntuhkan Islam yang sangat strategis adalah dengan cara merusak konsep-konsep keilmuan Islam. Itulah yang sejak berabad-abad lalu dilakukan oleh para orientalis.
Dalam pasal 2, Perpres No 11 tahun 1960, tentang pembentukan IAIN disebutkan, bahwa tujuan pembentukan IAIN adalah: “IAIN tersebut bermaksud untuk memberi pengadjaran tinggi dan mendjadi pusat untuk memperkembangkan dan memperdalam ilmu pengetahuan tentang Agama Islam.”
D. Kesimpulan
            Metodologi Barata memang sungguh menghawatirkan, walaupun tidak semuanya. Kita tidak menolak metode semacam ini. Bahkan, perlu memberikan apresiasi terhadap ketekunan dankesungguhan para orientalis dalam melakukan penelitian dan penulisan tentang Islam. Terutama dengan kesungguhan mereka dalam menghimpun literatur-literatur Islam.
            Tetapi, kita juga perlu senantisa kritis, bahwa dalam metodologi atau lebih tepatnya framework kajian agama, ada perbedaan yang mendasar antara Islam dengan para orientalis pada umumnya. Bagi seorang Muslim, belajar agama bertujuan untuk mendapatkan ilmu yang bermanfaat, yang dapat meningkatkan iman dan ibadah kepada Allah. Sebab, tidaklah manusia diciptakan kecuali hanya untuk beribadah kepada Allah. (QS
51:56).
            Jadi, sesuai dengan niat mulia sejak awalnya, perguruan-perguruan tinggi Islam harus menjadi pusat pengembangan dan pendalaman ilmu tentang agama Islam. Tentu, sebagai umat Islam Indonesia, kita berharap, dari kampus-kampus ini lahir para cendekiawan dan ulama yang berilmu tinggi dan taat kepada Allah. Untuk itu, agar menjadi kampus Islam yang benar-benar sehat, segala macam jenis kuman dan virus-virus yang merusak ilmu-ilmu Islam harus mulai dikaji, diteliti, untuk selanjutnya ‘dijinakkan’ dan diamankan’.
            Cita-cita mulia itu tidak akan terwujud, jika civitas academica di kampus Islam tidak bisa membedakan manayang ‘obat’ dan mana yang ‘racun’; mana ilmu yang bermanfaat dan mana ilmu yang madharat. Jika tidak paham atau tidak peduli densgan masalah ini, bisa jadi, kampus yang semula didirikan dengan niat begitu mulia, akhirnya secara tidak sadar sudah dibajak oleh para orientalis. Wallahu a’lam.[11]
Referensi
·         Al-Quran dan Al-Hadis
·         Drs. Atang Abdul Hakim dan Dr. Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, PT. Remaja Rosdkarya, Bandung. Hal: 7
·         Hal ini diungkapkannya dalam pengantar symposium nasional yang diselenggarakan oleh Forum Komunikasi Mahasiswa Pascasarjana (FKMP) IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tanggal 6 Agustus 1998 di Pusat Pengkajian Islam dan MAsyarakat (PPIM).
·         Harun Nasution, 1998: 1-2

Website

·         www.hidayatullah.com
·         www.insistnet.com
·         http://m.suaramerdeka.com
·         www.merci/kategori .islam
·         http://m.suaramerdeka.com/bb/bblauncher/SMLauncher.jad







[1] Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini adalah hasil kerjasama antara Radio Dakta 107 FM dan www.hidayatullah.com

[2] Ibid
[3] Drs. Atang Abdul Hakim dan Dr. Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, PT. Remaja Rosdkarya, Bandung. Hal: 7
[4] Hal ini diungkapkannya dalam pengantar symposium nasional yang diselenggarakan oleh Forum Komunikasi Mahasiswa Pascasarjana (FKMP) IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tanggal 6 Agustus 1998 di Pusat Pengkajian Islam dan MAsyarakat (PPIM).
[5] Harun Nasution, 1998: 1-2
[6] www.insistnet.com
[7] http://m.suaramerdeka.com
[8] www.merci/kategori .islam

[9] Ibid
[10] http://m.suaramerdeka.com/bb/bblauncher/SMLauncher.jad
[11] www.hidayatullah.com